Recommended

January 23, 2015

Pulau Strachan 25 Agustus 2014: Sejarah Berdarah

Satu malam di Pulau Strachan (AGUSTINUS WIBOWO) Langit belum gelap. Tais tujuan kami masih kurang sedikit lagi. Tetapi Sisi dan para lelaki di perahu kami memutuskan untuk menghentikan perjalanan ini. “Tapi, kenapa?” Saya bertanya, sembari membayangkan bagaimana beratnya malam ini yang akan kami lewatkan di tengah hutan kosong, di alam terbuka. Ini gara-gara kami berangkat sangat terlambat meninggalkan Ber, karena harus menunggu Sisi dan Marcella balik dari Boigu, sehingga perjalanan kami molor hingga sore hari. Laut sebenarnya tidak seganas kemarin, saya mulai menikmati perjalanan ini walaupun punggung saya masih ngilu setiap kali perahu kami menghentak-hentak di atas ombak. Saya percaya, sebenarnya kami bisa mencapai Tais, yang jaraknya cuma 30 kilometer, malam ini juga. “Itu karena kamu orang putih,” kata Sisi, “Kami semua harus menghormati kamu, jadi kami tidak akan bepergian dalam gelap.” “Tapi aku lebih nyaman jika kita malam ini tidur di desa.” “Kami orang hitam tidak masalah kalau bepergian dalam gelap, tapi kamu orang putih takkan bisa.” Saya tidak tahu apakah ada bedanya. Dalam perjalanan ini, saya cuma penumpang, yang hanya duduk manis di dalam perahu tanpa membantu mereka apa-apa; pergi pagi atau malam mestinya kehadiran saya tak berpengaruh bagi mereka. Kemisteriusan Sisi bersama kawan-kawannya itulah yang justru menambah [...]

January 23, 2015 // 11 Comments

Titik Nol 110: Chalo, Pakistan

Bendera Pakistan dan India turun bersamaan (AGUSTINUS WIBOWO) Pakistan di hadapan mata. Perasaan berdosa menyelimuti diri saya. Mengapa saya masih belum juga melintas gerbang perbatasan itu? Enam minggu yang lalu, saya bersorak gembira ketika visa Pakistan tertempel di paspor saya. Orang-orang Kashmir menyemangati saya, dan ikut merayakan kemenangan perjuangan visa saya. Tawa itu, air mata kebahagiaan itu, tak akan pernah saya lupakan. Tetapi, bukannya cepat-cepat berangkat ke Pakistan, saya masih menyempatkan bermain ke Rajasthan, dengan justifikasi untuk menenangkan diri setelah frustrasi berhari-hari di New Delhi. Banyak pengalaman menarik yang saya alami, membuat saya semakin betah di India, semakin melupakan Pakistan. Hingga pada akhirnya datang penyakit ini – kuning merambah mata dan tubuh, lemas melambatkan langkah, rasa mual mengeringkan perut. Mungkin peringatan dari Tuhan, mungkin pula hukuman karena saya melupakan komitmen sendiri. Saya berdiri di depan pintu perbatasan, tertunduk lesu. Sementara di sekeliling saya suasana gegap gempita menggelorakan jiwa nasionalisme India. “Bharat mata ji, jay! Bunda India, jayalah!” ribuan orang India bersorak sorai di depan perbatasan Pakistan. Genderang bertalu-talu. Gemuruh siswa sekolah serempak melantunkan    “Hindustan Zindabad! Hindustan Zindabad! Hidup India! Hidup Hindustan!” Perbatasan India dan Pakistan terletak tepat di antara kota Amritsar dengan Lahore. Dulu, sebelum India dan Pakistan dibelah, [...]

January 23, 2015 // 7 Comments