Recommended

Papua New Guinea

Papua Nugini (4) Ketika Era Prasejarah Bertemu Globalisasi : Orang Hitam dan Orang Putih

Draft artikel menengai Papua Nugini untuk majalah Traveler 旅行家, China. Cargo cult ala Melanesia (sumber: youtube.com) Penduduk desa Tais, kampung halaman Sisi, selalu menyebut saya “orang putih”. Padahal saya orang Asia keturunan China dan warna kulit saya bukan putih. Desa ini terletak di pedalaman hutan, sehingga mereka jarang kedatangan tamu orang asing. Para orang dewasa menyambut saya dengan sukacita, namun anak-anak justru menganggap saya seseram setan. Ketika saya lewat di depan rumah, satu bayi menangis meraung-raung memanggil ibunya. Seorang bocah dua tahun ketakutan sampai berlari dan terjatuh, wajahnya menabrak tanah. Seorang bocah perempuan sampai terloncat melihat saya mendekatinya, seperti disergap binatang buas. Saya sudah membuat lusinan bocah menangis hanya dengan penampakan saya. Kenapa mereka begitu takut dengan kulit putih? Konon menurut legenda yang dipercaya di daerah ini, roh orang yang sudah mati akan terbang ke tempat terbenamnya matahari, dan tubuh orang itu akan berubah dari hitam menjadi putih. Kulit putih identik dengan kematian. Orang putih pertama kali tiba di desa ini pada saat Perang Dunia II, dan itu membuat semua penduduk, baik tua maupun muda, lari ketakutan bersembunyi ke dalam rimba. Sedangkan di abad ke-18, ketika penjelajah Eropa pertama kali datang di kepulauan Kiwai di dekat Daru, penduduk langsung berlutut [...]

February 10, 2016 // 1 Comment

Papua Nugini (3) Ketika Era Prasejarah Bertemu Globalisasi : Perbatasan Segitiga

Draft artikel menengai Papua Nugini untuk majalah Traveler 旅行家, China. Dauan, Australia (AGUSTINUS WIBOWO) Tidak banyak orang menyadari bahwa Australia terletak sangat dekat dari Papua Nugini. Saking dekatnya kita bisa lihat Australia dengan mata telanjang. Untaian pulau kecil Australia hanya empat kilometer di selatan pantai Papua Nugini. Ber adalah satu desa Papua Nugini yang berhadapan dengan pulau Boigu, Australia. Dilihat dari laut di malam hari, Boigu bagai metropolitan dengan ratusan noktah cahaya berkilauan, sedangkan Ber tampak seperti tiga cahaya lemah yang sering padam, seperti lilin diterpa angin. Sumber cahaya di Ber hanyalah api unggun. Satu-satunya cara untuk mencapai Ber, orang harus naik perahu dari Daru ke arah barat sejauh 100 kilometer melewati lautan Selat Torres yang terkenal ganas ombaknya. Perahu motor yang saya tumpangi nyaris tenggelam ditelan ombak. Ini adalah perjalanan seharian yang basah dan mematikan. Begitu terisolasinya Ber dari daerah Papua Nugini lainnya, desa dengan dua ratusan penduduk ini seperti belum tersentuh peradaban. Mereka tinggal rumah-rumah panggung yang semuanya terbuat dari gedek anyaman daun. Pantai Ber tertutup lumpur, seperti sawah padi yang baru diairi. Ber berhadapan langsung dengan laut, tetapi warga di sini justru jarang ke laut dan ikan nyaris tidak ada dalam menu mereka. Setiap hari penduduk makan [...]

February 9, 2016 // 5 Comments

Papua Nugini (2) Ketika Era Prasejarah Bertemu Globalisasi : Satu Bahasa

Draft artikel menengai Papua Nugini untuk majalah Traveler 旅行家, China. “PNG itu bukan singkatan Papua New Guinea,” seorang kawan ekspatriat memberitahu saya, “itu singkatan Promise Not Guaranteed.” Di sini, tiket pesawat bukan jaminan bisa terbang. Sudah banyak calon penumpang pesawat yang memiliki tiket, sesampainya di bandara diberitahu bahwa pesawat sudah penuh dan tidak ada tempat bagi mereka. Karena itu, kawan itu menganjurkan saya pergi seawal mungkin ke bandara. Saya bersyukur dengan anjuran itu. Bukannya terlambat, pesawat justru terbang satu jam lebih awal dari jadwal. Kata pramugari, itu karena semua dari dua puluhan penumpang sudah tiba di bandara. Sembilan puluh menit kemudian, pesawat kami mendarat di Daru, sebuah pulau noktah kecil di bagian paling selatan provinsi perbatasan Western Province. Dulu kota-pulau ini pernah menjadi pusat pemerintahan provinsi, sebelum kemudian dipindah ke Kiunga di utara sana. Bandara Daru mirip lapangan bola yang dikelilingi pagar kawat. Di balik pagar itu, orang-orang berderet menonton pesawat. Dari balik kawat pagar kawat, saya juga menonton para penumpang yang berbaris di atas tarmak menuju pesawat yang akan lepas landas kembali ke Port Moresby. Dua penumpang yang terakhir naik tiba-tiba turun lagi. Saya dengar dari petugas bandara, mereka tidak diizinkan terbang karena pesawat telah kelebihan muatan kargo. Entah [...]

February 8, 2016 // 3 Comments

Papua Nugini (1) Ketika Era Prasejarah Bertemu Globalisasi : Bahaya di Ibukota

Draft artikel menengai Papua Nugini untuk majalah Traveler 旅行家, China.   Papua Nugini sering digambarkan sebagai negeri primitif yang dihuni suku-suku terisolasi dari zaman prasejarah. Nama negeri itu senantiasa membangkitkan imajinasi tentang taman liar yang dipenuhi burung-burung surga, sebuah dunia lain yang begitu jauh dari dunia kita. Hanya beberapa puluh tahun lalu, di negeri ini memang masih banyak lelaki dengan labu penutup penis dan perempuan bertelanjang dada, atau suku-suku pemuja arwah, penyihir, bahkan pemburu kepala manusia di pedalaman hutan rimba. Kini globalisasi telah merambah, kehidupan Papua Nugini sudah se-“normal” dunia kita. Walaupun, harus diakui, belum sepenuhnya begitu. Bahaya di Ibukota Dilihat dari angkasa, Port Moresby bagai barisan perbukitan hijau bergulung-gulung di tepi laut, ditebari rumah-rumah penduduk membentuk mozaik warna-warni. Perbukitan itu berhadapan langsung dengan biru kristal Lautan Teduh yang membentang luas tak berbatas. Sulit memercayai kota secantik ini termasuk kota paling tidak layak huni di dunia. Di antara kota-kota tak layak huni lainnya, ada Lagos dengan kekacauan konfliknya, Bogota dengan mafia narkotikanya, Karachi dengan kriminalitas dan terorismenya. Tapi tidak ada kota lain di dunia yang serupa Port Moresby. Metropolitan Pasifik Selatan ini justru sekilas kelihatan ceria. Jalanannya bersih dan hijau bagai taman, dihiasi monumen merayakan burung surga dan mural warna-warni. [...]

February 5, 2016 // 6 Comments

Asiki 27 September 2014: Pasar di Garis Batas

Sebenarnya sejak Papua masih diduduki Belanda (hingga 1963) orang dari sisi Papua Nugini sudah biasa melintasi perbatasan negeri untuk menjual ikan ke daerah Asiki. Tetapi empat tahun lalu dibangun sebuah jalan tembus sampai ke tengah hutan di tepi rawa ini. Sejak itu, orang Papua Nugini bisa datang berjualan dengan perahu-perahu mereka tanpa perlu berjalan kaki jauh. Pasar ini dikenal dengan nama Bus Stop. Itu karena dari sini orang bisa menumpang angkot sampai ke kota kecamatan Asiki (sekitar 30 kilometer, 100 ribu rupiah per orang). Pasar ini berupa sebuah lapangan yang dikelilingi rapatnya pepohonan tinggi hutan perkebunan, dengan beberapa gubuk kayu tempat mengaso. Semua transaksi berlangsung di lapangan terbuka yang diselimuti daun-daun kering dan sampah plastik. Transaksi utama di sini adalah perdagangan ikan. Orang Papua Nugini menjual mujair, orang Indonesia membeli. Para pembeli Indonesia ini bukan konsumen biasa. Mereka pedagang yang akan menjual ikan-ikan itu ke pasar di kota-kota kecamatan seperti Asiki dan Tanah Merah, yang cukup jauh dari sini. Transaksi lain adalah minyak. Orang Papua Nugini datang ke sini dengan perahu motor, tentu mereka perlu bahan bakar untuk pergi pulang. Di seberang batas sana, minyak sangat langka dan mahal, warga desa terkadang harus menunggu berbulan-bulan sampai stok minyak datang. Sedangkan [...]

February 3, 2016 // 17 Comments

Kuem 27 September 2014: Menyelundup ke Indonesia

Sekilas ini seperti pasar ikan yang terlalu sederhana. Di sebelah rawa, di tengah hutan, kecil dan jauh dari mana-mana. Tetapi pasar yang terletak di sisi terluar Indonesia ini sangat berarti bagi hidup warga perbatasan Papua Nugini. Pasar ini hanya berlangsung setiap Rabu dan Sabtu. Desa Papua Nugini terdekat adalah Kuem, yang masih memerlukan empat jam perjalanan dengan perahu. Sedangkan dari Manda dan Mipan perlu waktu enam sampai delapan jam ke sana. Elisa si pedagang kulit buaya berangkat pukul tiga dini hari dengan perahunya. Lelaki tua yang tidak banyak bicara itu sejak kemarin sudah mengumpulkan calon penumpang. Setiap penumpang diharuskan berkontribusi bahan bakar sesuai jumlah manusia dan ikan dagangan yang mereka bawa. Elisa mengizinkan saya ikut asalkan membayar dengan 5 liter bensin. Perahu kami sepertinya kelebihan muatan. Elisa membawa 80 ekor ikan mujair yang masing-masing ukurannya sepanjang lengan, hasil tangkapan jala semalam. Ditambah dagangan para penumpang lain, jumlah ikan di perahu kami sekitar 300 ekor. Yang membuat saya heran, walaupun tujuannya berdagang, tetapi ini lebih terlihat seperti piknik. Ada 12 orang di perahu ini, termasuk empat anak kecil dan para ibu mereka. Para penumpang begitu ceria, antusias membahas apa saja yang bisa beli dari Indonesia: minyak goreng, beras, tepung, garam, mi [...]

January 27, 2016 // 24 Comments

Kuem 26 September 2014: Siapa Kawan dan Siapa Lawan

“I am from China. REPEAT!” kata Papa Leo tegas, sebelum kami melangkah lebih jauh ke desa Kuem. “I am from China,” kata saya. “Mulai sekarang, kau orang China,” kata Papa Leo, “Di Kuem jangan sekali-sekali bilang kau dari Indonesia. Sekarang, ulangi lagi: Saya orang China!” Papa Leo berulang kali mengatakan Kuem sangat bahaya buat saya, karena di sini banyak para pengungsi OPM dari West Papua (Papua yang dikuasai Indonesia). OPM singkatan Organisasi Papua Merdeka, gerakan separatis yang berusaha memisahkan diri dari Indonesia. Papa Leo juga melarang saya untuk berbicara bahasa Indonesia sama sekali, hanya boleh dalam bahasa Inggris dan Tok Pisin. Tetapi sangat sulit menyembunyikan identitas asli saya. Orang sini kebanyakan tidak bisa bahasa Indonesia, tetapi mereka sering berdagang ke Indonesia. Saya memang bilang, “I am from China,” tapi setiap kali bersalaman saya tidak bisa melepaskan kebiasaan Jawa saya untuk segera menaruh tangan kanan di dada. Orang sini tahu arti isyarat itu, membalas, “Mas. Selamat pagi!” Di Kuem, nuansa Indonesia memang sangat kental. Toko, berupa kedai atau sekadar meja di pinggir jalan, menjual produk-produk Indonesia: mi instan Indomie dan Mi Sedap, susu kotak Indomilk, rokok Gudang Garam dan Surya, beragam biskuit dan kaus … Pemilik dagangan bahkan menerima pembayaran rupiah, [...]

January 26, 2016 // 11 Comments

Manda 25 September 2014: Menuju Rawa

Kekhawatiran semakin mencengkeram saya. Sudah lima hari saya tinggal di Manda menanti tumpangan perahu ke utara, tanpa hasil. Saya ingin tinggal lebih lama di Papua Nugini, masih banyak yang ingin saya pelajari di sini, tetapi visa saya hanya tersisa seminggu lagi. Saya harus ke Kiunga sesegera mungkin. Itu ibukota provinsi. Siapa tahu, visa saya bisa diperpanjang di sana. Atau setidaknya, saya bisa memikirkan jalan keluar meninggalkan negara ini dengan aman. Namun di tengah keterpencilan yang paling terpencil di Sungai Fly ini, apa pun solusi yang ada di pikiran, kita selalu dihadapkan pada ketidakberdayaan. Kemarin sebenarnya saya punya harapan. Satu perahu panjang dengan mesin 15 tenaga kuda merapat di Manda. Penumpangnya sepuluhan orang, mayoritas perempuan. Mereka datang dari Kuem. Desa itu beberapa kilometer di utara Manda, tetapi berbelok ke timur dan masuk ke rawa-rawa yang menjauh dari Sungai Fly. Kalau saya ikut mereka, memang meninggalkan Manda, tapi bisa jadi justru saya akan semakin terperangkap di desa yang dikelilingi rawa itu. Kemarin itu saya berjalan bersama Papa Leo ke bagian belakang desa. Dia sudah tidak sabar ingin membagikan pada penduduk cerita tentang nyamuk yang dia dengar dari saya. Dari dalam sebuah rumah, menghambur seorang perempuan paruh baya kurus dan sangat pendek, menyambut [...]

January 25, 2016 // 6 Comments

Manda 24 September 2014: Pak Tua Rasta

Lelaki tua berambut rasta gimbal dengan otot kekar sekujur badan itu memang kelihatan sangar. Tetapi dari gerak-geriknya yang perlahan dan selalu terkontrol itu kau tahu dia adalah orang bijaksana. Dia memang tidak pernah mengenyam bangku sekolah, tetapi tidak ada keputusan di kampung ini yang diambil tanpa persetujuannya. Berhari-hari saya tinggal di Manda menanti tumpangan perahu, selama itu pula Leo Isaac yang sudah enam puluhan tahun itu menampung saya di rumahnya. Rumah itu terbuat dari gedek dan atapnya dari anyaman daun sagu, dihuni anak perempuan bersama menantu dan cucu-cucunya. Keluarga Papa Leo bukan hanya memberi saya tempat tinggal, bahkan semua makanan saya pun mereka sediakan. Setiap hari selalu ada nasi (sebuah kemewahan), ditemani ketela, mujair, cabai segar, daging rusa, bandicoot, sampai buaya. Saya tidur di samping Papa Leo, beralaskan tikar dari anyaman daun dilindungi kelambu nyamuk yang sudah bolong-bolong. “Banyak orang asing yang datang ke sini,” kata Papa Leo, “Awal tahun ini ada dua turis Australia mendayung kano.” “Selain mereka, siapa lagi?” tanya saya. “Tidak ada lagi.” Dalam ingatan Papa Leo, sejak Papua Nugini merdeka 39 tahun lalu, memang tidak ada lagi turis lain yang pernah datang ke sini. Hanya dua turis, dan buatnya itu sudah “banyak”. Kedua orang Australia itu [...]

January 22, 2016 // 8 Comments

Manda 23 September 2014: Berburu

Berburu masih merupakan cara hidup utama di pedalaman Papua Nugini. Di sini, bisa dikatakan semua orang adalah pemburu. Orang tua, laki-laki, perempuan, sampai anak-anak dan anjing-anjing, semua harus bisa berburu, kalau mereka ingin tetap bisa makan dan hidup. Di Manda, saya tinggal dengan keluarga pemburu. Kakek Leo Isaac yang berambut gimbal rasta itu sudah berburu sejak masih bocah. Reynold anaknya adalah pemburu buaya paling ulung di kampung. Sedangkan menantunya Francis berburu ke hutan setiap minggu demi menyediakan sumber protein bagi keluarga besar itu. Pagi itu Reynold datang ke rumah membawa kabar gembira. Tengah malam tadi dia berburu buaya, dan berhasil membunuh tiga ekor: satu besar, satu sedang, dan satu kecil. Selain itu masih ada lagi bayi buaya, yang dibiarkan hidup dan dipeliharanya di dalam drum besar di belakang rumah. Sungai Fly terkenal karena banyak buayanya. Tetapi selama saya berada di sini, saya tidak pernah melihat sendiri buaya yang masih hidup di alam. Itu karena kebanyakan buaya menyelam di bawah air. Kalau pun mereka naik ke darat untuk berjemur atau bertelur, warna tubuh mereka juga sulit dibedakan dari warna tanah atau pepohonan. Lalu bagaimana mereka menangkap buaya? Reynold menjelaskan rahasianya. Pemburu buaya beraktivitas pada malam hari. Justru di malam gelap, buaya [...]

January 21, 2016 // 12 Comments

Manda 22 September 2014: Tunggu dan Tunggu

Di desa kecil di penjuru yang sangat terpencil di Papua Nugini ini, hati saya diliputi kecemasan luar biasa. Visa Papua Nugini saya tinggal dua minggu lagi, sementara saya tidak sedikit pun berada di dekat perbatasan resmi untuk meninggalkan negara ini. Plus, saking terpencilnya tempat ini, tak seorang pun tahu pasti kapan akan ada perahu melintas. Bisa-bisa, saya terdampar di sini sampai satu bulan. Sebelum saya datang ke Manda, saat berada di Obo, saya dengar ada penduduk Obo yang berencana untuk berangkat ke Kiunga. Saya perkirakan perahu mereka akan lewat dalam sehari dua hari ini. Itu sebabnya, sepanjang hari dari pagi sampai petang, saya duduk di tepi sungai menunggu melintasnya perahu. Saya akan berteriak pada mereka, melambai-lambaikan tangan, siapa tahu mereka mau memberi saya tumpangan. Penduduk Manda hanya menertawakan saya. Tidak usah ditunggu begitu, mereka bilang, kalau ada perahu pasti kami dengar. Orang-orang ini memang memiliki pendengaran luar biasa, mungkin karena mereka senantiasa hidup tenang tanpa ingar-bingar modernitas. Walaupun mereka berada jauh dari bibir sungai, dan perahu itu masih beberapa kilometer jauhnya, mereka sudah bisa mendengar, bahkan bisa mengatakan berapa kekuatan mesin perahu itu, pergi ke mana, punya siapa. Oh, itu 15 tenaga kuda, perahu nelayan Mipan mau ke hutan. Oh, [...]

January 20, 2016 // 4 Comments

Manda 21 September 2014: Kaki di Papua Nugini, Tanah di Indonesia

Kedatangan saya di Manda 2 disambut dengan kewaspadaan tinggi oleh para lelaki penghuni kampung. Saya tahu, letak kampung mereka yang dekat dengan perbatasan Indonesia dan keberadaan kamp OPM di sekitar sini membuat mereka sangat mencurigai saya. Tiba-tiba saya teringat pada sepucuk surat sakti teronggok di dasar tas ransel saya. Surat yang dikeluarkan Kedutaan Besar Indonesia di Port Moresby, menyatakan bahwa saya adalah “fotografer Indonesia yang ingin mengabadikan keindahan alam dan budaya Papua Nugini”. Kepada para lelaki Manda itu, saya menunjukkan surat itu lengkap dengan paspor saya. Mereka mengamati lekat-lekat, bergiliran. Ketegangan mereda. Kini mereka tersenyum ramah. “Banyak orang Indonesia yang datang ke sini, tapi tak pernah ada yang seperti kau,” kata salah seorang dari mereka, “Tadi kita kira kau mata-mata tentara Indonesia. Apalagi kau tanya-tanya soal OPM. Kita mesti hati-hati.” Kini kami sudah tidak saling curiga. Mereka mengajak saya berjalan-jalan keliling kampung. Manda 2 mungkin adalah desa termiskin yang saya saksikan sejauh ini di Papua Nugini. Semua rumah terbuat dari bahan hutan, nyaris tidak ada bahan logam sama sekali. Bahkan tangki penadah air hujan pun masih belum terpasang. Dengan air Sungai Fly yang sudah tercemar, kini satu-satunya sumber air minum mereka adalah mata air yang jauh di dalam hutan di [...]

January 19, 2016 // 9 Comments

Manda 20 September 2014: Terdampar di Tempat yang Salah

Saya sudah banyak mendengar rumor tentang Manda dari warga Obo. Tempat itu tepat berada di perbatasan PNG—Indonesia, mereka bilang. Orang-orang Manda adalah warga Papua Nugini tetapi tanah mereka ada di Indonesia. Saking dekatnya dengan Indonesia, orang Manda semua bisa bahasa Indonesia. Sempurna! Ini adalah tempat yang penuh cerita. Saya harus pergi ke Manda! Perjalanan meninggalkan Obo sebenarnya agak terlalu mulus buat saya. Penduduk bilang, sangat jarang ada perahu yang berangkat dari Obo ke arah utara. Tetapi kebetulan, besok ada rombongan dokter yang hendak berangkat dengan perahu speedboat dengan mesin 60 HP menuju Kiunga. Siapa tahu saya bisa menumpang mereka? Keesokan paginya, subuh-subuh saya meninggalkan gubuk milik Gids Salle, menyeberangi sungai yang memisahkan Obo Lama dari Obo Baru dengan rakit, lalu berlari menuju rumah sakit di sebelah landasan udara yang lebat tertutup ilalang, demi mencari dokter Felix. Dokter muda yang berasal dari daerah Highlands di bagian tengah Papua Nugini itu kemudian membawa saya menemui dokter perempuan kepala rombongan. Saya memperkenalkan diri dan menjelaskan tujuan perjalanan saya. Dokter kepala dengan senang hati menerima saya dalam perahu itu. Semua dokter dalam rombongan dari Kiunga ini berasal dari luar Western Province. Dokter kepala rombongan berasal dari Sepik di utara dan satu dokter perempuan berasal [...]

January 15, 2016 // 3 Comments

Obo 19 September 2014: Melihat ke Barat

Semakin saya menyusuri Sungai Fly, semakin saya dekat dengan Indonesia. Bukan hanya secara geografis, tetapi juga dari kehidupan orang-orangnya. Di Suki saya menemukan sejumlah pemuda Papua Nugini yang sekolah komputer di distrik Sota, Merauke, dan terpaksa pulang karena tidak cukup biaya. Salah satu di antara mereka bahkan memiliki KTP asli Indonesia, yang dia beli dengan sangat mudah seharga 300 ribu rupiah. Dari Suki, orang bisa berperahu dan bersepeda selama dua hari untuk mencapai Indonesia. Saat saya menumpang perahu dari Suki menuju Obo, Nobi si pemuda pemilik perahu mengatakan senang dengan semakin terbukanya kontak dengan Indonesia, karena dia sangat suka rokok lempeng khas Merauke yang biasa dibawa para pedagang dari Indonesia. Dia juga bilang, di Obo nanti, saya bisa menginap di rumah saudara iparnya yang sering ke Merauke. Perjalanan dari Suki ke Obo memakan waktu sehari penuh. Sungai Fly semakin sempit dan dalam, meliuk-liuk dan berzig-zag bagai benang kusut. Selain itu, banyak jalur pintas yang berupa rawa atau selokan yang menghubungkan kelok-kelokan Sungai Fly itu, sehingga kita tidak perlu selalu mengikuti aliran sungai utama demi memotong jarak. Namun jangan berasumsi kita bisa menghemat waktu. Jalur pintas ini sering tertutup tanaman atau rumput yang sangat rapat, sehingga para penumpang perahu harus menggunakan [...]

January 13, 2016 // 12 Comments

Suki 18 September 2014: Kematian Sebuah Budaya

Peringatan kemerdekaan Papua Nugini dirayakan sebagai libur tiga hari hingga dua minggu di seluruh negeri. Di Suki, daerah pedalaman terpencil dan malas di pedalaman Western Province ini, sepertinya setiap hari sudah sama dengan hari libur. Hari Kemerdekaan hanyalah pembenaran bagi ratusan orang untuk bersenang-senang dan bermain bersama di lapangan selama berminggu-minggu, secara resmi. Perayaan kemerdekaan dibuka tiap pagi pukul 9 pagi dan ditutup pukul 5 sore, dengan bendera nasional dikibarkan di tiang bambu. Di antara rentang itu adalah waktu bagi para ratusan penduduk menggelar perlombaan rugbi, voli, dan basket. Musik yang dimainkan kencang berdentum-dentum juga adalah lagu disko. Saya jadi bertanya, apakah makna hari kemerdekaan ini jika semua yang dirayakan adalah budaya luar negeri? Mengiringi musik yang membahana, ibu-ibu menari di lapangan. Beberapa dari mereka membuka baju, payudara hanya ditutup beha. Mereka bergerak seperti kesurupan, memantul-mantulkan pantat dan menendang-nendang seperti gorila, lebih menyeramkan daripada indah. Melihat saya mengambil gambar, seorang ibu mendekat dengan wajah beringas, seperti hendak mencium wajah saya dan menempelkan payudaranya ke dada saya. Saya berusaha menghindar sampai terjatuh. Meledaklah tawa ratusan perempuan yang menonton. Kepada Justin Tutamasi si kepala desa, saya bertanya kenapa tidak ada acara tradisional di perayaan hari kemerdekaan ini. “Ini salah pemerintah,” katanya, “Mereka [...]

December 7, 2015 // 10 Comments

Suki 16 September 2014: Makna Sebuah Kemerdekaan

Hari ini, 39 tahun lalu, kemerdekaan Papua Nugini diproklamasikan. Hari Kemerdekaan, di samping Natal, adalah hari besar terpenting di negara ini. Pesta perayaan digelar di berbagai penjuru negeri, yang menikmati libur panjang mulai dari lima hari hingga dua minggu penuh. Suki adalah sebuah pusat pemerintahan di Distrik Fly Selatan, di mana biasanya perayaan dipusatkan. Suki sebenarnya adalah sebuah wilayah yang terdiri dari beberapa desa, yaitu Nakaku, Godowa, dan Ewe. Ketiga desa ini terletak di sebuah anak sungai dari Sungai Fly, yang cukup jauh dari aliran sungai utama. Saya sengaja berada di Suki untuk melihat bagaimana kemerdekaan dirayakan di negara muda ini. Walaupun statusnya adalah “pusat pemerintahan”, keadaan Suki sangat mengenaskan. Tidak ada listrik, rumah sakit, sekolah menengah. Suki juga menempati posisi strategis di perbatasan; Indonesia hanya 70 kilometer jauhnya (atau tiga hari berperahu plus jalan kaki plus naik sepeda melibas hutan), tetapi tidak ada satu pun tentara atau polisi di sini. Setidaknya di Godowa ada sebuah menara pemancar sinyal seluler, dan di Nakaku terdapat satu supermarket dan satu toko milik orang China, juga satu kios agen bank tempat warga bisa mengecek rekening dan menarik uang. Desa-desa ini berpencaran di sepanjang sungai yang jernih bertabur teratai, sehingga penduduk harus mengayuh kano [...]

December 3, 2015 // 4 Comments

Sapuka 14 September 2014: Bagai Rusa Merindukan Sungainya

Setelah dua jam mendorong perahu yang tertambat di bantaran pasir di dasar Sungai Fly yang mengering, rombongan kami dari Suwame akhirnya sampai juga di Dewara. Seorang pemimpin desa menyambut saya, mencuci kaki saya yang bersimbah lumpur dengan tangannya, sambil berulang kali meminta maaf karena sebelumnya tidak mengetahui kedatangan saya. Saya berbalik minta maaf. Sekejap kemudian, saya merasa seperti makhluk dari planet asing yang datang mendarat. Para lelaki, perempuan, anak-anak, berlusin-lusin jumlahnya, berkerumun menonton saya. Tidak pernah ada turis asing yang datang ke sini, kata mereka, turis terakhir datang sepuluh tahun lalu. Begitu tahu saya datang dari Indonesia, para lelaki di desa itu bertanya apakah benar orang Indonesia masih suka membunuh. Beberapa bulan yang lalu mereka dengar, orang-orang Indonesia membutuhkan banyak tengkorak manusia untuk membangun bangunan besar supaya kokoh, misalnya untuk membangun jembatan Tujuh Waliwali di Merauke. Mereka kemudian berdatangan ke Papua Nugini, membunuhi orang-orang sini dan membawa pulang tengkoraknya. Itu teror luar biasa. Penduduk di desa pedalaman ini sampai selalu pergi berkelompok ke mana-mana bahkan untuk ke ladang sagu, takut diculik dan dibunuh orang Indonesia. Baru satu setengah bulan kemudian mereka cukup berani untuk pergi sendiri. Itu rumor paling tidak masuk akal yang pernah saya dengar. “Ada dari kalian yang [...]

November 17, 2015 // 8 Comments

Suwame 13 September 2014: Saya Bukan Bos

Sudah hampir seminggu berlalu sejak saya meninggalkan Daru dalam perjalanan menyusuri Sungai Fly. Namun saya baru mencapai perhentian kedua, Lewada, yang hanya sekitar 50 mil dari mulut sungai, sementara Kiunga—tujuan akhir perjalanan ini—masih 400 mil lagi. Sulitnya transportasi di Sungai Fly mulai membuat saya takut. Cara perjalanan saya adalah dengan menumpang perahu penduduk dari desa ke desa. Semula saya kira, antara desa-desa di sini bakal banyak perahu hilir mudik. Ternyata tidak. Warga sepanjang Sungai Fly memang berperahu setiap hari, tetapi itu hanya untuk pergi ke ladang, berburu, atau menangkap ikan. Untuk perjalanan jarak jauh mereka hanya pergi ke Daru yang merupakan pusat perdagangan dan pemerintahan. Mereka hampir tidak pernah pergi ke desa lain, apalagi yang berbeda bahasanya (di negara dengan 820 bahasa ini, bahkan desa yang paling berdekatan pun bahasanya bisa berbeda total). Sudah dua malam saya menginap di Lewada, di rumah seorang guru desa. Kekhawatiran saya semakin menjadi ketika matahari telah meninggi, dan arus pasang telah membuat sungai yang dasarnya mengering dan menjadi bantaran pasir itu kini telah kembali ke wujud aslinya: sungai raya tak bertepian dan bergejolak hebat. Entah kapan penantian berakhir, tetap tak ada perahu. Bagaimana pun juga hari ini saya harus mencapai Dewara, yang sekitar dua [...]

November 16, 2015 // 8 Comments

Lewada 12 September 2015: Antara Cerita dan Sejarah

Di utara Lewada, di mulut anak sungai Bituri, tinggallah buaya yang terkenal itu. Sang Buaya Lewada. Seorang pendeta yang beberapa bulan lalu mendayung kano untuk memeriksa jaring yang dipasangnya di tengah sungai untuk menangkap ikan. Itu adalah kano kecil yang hanya muat satu orang. Tiba-tiba, dari belakang, buaya itu melibas punggung si pendeta dengan ekornya yang tajam. Si pendeta jatuh terguling dari kano, tercebur ke sungai. Buaya itu menggigit pendeta pada mata kakinya, menyeretnya lebih dalam ke dalam air. Buaya itu kemudian membawa pendeta itu kembali ke permukaan air, mungkin supaya lebih leluasa memangsa manusia ini. Pada saat itulah pendeta menarik kakinya dari mulut buaya. Kakinya patah, tetapi dia hanya bisa berusaha berenang secepat-cepatnya. Beruntung, ada akar bakau. Dia memanjat sampai ke puncak pohon, bergelayutan di sana, berteriak minta tolong. Buaya itu kemudian pergi. Kejadian lain adalah seorang anak muda yang juga mendayung kano untuk memeriksa jaring. Pemuda itu ingin mencuci kakinya, menurunkan kedua kakinya ke sungai. Sialnya, kedua kaki itu mendarat ke dalam mulut buaya yang sudah menganga di bawah air. Dia langsung tenggelam. Si buaya itu berusaha merobek tubuhnya dengan cakarnya, pemuda itu terluka dari bahu sampai paha. Pada saat itu ada kano lain melintas, pemuda itu selamat. [...]

October 2, 2015 // 7 Comments

Lewada 11 September 2014: Menyerahkan Nasib pada Sang Pembunuh

Selain sifat pasif dan pasrah yang berlebihan dari masyarakat Doumori, ada satu hal lain yang membuat saya frustrasi: saya mungkin akan terperangkap di Doumori. Transportasi di Sungai Fly ternyata jauh lebih sulit daripada dugaan saya. Warga Doumori hanya bepergian ke Daru dan sangat jarang pergi ke desa lain di sepanjang aliran sungai ini. Warga desa lain pun tidak ke sini. Lagi pula, dengan sedimen pasir dan gelombang tsunami harian, Doumori semakin terkunci dalam dunianya sendiri. Sementara Mama Ruth, bicara seperti tidak ada masalah dalam hidup yang sanggup meresahkannya. “Son, kamu bisa tinggal di rumah kami berapa lama pun, karena kamu anakku.” Keesokan harinya, Mama Ruth meminta orang-orang desa membantu mengantarkan saya ke Lewada. Desa ini adalah yang terdekat, terletak di sisi selatan sungai. Sebenarnya hanya butuh menyeberang sungai, tetapi perjalanan menuju Lewada memakan waktu satu hingga dua jam dengan kano karena saking lebarnya Sungai Fly. Kita bisa pergi dengan perahu layar, mengikuti arus air laut saat pasang sehingga irit bensin. Sebagai wujud terima kasih, saya membayar 25 kina (sekitar 12 dolar) kepada para lelaki yang mau bersusah-payah mengantar saya. Kebetulan pula, penduduk Doumori mengalami krisis air minum—tank penadah hujan mereka sudah kering. Karena itu, para perempuan dan anak-anak ikut dalam [...]

October 1, 2015 // 13 Comments

1 2 3 4