Recommended

Ber 25 Agustus 2014: Rindu Terpisah Garis Batas

Australia, dengan rumah-rumahnya yang berkilau, terlihat di seberang sana (AGUSTINUS WIBOWO)

Australia, dengan rumah-rumahnya yang berkilau, terlihat di seberang sana (AGUSTINUS WIBOWO)

Jarak sebuah takdir bisa jadi hanya delapan kilometer. Itu jarak yang memisahkan Ber dari Boigu, memisahkan Papua Nugini dari Australia, memisahkan salah satu negeri termiskin di dunia dari salah satu negeri terkaya di dunia.

Boigu adalah daerah yang sama sekali tak tersentuh bagi saya. Hanya penduduk dari desa-desa pesisir Papua Nugini ini yang berhak menyeberang ke sana, dengan surat izin khusus dari kepala desa. Mengenai Boigu, saya cuma bisa menyusun mozaik imajinasi dari serpihan deskripsi warga Ber.

Boigu adalah sebuah desa modern, ada toko dan bandara. Rumah-rumah di sana juga sama seperti di sini, rumah panggung, tetapi dari bahan permanen dan lebih mengkilap. Di Boigu, orang asli yang hitam bercampur dengan pendatang yang putih. Dulu orang asli Boigu sama juga dengan orang Papua Nugini, sama hitam sama keriting, dan masih berkerabat dengan orang-orang di sini. Tetapi sudah berpuluh-puluh tahun di bawah Australia, penampilan mereka sekarang sangat berbeda. Mereka memakai baju panjang kombor gaya pantai, kaos berwarna cerah mencolok. Mereka terlihat gembira, tetapi mereka juga mudah terlihat marah dan garang. Itu karena ukuran badan mereka terlalu besar. Ya, makanan mereka terlalu baik dan terlalu melimpah. Mereka tidak bekerja, mereka dapat uang gratis makan gratis. Mereka—orang-orang pribumi yang termasuk kelas bawah di Australia—di mata orang-orang Ber tergambar bagai kaum majikan kaya raya. Mereka punya truk, punya sepeda, dan suka berkelahi kalau sudah mabuk. Orang Ber, selain menjual hasil laut dan belanja ke sana, juga menjadi pekerja bagi warga asli.

“Orang-orang hitam di sana itu terlalu malas,” kata Marcella, yang warga asli Buzi desa tetangga Ber, “Mereka bahkan tidak membersihkan rumah mereka sendiri. Orang Papua Nuginilah yang membersihkan rumah mereka.”

“Dan mereka besar, besar sekali,” tambah Sisi, yang berasal dari Tais, desa pesisir 30 kilometer di barat Ber, “Kamu kalau berpacaran dengan perempuan Boigu, pasti akan rata kamu ditindihnya.”

“Mereka sangat menyeramkan kalau sudah marah. Kami kadang takut mereka,” sambung Marcella.

Tapi hidup di sana, harus diakui, memang baik. Marcella punya kawan dekat di sana, seorang perempuan sebaya yang belum menikah dan berukuran besar, yang pernah datang ke Ber dan menghadiahi mereka satu anjing Boigu bermoncong seperti babi yang kini merana sebagai satu-satunya anjing di Ber. Di Boigu, semua layanan tersedia, uang pun datang dari pemerintah secara cuma-cuma walaupun warga asli itu tidak punya pekerjaan. Tidakkah Marcella pernah bermimpi, seandainya takdir membuatnya terlahir hanya delapan kilometer ke selatan, di Boigu sana? Tentu dia sudah menjadi orang Australia yang tidak perlu mengkhawatirkan apakah besok kita akan makan ketela rambat rebus ataukah ubi rebus.

“Tidak, aku tidak mau jadi orang Australia,” kata Marcella, “Aku cuma mau jadi orang Papua Nugini. Hidup di sini sangat bebas. Kamu bebas melakukan apa pun yang kamu mau di negeri ini. Sedangkan di Australia sana, terlalu banyak aturan.”

Tangki penadah hujan ini adalah sumbangan dari Australia, menjadi sumber air minum penduduk Ber (AGUSTINUS WIBOWO)

Tangki penadah hujan ini adalah sumbangan dari Australia, menjadi sumber air minum penduduk Ber (AGUSTINUS WIBOWO)

Australia hanya di seberang sana (AGUSTINUS WIBOWO)

Australia hanya di seberang sana (AGUSTINUS WIBOWO)

Salah satu sebab Papua Nugini begitu bebas adalah karena di sini tidak ada aparat sama sekali. Sedangkan Boigu, sebuah pulau yang panjangnya hanya 20 kilometer dan lebarnya 6 kilometer itu dijaga oleh sepeleton polisi dan tentara. Ber menghasilkan pisang, mangga, kelapa, sirsak; tetapi barang-barang ini tidak boleh dijual ke Boigu karena ketatnya aturan karantina nasional Australia—dilarang membawa buah dan produk tanaman apa pun. Mereka cuma boleh menjual barang kerajinan, kepiting, kerang, dan ikan kakap. Petugas Australia akan naik ke kapal dan menggeledah semua barang dengan teliti. Terkadang petugas sedang makan siang atau sibuk menggeledah terlalu teliti, warga Papua Nugini harus menunggu di kapal berjam-jam hingga kepanasan tersengat matahari baru boleh diizinkan naik ke daratan.

Warga desa-desa pesisir ini diizinkan pergi ke pulau-pulau perbatasan Australia berdasar perjanjian perbatasan (Border Treaty). Itu sebabnya, desa-desa ini disebut sebagai Treaty Villages. Jika warga Treaty Village membawa orang yang non-Treaty Village, maka satu perahu itu akan dipulangkan semua, dan apabila perbuatan itu diulangi mereka akan dimasukkan daftar hitam. Seorang istri non-Treaty dari suami Treaty Village otomatis menjadi Treaty, tetapi seorang istri yang dari Treaty Villages dilarang membawa suami yang non-Treaty ke Australia.

Bagi Marcella, yang terbiasa hidup di Papua Nugini yang nyaris tanpa aturan, kerumitan aturan Australia ini tak masuk di akal. Tapi dia tetap pergi ke Australia, karena di sanalah letak toko terdekat. Sementara di negeri kita, pergi belanja ke negara tetangga Singapura pada akhir pekan masih merupakan hal yang keren di kalangan kelas berduit, di sini warga desa bisa setiap hari belanja pergi pulang ke Australia—dan itu biasa saja.

Saya menitipkan sedikit uang pada Sisi dan Marcella supaya mereka membelikan gula dan beberapa bungkus Indomie—setelah saya menyadari ternyata perut Indonesia masih membutuhkan makanan kampung halaman di pelosok negeri yang makanan utamanya ketela dan ubi ini. Indomie tersedia seharga A$1.50 per bungkus di toko milik orang Timor Leste di Boigu sana. Mereka di Boigu mau menerima uang kina, yang kursnya dihargai A$1 = K2.00, walaupun harga normal di pasar gelap Port Moresby adalah sebesar A$1 = K2.70. Saya juga hendak membeli sandal jepit baru, karena sandal saya ditelan ombak saat berperahu dari Daru ke Ber dua hari lalu. Tetapi, Sisi bilang, harga sandal di Australia terlalu mahal, sebaiknya saya menahan diri dengan bertelanjang kaki seperti warga sini.

Berangkat menuju Australia (AGUSTINUS WIBOWO)

Berangkat menuju Australia (AGUSTINUS WIBOWO)

Berburu melintasi rawa berlumpur di hutan (AGUSTINUS WIBOWO)

Berburu melintasi rawa berlumpur di hutan (AGUSTINUS WIBOWO)

Mereka berangkat ke Australia seperti orang ke sawah: kaki mereka dipenuhi lumpur yang menjadi material pantai Ber. Ketika perahu yang mereka tumpangi telah mengecil menjadi noktah di tengah lautan, saya berbalik mengikuti para lelaki desa pergi ke hutan di utara untuk berburu. Mereka masih berburu dengan busur dan anak panah. Kaki telanjang saya belum terbiasa menginjak bebatuan dan kerikil, membuat saya meringis hampir setiap langkah. Kembali “menginjak bumi”, bagi orang yang sudah tak terbiasa lagi, adalah proses yang sangat menyakitkan. Para bocah juga menuntun saya melintasi rawa-rawa luas namun dangkal yang menggenangi jalan hutan, sementara lusinan nyamuk dan beberapa ekor lintah sangat menikmati darah saya.

“Tidak ada ular di sini?” saya bertanya.

“Kadang-kadang,” kata putra Mama Sandy yang berusia dua belas tahun. “Kalau kamu ketemu ular hitam Papua, maka habislah. No mercy. Beberapa detik saja kamu mati. Tapi kalau gigitan ular kecil, tinggal menyeberang ke Boigu untuk diobati. Australia negara baik, semua pengobatan gratis. Begitu sampai di rumah sakit di Boigu, kamu akan diterbangkan ke Thursday Island atau kota Cairns, semua biaya mereka yang tanggung.”

Begitu luar biasanya Australia yang sampai memberi pelayanan kelas satu seperti itu bagi warga negara tetangganya. Border Treaty mungkin satu-satunya keluarbiasaan yang dinikmati penduduk desa-desa ini, yang lebih merasakan kasih sayang Australia daripada kehadiran Port Moresby.

Saya menyesal tidak mengetahui tentang Boigu saat saya masih di Australia dulu; kalau tidak tentu saya pergi melihat Boigu terlebih dahulu sebelum datang ke Papua Nugini. Sekarang, Boigu telah menjadi tempat yang sama sekali tak tergapai. Demikianlah batas memisahkan kita umat manusia. Batas yang sering kali tidak terlihat di dunia nyata, ternyata menentukan di mana kita harus hidup, bagaimana kita harus hidup. Berada di tepi garis batas ini, orang akan sering bertanya: Mengapa harus ada batas?

Hasil tangkapan: seekor wallaby (AGUSTINUS WIBOWO)

Hasil tangkapan: seekor wallaby (AGUSTINUS WIBOWO)

Anjing dari Boigu yang merana di Ber (AGUSTINUS WIBOWO)

Anjing dari Boigu yang merana di Ber (AGUSTINUS WIBOWO)

Kembali ke desa, saya berjumpa dengan Mama Pine, seorang ibu yang menderita oleh garis batas. Dia perempuan paruh baya yang senyumnya hanya berupa sekilas sunggingan dan matanya selalu menatap ke tanah saat bercerita tentang anaknya, yang sudah sepuluh tahun tak pulang.

Tanggal itu takkan pernah dia lupakan. 6 Maret 2004. Sang anak pergi meninggalkan desa. “Aku pergi, Papa, Mama,” kata anak itu di hari itu, “Aku pasti kembali.” Tapi Mama Pine tahu betul, ini perpisahan yang tidak sebentar. Sejak tanggal itu, tiap malam dia berpikir tentang dia, bermimpi tentang dia. Dan hingga hari ini, Moris Jaea tak pernah lagi kembali.

Sepertinya kepahitan itu membuat memori Mama Pine tinggal sepotong-sepotong, emosi yang terlalu kuat membuat saya kesulitan mencari kronologi kejadian itu dari kisahnya. Suaminya, Saba Jaea, seorang lelaki tua kekar dengan rambut memutih dan gigi memerah, dengan topi dan baju yang berlubang-lubang, lebih jelas dan tenang memandang memori tentang anaknya.

Moris, anaknya, hitam dan tinggi seperti Papa. Moris gemuk, ada tanda di atas mata kirinya. Sifat Moris yang utama adalah humoris, suka membantu orang. Sebelas tahun lalu, datang seorang lelaki Papua dari Merauke bernama Geri, yang umurnya empat puluhan tahun. Moris sering membantu Geri untuk menebar jala di laut, juga membangun rumah panggung—yang sekarang sudah hampir bobrok dan menjadi tempat menginap saya di desa ini. Geri menyayangi Moris, mengajaknya ikut ke Merauke untuk membantu bisnisnya. Moris setuju. Keluarga pun memandang Geri sebagai seorang wantok sesama Melanesia walaupun berbeda negara, sehingga merelakan anak mereka berangkat bersamanya.

Pada awalnya, Moris masih mengirim beras dan singkong dari Indonesia ke Ber. Tetapi setelah tiga tahun, kiriman itu semakin jarang. Sekarang, sama sekali tidak ada kiriman apa-apa.

Papa dan Mama tidak tahu bagaimana hubungan Moris dengan Geri sekarang. Mereka hanya dengar, Moris sudah menikah, bekerja sebagai pegawai imigrasi di Kondo, titik terakhir perbatasan Indonesia 100 kilometer di tenggara kota Merauke. Mereka yakin, Moris sekarang sudah menjadi orang Indonesia, sudah berbeda dengan para keluarga yang tinggal di sini, sudah merasa terlalu tinggi untuk pulang ke kampung halaman, bahkan untuk sekadar mengirim kabar.

Mama Pine dan Papa Jaea mencari anak sampai ke Merauke (AGUSTINUS WIBOWO)

Mama Pine dan Papa Jaea mencari anak sampai ke Merauke (AGUSTINUS WIBOWO)

Sulit membayangkan Moris mau kembali ke kehidupan seperti ini lagi (AGUSTINUS WIBOWO)

Mereka sulit membayangkan Moris mau kembali ke kehidupan seperti ini lagi (AGUSTINUS WIBOWO)

Januari tahun ini, Mama Pine dan Papa Saba sama-sama pergi ke Indonesia untuk mencari Moris. Mereka menumpang perahu untuk mencari kenalan. Mereka sebenarnya tidak boleh pergi ke Indonesia, karena Ber kampung mereka bukan kawasan yang ada dalam Perjanjian Lintas Batas Tradisional RI-PNG. Tapi mereka punya kenalan di Bula, desa perbatasan PNG, sehingga dengan mudah bisa mendapat selembar surat pas tanpa biaya.

Perahu mereka terus melaju sampai ke Merauke. Besarnya kota itu menakutkan mereka. Mobil di mana-mana, sepeda motor, bising. Dunia yang sama sekali berbeda, orang-orang kulit putih dan kulit hitam bicara bahasa yang tidak mereka mengerti. Tanpa uang, mereka hanya terkurung di rumah seorang kerabat (wantok) sesama orang Papua Nugini di pinggiran kota Merauke. Berhari-hari mereka berusaha, akhirnya berhasil mengontak mertua Moris, yang berjanji akan membujuk anak itu untuk mau menemui orangtuanya.

Tapi terlambat. Seminggu sudah mereka tinggal di Merauke, tak ada kabar pula. Pemilik perahu yang mereka tumpangi sudah bergegas pulang ke Papua Nugini. Mama memohon Papa agar tinggal lebih lama, menunggu kabar dari Moris. Papa menolak, bilang bahwa kita orang miskin yang tak punya uang, hanya menumpang tanpa biaya. Mereka berkemas. Mama terus menangis saat mereka berangkat menuju perahu.

Di saat itulah, mertua Moris berlari tergopoh-gopoh, berseru: Jangan pergi dulu, Moris sudah naik bus dan akan datang dari Kondo! Tapi terlambat. Mesin perahu sudah menyala, operator sudah menunggu dan memanggil mereka untuk bergegas; mereka hanya bisa berangkat. Sejak tiba di Merauke, Mama menangis. Hari-hari di Merauke, Mama selalu menangis. Dan sekarang waktu pulang pun, Mama menangis. Perahu melintasi Kondo. Melihat pohon-pohon kelapa berjajar di pantai, Mama menangis. Demikianlah mereka kembali di Papua Nugini.

Untuk biaya perjalanan ke Merauke, mereka membutuhkan 500 kina (Rp 2,5 juta) hanya untuk bahan bakar. Papa cuma bisa berdagang kepiting, yang dijual A$5 seekor di Boigu. Mereka perlu menangkap sekitar 200 kepiting untuk menutup biaya perjalanan ini. Uang simpanan mereka masih terlalu jauh.

“Saya tidak yakin Moris akan pulang. Hidup di negaramu itu sangat berbeda, jauh lebih baik, dia pasti betah di sana,” kata Papa tanpa semangat. Papa menilai pulangnya Moris melepaskan kenyamanan Indonesia kembali ke kemiskinan Ber adalah hal yang mustahil. Itu bagai orang yang sudah terbiasa dengan kenyamanan sepatu di kota modern, dipaksa kembali berjalan lagi dengan kaki telanjang di atas pasir panas dan batu lancip di desa terbelakang. “Tapi kami hanya berharap, dia mau pulang, karena di sinilah tempat asalnya.”

Saya berasal dari sisi perbatasan sana. Saya menawarkan bantuan sebagai penyampai pesan jika mereka menginginkan. Saya akan berusaha ke Kondo untuk mencari Moris, siapa tahu Moris tergerak untuk pulang. Saya merekam mereka dengan kamera video. Mereka bicara bergantian dalam bahasa daerah yang saya tak mengerti artinya. Tetapi dari ekspresi dan kata-kata Mama, saya bisa mengerti, Mama terus meminta maaf karena keterbatasan mereka yang tak sanggup membeli minyak, sehingga tak berdaya menengok anaknya di seberang negeri sana. Sedangkan dalam surat berupa coret-coretan di lembar buku catatanku, mereka menulis: “Moris, we miss you.

Seorang ibu akan selalu merindu (AGUSTINUS WIBOWO)

Seorang ibu akan selalu merindu (AGUSTINUS WIBOWO)

About Agustinus Wibowo

Agustinus is an Indonesian travel writer and travel photographer. Agustinus started a “Grand Overland Journey” in 2005 from Beijing and dreamed to reach South Africa totally by land with an optimistic budget of US$2000. His journey has taken him across Himalaya, South Asia, Afghanistan, Iran, and ex-Soviet Central Asian republics. He was stranded and stayed three years in Afghanistan until 2009. He is now a full-time writer and based in Jakarta, Indonesia. agustinus@agustinuswibowo.com Contact: Website | More Posts

19 Comments on Ber 25 Agustus 2014: Rindu Terpisah Garis Batas

  1. semoga ada kelanjutan cerita “moris” di perjalanan jenengan berikutnya mas agus..it will be a great story

  2. Jadi nangis bacanya, Mas. Ah semoga Moris bukan Malin Kundang. Minimal dia menengok orang tua yg sangat merindukannya

  3. Sangat menyentuh, garis tak terlihat itu ternyata begitu kuat pengaruhnya.

  4. kasih ibu sepanjang jalan kasih anak sepanjang galah.
    Kasih Ibu kepada Beta Tak terhingga Sepanjang Masa
    Hanya Memberi Tak Harap Kembali
    Bagai Sang Surya Menyinari Dunia
    #NyekerMlakuNangLumpur

  5. Saya nangis saat baca ini. Benar, Mas, mengapa harus ada garis batas? Pertanyaan yang retoris, bukan? Saya kagum Mas Agustinus selalu bisa menghadirkan cerita-cerita yang menghangatkan hati. Saya harap Moris akan kembali.

  6. Lanjutin kisah Morrisnya dong gus. Ketemu tidak sama dia di Merauke?

  7. seperti biasa, tulisan yang bagus sekali Mas Agus, thank you for sharing

  8. Selalu ada haru, menyentuh sisi-sisi humanis kita. Kisah yang membuat para ibu ingin terus mendekap anaknya. Dan saya justru berfikir tak kan kuasa menahan rindu pada anak seperti Mama Pine hingga 10 tahun lebih.

  9. Bro.. Lanjutannya dong…

  10. bro..Perjalananmu dr agustus 2014 s/d januari 2015.. Semuanya pokokx di buat tulisan uda bny penggemarmu… kalo keliling Indo ada baikx krj sama kompas TV ama ‘Raymon tungka’ team… salut… Kisah cinta anda juga di sentil dikit,hehe… Perkaya warna aja…

  11. Menunggu terbitnya buku perjalanan (petualangan) di Papua Nugini.

  12. semoga moris ketemu, kasian mama…

  13. loved your story as always, serasa jadi petualang beneran, saat menceritakan ulang yang ku dapat di web mu. Thanks for your share, and keep share…

  14. Diah Setiani // February 8, 2015 at 9:07 am // Reply

    sunnguh luar biasa cerita tentang papua…. jadi pingin segera menapakkan kaki disana hehe

  15. Terharu sama kel mama pine/papa jaea 🙁
    Ibu tetaplah ibu yg menganggap semua anaknya adalah si kecil miliknya meakipun mrk semua sdh berangkat dewasa. Sedih euy… 🙁
    Mgkn si moris jg mengalami kesulitan ekonomi dmn biaya utk menuju Ber jg pasti mahal dlm nilai rupiah. Semoga mrk bs dipersatukan kembali 🙁

  16. Ditunggu bukunya kisah perjalanan ke PNG

  17. Ah… tertegun, terdiam, terharu, sedih waktu baca tentang Mama Pine. semoga kamu bisa ketemu Moris untuk menyampaikan pesan mereka..

  18. dosa apa bagi seorang ibu, sehingga selalu merindu ….

  19. Terenyuh, sedih, haru, semoga ada kelanjutan cerita Moris ya Ms Agus… Salut sama kisah2 mu Ms.. Yakin deh kalo suatu saat bisa dibikin filmnya, bakal setara sama kesuksesan laskar pelangi

Leave a comment

Your email address will not be published.


*