Recommended

Titik Nol 31: Perbatasan

Kota perbatasan Zhangmu, kemegahan di bukit terpencil. (AGUSTINUS WIBOWO)

Kota perbatasan Zhangmu, kemegahan di bukit terpencil. (AGUSTINUS WIBOWO)

Di atas peta dunia, perbatasan hanyalah garis hitam yang memisahkan dua negara yang dibubuhi warna berbeda. Di alam nyata, perbatasan adalah garis tak kasat mata yang menentukan takdir manusia.

Kami sampai di dekat Zhangmu cukup pagi. Untuk menghindari kecurigaan polisi, beberapa meter sebelum masuk kota, Ding meminta saya turun, berjalan kaki, melewati pos polisi, dan nanti berjumpa lagi di dalam kota. Sebabnya, truk sama sekali tak boleh membawa penumpang. Sopir yang tertangkap didenda mahal.

Kota perbatasan Zhangmu adalah murni kota China. Semua bangunan di sini baru, kotak-kotak, berlantai tinggi. Toko berbaris, tiang listrik dan kabel semrawut di pinggir jalan. Banyak truk di sini. Ada yang punya orang Tibet, orang Sichuan, juga truk Nepal yang warna-warni berhias huruf-huruf Dewanagari.

Jalannya hanya satu, semakin ke perbatasan Nepal semakin turun, berkelak-kelok mengikuti pinggang gunung. Penunjuk arah di sini tak perlu menyebut arah mata angin, cukup dengan ‘naik’ dan ‘turun’ saja. Sempit, hanya cukup untuk dua kendaraan saja di tikungan yang semuanya berbahaya. Sebagian besar kendaraan di sini adalah truk barang. Seperti kota perbatasan pada umumnya, Zhangmu hidup dari perdagangan internasional dengan negeri tetangga.

Kebanyakan orang yang terlihat di sini adalah etnis Han. Dialek Sichuan mendominasi, terdengar kasar dan berat.. Orang Tibet yang  terlihat, selain yang berpakaian biksu, adalah para perempuan pekerja. Mereka dengan perkasa menurunkan karung barang dari truk Nepal yang melintas perbatasan. Nampak juga orang-orang berkulit gelap, berpakaian sari ala India, atau bertopi tinggi mirip peci. Mereka datang dari Nepal, para pedagang dan pekerja.

Walaupun Nepal bukan negara kaya dan perdagangan dengan negeri ini tak terlalu besar volumenya, Zhangmu sangat sibuk. Selain truk yang sibuk hilir mudik dari Zhangmu ke dataran China, warung pangsit dan mie dari Sichuan juga sudah menjadi makanan pokok di sini. Kebudayaan China daratan sudah merambah seluruh negeri, hingga ke pelosok perbatasan yang paling terpencil sekali pun.

“Tak usah bayar,” kata Ding, sopir Sichuan itu, “Sungguh sudah merupakan kehormatan bagi saya memberi tumpangan pada seorang anak Tsinghua. Saya sudah gembira sekali.” Ia tetap tak mau menerima uang saya.

Ding punya rekanan yang buka toko di Zhangmu. Supermarket, lumayan besar juga. Saya kagum dengan semangat orang China mencari duit. Di tempat-tempat sulit macam ini pun masih bisa menemukan sumber uang.

Nepal tinggal selangkah lagi. Penukar uang Rupee terlihat di mana-mana. Polisi dan tentara juga di mana-mana. Sesekali di perbatasan yang sibuk itu, gadis dan perempuan desa Nepal berusaha menyelundupkan barang ke China.

“Hei… dari mana?” tanya seorang polisi perempuan China yang sangat awas di bagian bea cukai.

Si perempuan tua berbaju merah tertunduk. Dari balik bajunya ada berbagai macam baju, kain, dompet, selendang, jam weker,…, mirip kantung Doraemon yang tak pernah habis isinya. Dari dalam tasnya juga ada arloji, kalkulator, pernak-pernik, kalung, gelang, dan seterusnya.

“Orang-orang Nepal ini harus diawasi ketat,” dengus polisi perempuan berseragam hitam itu, “mereka suka memanfaatkan situasi.”

Barang-barang itu adalah kepunyaan pemilik toko di seberang perbatasan. Dengan memakai jasa para penduduk desa perbatasan yang bebas hilir mudik jembatan internasional ini tanpa visa, mereka bisa menekan pajak bea cukai. Barang terlarang pun bisa dibawa ke China kalau bisa menembus pos ini. Tetapi polisi yang menjaga sungguh awas. Sedikit saja gerak-gerik mencurigakan, dia pasti bisa menemukan. Hanya sepuluh menit saya di perbatasan ini, si polisi wanita sudah menangkap lebih dari tujuh pelintas batas yang merangkap menjadi penyelundup barang.

Di seberang perbatasan sana adalah Nepal yang masih berkutat dengan kemiskinan, gerakan gerilyawan, dan kemelut pemerintahan. Angka pendapatan rata-rata penduduk masih berkutat di kisaran ratusan dolar per tahun. Sedangkan raksasa China sudah bersiap-siap menyambut masa depan yang gemilang di abad milenium.

Dengan segala kenangan pahit dan manisnya petualangan di Tibet, saya melangkahkan kaki menyeberangi Jembatan Persahabatan. Tentara berpakaian hijau berdiri tegap di sisi gerbang negara. Tulisan besar “Republik Rakyat China” dalam huruf China berwarna kuning emas terpatri di atas gerbang. Bendera merah dengan lima bintang berkibar gagah. Di belakangnya bukit kecil yang terbungkus pepohonan hijau yang lebat.

Di belakangnya, tersimpan semua kenangan saya tentang lima tahun lebih hidup di negeri itu, tentang siksaan perjalanan di atas kereta api dan bus berhari-hari, tentang materialisme yang menerjang tradisi dan ritual, tentang kejujuran, cinta kasih, impian menjadi negeri adikuasa, kebanggaan akan sejarah dan masa depan, gunung-gunung salju, puncak dunia, kepasrahan, makanan lezat penuh minyak, teh yang tak pernah berhenti mengalir …. semuanya tersimpan di balik perbukitan hijau Zhangmu ini. Semua tersimpan begitu indah dalam kenangan saya. Entah kapan lagi saya bisa mengorek kembali ke negeri ini. Dan selang berapa tahun kemudian, saya tak yakin masih akan mengenali negeri yang selalu berubah setiap menit ini.

Saya melangkah ke arah Nepal, negeri mungil yang terjepit dua raksasa. Sisi jembatan itu tampak tak karuan. Orang bebas lalu lalang, membawa barang gembolan berkarung-karung di atas kepala. Saya memutar mundur arloji saya, dua jam lima belas menit ke belakang, menyesuaikan dengan zona waktu Nepal yang aneh. Tepat di tengah jembatan, saya berbalik ke arah China, memandang sekali lagi kibaran kejayaan bendera merah itu. Saya memotret.

Sial. Kamera saya rusak.

 

(Bersambung)

Serial ini pernah diterbitkan sebagai “Titik Nol” di Rubrik Petualang, Kompas.com pada tahun 2008, dan diterbitkan sebagai buku perjalanan berjudul “Titik Nol: Makna Sebuah Perjalanan” oleh Gramedia Pustaka Utama pada 2013.

Dimuat di Kompas Cyber Media pada 15 September 2008

Seragam tentara China.(AGUSTINUS WIBOWO)

Seragam tentara China.(AGUSTINUS WIBOWO)

Selamat tinggal Republik Rakyat China. (AGUSTINUS WIBOWO)

Selamat tinggal Republik Rakyat China. (AGUSTINUS WIBOWO)

Selamat datang di Kerajaan Nepal. (AGUSTINUS WIBOWO)

Selamat datang di Kerajaan Nepal. (AGUSTINUS WIBOWO)

6 Comments on Titik Nol 31: Perbatasan

  1. Salute sama nyalinnya mas 😀 btw sewaktu meninggalakan Zhangmu, diperiksa lagi gk permitnya? saya baca dari awal sampai habis, keren 😀

  2. Mirip namche bazar

  3. Keren benerrr???

  4. Feng…. cerita dengan petualangan barunya mana…. ? Sekarang lagi “blusukan” kemana ? Ditunggu cerita terbaru.

Leave a Reply to jim rock Cancel reply

Your email address will not be published.


*