Recommended

Garis Batas 13: Negeri Para Penganggur

Jalanan Vrang yang lengang, di mana mayoritas penduduknya adalah pengangguran. (Agustinus Wibowo)

Jalanan Vrang yang lengang, di mana mayoritas penduduknya adalah pengangguran. (Agustinus Wibowo)

Berjalan-jalan di Tajikistan memang tidak mudah. Angkutan umum sangkat jarang, karena harga BBM sudah tidak terjangkau lagi oleh penduduk. Di sini hukumnya, semakin tinggi tempatnya, semakin mahal harga bensinnya. Tidak ada yang tahu kapan angkutan akan lewat. Sehari penuh mungkin hanya dua saja yang melintasi desa ini. Itu pun biasanya sudah penuh sesak. Hari ini saya berencana pergi ke desa Vrang, 5 kilometer jauhnya dari Tughoz. Tetapi sudah tiga jam lebih menunggu, tidak ada juga yang lewat.

Sambil menunggu, saya mengunjungi rumah sakit di desa itu. Dokter Akhmed yang bekerja sebagai dokter kepala mempersilakan saya masuk. Bahkan desa terpencil seperti ini punya rumah sakit yang bagus. Infrastruktur di Tajikistan memang lebih bagus daripada di Indonesia. Tetapi gaji dokter Akhmed hanya 50 Somoni saja, sekitar 15 dolar, per bulan. Di Jakarta pengemis pun pendapatannya lebih besar dari ini. Dengan uang segitu di Tajikistan memang tidak akan membawanya ke mana-mana. Tetapi ia bangga dengan pekerjaannya, yang jauh lebih terhormat daripada mengemis.

Dokter Akhmed bahkan menjerang teh untuk saya, tetapi belum sempat saya minum, saya sudah harus melompat ke angkutan desa yang baru saja melintas. Vrang hanya 5 kilometer saja, tetapi saya tidak kuat berjalan sejauh itu dengan beban backpack saya, apalagi di pegunungan seperti ini. Untuk jarak tempuh segini, sopir menarik 3 Somoni, hampir 1 dolar.

Tajikistan memang miskin dan semuanya mahal. Tetapi orang-orang hidup terhormat. Seorang wanita desa yang sambil bicara sambil mengulum naswar serta-merta menawari saya tinggal di rumahnya. Katanya, suaminya adalah guru sejarah, yang tentu akan suka berdiskusi dengan saya. Seorang pria desa lain datang, dan sangat terkejut mendengar saya berasal dari Indonesia. Pria berwajah keras ini memang pengangguran, tetapi dengan dahsyat ia memamerkan kebolehannya.

“Ada empat pulau utama di Indonesia. Yava, Sumatra, Kalimantan, dan satu lagi, hmm… apa ya, oh iya, Sulavesi!”

Walaupun dia sama sekali belum pernah mendengar kalau Papua masuk wilayah Indonesia, tetapi pengetahuannya untuk ukuran pengangguran di desa terpencil seperti ini memang luar biasa. Coba tanyakan pada supir taksi di Jakarta untuk menyebut nama tiga propinsi Tajikistan. Paling-paling jawabannya, “Tajikistan? Apa itu?”

Saya datang ke Vrang memang tanpa tujuan. Saya tak tahu hendak ke mana, menginap di mana. Wanita yang mengulum naswar tadi langsung menggeret saya ke seorang laki-laki yang sibuk mengecat kios. “Kamu menginap di rumah dia saja,” kata si wanita. Laki-laki itu pun tidak keberatan.

Saya jadi menginap di rumah Khursid, laki-laki berumur 33 tahun, yang begitu saja saya temui di pinggir jalan. Keramahan orang Lembah Wakhan terhadap musafir memang tidak diragukan lagi. Khursid, seperti yang lainnya, juga pengangguran. Dia berpendidikan tinggi, dulu belajar geologi. Tetapi apa daya, negara miskin Tajikistan tidak membutuhkan geologis dari desa terpencil seperti ini. Hidup tanpa pekerjaan, Khursid menggantungkan nasib keluarganya pada adiknya yang sekarang bekerja di London.

Rumah Khursed memang besar. Ada beberapa bangunan, dan satu bangunan khusus untuk tamu. Untuk ukuran pengangguran, memang ini bukan pengangguran sembarangan. Anak Khursed, Omed, masih kecil. Umurnya hanya satu tahun lebih sedikit, lucu dan tidak rewel. Khursed sudah punya bayi lagi, yang umurnya baru dua minggu. Anak-anak kecil ini memang membawa keceriaan di keluarga itu. Waktu makan malam, saya makan bersama Khursed dan ayahnya yang sudah tua. Sedangkan ibu, istri, adik ipar, dan perempuan lainnya makan di panggung agak ke belakang. Apakah ini ajaran Ismaili yang memisahkan laki-laki dari perempuan?

“Oh bukan begitu,” kata Khursid, “ini memang tradisi kami kalau ada tamu.”

Keluarga Khursid (Agustinus Wibowo)

Keluarga Khursid (Agustinus Wibowo)

Sekte Ismaili terkenal sangat moderat. Perempuan Ismaili di Afghanistan sana tidak membungkus wajahnya dengan burqa dan bebas keluar rumah, karena mereka percaya perempuan sama kedudukannya dengan laki-laki. Ajaran Ismaili juga tidak terlalu menekankan pada ritual keagamaan seperti puasa Ramadan dan naik haji.

“Saya memang tidak puasa, tetapi saya tetap sembahyang,” kata Khursed. Bahkan orang yang rajin sembahyang pun terbilang langka di sini. Shalat sekte Ismaili sangat berbeda dengan shalat Muslim Sunni dan Syiah. Posisinya hanya duduk saja, tidak perlu berdiri. Tangannya dikatupkan seperti orang bersembah. Sembah ke kanan. Sembah ke kiri. Arti dari gerakan ini adalah imam didar, menghormati para Imam.

Sekte Ismaili adalah pecahan dari Islam Syiah. Orang Syiah menjunjung tinggi garis Imamat, garis keturunan Nabi yang laki-laki. Setelah Imam yang keenam yang punya dua putra, orang Ismaili mengikuti Ismail sedangkan orang Syiah mengikuti putra yang satunya. Garis Imamat orang Syiah terhenti sampai kepada Imam kesebelas, dan kini mereka sedang menantikan kedatangan Imam kedua belas, Sang Imam Mahdi. Sedangkan garis Imamat umat Ismaili masih berjalan terus, hingga sekarang Imam ke-49, Yang Mulia Aga Khan, yang kini sudah menjadi warga negara Eropa. Umat Muslim mayoritas di Pakistan, Afghanistan, dan Iran sering menganggap rendah orang Ismaili, bahkan ada yang melabeli sebagai non-Muslim.

Orang Ismaili tidak sembahyang di masjid. Tempat ibadah mereka namanya jemaat khana, rumah para jemaat. Di Tajikistan sama sekali tak ada jemaatkhana, karena ketika rumah ibadah ini diperkenalkan oleh Aga Khan, Tajikistan sudah berada di bawah pemerintah komunis Uni Soviet yang sangat tidak menganjurkan kegiatan keagamaan. Ibadah hari Jumat biasanya hanya dilakukan secara berjamaah di rumah umat.

Umat Ismaili di Tajikistan sangat menderita setelah perang saudara meletus di negeri mungil ini. Walaupun penduduk mayoritas provinsi GBAO, orang-orang Tajik pegunungan penganut Ismaili ini adalah minoritas di Tajikistan. Provinsi ini diboikot pemerintah Dushanbe dan orang-orang kehilangan pekerjaan. Yang berpendidikan tinggi seperti Khursed pun harus menjadi pengangguran. Di Vrang angka pengangguran bahkan pernah mencapai 95 persen dari seluruh jumlah penduduk. Tetapi tergantung juga bagaimana kita mendefinisikan pengangguran. Kalau orang yang tidak punya pekerjaan resmi, tetapi masih punya kebun dan bercocok tanam, atau pemilik mobil yang menghabiskan sepanjang hari menunggu penumpang di jalan dihitung sebagai pengangguran, maka sampai sekarang pun hampir semua penduduk Vrang adalah pengangguran. Orang memang menganggur. Kegiatan ekonomi hampir sama sekali tidak ada. Yang disebut toko hanya orang yang menggelar sekresek barang di atas tikar di tepi jalan. Tetapi tidak ada kelaparan. Tidak ada pengemis dan gelandangan. Tidak ada yang lebih hina bagi orang-orang ini selain meminta belas kasihan.

Vrang sebenarnya mempunyai masa lalu yang gemilang. Di atas sebuah bukit yang sukar sekali didaki, tersisa reruntuhan tempat pemujaan Dewa Api yang sudah ada di sana sebelum Islam datang. Tempat ini disebut Kafir Qala atau Benteng Kafir, peninggalan dari agama kuno Zoroaster yang sempat menjadi agama besar bangsa Persia. Ada juga gua-gua Buddha yang jadi lubang-lubang hitam sepanjang wajah tebing. Kini, penduduk lembah ini, sudah menjadi penganut setia sekte Ismaili.

Saya tinggal di rumah Khursed hanya semalam, tetapi saya merasa sudah menjadi bagian dari keluarga itu. Ketika saya berjalan-jalan di desa, ibu Khursed bahkan memanggil saya pulang untuk makan siang. Ketika saya meninggalkan rumah Khursed untuk melanjutkan perjalanan, ibu Khursed memaksa saya untuk membawa roti bikinan tangannya. Roti bagi orang Tajik bukan sekedar makanan tetapi juga barang suci yang harus dihormati. Roti tidak boleh ditaruh di atas tanah atau ditengkurapkan. Dengan penuh rasa terima kasih, saya membungkus roti itu dan menyimpan dalam tas punggung saya.

Terlepas dari kemiskinan dan hidup tanpa uang, orang-orang Wakhan tidak luntur kemurahan hatinya. Dan mereka membuat saya benar-benar malu akan diri saya sendiri.

(Bersambung)

 

Serial ini pernah diterbitkan sebagai “Berkelana ke Negeri-Negeri Stan” di Rubrik Petualang, Kompas.com pada tahun 2008, dan diterbitkan ulang sebagai buku perjalanan berjudul “Garis Batas: Perjalanan di Negeri-Negeri Asia Tengah” oleh Gramedia Pustaka Utama pada 2011.

Dimuat di Kompas Cyber Media pada 24 Maret 2008

1 Comment on Garis Batas 13: Negeri Para Penganggur

  1. Keinginannya bersedekah melebihi kemampuan nya. Luar biasa

Leave a comment

Your email address will not be published.


*