Recommended

Titik Nol 34: Tashi Delek

Komunitas pengungsi Tibet di Nepal cukup besar jumlahnya. (AGUSTINUS WIBOWO)

Komunitas pengungsi Tibet di Nepal cukup besar jumlahnya. (AGUSTINUS WIBOWO)

Tashi Delek…!” sapa seorang pria botak.

Ia mengatupkan kedua tangan di depan dadanya, setengah membungkuk, kemudian membenturkan jidatnya dengan jidat saya, seperti cara dua orang sahabat lama dari Tibet bersalaman.

“Aduh… senang sekali aku, bisa ketemu kamu lagi sini. Budha memang baik,” pria asing itu melanjutkan.

Matanya yang sipit menjadi segaris saja, tenggelam dalam senyumannya. Giginya kuning, tak terawat. Saya sungguh tak ingat pernah berkenalan dengan orang ini sebelumnya. Sebagai seorang backpacker yang hanya sekadar lewat di Tibet, tak mungkin saya ingat wajah setiap orang dari ratusan peziarah yang saya lihat atau barisan biksu berbaju merah. Tetapi pria berusia empat puluh tahunan ini bersikukuh pada ingatannya.

“Iya… betul! Kita pernah ketemu!” katanya meyakinkan.

Saya hanya tersenyum. Mau bilang tak ingat, malu. Mau bilang ingat, sungguh benar saya tak tahu siapa dia.

“Kamu sekitar seminggu kemarin di Lhasa, kan? Di kuil Jokhang kan? Bawa kamera kan?” lanjut pria itu penuh semangat.

Apakah orang ini bisa meramal? Tetapi memang benar saya sedang berkalung kamera (walaupun sudah rusak). Ditambah lagi dengan teori probabilitas, 80 persen turis di Nepal yang tahu artinya Tashi Delek baru datang dari Tibet, dari jumlah itu sebagian besar hanya melakukan perlintasan Lhasa – Zhangmu. Tapi satu hal yang saya ingat, saya tak pernah masuk ke Kuil Jokhang karena karcisnya terlalu mahal.

“Kamu tahu nama saya?”

Saya menggeleng, minta maaf kalau ingatan saya benar-benar parah buruknya.

“Aku adalah Guru Agung Rinpoche. Masa kamu lupa?” Yang saya ingat, Rinpoche adalah nama lain Gunung Kailash.

Selanjutnya, bak orang yang begitu gembira berjumpa kembali dengan seorang sahabat yang hilang, ia terus menumpahkan seluruh isi hatinya. Katanya ia sedang dalam perjalanan menuju Dharamsala. Di sana ia adalah guru besar, tinggal di kuil terkenal. Di sana pulalah Sang Dalai Lama akan memberikan bantuan ke atasnya.

Antara percaya dan tidak, saya menawarinya untuk sekadar minum teh. Siapa tahu memang ia seorang kawan lama yang terlupakan. Pria ini langsung menggiring saya ke sebuah restoran. Tak salah pilih, restoran paling mewah di jalan raya New Road.

Sementara menunggu datangnya teh, si bapak botak terus bicara tanpa henti tentang masa lalunya. Tentang welas asih Dalai Lama, tentang kisah perjalanannya untuk berjumpa sang pemimpin jiwa, dan tentang perjuangan bangsa Tibet. Ia kemudian mengeluarkan seuntai kalung dari balik kemejanya.

“Ini, ambillah ini,” katanya sambil memaksa menggenggam untaian kalung manik-manik putih itu. Sepertinya kalung biasa, tetapi baginya ini adalah jimat pusaka.

“Kalung ini menemani hidupku. Dua puluh tahun aku tak pernah lepas darinya. Kalung ini adalah pemberian Dalai Lama. Ketika bersamanya aku merasakan kedamaian tak terkira. Aku merasa Yang Mulia Dalai Lama ada di sisiku, setiap saat.”

Tidak, barang ini terlalu berharga buat saya. Saya tak bisa menerimanya.

Bekas-bekas luka yang konon akibat siksaan tentara China. (AGUSTINUS WIBOWO)

Bekas-bekas luka yang konon akibat siksaan tentara China. (AGUSTINUS WIBOWO)

“Aku memberikan untukmu. Aku tahu Budha telah mengatur jalan perjodohan kita. Benar-benar aku tak menyangka bisa bertemu kamu di sini, di tengah keramaian kota Kathmandu. Bayangkan. Bukankah ini arti perjodohan yang sebenarnya?”

Tergerak oleh ketulusan hatinya, saya mengantungi kalung pemberiannya. Bapak ini terus bercerita tentang derita hidup di dataran China, tentang pelariannya sampai ke Dharamsala, dan welas asih Budha.. Karena ia pernah tinggal di China, saya langsung mengajaknya bercakap-cakap dalam bahasa Mandarin. Mungkin akan lebih mudah baginya untuk mengekspresikan diri dengan bahasa China daripada menggunakan bahasa Inggris yang berantakan. Tetapi ia selalu menjawab dalam bahasa Inggris.

“Tentu saja aku bisa bahasa Mandarin. Tetapi aku benci Tiongkok. Benci sekali. Tak sudi aku bercakap bahasa mereka. Kamu tahu, dua puluh tahun! Dua puluh tahun, aku dipenjara oleh tentara China. Aku disiksa. Keluargaku dibantai. Aku sebatang kara.”

Matanya berkaca-kaca. Ia menunjukkan bekas luka di lengan kirinya. Di mata saya seperti luka sudutan rokok, tetapi katanya itu terjangan peluru. Ia tak mengijinkan saya memotret wajahnya.

“Itu berbahaya sekali! Mata-mata China ada di mana-mana.”

Kemudian kisah-kisah sedihnya berlanjut terus, dibumbui dengan kecintaan terhadap Dalai Lama dan perjodohan Budha. Demikian diulang-ulang terus.

“Aku tahu Budha pasti akan menolongku. Aku yakin pertolongan Budha. Dan benar, Budha mempertemukanku denganmu di sini.”

‘Pertolongan’ yang ia maksud adalah sumbangan dana. Saya sudah merasakan gelagatnya. Dalam keadaan seperti ini, saya balik bercerita tentang kemalangan saya yang mungkin bahkan lebih malang daripada perjalanan hidupnya. Saya bercerita kalau harga visa India dinaikkan, mahal sekali. Kemudian tentang dua kamera saya yang rusak. Kalau ia berkaca-kaca waktu bercerita tentang tentara China yang menyiksanya, saya hampir menangis menceritakan kisah sedih saya yang juga setumpuk banyaknya. Ia hanya menggeleng-geleng, seperti orang mendengar dengan seksama. Tetapi saya tahu, cerita saya bukan jawaban yang ingin didengarnya. Saya mengembalikan kalungnya, yang langsung disimpannya cepat-cepat ke balik kemejanya.

Begitu melangkah keluar dari restoran ini, saya melangkah ke kanan. Si bapak melangkah ke kiri. Ia langsung lenyap begitu saja. Pertemuan kami, yang tak lebih dari tiga puluh menit, langsung menguap dalam keramaian jalanan Kathmandu. Tak ada salam perpisahan yang mengakhiri perjumpaan tak terduga ini. Mungkin sang bapak tergesa-gesa mencari-cari perjodohan lain. Mungkin sebentar lagi ada orang asing lain yang lebih beruntung, dituntun langkah takdirnya untuk berjumpa dengan Sang Guru Agung, mendapat jimat sakti peninggalan Dalai Lama, dan berbahagia telah mengabdikan darma.

 

(Bersambung)

Serial ini pernah diterbitkan sebagai “Titik Nol” di Rubrik Petualang, Kompas.com pada tahun 2008, dan diterbitkan sebagai buku perjalanan berjudul “Titik Nol: Makna Sebuah Perjalanan” oleh Gramedia Pustaka Utama pada 2013.

Dimuat di Kompas Cyber Media pada 18 September 2008

2 Comments on Titik Nol 34: Tashi Delek

  1. ketika sy membaca bagian di puncah everest/tibet, bbrp waktu yg lalu, di mlm hari nya sy mimpi bang…. berada di tempat yg sama, hutan serta perbukitan yg sangat hijau dan gunung2 yg sangat kokoh diselimuti salju abadi… dg suhu mendekati 0 derajat … hehe

  2. habha aha ha ha aha

Leave a Reply to Muhammad Nur Ahmad Cancel reply

Your email address will not be published.


*