Recommended

Blog

Dome 8 Oktober 2014: OPM Juga Manusia (1)

Sekilas, Dome tidak tampak berbeda dengan kebanyakan desa di Western Province, Papua Nugini: terbelakang, nyaris tanpa sentuhan pembangunan apa pun. Tetapi di sini para pengungsi separatis Organisasi Papua Merdeka (OPM) dari Papua Indonesia hidup berdampingan dengan penduduk lokal Papua Nugini. Dan mereka sama sekali tidak bisa dikatakan akur. Dome tidak terlalu terpencil. Untuk mencapai Dome, orang bisa menumpang minibus yang melintasi jalan utama yang menghubungkan kota besar Kiunga dengan Tabubil, kota pertambangan nan makmur di pegunungan utara. Ini sebuah jalan berdebu bergerunjal dan memualkan, yang di negeri ini sudah disebut sebagai highway. Dua jam perjalanan kemudian, kita mesti meninggalkan jalan utama, berbelok ke barat, sampai ke tepi sungai Ok Tedi, di mana kita mesti menumpang perahu untuk menyeberangi sungai keruh dan beracun itu untuk mencapai Dome. Desa Dome terbelah dua. Desa asal, yang dijuluki sebagai Dome-1, dihuni penduduk warga Papua Nugini, terletak di tepi sungai. Sedangkan permukiman para pengungsi OPM, kini dijuluki sebagai Dome-2, terletak di belakangnya, jauh dari sungai. Garis batas pemisah keduanya adalah sebuah tanah lapang yang berfungsi sebagai pasar. Walaupun masih di desa yang sama, mayoritas berbicara bahasa Yomgom yang sama, memiliki hubungan kekerabatan dari nenek moyang yang sama, dan telah hidup berdampingan selama tiga puluh tahun, [...]

June 4, 2016 // 9 Comments

Perjalanan Kirghiz: Di Manakah Rumah?

Nama dari surga itu tersebar di seluruh Afghanistan. Kau bisa menemukannya di toko, di restoran, di supermarket, di hotel, biro tur, perusahaan, organisasi sosial, dan bahkan di pesawat terbang. Tidak berbeda dengan Shangri-La, Pamir telah menjadi sebuah mitos utopis—sebuah surga pegunungan yang dilimpahi keindahan dan kedamaian abadi, begitu jauh sampai tak seorang pun yakin tempat itu apakah benar ada. Untuk mencapai Pamir, saya pergi ke Koridor Wakhan yang sangat terpencil. Itu adalah sebuah lidah yang cukup kikuk yang seperti ditempelkan secara paksa ke ujung timur-laut Afghanistan. Daerah itu berupa segaris tanah sempit yang memanjang, hanya 11 kilometer pada sisi tersempitnya, membentang 300 kilometer, dijepit oleh Tajikistan di utara, Pakistan di selatan, dan China di timur juah. Koridor Wakhan terbentuk pada abad ke-19 sebagai zona penyangga antara India Inggris dan kekaisaran Rusia. Saya membutuhkan sepuluh hari untuk bepergian dari Kabul, dengan membonceng berbagai kendaraan hingga mencapai ujung terakhir jalan tak beraspal yang rusak parah di sepanjang aliran Amu Darya. Di sini petualangan dimulai. Saya membonceng sebuah karavan yang terdiri dari empat tentara Afghan dan seorang komandan mereka yang hendak berpatroli ke perbatasan. Mereka punya empat kuda, dan dua warga desa disuruh memandu. Jalan setapak hanya selebar 30 sentimeter, tertutup kerikil dan [...]

April 22, 2016 // 6 Comments

Kiunga 2 Oktober 2014: Membujuk Pengungsi Papua Merdeka untuk Pulang

Di wilayah Western Province, Papua Nugini, yang berbatasan dengan Indonesia, masih banyak tinggal para pengungsi dari Papua. Mayoritas dari mereka adalah pendukung gerakan Papua Merdeka. Kini Indonesia membuka pintu bagi mereka untuk pulang ke kampung halaman. Tetapi bagi mereka, ini bukan masalah semudah mengatakan ya atau tidak. Kebetulan pada saat saya berada di Kiunga, datang rombongan dari Konsulat Jenderal Indonesia di Vanimo bersama Pemerintah Provinsi Papua untuk bertatap muka dengan para pengungsi Papua yang tinggal di kota itu. Delegasi pemerintah Indonesia berupaya membujuk para pengungsi untuk pulang. Sesudah pertemuan itu, rombongan pemerintah Indonesia mendatangi ke Gereja Katolik, yang selama ini menaungi sebagian besar pengungsi dari Papua. Saya diundang seorang pastor dari Flores untuk ikut pertemuan di Gereja. Pertemuan dihadiri oleh sejumlah anggota Gereja dan warga pengungsi Papua. Kepada Uskup Gereja, Konsul Jendral Indonesia, Jahar Gultom dengan penuh semangat mengatakan bahwa pertemuan dengan para pengungsi tahun ini cukup memuaskan. “Tahun lalu poin mereka hanya satu. Hanya Merdeka,” katanya, “Tapi kemarin ada banyak warga yang bertanya tentang pemulangan. Ada pula yang berkomentar, ‘Saya tidak tahu saya ini siapa, apakah saya orang Papua Nugini atau orang Indonesia.’” Para pengungsi adalah orang tanpa identitas. Sebagian besar pengungsi bermigrasi dari Indonesia ke Papua Nugini pada [...]

April 13, 2016 // 10 Comments

Terorisme Tidak Punya Agama—Benarkah?

Awal tahun lalu Paris dikejutkan dengan penembakan keji di kantor koran satir Charlie Hebdo, yang sering menerbitkan karikatur yang mengolok-olok Islam (di samping Kristen, Yahudi, dan berbagai kelompok lain di dunia). Pada November tahun yang sama, Jumat tanggal 13, Paris kembali diguncang ledakan bom simultan dan penembakan di sejumlah kafe, restoran, sebuah teater, menewaskan setidaknya 130 orang. Pelakunya adalah para radikal Muslim yang berkaitan dengan Negara Islam Irak dan Suriah (ISIS). Kemudian giliran Belgia, minggu lalu mengalami aksi teror paling mengerikan dalam sejarahnya: dua bom meledak di bandara Brussel dan satu bom di stasiun metro, menewaskan setidaknya 38 orang. ISIS juga mengaku bertanggung jawab untuk serangan ini. Berbeda dengan masa dahulu, aksi teror tidak dilakukan oleh orang asing. Para teroris dalam serangan di Paris dan Belgia adalah warga Eropa sendiri, generasi keturunan migran Muslim yang lahir dan besar di Eropa. Itu salah kalian sendiri. Begitu komentar Donald Trump, calon presiden Amerika dari Partai Republik terhadap insiden teror di Brussel. Trump sebelumnya sempat meneriakkan ide “gila” bahwa dia akan melarang semua pengunjung Muslim dari negara-negara Muslim (termasuk Indonesia) masuk ke Amerika Serikat, demi melindungi keamanan AS dan rakyat AS. Mayoritas warga Amerika tidak setuju dengan ide Trump ini, tetapi tidak sedikit [...]

April 11, 2016 // 76 Comments

Kiunga 30 September 2014: Benderamu Menghalangi Matahariku

Sudah hampir 30 tahun John Wakum tinggal di Papua Nugini. Dia adalah salah satu orang yang paling dihormati kalangan masyarakat pengungsi Papua Barat di kota ini. Dia seorang aktivis OPM (Organisasi Papua Merdeka). Tiga puluh tahun sejak dia datang ke negeri ini, impiannya masih sama: Papua harus merdeka dari Indonesia. Lelaki 67 tahun ini kurus kering. Jenggot putih tebal menyelimuti janggutnya. Syal melingkar di lehernya. Dia terus terbatuk, mengaku sudah dua hari dia tidak bisa turun dari ranjang, dan baru hari ini dia bisa keluar menikmati matahari. Kami duduk di beranda rumahnya yang terbuat dari kayu. Di dalam rumah itu, tepat di hadapan pintu masuk, terpampang sebuah bendera besar dengan lambang bintang dan garis-garis putih biru. Itu bendera Bintang Kejora. Bendera Papua Merdeka. John Wakum berasal dari Biak, menuntut ilmu tata negara di Universitas Cendrawasih. Pendidikan tinggi yang ditempuhnya di Indonesia justru membuatnya selalu bertanya kenapa negerinya masih juga terjajah. Dia pernah menjadi kepala bagian sebuah badan pembangunan, sehingga dia bekerja ke daerah-daerah terpencil dan rawan di pedalaman Papua. Misalnya di Asiki, dia bekerja pada proyek pengasapan karet dan di Nabire untuk pembuatan sagu. Selama bekerja di pedalaman Papua, dia terus menanamkan pemahaman tentang kemerdekaan terhadap orang-orang Papua yang ditemuinya. [...]

March 16, 2016 // 26 Comments

Kiunga, 29 September 2014: Pengungsi Papua Merdeka

Dari Kuem menuju kota besar Kiunga, saya akan melintasi daerah paling aneh dari perbatasan Indonesia dan Papua Nugini: “benjolan” Sungai Fly. Saya menumpang perahu motor milik Raven, lelaki paruh baya dari Kuem yang hendak berjualan ikan mujair ke Kiunga. Kami berangkat pukul dua dini hari. Ketika matahari sudah mulai bersinar, perahu kami sudah memasuki daerah benjolan Sungai Fly yang menjadi pemisah kedua negeri. Sinar matahari kemerahan menyapu sungai yang bagaikan cermin panjang, dan menerangi pekatnya rimba di kedua sisinya. Kalau kita melihat di atas peta, perbatasan antara Indonesia dan Papua Nugini berwujud garis lurus dari utara ke selatan sepanjang garis 141 derajat Bujur Timur. Pada bagian tengah agak ke bawah, ada “benjolan” yang mengarah ke sisi Indonesia. Daerah itu adalah lekukan Sungai Fly. Karena peranannya yang teramat penting bagi kehidupan masyarakat Papua Nugini, keseluruhan Sungai Fly harus masuk wilayah mereka. Garis batas di selatan “benjolan” Sungai Fly itu sebenarnya tidak lurus dengan garis di atasnya, melainkan agak menjorok sedikit masuk ke wilayah Papua Nugini. Itu adalah kompensasi yang didapatkan Indonesia untuk luas tanah yang hilang setelah memasukkan potongan Sungai Fly ke Papua Nugini. Garis batas negeri membelah kehidupan. Di sebelah kiri sungai teorinya adalah Indonesia, dan di sebelah kanan sungai [...]

March 14, 2016 // 6 Comments

Papua Nugini (5) Ketika Era Prasejarah Bertemu Globalisasi : Sungai yang Mengering

Draft artikel menengai Papua Nugini untuk majalah Traveler 旅行家, China. “Dumori desa kami adalah surga,” kata Mama Ruth saat kami bersama menumpang kano menuju desanya di muara Sungai Fly, “Itu tempat terbaik di dunia.” Kano kayu kami terayun-ayun di laut tenang. Perlu waktu 12 jam untuk menempuh jarak 130 kilometer dari Daru ke Dumori dengan kano besar ini. Kami tiba di Dumori tengah malam, badan saya menggigil hebat. “Welcome to Paradise,” kata Mama Ruth. Senyumnya menampilkan barisan gigi putih yang seakan melayang di tengah kegelapan. Surga? Di sekeliling saya hanya tampak air, memantulkan samar sinar bulan. Rumah-rumah panggung dan pohon seperti mengambang. Dulu, Dumori terletak di tebing tinggi dan hampir tak pernah banjir. Sekarang, seminggu dalam sebulan desa ini pasti terendam air. Setelah banjir surut, seluruh desa tertutup lumpur tebal. Kerusakan alam terjadi sangat radikal di Sungai Fly gara-gara aktivitas pertambangan emas dan tembaga Ok Tedi di hulu sana. Saat baru beroperasi tiga puluh tahun lalu, pertambangan itu membuang limbah beracun ke Sungai Fly. Air sungai kini tidak bisa diminum dan penduduk terpaksa mengandalkan air hujan. Sagu makanan utama mereka diolah dengan air sungai, kini hitam dan pahit. Hampir semua orang di sini juga menderita penyakit kulit parah. Pertambangan itu [...]

February 11, 2016 // 8 Comments

Papua Nugini (4) Ketika Era Prasejarah Bertemu Globalisasi : Orang Hitam dan Orang Putih

Draft artikel menengai Papua Nugini untuk majalah Traveler 旅行家, China. Cargo cult ala Melanesia (sumber: youtube.com) Penduduk desa Tais, kampung halaman Sisi, selalu menyebut saya “orang putih”. Padahal saya orang Asia keturunan China dan warna kulit saya bukan putih. Desa ini terletak di pedalaman hutan, sehingga mereka jarang kedatangan tamu orang asing. Para orang dewasa menyambut saya dengan sukacita, namun anak-anak justru menganggap saya seseram setan. Ketika saya lewat di depan rumah, satu bayi menangis meraung-raung memanggil ibunya. Seorang bocah dua tahun ketakutan sampai berlari dan terjatuh, wajahnya menabrak tanah. Seorang bocah perempuan sampai terloncat melihat saya mendekatinya, seperti disergap binatang buas. Saya sudah membuat lusinan bocah menangis hanya dengan penampakan saya. Kenapa mereka begitu takut dengan kulit putih? Konon menurut legenda yang dipercaya di daerah ini, roh orang yang sudah mati akan terbang ke tempat terbenamnya matahari, dan tubuh orang itu akan berubah dari hitam menjadi putih. Kulit putih identik dengan kematian. Orang putih pertama kali tiba di desa ini pada saat Perang Dunia II, dan itu membuat semua penduduk, baik tua maupun muda, lari ketakutan bersembunyi ke dalam rimba. Sedangkan di abad ke-18, ketika penjelajah Eropa pertama kali datang di kepulauan Kiwai di dekat Daru, penduduk langsung berlutut [...]

February 10, 2016 // 1 Comment

Papua Nugini (3) Ketika Era Prasejarah Bertemu Globalisasi : Perbatasan Segitiga

Draft artikel menengai Papua Nugini untuk majalah Traveler 旅行家, China. Dauan, Australia (AGUSTINUS WIBOWO) Tidak banyak orang menyadari bahwa Australia terletak sangat dekat dari Papua Nugini. Saking dekatnya kita bisa lihat Australia dengan mata telanjang. Untaian pulau kecil Australia hanya empat kilometer di selatan pantai Papua Nugini. Ber adalah satu desa Papua Nugini yang berhadapan dengan pulau Boigu, Australia. Dilihat dari laut di malam hari, Boigu bagai metropolitan dengan ratusan noktah cahaya berkilauan, sedangkan Ber tampak seperti tiga cahaya lemah yang sering padam, seperti lilin diterpa angin. Sumber cahaya di Ber hanyalah api unggun. Satu-satunya cara untuk mencapai Ber, orang harus naik perahu dari Daru ke arah barat sejauh 100 kilometer melewati lautan Selat Torres yang terkenal ganas ombaknya. Perahu motor yang saya tumpangi nyaris tenggelam ditelan ombak. Ini adalah perjalanan seharian yang basah dan mematikan. Begitu terisolasinya Ber dari daerah Papua Nugini lainnya, desa dengan dua ratusan penduduk ini seperti belum tersentuh peradaban. Mereka tinggal rumah-rumah panggung yang semuanya terbuat dari gedek anyaman daun. Pantai Ber tertutup lumpur, seperti sawah padi yang baru diairi. Ber berhadapan langsung dengan laut, tetapi warga di sini justru jarang ke laut dan ikan nyaris tidak ada dalam menu mereka. Setiap hari penduduk makan [...]

February 9, 2016 // 5 Comments

Papua Nugini (2) Ketika Era Prasejarah Bertemu Globalisasi : Satu Bahasa

Draft artikel menengai Papua Nugini untuk majalah Traveler 旅行家, China. “PNG itu bukan singkatan Papua New Guinea,” seorang kawan ekspatriat memberitahu saya, “itu singkatan Promise Not Guaranteed.” Di sini, tiket pesawat bukan jaminan bisa terbang. Sudah banyak calon penumpang pesawat yang memiliki tiket, sesampainya di bandara diberitahu bahwa pesawat sudah penuh dan tidak ada tempat bagi mereka. Karena itu, kawan itu menganjurkan saya pergi seawal mungkin ke bandara. Saya bersyukur dengan anjuran itu. Bukannya terlambat, pesawat justru terbang satu jam lebih awal dari jadwal. Kata pramugari, itu karena semua dari dua puluhan penumpang sudah tiba di bandara. Sembilan puluh menit kemudian, pesawat kami mendarat di Daru, sebuah pulau noktah kecil di bagian paling selatan provinsi perbatasan Western Province. Dulu kota-pulau ini pernah menjadi pusat pemerintahan provinsi, sebelum kemudian dipindah ke Kiunga di utara sana. Bandara Daru mirip lapangan bola yang dikelilingi pagar kawat. Di balik pagar itu, orang-orang berderet menonton pesawat. Dari balik kawat pagar kawat, saya juga menonton para penumpang yang berbaris di atas tarmak menuju pesawat yang akan lepas landas kembali ke Port Moresby. Dua penumpang yang terakhir naik tiba-tiba turun lagi. Saya dengar dari petugas bandara, mereka tidak diizinkan terbang karena pesawat telah kelebihan muatan kargo. Entah [...]

February 8, 2016 // 3 Comments

Papua Nugini (1) Ketika Era Prasejarah Bertemu Globalisasi : Bahaya di Ibukota

Draft artikel menengai Papua Nugini untuk majalah Traveler 旅行家, China.   Papua Nugini sering digambarkan sebagai negeri primitif yang dihuni suku-suku terisolasi dari zaman prasejarah. Nama negeri itu senantiasa membangkitkan imajinasi tentang taman liar yang dipenuhi burung-burung surga, sebuah dunia lain yang begitu jauh dari dunia kita. Hanya beberapa puluh tahun lalu, di negeri ini memang masih banyak lelaki dengan labu penutup penis dan perempuan bertelanjang dada, atau suku-suku pemuja arwah, penyihir, bahkan pemburu kepala manusia di pedalaman hutan rimba. Kini globalisasi telah merambah, kehidupan Papua Nugini sudah se-“normal” dunia kita. Walaupun, harus diakui, belum sepenuhnya begitu. Bahaya di Ibukota Dilihat dari angkasa, Port Moresby bagai barisan perbukitan hijau bergulung-gulung di tepi laut, ditebari rumah-rumah penduduk membentuk mozaik warna-warni. Perbukitan itu berhadapan langsung dengan biru kristal Lautan Teduh yang membentang luas tak berbatas. Sulit memercayai kota secantik ini termasuk kota paling tidak layak huni di dunia. Di antara kota-kota tak layak huni lainnya, ada Lagos dengan kekacauan konfliknya, Bogota dengan mafia narkotikanya, Karachi dengan kriminalitas dan terorismenya. Tapi tidak ada kota lain di dunia yang serupa Port Moresby. Metropolitan Pasifik Selatan ini justru sekilas kelihatan ceria. Jalanannya bersih dan hijau bagai taman, dihiasi monumen merayakan burung surga dan mural warna-warni. [...]

February 5, 2016 // 6 Comments

Asiki 27 September 2014: Pasar di Garis Batas

Sebenarnya sejak Papua masih diduduki Belanda (hingga 1963) orang dari sisi Papua Nugini sudah biasa melintasi perbatasan negeri untuk menjual ikan ke daerah Asiki. Tetapi empat tahun lalu dibangun sebuah jalan tembus sampai ke tengah hutan di tepi rawa ini. Sejak itu, orang Papua Nugini bisa datang berjualan dengan perahu-perahu mereka tanpa perlu berjalan kaki jauh. Pasar ini dikenal dengan nama Bus Stop. Itu karena dari sini orang bisa menumpang angkot sampai ke kota kecamatan Asiki (sekitar 30 kilometer, 100 ribu rupiah per orang). Pasar ini berupa sebuah lapangan yang dikelilingi rapatnya pepohonan tinggi hutan perkebunan, dengan beberapa gubuk kayu tempat mengaso. Semua transaksi berlangsung di lapangan terbuka yang diselimuti daun-daun kering dan sampah plastik. Transaksi utama di sini adalah perdagangan ikan. Orang Papua Nugini menjual mujair, orang Indonesia membeli. Para pembeli Indonesia ini bukan konsumen biasa. Mereka pedagang yang akan menjual ikan-ikan itu ke pasar di kota-kota kecamatan seperti Asiki dan Tanah Merah, yang cukup jauh dari sini. Transaksi lain adalah minyak. Orang Papua Nugini datang ke sini dengan perahu motor, tentu mereka perlu bahan bakar untuk pergi pulang. Di seberang batas sana, minyak sangat langka dan mahal, warga desa terkadang harus menunggu berbulan-bulan sampai stok minyak datang. Sedangkan [...]

February 3, 2016 // 17 Comments

Kuem 27 September 2014: Menyelundup ke Indonesia

Sekilas ini seperti pasar ikan yang terlalu sederhana. Di sebelah rawa, di tengah hutan, kecil dan jauh dari mana-mana. Tetapi pasar yang terletak di sisi terluar Indonesia ini sangat berarti bagi hidup warga perbatasan Papua Nugini. Pasar ini hanya berlangsung setiap Rabu dan Sabtu. Desa Papua Nugini terdekat adalah Kuem, yang masih memerlukan empat jam perjalanan dengan perahu. Sedangkan dari Manda dan Mipan perlu waktu enam sampai delapan jam ke sana. Elisa si pedagang kulit buaya berangkat pukul tiga dini hari dengan perahunya. Lelaki tua yang tidak banyak bicara itu sejak kemarin sudah mengumpulkan calon penumpang. Setiap penumpang diharuskan berkontribusi bahan bakar sesuai jumlah manusia dan ikan dagangan yang mereka bawa. Elisa mengizinkan saya ikut asalkan membayar dengan 5 liter bensin. Perahu kami sepertinya kelebihan muatan. Elisa membawa 80 ekor ikan mujair yang masing-masing ukurannya sepanjang lengan, hasil tangkapan jala semalam. Ditambah dagangan para penumpang lain, jumlah ikan di perahu kami sekitar 300 ekor. Yang membuat saya heran, walaupun tujuannya berdagang, tetapi ini lebih terlihat seperti piknik. Ada 12 orang di perahu ini, termasuk empat anak kecil dan para ibu mereka. Para penumpang begitu ceria, antusias membahas apa saja yang bisa beli dari Indonesia: minyak goreng, beras, tepung, garam, mi [...]

January 27, 2016 // 24 Comments

Kuem 26 September 2014: Siapa Kawan dan Siapa Lawan

“I am from China. REPEAT!” kata Papa Leo tegas, sebelum kami melangkah lebih jauh ke desa Kuem. “I am from China,” kata saya. “Mulai sekarang, kau orang China,” kata Papa Leo, “Di Kuem jangan sekali-sekali bilang kau dari Indonesia. Sekarang, ulangi lagi: Saya orang China!” Papa Leo berulang kali mengatakan Kuem sangat bahaya buat saya, karena di sini banyak para pengungsi OPM dari West Papua (Papua yang dikuasai Indonesia). OPM singkatan Organisasi Papua Merdeka, gerakan separatis yang berusaha memisahkan diri dari Indonesia. Papa Leo juga melarang saya untuk berbicara bahasa Indonesia sama sekali, hanya boleh dalam bahasa Inggris dan Tok Pisin. Tetapi sangat sulit menyembunyikan identitas asli saya. Orang sini kebanyakan tidak bisa bahasa Indonesia, tetapi mereka sering berdagang ke Indonesia. Saya memang bilang, “I am from China,” tapi setiap kali bersalaman saya tidak bisa melepaskan kebiasaan Jawa saya untuk segera menaruh tangan kanan di dada. Orang sini tahu arti isyarat itu, membalas, “Mas. Selamat pagi!” Di Kuem, nuansa Indonesia memang sangat kental. Toko, berupa kedai atau sekadar meja di pinggir jalan, menjual produk-produk Indonesia: mi instan Indomie dan Mi Sedap, susu kotak Indomilk, rokok Gudang Garam dan Surya, beragam biskuit dan kaus … Pemilik dagangan bahkan menerima pembayaran rupiah, [...]

January 26, 2016 // 11 Comments

Manda 25 September 2014: Menuju Rawa

Kekhawatiran semakin mencengkeram saya. Sudah lima hari saya tinggal di Manda menanti tumpangan perahu ke utara, tanpa hasil. Saya ingin tinggal lebih lama di Papua Nugini, masih banyak yang ingin saya pelajari di sini, tetapi visa saya hanya tersisa seminggu lagi. Saya harus ke Kiunga sesegera mungkin. Itu ibukota provinsi. Siapa tahu, visa saya bisa diperpanjang di sana. Atau setidaknya, saya bisa memikirkan jalan keluar meninggalkan negara ini dengan aman. Namun di tengah keterpencilan yang paling terpencil di Sungai Fly ini, apa pun solusi yang ada di pikiran, kita selalu dihadapkan pada ketidakberdayaan. Kemarin sebenarnya saya punya harapan. Satu perahu panjang dengan mesin 15 tenaga kuda merapat di Manda. Penumpangnya sepuluhan orang, mayoritas perempuan. Mereka datang dari Kuem. Desa itu beberapa kilometer di utara Manda, tetapi berbelok ke timur dan masuk ke rawa-rawa yang menjauh dari Sungai Fly. Kalau saya ikut mereka, memang meninggalkan Manda, tapi bisa jadi justru saya akan semakin terperangkap di desa yang dikelilingi rawa itu. Kemarin itu saya berjalan bersama Papa Leo ke bagian belakang desa. Dia sudah tidak sabar ingin membagikan pada penduduk cerita tentang nyamuk yang dia dengar dari saya. Dari dalam sebuah rumah, menghambur seorang perempuan paruh baya kurus dan sangat pendek, menyambut [...]

January 25, 2016 // 6 Comments

Manda 24 September 2014: Pak Tua Rasta

Lelaki tua berambut rasta gimbal dengan otot kekar sekujur badan itu memang kelihatan sangar. Tetapi dari gerak-geriknya yang perlahan dan selalu terkontrol itu kau tahu dia adalah orang bijaksana. Dia memang tidak pernah mengenyam bangku sekolah, tetapi tidak ada keputusan di kampung ini yang diambil tanpa persetujuannya. Berhari-hari saya tinggal di Manda menanti tumpangan perahu, selama itu pula Leo Isaac yang sudah enam puluhan tahun itu menampung saya di rumahnya. Rumah itu terbuat dari gedek dan atapnya dari anyaman daun sagu, dihuni anak perempuan bersama menantu dan cucu-cucunya. Keluarga Papa Leo bukan hanya memberi saya tempat tinggal, bahkan semua makanan saya pun mereka sediakan. Setiap hari selalu ada nasi (sebuah kemewahan), ditemani ketela, mujair, cabai segar, daging rusa, bandicoot, sampai buaya. Saya tidur di samping Papa Leo, beralaskan tikar dari anyaman daun dilindungi kelambu nyamuk yang sudah bolong-bolong. “Banyak orang asing yang datang ke sini,” kata Papa Leo, “Awal tahun ini ada dua turis Australia mendayung kano.” “Selain mereka, siapa lagi?” tanya saya. “Tidak ada lagi.” Dalam ingatan Papa Leo, sejak Papua Nugini merdeka 39 tahun lalu, memang tidak ada lagi turis lain yang pernah datang ke sini. Hanya dua turis, dan buatnya itu sudah “banyak”. Kedua orang Australia itu [...]

January 22, 2016 // 8 Comments

Manda 23 September 2014: Berburu

Berburu masih merupakan cara hidup utama di pedalaman Papua Nugini. Di sini, bisa dikatakan semua orang adalah pemburu. Orang tua, laki-laki, perempuan, sampai anak-anak dan anjing-anjing, semua harus bisa berburu, kalau mereka ingin tetap bisa makan dan hidup. Di Manda, saya tinggal dengan keluarga pemburu. Kakek Leo Isaac yang berambut gimbal rasta itu sudah berburu sejak masih bocah. Reynold anaknya adalah pemburu buaya paling ulung di kampung. Sedangkan menantunya Francis berburu ke hutan setiap minggu demi menyediakan sumber protein bagi keluarga besar itu. Pagi itu Reynold datang ke rumah membawa kabar gembira. Tengah malam tadi dia berburu buaya, dan berhasil membunuh tiga ekor: satu besar, satu sedang, dan satu kecil. Selain itu masih ada lagi bayi buaya, yang dibiarkan hidup dan dipeliharanya di dalam drum besar di belakang rumah. Sungai Fly terkenal karena banyak buayanya. Tetapi selama saya berada di sini, saya tidak pernah melihat sendiri buaya yang masih hidup di alam. Itu karena kebanyakan buaya menyelam di bawah air. Kalau pun mereka naik ke darat untuk berjemur atau bertelur, warna tubuh mereka juga sulit dibedakan dari warna tanah atau pepohonan. Lalu bagaimana mereka menangkap buaya? Reynold menjelaskan rahasianya. Pemburu buaya beraktivitas pada malam hari. Justru di malam gelap, buaya [...]

January 21, 2016 // 12 Comments

Manda 22 September 2014: Tunggu dan Tunggu

Di desa kecil di penjuru yang sangat terpencil di Papua Nugini ini, hati saya diliputi kecemasan luar biasa. Visa Papua Nugini saya tinggal dua minggu lagi, sementara saya tidak sedikit pun berada di dekat perbatasan resmi untuk meninggalkan negara ini. Plus, saking terpencilnya tempat ini, tak seorang pun tahu pasti kapan akan ada perahu melintas. Bisa-bisa, saya terdampar di sini sampai satu bulan. Sebelum saya datang ke Manda, saat berada di Obo, saya dengar ada penduduk Obo yang berencana untuk berangkat ke Kiunga. Saya perkirakan perahu mereka akan lewat dalam sehari dua hari ini. Itu sebabnya, sepanjang hari dari pagi sampai petang, saya duduk di tepi sungai menunggu melintasnya perahu. Saya akan berteriak pada mereka, melambai-lambaikan tangan, siapa tahu mereka mau memberi saya tumpangan. Penduduk Manda hanya menertawakan saya. Tidak usah ditunggu begitu, mereka bilang, kalau ada perahu pasti kami dengar. Orang-orang ini memang memiliki pendengaran luar biasa, mungkin karena mereka senantiasa hidup tenang tanpa ingar-bingar modernitas. Walaupun mereka berada jauh dari bibir sungai, dan perahu itu masih beberapa kilometer jauhnya, mereka sudah bisa mendengar, bahkan bisa mengatakan berapa kekuatan mesin perahu itu, pergi ke mana, punya siapa. Oh, itu 15 tenaga kuda, perahu nelayan Mipan mau ke hutan. Oh, [...]

January 20, 2016 // 4 Comments

Manda 21 September 2014: Kaki di Papua Nugini, Tanah di Indonesia

Kedatangan saya di Manda 2 disambut dengan kewaspadaan tinggi oleh para lelaki penghuni kampung. Saya tahu, letak kampung mereka yang dekat dengan perbatasan Indonesia dan keberadaan kamp OPM di sekitar sini membuat mereka sangat mencurigai saya. Tiba-tiba saya teringat pada sepucuk surat sakti teronggok di dasar tas ransel saya. Surat yang dikeluarkan Kedutaan Besar Indonesia di Port Moresby, menyatakan bahwa saya adalah “fotografer Indonesia yang ingin mengabadikan keindahan alam dan budaya Papua Nugini”. Kepada para lelaki Manda itu, saya menunjukkan surat itu lengkap dengan paspor saya. Mereka mengamati lekat-lekat, bergiliran. Ketegangan mereda. Kini mereka tersenyum ramah. “Banyak orang Indonesia yang datang ke sini, tapi tak pernah ada yang seperti kau,” kata salah seorang dari mereka, “Tadi kita kira kau mata-mata tentara Indonesia. Apalagi kau tanya-tanya soal OPM. Kita mesti hati-hati.” Kini kami sudah tidak saling curiga. Mereka mengajak saya berjalan-jalan keliling kampung. Manda 2 mungkin adalah desa termiskin yang saya saksikan sejauh ini di Papua Nugini. Semua rumah terbuat dari bahan hutan, nyaris tidak ada bahan logam sama sekali. Bahkan tangki penadah air hujan pun masih belum terpasang. Dengan air Sungai Fly yang sudah tercemar, kini satu-satunya sumber air minum mereka adalah mata air yang jauh di dalam hutan di [...]

January 19, 2016 // 9 Comments

Manda 20 September 2014: Terdampar di Tempat yang Salah

Saya sudah banyak mendengar rumor tentang Manda dari warga Obo. Tempat itu tepat berada di perbatasan PNG—Indonesia, mereka bilang. Orang-orang Manda adalah warga Papua Nugini tetapi tanah mereka ada di Indonesia. Saking dekatnya dengan Indonesia, orang Manda semua bisa bahasa Indonesia. Sempurna! Ini adalah tempat yang penuh cerita. Saya harus pergi ke Manda! Perjalanan meninggalkan Obo sebenarnya agak terlalu mulus buat saya. Penduduk bilang, sangat jarang ada perahu yang berangkat dari Obo ke arah utara. Tetapi kebetulan, besok ada rombongan dokter yang hendak berangkat dengan perahu speedboat dengan mesin 60 HP menuju Kiunga. Siapa tahu saya bisa menumpang mereka? Keesokan paginya, subuh-subuh saya meninggalkan gubuk milik Gids Salle, menyeberangi sungai yang memisahkan Obo Lama dari Obo Baru dengan rakit, lalu berlari menuju rumah sakit di sebelah landasan udara yang lebat tertutup ilalang, demi mencari dokter Felix. Dokter muda yang berasal dari daerah Highlands di bagian tengah Papua Nugini itu kemudian membawa saya menemui dokter perempuan kepala rombongan. Saya memperkenalkan diri dan menjelaskan tujuan perjalanan saya. Dokter kepala dengan senang hati menerima saya dalam perahu itu. Semua dokter dalam rombongan dari Kiunga ini berasal dari luar Western Province. Dokter kepala rombongan berasal dari Sepik di utara dan satu dokter perempuan berasal [...]

January 15, 2016 // 3 Comments

1 3 4 5 6 7 34