Hari ini, andaikan Mama masih hidup, dia seharusnya merayakan ulang tahunnya yang ke-68. Tetapi, Mama telah pergi meninggalkan kami semua 14 tahun lalu.
Kepergian Mama sempat meninggalkan luka yang mendalam di hati saya. Apalagi karena saya tinggal di luar negeri selama belasan tahun, tak banyak berada di sampingnya. Hanya pada saat-saat terakhir, ketika penyakit kanker menggerus kekuatannya, saya baru dapat menemaninya di rumah sakit.
Saya butuh waktu lama untuk sembuh dari kehilangan besar itu. Saya mengurai kembali memori kebersamaan saya bersama Mama, membaca ulang catatan2 buku harian, dan menuliskan kembali semua percakapan dan pengalaman bersamanya.
Dari proses itulah, buku “Titik Nol” lahir.
Melalui perjalanan panjang itu, saya akhirnya menyadari bahwa kematian bukanlah akhir segalanya. Mama senantiasa hidup dalam ingatan orang-orang yang mengenang dan mencintainya. Melalui buku ini, Mama pun menjadi bagian di hati orang-orang yang bahkan tidak pernah bertemu dengannya.
Dan sekarang, berselang 11 tahun dari terbitnya buku “Titik Nol”, kisah ini akan segera ditayangkan sebagai serial film Netflix @netflixid. Cerita perjalanan hidup Mama pun akan menjadi nyata dalam imajinasi banyak orang.
Mama, semoga kau senantiasa bahagia di sana.
Selamat ulang tahun yang kekal, Mama tercinta.
Dari anakmu yang tak pernah berhenti merindukanmu.
#ceritaperjalananku#TitikNol#AgustinusWibowo#filmTitikNol#GarisBatas#JalanPanjangUntukPulang#KitaDanMereka#Netflixid
@bukugpu
Btw, foto slide 1 dibuat tahun 1978 menggunakan film, ada yang tahu ngga ya bagaimana caranya pada zaman pradigital itu bisa bikin foto seperti itu?
]]>Kejutan tak terduga dalam perjalanan adalah esensi dari petualangan!
Dalam buku-buku perjalanan yang saya tulis, elemen ketidakterdugaan selalu menjadi daya tarik utama. Tempat2 baru, orang2 unik, kejadian2 spontan, setiap momen adalah cerita.
Jalan2 bareng Agustinus Wibowo berarti harus siap untuk petualangan tak terlupakan. Dalam menyusun itinerary trip2 ke Asia Tengah bersama @wesgo.travel, saya selalu sadar memberi ruang bagi kejutan.
Berikut adalah beberapa kejutan istimewa dari trip terakhir kami di Uzbekistan:
– Ziarah eksklusif ke makam Imam al Bukhari (sebenarnya masih ditutup untuk renovasi sampai 2025)
– Belajar tradisi pernikahan tradisional Uzbekistan yang meriah
– Menyaksikan keindahan ibukota dari ketinggian
– Belajar filosofi ajaran sufi langsung dari ahlinya
– Menyaksikan kemeriahan acara sunatan
– Menelusuri kuburan unik di kota tua Bukhara
– Petualangan mandi rame2 dan pijat ala Turki di hamam bersejarah
– Menari2 di tengah badai salju, sampai jadi tontonan warga lokal
– Bertemu dengan Temur Mirzaev @temurmirzo, tokoh dalam buku Garis Batas yang sudah jadi penasihat Menteri Pariwisata Uzbekistan
– Berkunjung ke rumah maestro kaligrafi Habibullo Solih yang penuh kebijaksanaan
– dan masih banyak lagi …!
Saking serunya trip ini, beberapa peserta sampai menangis ketika harus mengakhiri trip dan meninggalkan Uzbekistan. Sebagai teman perjalanan, saya pun sangat terharu dan kehilangan kata.
Tertarik merasakan petualangan in? Bergabunglah dalam trip Uzbekistan kami selanjutnya, 28 Februari – 6 Maret 2024! Info lebih lanjut silakan kontak WESGO melalui WA https://wa.me/message/4VZUMYUPUR4TD1
]]>Akhirnya… buku baru!
Terus terang, “Kita dan Mereka” adalah buku tersulit yang pernah saya tulis sejauh ini. Butuh waktu 6 tahun yang penuh perjuangan untuk menyelesaikan buku ini.
Setiap kata yang terukir dalam halaman-halaman buku ini adalah perjalanan. Buku ini lahir dari kegelisahan saya, pertanyaan yang menghantui saya sejak kecil sebagai bagian dari komunitas diaspora: “Siapa diri saya sebenarnya?”
Pertanyaan itu mengantar saya pada sebuah perjalanan pencarian panjang, ke berbagai negeri. Saya pun banyak mengunjungi daerah konflik, karena itu adalah cara saya memahami dan berdamai dengan konflik identitas yang berkecamuk dalam diri saya sendiri.
Selain itu, saya juga harus mengarungi lautan ratusan buku referensi – lebih dari 350 buku – untuk menelusuri sejarah berbagai kotak-kotak identitas manusia: negara, bangsa, agama, ideologi, ras, dan masih banyak lagi.
Begitu banyak cerita, begitu banyak data, saya pun perlu melakukan perjalanan spiritual yang sangat dalam untuk memahami makna dari semua ini. Jawaban dari pertanyaan besar “Siapa saya?”
Ini sesungguhnya adalah pertanyaan yang relevan bagi kita semua. Kita hidup dalam dunia global yang semakin sulit dipahami. Dunia di sekeliling kita berubah begitu cepat. Di tengah dunia yang semakin menyatu ini, konflik berdarah dan permusuhan atas nama identitas pun masih terus bergolak. Apa makna dari ini semua? Dan bagaimana kita melangkah menuju dunia yang lebih damai?
Bersiaplah untuk merenungi, menelusuri, dan mungkin … menemukan jawaban atas pertanyaan yang sama yang mungkin pernah Anda tanyakan pada diri sendiri.
#agustinuswibowo#bukubaru#nonfiksi#KitaDanMereka#identitas#TionghoaIndonesia#nasionalisme#agama#nonfiksikreatif#ceritaperjalananku#kontemplasi#mizanpustaka
@mizanpublishing
Photo by @hassanhanss
Gerakan politik di Iran selalu tidak terlepas dari seni. Demikian pula dengan gelombang protes besar-besaran yang mengguncang Iran berbulan-bulan pasca kematian Mahsa Amini, perempuan muda 22 tahun yang meninggal setelah ditangkap polisi moral, gara-gara hijab yang dianggap tidak sesuai aturan.
Sebuah lagu dinobatkan sebagai “lagu kebangsaan” para demonstran dalam aksi protes menentang pemerintah. Para demonstran Iran serempak menyanyikan lagu ini, baik di Iran maupun di 200 kota di seluruh penjuru dunia, mulai dari London, Paris, Los Angeles, Toronto, Melbourne, hingga Tokyo.
Lagu berjudul Baraye ini diciptakan musisi muda Iran, Shervin Hajipour (25). Dia mengumpulkan cuitan para netizen Iran di Twitter mengenai alasan mereka berdemonstrasi menentang pemerintah. Ini berarti, pencipta lagu ini sebenarnya adalah rakyat Iran sendiri. 28 baris dalam lagu ini semuanya diawali kata “baraye”, yang dalam bahasa Persia berarti “untuk” atau “karena”. Ini adalah 28 alasan mereka melakukan protes, kata-kata sederhana yang menggambarkan depresi, luka, dan kemarahan orang Iran.
Hajipour menyanyikan sendiri lagu ini diiringi petikan gitarnya, memejamkan mata dan nada sendu yang mengguncang emosi. Dia mengunggah lagu ini di akun Instagram miliknya, langsung viral dengan 40 juta view. Dua hari kemudian, polisi Iran menangkapnya, dan lagu ini dihapus dari akun media sosialnya.
Namun, penangkapan itu justru menjadikan Hajipour sebagai sosok pahlawan legendaris. Orang-orang Iran mengunggah kembali lagu ini di akun media sosial masing-masing, menyanyikan kembali, bahkan ada yang menerjemahkan ke bahasa Inggris untuk audiens internasional. Seketika, lagu ini mendunia, menjadi simbol perjuangan rakyat Iran menentang pemerintahnya sendiri.
Saat mendengar lagu ini pertama kali dalam bahasa Persia, jujur saya tak kuasa menahan air mata, menangis selama berjam-jam. Saat tinggal di Afghanistan dulu, saya sering mampir ke Iran, dan punya banyak sahabat di sana. Seketika saya terbayang kembali memori tentang para sahabat lama itu, diliputi kekhawatiran apakah mereka semua baik-baik saja.
Untuk bisa benar-benar merasakan ratapan orang Iran yang tertuang dalam lagu ini, kita perlu memahami apa yang terjadi di Iran beberapa waktu terakhir. Saya mencoba menerjemahkan lirik lagu Baraye ini ke bahasa Indonesia, sembari memberikan sekilas informasi peristiwa yang menjadi latar belakangnya.
Untuk menari di jalanan
Untuk ketakutan saat berciuman
Untuk saudariku, saudarimu, saudari kita
Untuk mengubah pikiran yang membusuk.
Republik Islam Iran berdiri tahun 1979, menjadi gerakan Islamis pertama yang berhasil menempatkan ulama pada pucuk pimpinan negara. Iran menjadi pionir di dunia dalam hal penerapan hukum Islam sebagai hukum resmi negara.
Sejak tahun 1983, Iran mengeluarkan aturan wajib berhijab bagi semua perempuan di Iran, termasuk non-Muslim dan orang asing yang mengunjungi Iran. Untuk menegakkan aturan berpakaian Islami, pemerintah mengerahkan gasht-e-ershad, semacam polisi moral, yang memperingatkan, menangkapi, sampai menghukum para perempuan dan laki-laki yang dianggap berpakaian tidak pantas.
Dukungan terhadap aturan wajib hijab di kalangan masyarakat Iran terus menurun, dari 85% pada awal 1980-an hingga menjadi 35% di tahun 2018, menurut laporan sebuah lembaga riset Parlemen Iran. Dalam beberapa tahun terakhir, Iran sebenarnya sempat cukup moderat tentang urusan pakaian, di bawah pemerintahan Presiden Hassan Rouhani. Banyak perempuan Iran yang mengenakan kerudung dengan sangat longgar, menampilkan sebagian besar rambut. Namun pengawasan pakaian kembali diketatkan di masa Presiden Ebrahim Raisi, yang berkuasa sejak 2021.
Mahsa Amini adalah perempuan etnik Kurdi dari kota Saghez, Kurdistan, mengunjungi Teheran bersama keluarganya. Pada 13 September 2022, Amini ditangkap polisi moral saat memasuki Jalan Raya Haqqani. Tak lama kemudian, pada 16 September 2022, Amini meninggal di rumah sakit setelah tiga hari mengalami koma. Keganjilan dalam kasus Amini itu diberitakan jurnalis Niloofar Hamedi, yang bekerja untuk Harian Shargh di Teheran. Setelah maraknya kasus Amini, Hamedi ditangkap di rumahnya oleh aparat Iran, dan dibawa ke Penjara Evin yang terkenal angker sebagai tempat penyiksaan kejam agen intelijen pada masa kekuasaan monarki Shah.
Beredarnya foto-foto Amini sejak di rumah sakit membangkitkan keprihatinan masyarakat luas. Otoritas Iran bersikukuh bahwa kematian Amini adalah karena serangan jantung, sedangkan keluarganya mengatakan Amini sama sekali tidak punya riwayat penyakit jantung. Pasca kematian Amini, ribuan perempuan Iran di berbagai penjuru negeri turun ke jalan, mengacungkan dua jari lambang Victory sambil meneriakkan slogan “Perempuan, Hidup, Kebebasan!”
Sebagian perempuan bahkan berani melepas hijab di jalanan dan membakarnya, dan sebagian lagi sampai menggunting rambut sebagai wujud protes. Berbeda dengan protes kaum perempuan menentang aturan wajib hijab di awal tahun 1980-an, pada gelombang protes di tahun 2022 ini, para lelaki pun turut berdemonstrasi berdampingan dan mendukung penuh kaum perempuan.
Pemerintah Iran menanggapi protes ini dengan kekerasan. Banyak demonstran yang dipukuli dan ditangkap. Sejumlah perempuan bahkan tewas ditembak atau dipukuli karena melepas hijab saat berdemonstrasi. Para pemuda dan anak-anak juga turut menjadi korban. Tindakan pemerintah yang represif terhadap aksi protes membuat demonstrasi semakin luas dan intens, terutama di kota-kota Kurdistan kampung halaman Amini, yang telah menjadi seperti medan perang.
Aturan yang membatasi kaum perempuan di Iran tentu bukan hanya soal pakaian. Masih banyak aturan lain, termasuk larangan perempuan menari di jalanan, atau larangan bagi pasangan untuk mengekspresikan cinta di tempat umum. Pada tahun 2014, tujuh muda-mudi Iran ditangkap karena mereka menari mengiringi lagu Happy dari Pharrell Williams, diancam hukuman 6 bulan penjara dan 91 cambuk. Presiden Iran saat itu yang moderat, Rouhani, sempat menulis di Twitter untuk membela para pemuda yang ditangkap itu: “Kegembiraan adalah hak rakyat kita. Kita tidak seharusnya terlalu keras pada perbuatan yang disebabkan oleh kegembiraan.”
Itulah sebabnya dalam aksi demonstrasi ini, juga terlihat aksi pembangkangan terhadap aturan pembatasan yang ditegakkan Republik Islam. Para perempuan yang melepas hijab menari-nari di tengah jalanan, beberapa bahkan berciuman secara terbuka dengan pasangan mereka. Ini adalah sesuatu yang mustahil terlihat di Iran pada masa sebelumnya.
Untuk aib dari kaum papa
Untuk hasrat akan kehidupan yang biasa
Untuk bocah pemulung yang mengais mimpi
Untuk ekonomi terpimpin ini
Republik Islam Iran adalah negara yang berdiri atas dasar ideologi. Sejak berdirinya, rezim ini selalu konsisten bermusuhan dengan dunia Barat. Iran juga mendanai gerakan-gerakan Islamis militan di luar negeri, seperti Hizbollah di Lebanon, untuk memperkuat posisi geopolitik mereka di Timur Tengah.
Namun, kebijakan Iran yang sangat berorientasi ideologi itu juga membawa penderitaan bagi rakyatnya.
Keputusan Iran meneruskan program nuklir menyebabkan Iran mendapat sanksi global, sehingga kesulitan mengekspor minyak dan hasil industrinya. Kurs rial Iran anjlok drastis, dari sekitar IRR 12.000 per dolar Amerika pada tahun 2013 (setara dengan kurs rupiah saat itu) menjadi IRR 33.000 pada tahun 2017, dan kini IRR 42.000. Bisa dibayangkan betapa mahalnya harga barang-barang impor di Iran. Kondisi itu diperburuk dengan inflasi di Iran yang terus meroket, membuat kehidupan rakyat semakin sulit. Angka pengangguran meningkat drastis, dan kemiskinan merajalela.
Secara umum rakyat Iran telah menjadi semakin miskin, dengan sekitar sepertiga penduduk Iran hidup di bawah garis kemiskinan. Dalam beberapa tahun terakhir, sudah ada sejumlah kasus pekerja Iran yang membakar diri karena kemiskinan, misalnya seorang pekerja di Kermanshah yang membakar diri hingga tewas karena kemiskinan dan tidak sanggup membayar biaya pengobatan ibunya. Seorang pekerja di Iran yang diwawancara sampai menangis terisak-isak, mengaku tiga tahun lalu dia pernah menjanjikan untuk membelikan sepeda untuk anaknya, dan hingga hari ini pun dia tidak sanggup membelinya. Sementara itu pada tahun 2021, seorang bocah pemulung Iran diwawancara tentang cita-citanya, menjawab bahwa dia tak tahu artinya kata “cita-cita” sehingga dia pun tak punya cita-cita.
Untuk udara yang kotor
Untuk pohon-pohon yang layu di Valiasr
Untuk citah Pirouz yang mungkin punah
Untuk anjing tak berdosa yang dilarang
Bait berikutnya bicara tentang kerusakan lingkungan, yang dipandang telah terabaikan di bawah pemerintahan Republik Islam. Kualitas udara di Teheran dan banyak kota besar Iran lainnya telah begitu buruk, sehingga penduduk kesulitan bernapas. WHO pada tahun 2018 memasukkan Teheran dalam daftar “kota dunia dengan polusi terparah”, sedangkan Bank Dunia pada tahun yang sama menyebut 4.000 hingga 12.000 warga Iran meninggal setiap tahun karena polusi udara. Sementara itu, pohon-pohon chenar tua yang meneduhi Jalan Raya Valiasr di pusat kota Teheran malah banyak yang ditebangi, dengan alasan agar gedung-gedung pertokoan bisa terlihat dari jalanan.
Iran juga dibayangi kepunahan spesies binatang langka citah Asia. Dua dari tiga bayi citah yang baru lahir di penangkaran pada tahun 2022, tewas. Seekor yang tersisa diberi nama Pirouz (“Kemenangan”), mungkin adalah individu terakhir dari spesies ini. Setelah kematiannya nanti, spesies citah langka ini mungkin akan benar-benar jadi sejarah.
Peristiwa lain yang menggugah perasaan masyarakat Iran adalah pembantaian anjing oleh pemerintah. Ulama Iran menyatakan bahwa anjing adalah binatang najis yang harus dimusnahkan, dan polisi menyatakan bahwa membawa anjing peliharaan berjalan-jalan di taman adalah tindak pidana. Pada tahun 2019, beredarnya video pembantaian brutal terhadap anjing-anjing liar memicu demonstrasi besar di Teheran. Atas nama agama, pemerintah Iran telah membantai 1.700 anjing di penampungan.
Untuk tangisan yang tanpa henti
Untuk bayangan mengulang momen ini
Untuk wajah yang tersenyum
Untuk para siswa, untuk masa depan
Pada 8 Januari 2020, pesawat penumpang Ukraine International Airlines PS752 dengan rute penerbangan Teheran-Kyiv ditembak jatuh dengan dua misil oleh Garda Revolusi Iran di Teheran, tiga menit setelah lepas landas. Otoritas Iran mengakui peristiwa itu sebagai kesalahan, mengira pesawat itu adalah pesawat militer musuh. Semua dari 176 orang di dalam pesawat itu tewas, mayoritas adalah orang Iran sendiri.
Di antara wajah-wajah yang tak mungkin akan tersenyum lagi itu adalah Reera Esmaeilion, gadis cilik berusia 10 tahun yang hendak berkumpul dengan keluarganya di Kanada. Ayahnya, Hamed Esmaeilion adalah penulis diaspora Iran di Kanada yang sudah memenangkan banyak penghargaan sastra. Pasca tragedi itu, Hamed menjadi ketua asosiasi keluarga korban musibah PS752, yang mencapai belasan ribu orang, menuntut tanggung jawab pemerintah Iran. Setelah merebaknya kasus kematian Mahsa Amini, Hamed juga mengorganisir demonstrasi global kaum diaspora Iran di seluruh penjuru dunia pada 1 Oktober 2022 untuk menentang rezim Republik Islam.
Sementara itu di dalam negeri Iran, menentang rezim secara terbuka adalah tindakan berani dan berbahaya. Seorang aktivis Iran, yang juga jurnalis dan pembuat film, Mohammad Nourizad, pada tahun 2010 sempat dipenjara karena menuntut pemimpin tertinggi Iran Khamenei untuk mundur. Pada tahun 2013, Nourizad membangkitkan kesadaran masyarakat Iran akan nasib anak-anak pemeluk agama Baha’i, yang tidak bisa mendapat pendidikan, karena agama mereka dianggap ilegal oleh pemerintah Iran. Pada tahun 2019, Nourizad ditangkap lagi karena mengkritisi pemerintahan ulama Iran, dihukum penjara 15 tahun, dan saat ini masih mendekam di penjara.
Untuk surga yang dipaksakan ini
Untuk kaum intelektual yang dipenjara
Untuk bocah-bocah pengungsi Afghan
Untuk semua “untuk” yang tak terkatakan
Behest-e ejbari, “surga yang dipaksakan”, adalah kiasan dari aturan-aturan Syariat Islam yang diberlakukan di Iran, yang konon akan mendatangkan rahmat surgawi dari Tuhan. Namun dalam penegakan aturan-aturan ini, telah banyak darah yang tertumpah. Pada saat perang Iran-Irak, anak-anak kecil Iran didorong untuk mengorbankan nyawa sebagai penyapu ranjau atau pelaku bom bunuh diri, dengan iming-iming surga apabila mereka syahid. Sementara itu, para perempuan Iran dicemooh ulama, atau dipukuli, ditangkapi, dan digeret ke dalam mobil patroli oleh polisi moral, hanya karena mereka memakai hijab yang dianggap kurang layak. Semua ini membangkitkan pertanyaan: pada akhirnya ini adalah surga untuk siapa?
Rezim Republik Islam Iran tidak segan menangkapi, memenjara, dan menyiksa orang-orang Iran yang berani bersuara vokal menentang rezim. Ini termasuk begitu banyak jurnalis, penulis, pembuat film, aktor, seniman, sampai olahragawan. Salah satunya adalah Ali Younesi, seorang pelajar pemenang medali emas dalam Olimpiade Astronomi Dunia yang telah mengharumkan nama Iran, ditangkap karena membuat pernyataan yang memrotes tindakan pemerintah, dan baru-baru ini dijatuhi hukuman 16 tahun penjara.
Nasib yang penuh ketidakpastian juga dihadapi para pengungsi Afghanistan yang tinggal di Iran. Yang paling mengenaskan adalah anak-anak pengungsi, yang jumlahnya mencapai 1 juta orang. Mereka hidup dalam kemiskinan yang parah, dan sering mengalami tindak pelecehan. Tanpa perlindungan hukum, banyak kasus anak pengungsi Afghan yang diperkosa bahkan dibunuh. Tanpa status, mereka tak bisa menuntut keadilan kepada siapa-siapa.
Dalam kisah kehidupan keseharian orang-orang yang tinggal di Iran saat ini, ada begitu banyak penderitaan, begitu banyak ratapan. Daftar panjang alasan protes ini tidak akan pernah ada habisnya.
Untuk semua slogan-slogan kosong
Untuk reruntuhan rumah-rumah bobrok
Untuk perdamaian dan kedamaian
Untuk mentari terbit setelah malam panjang
Pada tahun 2020, seorang petinggi militer Iran, Jenderal Qasem Soleimani tewas dalam serangan Amerika di Baghdad, Irak. Sebagai ekspresi kemarahan, pemerintah Iran menggambar bendera Amerika dan Israel di lantai lapangan Universitas Shahid Behesti di Teheran. Mereka mengharapkan para mahasiswa menginjak-injak gambar bendera itu sebagai pernyataan kebencian Iran terhadap Barat. Namun yang mengejutkan, mayoritas mahasiswa Iran justru berjalan menepi dan menghindar, menolak menginjakkan kaki mereka di atas gambar bendera negara-negara yang disebut sebagai musuh besar Iran itu.
Mereka juga tidak mau meneriakkan slogan-slogan khas Republik Islam Iran, “Matilah Amerika! Matilah Israel!” Sebaliknya, slogan baru yang diteriakkan para demonstran pasca kematian Mahsa Amini adalah “Matilah diktator!”, ditujukan kepada Ali Khamenei, ulama pemimpin tertinggi Iran.
Peristiwa lain di pertengahan tahun 2022 yang menjadi keprihatinan masyarakat Iran adalah runtuhnya bangunan komersial Metropol di kota Abadan, Provinsi Khuzestan. Reruntuhan bangunan mengubur setidaknya 80 orang. Kualitas bangunan yang buruk terjadi karena korupsi: pebisnis yang melanggar aturan dilindungi para pejabat yang korup. Dalam berminggu-minggu setelah itu, gelombang protes melanda Abadan dan kota-kota lain. Slogan yang diteriakkan para demonstran juga adalah slogan anti-pemerintah, seperti “Ulama Harus Enyah!”, “Musuh Kita Ada di Sini, Bohong Kalau Bilang Musuh Kita Amerika”, dan “Bangkitlah Rakyat Abadan, Saudaramu Telah Dibunuh”.
Untuk obat penenang dan insomnia
Untuk manusia, tanah air, dan kemakmuran
Untuk para gadis yang bermimpi menjadi laki-laki
Untuk perempuan, hidup, kebebasan
Di tengah buruknya ekonomi, tingkat pengangguran yang tinggi, kemiskinan, kemelut politik, dan berbagai insiden tak terduga, masyarakat Iran terus-menerus digelayuti kekhawatiran. Itu sebabnya, masalah kesehatan mental menjadi masalah serius di Iran, dengan sekitar satu dari lima penduduk Iran mengalami gangguan mental atau gangguan penggunaan zat.
Pilunya nasib kelas bawah Iran ditunjukkan dalam sebuah video viral yang menggetarkan hati. Mei 2022, Karim Mohammadi dan Sirous Hosseinpour, dua pekerja pembuat roti, dalam video tampak melambaikan tangan sambil mengucapkan, “Sampai jumpa. Kepada semuanya, sampai jumpa!” Sesaat setelah merekam video itu, mereka bunuh diri, karena sudah tidak tahan lagi dengan penderitaan kemiskinan yang mereka alami.
Sementara itu, sebagian perempuan Iran justru masih bermimpi bisa menjadi laki-laki, agar bisa menikmati hak kesetaraan. Pada tahun 2019, seorang gadis muda pencinta sepakbola bernama Sahar Khodayari mencoba menyamar sebagai laki-laki untuk bisa menyelundup ke Stadion Azadi, demi menonton pertandingan sepakbola. Di Iran, perempuan dilarang menonton sepakbola di stadion bersama laki-laki, karena dianggap bertentangan dengan “aturan Islami”. Sahar tertangkap, diancam hukuman dengan tuduhan “tampil di depan umum tanpa hijab”. Keluar dari gedung pengadilan, Sahar membakar dirinya sendiri, dan kemudian meninggal di rumah sakit.
Kasus Mahsa Amini bukanlah satu-satunya alasan dari gelombang protes besar-besaran yang terus mengguncang Iran hingga hari ini. Ada begitu banyak alasan, begitu banyak kekecewaan, akumulasi berpuluh tahun kemarahan yang lama terpendam. Protes ini bukanlah tentang menolak hijab, melainkan perlawanan terhadap belenggu represi. Ini bukan untuk melawan agama, tetapi melawan rezim yang bertindak semena-mena menggunakan nama agama. Slogan mereka adalah sebuah impian, akan sekadar kehidupan yang normal. Perempuan. Hidup. Kebebasan.
Untuk kebebasan
Untuk kebebasan
Untuk kebebasan
]]>Tak terasa, waktu di tahun 2022 ini berlalu secepat kilat. Dan jujur, hidup saya terasa hampa.
Saya sebenarnya mengawali tahun ini dengan semangat tinggi. Keheningan retret meditasi memberi saya banyak inspirasi, dan saya sepertinya telah menggenggam kebebasan finansial dengan investasi saham saya.
Tetapi semua itu seperti dibalik dalam seketika. Hanya dalam beberapa minggu, profit yang semula +30% berubah menjadi rugi -45%. Harus saya akui, itu pukulan yang cukup berat, menguras waktu dan pikiran saya untuk berusaha mengembalikan kerugian.
Namun, semakin saya mencoba, semakin saya terjerat dalam lingkaran setan yang tidak ada habisnya. Hingga saya menyadari, yang saya kehilangan bukan hanya uang, tetapi yang paling berharga: waktu.
Pandemi dan efek digitalisasi yang terlalu pesat ini memang mengubah total hidup saya. Dari yang dulu suka berkelana dan mengeksplorasi dunia, kini kehidupan saya terpaku di rumah, memelototi grafik dan angka. Saya terpenjara, dan penjara saya sesungguhnya adalah pikiran saya sendiri.
Belakangan ini saya banyak bermeditasi dan berkontemplasi untuk penyembuhan diri. Tahapan pertama penyembuhan adalah menyadari ada yang salah, kemudian menemukan apa yang salah, baru kemudian menyembuhkannya.
Semua pukulan ini semakin membuat saya memahami filosofi ANICCA. Segala sesuatu pasti berubah. Segala sesuatu tiada abadi. Melepaskan diri dari kemelekatan adalah kunci kebahagiaan.
Dalam perjalanan spiritual menemukan kembali diri saya sendiri ini, saya menggiatkan kembali aktivitas lama yang pernah menjadi bagian dominan hidup saya: menulis dan fotografi.
Saya merasa beruntung di masa muda pernah melakukan banyak perjalanan melihat dunia. Masih begitu banyak cerita yang belum dibagikan, masih banyak pemikiran yang belum dituangkan.
Pelan-pelan, saya mulai melatih pikiran bawah sadar saya untuk kembali pada tujuan hidup saya semula: berbagi cerita untuk kemanusiaan. Saya menyadari, kebahagiaan tertinggi adalah ketika kita bisa membuat hidup kita berguna bagi banyak orang.
Semoga saya bisa kembali menemukan diri. Dan semoga teman2 semua senantiasa berbahagia.
Sadhu sadhu sadhu.
]]>Indonesia memang adalah negara dengan jumlah penduduk Muslim terbesar di dunia. Tetapi, Islam baru menyebar luas di Nusantara sekitar lima atau enam abad terakhir, sedangkan selama ribuan tahun sebelumnya, agama yang dominan di kepulauan ini adalah Hinduisme, Buddhisme, dan agama-agama lokal.
Karena itu, walaupun lebih dari 80 persen penduduk Indonesia kini beragama Islam dan sejumlah besar lainnya beragama Kristen, pengaruh Hindu-Buddha masih sangat kuat dalam kehidupan keagamaan di negeri ini, sering tanpa disadari sebagian besar orang. Dari sisi linguistik saja, banyak kosakata yang berhubungan dengan agama dalam bahasa Indonesia, sejatinya berasal dari tradisi Hindu-Buddha.
Yang pertama adalah kata agama sendiri. Alih-alih kata din yang berasal dari bahasa Arab atau religio dari bahasa Latin, dalam bahasa Indonesia digunakan kata agama yang diserap dari bahasa Sanskerta dari India, negeri asal peradaban Hindu-Buddha.
Dalam masyarakat Hindu di India, agama adalah sekumpulan tulisan pasca-Weda yang menjelaskan pengetahuan ritual, filosofi, dan spiritual yang digunakan sebagai pegangan bagi para umat Hindu. Agama berhubungan dengan cara menyembah dewa, cara pembangunan kuil dan patung, cara menyelenggarakan festival dan hari raya. Agama juga berhubungan dengan mantra, yoga, meditasi, doktrin filosofis, dan disiplin mental untuk menjadi manusia yang lebih baik.
Kata agama kemudian digunakan pula di Jawa. Ada sebuah naskah kuno Jawa abad ke-16 yang berjudul Agama, diteliti oleh M.C. Hoadley dan M.B Hooker. Isinya adalah kitab undang-undang yang mengatur hukum yang berlaku di tengah masyarakat Jawa pada masa itu. Karena itu, makna agama semula adalah peraturan tertulis yang berasal dari tradisi turun-temurun, dan tidak serta-merta berhubungan dengan Tuhan, Nabi, akhirat, atau surga neraka.
Dalam hal beribadah, umat berbagai agama di Indonesia sering menggunakan istilah sembahyang. Kata ini pun berasal dari tradisi pra-Islam. Sembahyang berasal dari dua kata, sembah dan hyang. Istilah hyang ini berasal dari agama-agama lokal di Sunda, Jawa, dan Bali, yang akarnya adalah pada pemujaan arwah leluhur dan roh penjaga alam, yang kemudian dikaitkan dengan dewa-dewa dalam kepercayaan Hindu.
Kata puja yang sering dikaitkan dengan penghormatan kepada Tuhan, juga berasal dari bahasa Sanskerta. Puja di India adalah ritual penyembahan yang dilakukan umat Hindu, Buddha, dan Jain sebagai wujud doa dan penghormatan bagi para dewa atau orang-orang yang sangat dihormati. Dalam tradisi Hindu India, ritual puja biasa dilakukan dengan menggunakan cahaya atau api, bunga, air, dan mempersembahkan makanan bagi dewa. Aturan ritual puja juga diatur dengan sangat mendetail dalam kitab-kitab Veda sejak ratusan tahun silam.
Bentuk ritual lain yang penting bagi orang Hindu India adalah bakti. Kata ini juga diserap dalam bahasa Indonesia, dan dimaknai sebagai kesetiaan terhadap Tuhan, negara, atau orangtua. Orang Kristen rutin menggelar kebaktian di gereja, sebagai bentuk bakti mereka bagi Yang Mahakuasa. Dalam tradisi agama Hindu, kata bhaktibermakna cinta, kesalehan, dan kepatuhan seorang umat terhadap dewa. Dalam kitab Bhagavad Gita, bhakti termasuk salah satu jalan spiritual menuju moksa.
Istilah-istilah yang dipakai untuk menyebut pemimpin agama di Indonesia juga banyak berasal dari tradisi Hindu. Misalnya kata pendeta atau pandita, yang dipakai untuk menyebut pemimpin agama Kristen, Hindu, atau Buddha. Kata pandita dalam bahasa Sanskerta berarti “pemilik pengetahuan” atau “orang terpelajar”. Umat Islam di Minangkabau juga pernah menyebut ulama Muslim sebagai pendeta, sebagaimana terekam dalam novel Siti Noerbaja karya Marah Roesli.
Kata santri pun berasal dari bahasa Sanskerta shastri, yang memiliki akar kata yang sama dengan sastra, yang berarti kitab suci atau pengetahuan. Karena itu, shastri berarti orang yang telah mendapatkan sastra. Di India sendiri, shastri kini bermakna gelar sarjana dari institusi pendidikan tinggi, sehingga masih meneruskan makna aslinya dalam bahasa Sanskerta. Sedangkan di Indonesia, santri kini identik dengan pelajar agama Islam yang belajar di pesantren. Kata pesantren sendiri berasal dari kata santri yang diberi imbuhan pe-an.
Ibadah puasa merupakan bagian penting dalam ibadah umat Islam dan Katolik, tapi kata ini pun dalam bahasa Indonesia berasal dari tradisi Hindu. Asal kata puasa adalah upavasa (upawasa) dalam bahasa Sanskerta, merupakan ritual pengendalian diri yang dilakukan oleh penganut ajaran Hindu. Kata ini terdiri dari kata vas yang berarti hidup, dan upa yang berarti dekat. Kata ini bisa diartikan sebagai “ritual untuk hidup dekat dengan Yang Maha Agung”. Kata ini kemudian diserap dalam bahasa Jawa menjadi pasa, dan dalam bahasa Melayu atau Indonesia menjadi puasa.
Tradisi Hindu-Buddhis senantiasa menekankan pada pentingnya samadhi, yang berarti pemusatan pikiran untuk bermenung, atau bermeditasi. Bagi pengikut ajaran Buddha, meditasi adalah jalan yang sangat penting untuk mencapai kebijaksanaan. Dalam masyarakat Jawa, samadhi juga mengakar erat dalam kehidupan sehari-hari. Tapa brata masih dijalankan oleh masyarakat Muslim tradisional di Jawa selama berabad-abad.
Namun kini sayangnya kata semadi atau semedi dalam percakapan sehari-hari di Indonesia memiliki makna konotatif, sering diidentikkan dengan hal-hal yang mistik atau eksentrik. Saya juga menemukan fenomena serupa di India dan Pakistan, dua negara yang sama-sama mewarisi peradaban Sanskerta. Di India yang mayoritas Hindu, samadhi masih merupakan jalan spiritual yang suci, sedangkan di Pakistan yang mayoritas Muslim, kata ini juga bermakna konotatif sebagai pemujaan berhala.
Ketika agama berganti, budaya bergeser, kata-kata pun bisa mengalami perubahan makna sehingga menjadi sangat jauh dari makna aslinya. Misalnya konsep surga dan neraka yang sangat penting dalam ajaran agama-agama monoteistik, di Indonesia menggunakan kata-kata dari peradaban Hindu-Buddhis yang memiliki konsep surga dan neraka yang sangat berbeda.
Kata surga dalam bahasa Indonesia berasal dari kata svarga atau swarga loka, adalah salah satu dari tujuh loka tinggi dalam kosmologi Hindu. Swarga Loka dipercaya berada di atas gunung suci Meru, merupakan tempat transit bagi roh-roh orang suci sebelum memasuki putaran inkarnasi atau penitisan berikutnya. Sedangkan neraka berasal dari kata naraka bahasa Sanskerta, merupakan tempat orang-orang berdosa dihukum setelah kematian, dan terletak di selatan semesta atau di bawah bumi. Sebagaimana svarga, naraka juga adalah tempat sementara, karena setelah roh-roh itu menyelesaikan hukuman siksaannya, mereka akan dilahirkan kembali sebagai makhluk fana sesuai karma perbuatan mereka yang terdahulu.
Dalam konsep agama-agama monoteistik Abrahamik, konsep dosa dan pahala pun sangat penting untuk menentukan apakah seseorang akan masuk surga atau neraka. Menariknya, kedua kata ini pun dalam bahasa Indonesia juga diserap dari tradisi Hindu-Buddhis, dengan pemaknaan yang sangat berbeda.
Kata dosa berasal dari bahasa Sanskerta dvesha yang merupakan istilah Buddhis untuk kebencian atau ketidaksukaan. Dosa menurut ajaran Buddhis termasuk kemarahan, kebencian, ketidaksenangan, ketidakterimaan, dan penolakan. Ketika seseorang penuh dosa, pikirannya dikuasai kebencian, maka dia akan mengakibatkan penderitaan pada diri sendiri dan orang lain. Dosa adalah salah satu sumber dari kejahatan, juga salah satu sumber ketidakbahagiaan, di samping nafsu keserakahan (lobha atau tanha) dan kebodohan batin (moha).
Sedangkan pahala berasal dari kata phala bahasa Sanskerta yang berarti “buah”, yaitu buah dari perbuatan, termasuk perbuatan baik maupun perbuatan buruk. Jadi makna phala dalam konsep Buddhis bukan hanya imbalan dari perbuatan baik sebagaimana dipahami dari konsep Islam, tapi juga balasan yang akan diterima terhadap perbuatan buruk, yang termanifestasi dalam perilaku fisik, ucapan, maupun pikiran.
Dalam ajaran spiritualitas tasawuf Jawa yang masih digunakan hari ini, sering digunakan kata sunyata untuk menyatakan kebenaran hakiki. Kata ini pun berasal dari bahasa Sanskerta dan merupakan konsep penting dalam ajaran Buddhis. Sunyata Buddhis adalah kondisi terbebasnya diri dari keakuan (anatta atau tanpa-aku). Dalam pemahaman Zen, sunyata adalah kondisi kekosongan yang sempurna. Kata dasarnya adalah sunya, yang berarti nol atau kosong. Kesunyataan bisa dikatakan sebagai pencerahan tertinggi, ketika seseorang sudah memahami hakikat kebenaran dan sanggup terbebas dari segala kemelekatan.
Semua kata yang dibahas di sini membuktikan betapa besar pengaruh ajaran Hindu-Buddhis bagi orang Indonesia, walaupun mayoritas orang Indonesia sudah tidak menganut agama-agama besar dari India ini lagi. Sebenarnya, pengaruh Hindu-Buddhis itu masih sangat luas, dan merasuk dalam kehidupan sehari-hari orang Indonesia di berbagai bidang.
Misalnya Pancasila, yang dijadikan sebagai falsafah hidup sekaligus ideologi bagi bangsa Indonesia. Nama Pancasila sebenarnya juga berasal dari tradisi Sanskerta. Pancasila dalam ajaran Buddhis berarti lima aturan dasar (sila), yang merupakan panduan moral bagi seseorang untuk menjalani kehidupan yang bersih secara spiritual. Pancasila merupakan ajaran religius yang berlaku di India sejak 3.000 tahun lalu, terdiri atas lima tuntunan sila: (1) tidak membunuh (2) tidak mencuri (3) tidak berbuat asusila (4) tidak berbohong (5) tidak mengonsumsi zat yang menyebabkan lemahnya kesadaran. Sila (moralitas), di samping samadhi (konsentrasi) dan panna (kebijaksanaan) merupakan jalan utama dalam Buddhisme untuk menuju kebahagiaan sejati.
Lambat nasional Indonesia, Garuda, dalam peradaban aslinya di India merupakan makhluk mitologi menyerupai burung. Umat Hindu percaya bahwa Garuda adalah kendaraan (vahana) bagi Dewa Wisnu, sedangkan Buddhis percaya bahwa garuda adalah pelindung ajaran dhamma. Selain Indonesia, India dan Thailand yang sama-sama mewarisi peradaban Sanskerta juga sering menggunakan Garuda dalam simbol-simbol resmi negara mereka.
Slogan nasional Indonesia, Bhinneka Tunggal Ika juga tentunya tak lepas dari falsafah Hindu-Buddhis. Kalimat ini diambil dari kakawin Sutasoma dari Kerajaan Majapahit abad ke-14. Kalimat lengkapnya berarti: Kebenaran Buddha dan Syiwa adalah tunggal. Berbedalah itu, tapi satu jugalah itu. Tidak ada kerancuan dalam kebenaran. Kalimat ini menunjukkan bahwa ajaran Buddha dan Syiwa (Hindu) yang hidup bersama di Majapahit secara harmonis itu memanglah berbeda, tapi keduanya adalah kebenaran yang sama.
Kalimat ini kemudian diwarisi dalam kehidupan Indonesia modern, dan mendapat pemaknaan baru tentang keberagaman identitas yang ada di Indonesia. Kata bhinneka kini menjadi sinonim bagi keberagaman, walaupun banyak pengguna kata ini yang lupa akar aslinya dalam konsep Hindu-Buddhis tentang Kebenaran universal yang tunggal walaupun bermacam-macam bentuk dan rupanya.
Tidaklah perlu heran jika mendapati unsur-unsur dari agama tua masih merasuk begitu mendalam dalam kehidupan modern di Indonesia. Pada dasarnya memang tidak ada agama yang murni, semuanya adalah hasil perpaduan dari berbagai agama dan kebijaksanaan berbagai budaya. Semua itu, bermacam-macam nama dan wujud rupanya, pada dasarnya adalah manifestasi dari Kebenaran yang tunggal. Bhinneka Tunggal Ika.
]]>Mata perempuan itu terpejam dalam hening dan damai. Kakinya bersila dalam posisi lotus, dia duduk bermeditasi di atas stupa. Sikap tangannya membentuk dharmachakra mudra, perlambang kebijaksanaan sebagaimana ditunjukkan Sang Buddha ketika mengajarkan dharma. Tapi yang membuatnya istimewa, kepala perempuan itu dibalut kerudung Islami.
Ini adalah patung luar biasa, yang menjadi alasan utama saya mengunjungi Jakarta Biennale, yang digelar di Museum Nasional, Jakarta. Patung dari batu dan resin ini dinamai Sri Naura Paramita, merupakan karya seniman muda Alfiah Rahdini.
Kepada saya, Alfi mengatakan bahwa karya ini terinspirasi dari arca Prajnaparamita yang dilihatnya di Candi Gayatri, Tulungagung. Arca ini sering dianggap menggambarkan kecantikan sempurna perempuan Jawa kuno. Arca yang dia saksikan itu sudah kehilangan kepala dan tangannya, namun itu membuat Alfi tersadar, betapa awamnya dia terhadap kesenian Hindu-Buddhis peninggalan Majapahit itu. Juga betapa asingnya dia terhadap budaya dan peradaban luhur leluhurnya sendiri.
Sepulang dari perjalanan itu, Alfi kemudian mulai melakukan riset, dan menemukan bahwa pembuatan patung itu didasarkan pada kitab suci Prajnaparamita Sutra, yang mengajarkan “kesempurnaan dalam kebijaksanaan”. Riset itu mengilhaminya membuat patung menyerupai Prajnaparamita versi modern, dengan menggunakan cetakan dirinya sendiri. Dia duduk dalam postur meditasi, mengenakan celana panjang dan hijab, tanpa melepas kacamata yang selalu menemaninya sehari-hari. Di pergelangan tangannya juga masih melingkar arloji pintar Xiaomi. Demikianlah terlahir Sri Naura Paramita, Prajnaparamita versi Indonesia abad ke-21.
“Ini seperti melihat masa lalu dari sudut pandang masa kini,” jelas Alfi.
Karya ini sangat menarik bagi saya, karena menggabungkan tiga unsur yang berkelindan sekaligus tak jarang berkontradiksi satu sama lain: perempuan, identitas keagamaan, dan keberagaman.
Saya beruntung, kunjungan saya ke Jakarta Biennale kali ini bertepatan dengan acara diskusi tentang karya Alfi ini. Dua pembicara lainnya juga kebetulan ada kawan baik saya: Inaya Wahid putri mantan Presiden Abdurrahman Wahid (Gus Dur), dan penulis sekaligus jurnalis Feby Indirani.
Acara dibuka dengan Inaya yang berjubah hitam panjang duduk bersila di depan patung karya Alfi dan membacakan cerpen karya Feby. Cerpen berjudul “Perempuan yang Kehilangan Wajahnya” ini mengisahkan tentang Annisa yang tiba-tiba saja kehilangan hidungnya. Tentu itu hal yang aneh, tapi Annisa tetap bisa menjalani kehidupan sehari-hari karena dia mengenakan niqab, yang menutupi seluruh wajahnya kecuali mata, sehingga wajah-tanpa-hidungnya tidak terlihat siapa pun. Annisa sendiri semula memakai jilbab biasa, tetapi suaminya mengatakan bahwa itu tidak cukup untuk perempuan salihah. Demikianlah Annisa memakai niqab, yang membuatnya tetap bisa melihat dunia luar tapi tidak mengizinkan dunia melihat wajahnya. Seiring waktu, Annisa kehilangan sebagian demi sebagian dari wajahnya, hingga akhirnya bibirnya pun hilang, dan dia menjadi perempuan yang kehilangan wajah.
Cerpen karya Feby itu menggambarkan realitas perempuan Muslim urban Indonesia. Sebagai perempuan Muslim yang besar di era rezim Orde Baru Suharto, Feby menyaksikan sendiri bagaimana jilbab telah mengalami pergeseran makna yang luar biasa. Banyak anak muda di zaman sekarang yang mungkin tidak tahu, bahwa di masa Orde Baru itu pemakaian jilbab sempat dilarang di ruang publik. Jilbab pada masa itu menjadi perlambang kebebasan dan simbol perlawanan terhadap rezim.
Tapi, setelah runtuhnya Orde Baru, terjadi perubahan yang bertolak belakang. “Jilbab semakin dirayakan, yang tidak memakai kerudung kini telah menjadi minoritas,” jelas Feby. “Setelah itu, pakai jilbab saja kemudian tidak cukup. Kerudungnya kurang syari. Jilbab pendek harus semakin panjang, baju semakin panjang, muka harus ditutup. Muncul pula perda-perda syariah yang pertama-tama mengatur tentang pakaian perempuan. Semakin beriman seseorang dianggap akan terlihat dari penampilannya.”
Perdebatan tentang apakah jilbab adalah simbol kebebasan ataukah represi terhadap perempuan adalah debat yang kompleks. Feby mencontohkan kasus di Eropa, tentang guru TK yang dilarang memakai niqab, karena wajah yang tidak terlihat itu bisa mengurangi interaksi antara guru dengan siswa. Ini kemudian menjadi polemik, apakah pelarangan itu merupakan pelanggaran terhadap kebebasan ekspresi beragama.
Tentu ini bukan masalah hitam putih yang mudah dikatakan mana benar dan mana salah. Melalui cerpen “Perempuan yang Kehilangan Wajahnya” itu Feby mengajak pembaca untuk menyelami kehidupan seorang pemakai niqab, yang merasakan bahwa niqab itu justru memberinya kebebasan dan kemerdekaan pada pemakainya dari tatap mata lelaki, sekaligus rasa amannya karena mematuhi perintah suami dan agama.
“Ada begitu banyak aspek yang berkelindan di balik jilbab,” timpal Inaya. “Masalah ini tidak semata-mata soal A adalah benar dan B adalah salah.” Dia mengakui bahwa mereka bertiga yang berbicara di mimbar ini sama-sama telah menjadi minoritas hari ini, sebagai perempuan Muslim yang “tidak solehah” menurut standar orang-orang karena tidak berjilbab. “Jilbab telah menjadi penanda ‘Dia adalah dari kelompok kami’ atau ‘Dia bukan dari kelompok kami’.”
Inaya melontarkan sebuah lelucon yang pernah dikatakan ayahnya dulu. Saat itu Gus Dur ditanyai orang-orang mengapa di Bantul terjadi gempa. Gus Dur pun menukas, “Karena Nyi Roro Kidul dipaksa pakai jilbab.”
Itu adalah lelucon yang mengandung banyak makna, dan bisa membangkitkan perenungan mendalam tentang agama, spiritualitas, dan identitas. Tapi di masa sekarang, siapa yang berani membuat lelucon seperti itu? Bisa-bisa dia diseret ke pengadilan dengan dakwaan penistaan agama.
Gus Dur bisa begitu karena dia adalah Gus Dur, yang bahkan tidak mungkin ditiru oleh putrinya sendiri. “Aku ingin ketawa tapi aku takut dipersekusi,” kata Inaya. “Di zaman sekarang ketawa saja bisa dipersekusi, apalagi bikin lelucon seperti itu.”
Inaya mengakui, di masa sekarang ini dia bahkan harus berpikir sangat-sangat panjang sebelum memposting apa pun pikirannya di media sosial. Tak jarang dia menulis status di Facebook, tapi kemudian dihapusnya sebelum sempat dipublikasi karena takut. Ketakutan itu membuat di tak henti-hentinya melakukan sensor terhadap dirinya sendiri.
Bahkan untuk acara hari ini pun, Inayah semat mengusulkan mengenakan kerudung, hijab, atau niqab saat membacakan cerpen “Perempuan yang Kehilangan Wajahnya” karya Feby, agar lebih menjiwai tokoh Annisa dalam cerita itu. Tetapi setelah melalui berbagai pertimbangan, dia dan Feby akhirnya memutuskan untuk tidak memakai kerudung sama sekali.
“Bayangkan, betapa sulitnya kami perempuan hari ini untuk menentukan pakaian kami sendiri,” kata Inaya.
Karya seni yang baik bukan hanya memukau dari sisi estetika belaka, tetapi sanggup membangkitkan perenungan mendalam dari metafora-metaforanya, bahkan membangkitkan perdebatan dalam dimensi kehidupan nyata yang lebih luas. Patung “Sri Naura Paramita” karya Alfi ini tentunya adalah karya yang demikian.
Sama seperti Inaya dan Feby, Alfi pun harus melewati banyak sekali pertimbangan untuk mengekspresikan pemikiran melalui karya-karyanya. Pasca Orde Baru, muncul banyak tekanan baru yang memaksa sejumlah seniman yang berhenti berkarya. Menyanyi dianggap haram, menari dianggap haram, melukis dianggap haram. Terlebih lagi, membuat patung.
“Patung di ruang publik sering dipersekusi karena dianggap berhala,” jelas Alfi. “Persekusi juga terjadi terhadap patung perempuan yang menampilkan bagian tubuh tertentu, yang dipandang keliru menurut interpretasi agama tertentu.”
Padahal, seni membuat patung dan pahat batu adalah tradisi yang telah berlangsung di Nusantara selama berabad-abad. Patung karya Alfi ini melibatkan unsur-unsur dari tradisi Hindu-Buddhis yang telah ribuan tahun menjiwai Nusantara, seperti misalnya teratai, postur samadhi, dan posisi mudra. Prajnaparamita sendiri menunjukkan kebhinekaan dalam sistem Majapahit, sinkretisme yang menonjolkan energi perempuan yang merangkul agama, budaya, dan segala aspek kehidupan lainnya. Alfi kemudian menggabungkan identitas Nusantara masa lalu itu dengan konteks masa kini, yaitu perempuan berjilbab yang kini telah menjadi mayoritas di Indonesia modern.
Karya patung ini membangkitkan sejumlah polemik. Terlepas dari begitu banyak pujian yang diterima, Alfi juga menerima sejumlah serangan dari orang-orang memprotes mengapa unsur agama-agama yang berbeda-beda itu dicampuradukkan. Dan tepat semalam sebelum diskusi ini berlangsung, terjadi kasus yang cukup serius terkait patung ini.
Seorang pengguna internet di sebuah kota kecil Sumatra melihat foto patung ini dari iklan Jakarta Biennale, dan menggunakannya sebagai foto profilnya sendiri di Whatsapp. Tiba-tiba dia mendapat ancaman dari sebuah ormas keagamaan tertentu di daerahnya yang menuntut dia meminta maaf secara terbuka atas pemasangan foto itu. Kalau tidak, dia akan diseret ke pengadilan dengan dalih penistaan agama.
Kasus itu menunjukkan kekakuan pemikiran tentang identitas, agama, dan spiritualitas di kalangan masyarakat awam. Padahal, sejarah, budaya, dan peradaban sebuah bangsa itu senantiasa berubah. Identitas itu pun cair, bercampur, saling memengaruhi, dan senantiasa berubah. Demikian pula dengan nilai-nilai keagamaan dan spiritualitas, semuanya terus berubah bersama aliran kehidupan yang tiada berhenti.
Sri Naura Paramita adalah sebuah pengingat bagi orang Indonesia akan budaya dan identitas leluhur sendiri. Di balik keindahannya, tersembunyi begitu banyak makna kebijaksanaan, yang apabila direnungi, akan memperkaya kehidupan batin kita di masa kini.
]]>“Maaf, Tuan, kami tidak bisa mengizinkan Anda naik ke pesawat,” kata petugas di balik konter China Airlines, saat saya melakukan pelaporan di bandar udara Svarnabhumi, Bangkok, Thailand, untuk penerbangan saya menuju Belanda.
Kepada petugas yang seorang lelaki muda Thai ini, saya telah mengakui bahwa saya belum memastikan tanggal berapa saya akan meninggalkan Eropa, dan saya juga tidak memiliki tiket pulang.
“Tetapi saya hendak ke sana melakukan riset,” kata saya. “Mustahil bagi saya untuk memastikan kapan riset saya akan benar-benar selesai. Lagi pula, saya memiliki masa berlaku visa yang panjang, untuk satu tahun.”
Petugas itu kembali mengamati stiker visa yang tertempel di dalam paspor saya. Visa saya adalah Visa Schengen untuk kategori C, visa tinggal jangka pendek, yang artinya saya bisa tinggal di negara-negara Eropa penanda tangan perjanjian Schengen selama maksimal 90 hari dalam setiap masa 180 hari.
Lelaki itu menggeleng. “Saya sudah tanya atasan saya,” katanya, “untuk kategori visa C, wajib untuk mempunyai tiket pulang yang sudah terkonfirmasi.” Dia lalu menutup buku paspor saya dan mengembalikannya kepada saya tanpa pas naik. “Maaf, Tuan, Anda harus punya rencana yang pasti.”
Saya tetap berdiri di sana beradu argumen, sementara petugas itu berusaha meyakinkan bahwa saya bisa membeli tiket pulang dan membatalkannya begitu saya sampai di sana. Di mata saya, itu adalah trik maskapai untuk memeras uang penumpang. Setengah jam berlalu, waktu sudah melewati tengah malam, sementara jadwal penerbangan saya yang pukul 2.05 dini hari sudah semakin dekat. Atasan dari petugas itu, seorang perempuan Thai, datang dan membolak-balik paspor saya, mengamati visa saya, dan terus menggeleng. “Tidak bisa.…Tidak bisa…,” katanya.
Saya memasang wajah memelas. “Tetapi saya sudah sering ke Eropa, dan tidak pernah sekali pun petugas imigrasi Eropa menanyakan tiket pulang saya,” bantah saya. “Kenapa kalian membuat ini menjadi masalah?”
Petugas itu menanyakan apakah saya punya bukti pemesanan hotel atau bukti kemampuan finansial. Buat saya ini sudah pertanyaan yang sangat menghina. Ketika para pemegang paspor Eropa bebas melenggang, mendapatkan pas naik hanya dalam kurang dari lima menit, dan demikian juga dengan orang-orang Malaysia dan Timor Leste (mereka tidak perlu visa untuk ke Eropa), saya yang memegang paspor Indonesia harus menunjukkan bukti keuangan! Bukti bahwa saya bukan orang kere yang akan menjadi imigran gelap yang tidak akan pulang ke negara saya sendiri!
Saya menundukkan kepala, mencari-cari selembar surat dari dalam tas punggung saya. Itu adalah surat undangan sponsor seseorang dari Belanda, yang menyatakan bahwa dia bertanggung jawab untuk semua aktivitas saya di negara itu.
Atasan dari petugas konter pelaporan itu mengangguk-angguk membaca surat yang dalam bahasa Belanda dan distempel oleh kantor wali kota itu. Dia harus meminta bantuan seorang penumpang yang bisa bahasa Belanda untuk menerjemahkan isinya. Dia kemudian berpaling kepada saya, berkata, “Anda tunggu di sini dulu sebentar, kami akan memanggil orang dari Kedutaan Belanda untuk ke sini dan minta pendapatnya untuk kasus Anda.”
Wah! Untuk kasus saya mereka harus memanggil orang dari Kedutaan! Pada tengah malam begini! Setengah jam saya berdiri di depan konter seperti seorang pesakitan, iri memandangi para penumpang lain yang karena kewarganegaraan dan kertas-kertas mereka tidak perlu mengalami apa yang saya alami. Ya, garis batas itu berwujud kertas, bernama paspor dan visa.
Akhirnya, orang dari Kedutaan itu datang. Seorang lelaki paruh baya berkulit putih bertubuh tambun dalam balutan kemeja, dasi, dan jas hitam. Dia membolak-balik paspor saya dari halaman paling depan, dan tampak puas dengan visa-visa dan cap negara-negara Eropa yang ada di sana. “Tidak masalah sama sekali,” kata lelaki itu, “toh kalau ada apa-apa, sponsornya yang akan bertanggung jawab.”
Para petugas China Airlines pun meminta saya untuk menunggu lagi, sementara mereka menyiapkan surat pernyataan untuk saya tanda tangani. Isinya adalah, jika terjadi masalah pada imigrasi Eropa atas diri saya, maskapai tidak bertanggung jawab dan saya harus membayar sendiri semua biaya yang ditimbulkan.
Saya kemudian berjalan melewati pemeriksaan keamanan, imigrasi, dan menuju gerbang keberangkatan. Para penumpang lain cukup diperiksa pas naiknya, sedangkan pada giliran saya, ketika pas naik saya ditempelkan di mesin pembaca, tiba-tiba mesin itu membunyikan alarm, lampu merah menyala, dan terdapat tulisan di layar: “CANNOT BOARDING”. Seorang petugas tergopoh-gopoh mengambil paspor, lalu menempelkan di alat pemindai di samping gerbang, memindai pada halaman foto dan halaman visa, sebelum akhirnya mengizinkan saya masuk.
Ketika saya benar-benar duduk di bangku penumpang China Airlines, barulah saya bisa menghela napas lega.
Penumpang di samping saya adalah seorang perempuan warga Thailand bernama Alice. Dia bercerita, dia mengalami hal yang serupa dengan saya. Dia sudah menikah dengan orang Belanda, punya visa D (Dependency) sebagai anggota keluarga seorang warga Eropa. Seperti saya, dia juga membeli tiket satu berangkat saja ke Eropa. Pihak maskapai China Airlines meminta dia menunjukkan KTP Eropa—yang dia belum punya. Dia sudah bolak-balik ke Belanda, tetapi petugas maskapai hampir tidak mengizinkannya terbang gara-gara tak membeli tiket pulang. Pada dasarnya, maskapai tidak mau bertanggung jawab jika orang-orang dengan kewarganegaraan kami ini ditolak masuk di Eropa.
Beberapa puluh tahun lalu, pemegang paspor Indonesia pernah diizinkan masuk ke Belanda tanpa menggunakan visa. Tetapi sekarang, ketika negara-negara Eropa meleburkan perbatasan di antara mereka, mereka harus memperkokoh batas terluar mereka, demi melindungi serikat kebebasan mereka yang mereka anggap telah menjadi idaman seluruh dunia. Visa Schengen menjadi salah satu visa yang paling sulit didapatkan di dunia. Pemohon harus menunjukkan surat sponsor, konfirmasi akomodasi dan pesawat, asuransi, bukti keuangan (saya malah menambahkan surat akta rumah!), dan harus dipindai sepuluh jarinya. Terlebih lagi dengan arus pengungsi dari Timur Tengah dan Afrika Utara, maraknya serangan terorisme, plus memburuknya ekonomi, membuat Eropa semakin sensitif soal migrasi.
Sepanjang perjalanan 13 jam yang terus berlangsung di tengah gelap malam itu (karena kami terbang ke arah barat, waktu jadi seperti memanjang), saya kebanyakannya tertidur lelap. Saya mendapati pramugari pesawat ini berbicara dengan nada kasar dan ketus kepada saya dalam bahasa Mandarin, mungkin mengira saya berasal dari Cina Daratan. Tapi ketika saya berbicara kepada mereka dalam bahasa Inggris, mereka justru sangat ramah dan bersahabat.
Ketika matahari pagi mulai menyingsing, di luar sana akhirnya terlihat sosok negeri Belanda. Pulau-pulau kecil yang kebiruan, dihubungkan dengan jembatan-jembatan panjang yang meliuk dikelilingi lautan yang biru kelam. Kincir-kincir pembangkit listrik tenaga angin bertaburan, dan busur pelangi mendarat di atas tanah yang berkilau dibasuh hujan. Ini adalah sebuah dunia berbeda, batin saya.
Antrean panjang mengular di depan pos imigrasi bandara Schiphol. Pemegang paspor Eropa dipisahkan dari pemegang paspor “internasional”. Saya mengamati, orang-orang berkulit putih umumnya melewati pos imigrasi dengan cepat tanpa perlu berkata apa-apa, sedangkan orang-orang Asia atau Afrika setidaknya harus menjawab beberapa pertanyaan baru diizinkan untuk melintas. Seorang turis perempuan dari Thailand di belakang saya, yang pertama kali ke Eropa dan mendapat visa 30 hari, mengaku deg-degan membayangkan pertanyaan apa yang harus dia jawab.
Tiba giliran saya. Saya menyapa petugas dalam bahasa Belanda. Petugas itu tersenyum, bertanya kembali dalam bahasa Belanda, “Wie komt u hier meneer?” Untuk apa kamu datang ke sini. Saya bilang saya menulis buku. Dia tak menyelidiki lebih lanjut, lantas bertanya tinggal berapa lama, di mana. Sudah itu saja. Dia meminta saya memindai empat jari tangan kiri saya, lalu mengecap paspor saya, dan berkata, “Welkom!”
Saya pun melenggang memasuki negeri Belanda.
***
Saya menuju kota tua Leiden, yang hanya sekitar 20 menit perjalanan dari bandara Schiphol dengan kereta. Di sini saya bersantap siang di sebuah kedai kebab Turki di sudut jalan Harleemerstraat. Makanan Turki kini telah menjadi salah satu makanan paling populer di negara-negara Eropa, seiring dengan banyaknya imigran dari Turki dan Timur Tengah.
Pegawai di kedai Turki ini adalah seorang pemuda Arab dari Baghdad, justru tidak bisa bahasa Turki sama sekali. Hussain al-Ateghi, pemuda klimis dengan jenggot pendek pada ujung dagunya, sudah enam tahun tinggal di Belanda. Dia meninggalkan negerinya yang dilanda kemelut perang saat masih berusia empat belas tahun.
“Bahasa Inggrismu bagus,” puji saya.
“Dulu waktu di Irak lebih bagus, karena saya di sana belajar di sekolah bahasa Inggris,” katanya sambil tertawa, “Sejak di sini saya setiap hari bahasa Belanda, Belanda, Belanda, jadi Inggris lupa semua.”
“Belanda negara yang cantik, negara yang bagus, bukan?”
“Ya, sedikit lebih bagus daripada Irak. Tapi tidak terlalu banyak,” katanya.
“Sudah punya paspor Belanda? Atau masih paspor Irak?”
“Paspor Belanda.”
“Bukankah itu bagus? Kamu bisa keliling dunia dengan bebas,” puji saya.
Dia justru menggeleng. “Tidak. Ini tidak ada artinya buat saya. Ini hanya sekadar kertas. Saya punya paspor Belanda, tetapi saya bukan orang Belanda. Saya orang Irak, ke mana pun saya pergi, saya akan diperlakukan hanya sebagai orang Irak. Tetapi kenapa saya tidak bisa menggunakan paspor Irak saya untuk keliling dunia?”
Nasib kita memang ditentukan oleh garis-garis batas berwujud kertas yang kita pegang dan bawa ke mana-mana. Tetapi bahkan ketika kertas yang kita pegang ini berubah, tetap ada bagian dari diri kita yang tidak akan serta-merta turut berubah karenanya.
4 November 2017
]]>Juli 2017, saya menerima sebuah email misterius. Pengirimnya adalah Kementerian Luar Negeri Pemerintah Nasional Republik Papua Barat (NGRWP). Dalam bahasa Indonesia ejaan lama, pengirim email itu menanggapi satu tulisan saya tentang seorang aktivis gerakan Organisasi Papua Merdeka (OPM) yang saya temui di Papua Nugini.
Pak Wibowo,
Pengiriman email ini pertama sebagai perkenal sadja dengan mana saja perlu sampaikan bahwa ikut mengambil perhatian dari interview Pak dengan John A. Wakum.
John, saja kenal baik. Saja ingat bahwa bersama dengan John A. Wakum keluarganja termasuk 100-san para pelarian pengungsi politik dari 1984, bertempat di Vanimo dan dengan rombongan John, kami masuk ke Kiunga di tahun 1989. Tentu Pak sudah dengar bahwa sepandjang perbatasan itu ada beberapa tempat jang menerima rakjat Papua warga negara Indonesia jang melintasi perbatasan dan achirnja masuk ke PNG.
Kalau sadja Pak berentjana ke Europa dan bila datang di Den Haag, silakan menghubungi saja sesuai alamat di website, sbb: www.ngrwp.org
Salam jang patut dari saja,
Simon P. Sapioper
Email itu seketika melemparkan memori saya ke tengah hutan rimba pedalaman Papua Nugini di tahun 2014, ketika saya menyusuri garis perbatasan RI-PNG demi memahami makna Indonesia dari seberang garis batasnya. Dalam perjalanan berat itu, saya baru menemukan ternyata banyak pengungsi dari Papua Indonesia yang bermukim di Papua Nugini, baik secara legal maupun ilegal. Saya juga sempat berbincang dengan sejumlah aktivis gerakan OPM, termasuk John Wakum yang disebutkan oleh pengirim email ini (baca artikel Benderamu Menghalangi Matahariku).
Para pengungsi Papua itu telah tinggal lebih dari 30 tahun di Papua Nugini, namun kita di Indonesia tidak banyak mendengar tentang mereka. Saat berada di sana, begitu banyak pertanyaan yang berkecamuk dalam benak saya. Bagaimana pengungsian akbar ini berlangsung dan apa sebabnya? Siapa yang menggerakkan mereka? Siapa pula yang memerintahkan mereka untuk terus berjuang begitu lama di daerah perbatasan itu? Apa masa depan dari perjuangan ini?
Pertanyaan-pertanyaan itu tidak terjawab dalam perjalanan saya di lapangan. Saya tahu, untuk menemukan jawaban dari pertanyaan-pertanyaan ini, saya perlu berbincang langsung dengan parah tokoh pemimpin gerakan OPM di luar negeri. Saya dengar, banyak mereka bermukim di Belanda.
Email dari “Pemerintah Nasional Republik Papua Barat” ini seketika membuat perasaan saya bergejolak. Betapa ingin saya bisa berangkat ke sana. Betapa saya yakin, pertanyaan-pertanyaan saya akan mendapat titik terang di sana.
Tapi ini sungguh saat yang paling tidak tepat bagi saya secara finansial. Keuangan saya sedang kering habis-habisan, karena di bulan ini saya baru membeli rumah di Jakarta. Selain itu, seperti pernah dikatakan Elizabeth Pisani, penulis perjalanan Inggris sahabat saya, “Menjadi penulis perjalanan itu adalah cara paling terhormat untuk menjadi melarat.” Setiap perjalanan dan riset ini membutuhkan biaya yang sangat besar, dan tidak ada seorang pun yang bisa menjamin kita akan balik modal dari pemasukan hasil tulisan.
Tapi, terkadang jalan akan terbentang sendiri di depan mata kita tanpa pernah kita duga.
Berselang dua bulan, di September 2017, tidak sengaja saya menemukan informasi di sebuah website tentang program residensi bagi penulis Indonesia. Ini adalah program beasiswa dari Komite Buku Nasional dan Kemendikbud untuk penulis yang ingin menyelesaikan karya tulisan dengan tinggal menetap sementara di negara lain selama satu hingga tiga bulan. Penerima program akan mendapat berbagai bantuan, termasuk transportasi, akomodasi, dan biaya hidup selama berada di negara tujuan.
Sungguh program yang menarik, dan benar-benar saya butuhkan. Tapi, karena ini adalah dana dari pemerintah Indonesia, rasanya mustahil saya akan bisa mendapatkannya apabila saya mengatakan bahwa tujuan saya ke Belanda adalah demi bertemu dengan tokoh-tokoh OPM. Karena itu, dalam proposal saya menulis tujuan riset saya adalah untuk mempelajari “Nasionalisme Diaspora Indonesia di Belanda”.
Saya tidak berbohong dalam hal ini. Gerakan kemerdekaan ataupun separatisme memang merupakan bagian penting dari diskusi tentang nasionalisme. Para tokoh gerakan di luar negeri itu pun termasuk kaum diaspora Indonesia. Jadi tidak ada yang salah dengan usulan topik saya itu, walaupun saya tidak mengatakan tujuan saya sebenarnya secara terang-terangan.
Namun misi saya memang bukan hanya soal gerakan OPM. Selain di daerah perbatasan RI-PNG, saya juga telah melakukan sejumlah perjalanan riset keliling Nusantara untuk mempelajari makna nasionalisme Indonesia. Saya sempat pergi ke Toraja, untuk mengamati bagaimana agama lokal berkembang dan memengaruhi kehidupan masyarakat. Saya juga telah pergi ke Aceh untuk mempelajari hubungan antara pakaian, Syariat Islam, sejarah konflik, dan politik di provinsi ujung barat Indonesia itu.
Dalam perjalanan-perjalanan ini, selalu tersisa beberapa keping misteri yang tidak berhasil saya temukan jawabannya di lokasi. Saya tahu, untuk menyingkap kepingan misteri itu, yang semuanya berhubungan dengan sejarah, saya perlu pergi ke Belanda. Bagaimanapun juga, kita tidak akan bisa mengabaikan Belanda untuk memahami Indonesia. Itu karena negara ini, bangsa ini, tercipta dari puing-puing penjajahan Belanda.
Semua argumen itu saya cantumkan dalam proposal saya. Sungguh tidak saya duga, dalam waktu kurang dari seminggu sejak saya mengajukan proposal, saya mendapat kabar bahwa saya lolos seleksi. Saya terpilih sebagai salah satu dari sepuluh penulis yang akan mengikuti program residensi penulis gelombang pertama ini.
Berkat surat-surat dan dokumen dari pemerintah Indonesia, urusan visa Eropa yang biasanya ribet menjadi sangat mulus. Hanya dalam dua hari, saya mendapatkan visa Belanda dengan masa berlaku satu tahun. Saya menggunakan waktu dua minggu sebelum keberangkatan untuk mengebut belajar bahasa Belanda dasar, melahap buku-buku tentang sejarah Belanda dan kolonialisme Indonesia, juga mengais-ngais pakaian musim dingin yang sudah lama tersembunyi di sudut lemari.
Sebentar lagi, petualangan baru akan segera dimulai.
Oktober 2017
]]>Saya duduk memejamkan mata, berkonsentrasi mengamati napas. Seekor semut, entah dari mana datangnya, perlahan merayapi kepala saya, lalu turun ke atas daun telinga, dan berbelok ke alis mata. Saya tidak membuka mata sama sekali, tapi saya yakin itu ulah semut. Saya bisa merasakan entakan setiap kaki mungilnya.
Rasa gatal merambat, mengikuti jejak semut itu merayapi kulit. Sungguh besar godaan dalam diri saya untuk mengangkat tangan, mengibaskannya untuk mengusir semut itu pergi. Tetapi saya semakin teguh memejamkan mata, berjuang keras untuk tidak menggerakkan tangan atau bagian tubuh mana pun juga.
Ini adalah perjuangan biasa dalam bermeditasi. Pagi itu, saya akhirnya berhasil melewati satu jam penuh tanpa bergerak sama sekali. Semut itu adalah guru bagi saya, yang melatih tekad kuat dan kesabaran saya.
Tentu pengalaman saya ini tidak ada apa-apanya dibandingkan para biksu Buddhis Theravada di Thailand. Saya dengar mereka lazim bermeditasi di tengah hutan rimba, dan bisa tetap duduk tanpa bereaksi sekalipun badan mereka digerayangi ular atau diendus singa.
Tujuan utama meditasi adalah untuk mencapai kebahagiaan. Tapi di mana letak bahagianya duduk diam berjam-jam tanpa bergerak sama sekali? Bukankah ini lebih terlihat seperti penyiksaan diri daripada pencarian kebahagiaan?
Meditasi yang saya praktikkan adalah teknik Vipassana, yang dalam bahasa Pali namanya berarti “melihat dengan cara mendalam”. Dalam teknik Vipassana, kebahagiaan itu dicapai melalui pembersihan kekotoran batin, yang bisa terwujud dengan menjaga ketenang-seimbangan (equainimity) setiap saat. Itu berarti, kita tidak membangkitkan nafsu keinginan terhadap hal yang menyenangkan, dan sebaliknya, tidak membangkitkan kebencian terhadap hal yang tidak menyenangkan.
Seimbang, dan terus seimbang.
Dalam enam tahun terakhir mempraktikkan meditasi ini, manfaat terbesar yang saya rasakan adalah saya semakin peka terhadap pikiran saya sendiri, dan semakin memahami bagaimana pikiran saya bekerja. Pengendalian pikiran itu, saya percaya, adalah kunci kebahagiaan.
Sebagaimana dikatakan Sang Buddha Gautama, pikiran kita terdiri dari empat bagian utama. Yang pertama adalah vinnyana, yang bertugas untuk mengenali, mengindra, atau merekognisi. Ini berhubungan dengan kelima indra kita, juga benih-benih pemikiran (thought) di otak kita.
Selanjutnya bagian kedua adalah sannya, yang menjalankan fungsi kognisi. Dia mengolah rangsangan dari indra atau buah pikir itu, dengan mencocokkan dengan pengetahuan atau memori kita, lalu memberi penilaian apakah rangsangan itu merupakan hal yang menyenangkan atau tidak menyenangkan.
Bagian ketiga adalah vedana, yang membangkitkan sensasi tubuh. Ini adalah kontribusi Sang Buddha, yang menemukan bahwa ada hubungan erat antara badan fisik dan pikiran. Ketika otak kita sudah memberi penilaian bahwa sesuatu itu menyenangkan, maka pada badan fisik kita juga akan timbul perasaan menyenangkan. Dan demikian pula sebaliknya, hal yang tidak menyenangkan akan menimbulkan perasaan tubuh yang tidak menyenangkan pula.
Contohnya begini, ketika ada seseorang memaki kita, “Anjing lu!”, pertama-tama indra telinga kita berkontak dengan suara itu, dan di sinilah vinnyana kita bekerja. Selanjutnya, sannya memberi penilaian: ini makian, makian itu ditujukan kepadaku, dan ini sangat tidak menyenangkan. Setelah itu, vedana akan membangkitkan sensasi pada tubuh kita. Rasa marah membuat badan kita terasa panas, jantung berdegup kencang, dan rasa sakit merambat di bagian tertentu di tubuh.
Bagian pikiran keempat adalah sankhara, yang merupakan aksi dari pikiran. Inilah bagian yang menentukan reaksi kita terhadap rangsangan luar. Ketika rasa marah kita memuncak, sankhara itulah yang menggerakkan kita untuk membentak atau bahkan menempeleng orang yang memaki kita itu.
Apa yang dikatakan Sang Buddha 2.500 tahun silam itu telah dikonfirmasi oleh ilmu neurosains modern. Tapi ada perbedaan mendasar antara sekadar mengetahui secara intelektual bagaimana proses otak kita bekerja, dengan benar-benar mengalaminya sendiri melalui praktik meditasi.
Bagi kebanyakan orang, aksi perbuatan itu lebih penting daripada pikiran. Seseorang baru dinyatakan bersalah oleh hukum setelah dia melakukan aksi perbuatan kejahatan. Sekadar memikirkan kejahatan tidak dianggap sebagai kejahatan. Namun bagi orang yang telah membina kesadaran diri, pikiran itu jauh lebih penting daripada perbuatan, karena pikiran itulah yang mengawali perbuatan. Orang tidak akan membunuh sebelum terlebih dahulu mengembangkan kemarahan dan kebencian dalam kepalanya. Orang tidak akan berzina sebelum terlebih dahulu pikirannya dikuasai nafsu birahi.
Karena itulah, kontrol pikiran adalah latihan penting dalam praktik meditasi kesadaran-diri. Agar kita setiap saat menyadari bagaimana vedana itu senantiasa muncul dan lenyap dalam tubuh kita, dan mengendalikan agar sankhara tidak muncul. Setiap saat sadar terhadap fenomena diri, setiap saat sadar terhadap isi pikiran, sehingga setiap saat juga sadar mengendalikan laku perbuatan.
Saya sendiri bisa dikatakan cukup pemula di jalan ini. Namun kemajuan yang saya rasakan adalah kini semakin mawas terhadap pikiran. Ketika benih pikiran mulai muncul, saya kini terbiasa untuk otomatis mengevaluasinya: apakah dasar benih pikiran itu adalah kebencian, nafsu, keserakahan, kemarahan, ketakutan, atau berbagai kekotoran batin lainnya? Apabila iya, otak saya pun dengan sadar menghentikan benih pemikiran itu untuk berkembang lebih lanjut.
Bagi saya yang seorang overthinker, praktik ini sungguh mengurangi waktu yang saya habiskan untuk kegalauan yang tanpa guna. Dengan semakin banyaknya pikiran negatif yang tersaring, maka semakin banyak pula ruang tersisa dalam otak saya untuk memikirkan dan melakukan hal-hal yang positif, yang pada akhirnya membawa makna hidup, rasa kepuasan, dan kebahagiaan yang lebih permanen dalam diri saya.
Tentu saya tidak selalu berhasil. Terkadang, pikiran saya masih membawa saya pada overthinking, depresi, atau bermalas-malasan menunda pekerjaan. Tapi bagaimanapun juga, negativitas itu terus berkurang dan semakin berkurang.
Jalan panjang menuju pulang ke dalam diri ini memang bukanlah proses yang instan. Juga tidak selalu penuh kemeriahan perayaan. Tapi saya akan terus melangkah perlahan menyusurinya.
]]>