Recommended

Garis Batas 39: Boratstan

Almaty di waktu senja (AGUSTINUS WIBOWO)

Almaty di waktu senja (AGUSTINUS WIBOWO)

Borat Sagdiev dari Kazakhstan, siapa yang tak kenal? Ikon Kazakhstan yang melekat di benak semua orang yang sebelumnya belum pernah mendengar nama negara ini adalah Borat, figur pria dari negara terbelakang yang penuh kekonyolan dan kebodohan.

Film berjudul super panjang, Borat: Cultural Learnings of America for Make Benefit Glorious Nation of Kazakhstan, sempat menjadi box office dunia dan bahkan meraih berbagai penghargaan internasional, membuka mata banyak orang bahwa ada sebuah negara bernama Kazakhstan. Kampung Borat adalah sebuah negeri di mana orang Yahudi ditimpuki, perempuan diperlakukan lebih rendah daripada kuda, prostitusi adalah kebanggaan, air seni kuda dijadikan minuman, dan sempat diperkosa gay. Tetapi apakah Kazakhstan sedemikian bodoh dan terbelakang seperti yang digambarkan Borat? 

Kalau Anda berjalan-jalan di Almaty, Anda pasti akan melupakan Borat. Gadis-gadis muda Rusia berambut pirang dengan pakaian berbulu kualitas impor melintas dengan anggun. Gedung-gedung baru bermunculan di sana-sini. Bus modern dan trem listrik mungil berhias warna-warni lalu lalang di sepanjang jalan yang sibuk. Almaty, mantan ibu kota Kazakhstan, sedang menapaki jalan menuju kota kosmopolitan kelas dunia.

Di sini tinggal berbagai bangsa. Orang Kazakh kira-kira hanya separuh populasi. Sisanya adalah orang Rusia. Jumlah mereka hampir sama banyaknya dengan orang Kazakh. Juga ada orang Jerman, Ukraina, Korea, Dungan, Uzbek, Kirghiz, Tajik, Uyghur, China, dan lain-lain. Bahasa yang berlaku di sini adalah bahasa Rusia. Bahasa Kazakh, walaupun masih bertebaran di slogan-slogan milik pemerintah, hampir sama sekali tidak terdengar mengisi udara Almaty. Sesama orang Kazakh pun saling menggunakan Bahasa Rusia. Di metropolis ini bahasa nasional malah menjadi bahasa kelas dua.

Pasha, kawan saya yang etnis Korea, memperkenalkan saya dengan temannya lagi yang bernama Kolya, seorang musikus, 24 tahun. Di mata saya, wajah Kolya sangat eksotis. Matanya hanya segaris panjang, agak miring ke atas. Sepasang mata itu mengingatkan saya pada gambar Genghis Khan sang Raja Mongol. Tetapi Genghis Khan versi modern ini berpakaian modis ala Barat dan berpotongan rambut ala artis Korea.

Kampung halaman Kolya memang tidak jauh dari negerinya Genghis Khan. Namanya Republik Yakut, sudah masuk daerah Siberia sana. Kolya termasuk etnis Chukcha, bangsa Eskimo di Asia.

Di sini siapa yang tak kenal Chukcha? Seperti sekarang dunia mengenal Borat dan Kazakhstan, semua orang di bekas Uni Soviet sangat kenal dengan Chukcha. Suku nomad dari timur jauh ini selalu menjadi ikon kebodohan dan keterbelakangan, tak pernah lepas dari segala macam olok-olok Rusia. Suku ini digambarkan sebagai orang dari pedalaman yang sudah bodoh, keras kepala pula. Dalam percakapan sehari-hari, kata chukcha mengandung makna konotatif yang sangat menghina.

Kolya mengakui bahwa sering orang-orang menjauhi dirinya hanya karena dia Chukcha. Tetapi terserah orang mau bilang apa, Kolya tak peduli. Stereotipe tentang suku-suku terbelakang ada di mana-mana. Kekeraskepalaan orang Chukcha dikisahkan Kolya melalui lelucon ini.

Orang Rusia, Swiss, Jerman, dan Chukcha berdebat tentang Lenin.

Si Rusia bilang, “Lenin lahir di Rusia, jadi dia orang Rusia.”

Si Swiss bilang, “Lenin lama tinggal di Swiss, jadi dia orang Swiss.”

Si Jerman tak mau kalah, “Lenin menyebarkan nilai filosofi Jerman, jadi dia orang Jerman.”

Si Chukcha dengan santai berkata, “Lenin itu orang Chukcha, karena dia pintar seperti kami.”

Lelucon bersambung lelucon. Tair, seorang pengacara muda Kazakh, berkisah tentang Leonid Brezhnev, pemimpin Soviet, yang terkenal dengan ciuman ganasnya.

Setiap kali bertemu dengan pria-pria pemimpin kelas tinggi, Brezhnev tak pernah lupa untuk mencium dengan dahsyatnya, kadang di pipi  kadang di bibir, yang saking ganasnya sampai dijuluki ciuman maut. Sudah banyak korbannya, termasuk mantan presiden Jerman Timur,  Erich Honecker. “Hanya satu pemimpin Soviet yang berani menolak ciuman Brezhnev,” kata Tair bangga, “dan dia adalah presiden Kazakhstan.”

Tidak ada yang tahu pasti tentang alasan di balik kebiasaan cium-mencium Brezhnev. Tetapi yang jelas, malam itu saya, seperti Borat, terdampar di sebuah gay bar di jantung Almaty.

Pasha yang mengajak saya mengobrol hingga larut malam dengan kawan-kawannya, baru sadar kalau hari ini hari Minggu, bus dan kendaraan umum sudah tidak beroperasi lagi sesudah pukul 6 sore. Sedangkan untuk pulang ke rumah Lyubova naik taksi setidaknya akan menguras 10 dolar. Saya tidak punya terlalu banyak uang untuk itu.

            “Jangan khawatir,” kata Pasha, “Saya ada ide. Kita bisa pergi ke bar dan kamu bisa tidur di sana, gratis.”  Saya tidak terlalu suka dengan kehidupan malam, tetapi tampaknya memang tidak ada pilihan lain.

Saya hanya mengikuti Pasha melintasi jalanan kota Almaty yang berubah mencekam di tengah malam seperti ini. Pukul 11 malam, saya melihat asap mengepul dari gorong-gorong di pinggir jalan raya.

“Di situ para gelandangan Almaty tinggal. Mereka adalah kriminal berbahaya,” kata Pasha,

Kami berjalan cepat-cepat. Saya tak bisa membayangkan bagaimana rasanya tinggal di gorong-gorong ketika suhu udara Almaty sudah minus 10 derajad dan salju turun tiada henti.

Bar, yang katanya langganan Pasha, sangat aneh. Sebagian besar pengunjungnya laki-laki. Hampir tidak ada perempuan sama sekali. Kami berdua tidak memesan apa-apa, dan saya berusaha tidur dengan bertelungkup di atas meja, di tengah hingar-bingarnya musik.

Tak heran bahwa tak banyak perempuan yang datang di sini. Karena bar ini memang istimewa, tempat kaum homoseksual datang melewatkan malam. Saya tak bisa tidur sama sekali. Silih berganti datang pemuda-pemuda menawari saya minuman. Lumayan, gratis. Di sekeliling saya, pria-pria bermesraan melewatkan malam.

Nurslan, salah seorang pengunjung, adalah gay yang terkenal di lantai disko itu. Dia mabuk berat. Ketika lelah, dia duduk di samping saya dan marah-marah. Inti kemarahannya adalah Borat.

            “Semua orang asing yang menulis tentang Kazakhstan adalah bull shit!” Nurslan, di bawah pengaruh alkohol, menyumpah-nyumpah film Holywood yang menjelek-jelekkan Kazakhstan. Film yang menjadikan Kazakhstan sebagai tertawaan seluruh dunia ini membuatnya naik pitam.

Saya tidak berdebat dengan orang mabuk. Tetapi saya mengerti perasaannya. Borat bukan gambar Kazakhstan yang sebenarnya. Borat sama sekali tidak bicara bahasa Kazakh atau Rusia. “Jagzsemash,” salam yang diucapkan Borat, adalah bahasa Polandia. Borat bukan Kazakhstan, dan Kazakhstan bukan Borat. Di sini kuda tidak ikut pemilu dan orang Yahudi tidak ditimpuki. Tempat syuting film ini pun jauh di Rumania sana, dengan para pemain yang lebih mirip orang Eropa Timur daripada Asia Tengah. Kebodohan dan keterbelakangan orang Kazakhstan, yang digambarkan Borat, membakar emosi warga negeri ini.

Tetapi tidak selamanya Borat dibenci. Pemerintah Kazakhstan, yang semula dengan penuh antipati menanggapi film ini bahkan sampai memblokir situs borat.kz, kini justru berbalik berterima kasih terhadap Borat. Nama Kazakhstan, yang sebelumnya nyaris tak terdengar, kini populer di seluruh dunia. Ingat Borat, ingat Kazakhstan. Kedutaan Kazakhstan jadi banjir telepon orang-orang yang ingin tahu tentang negara itu. Promosi pariwisata Kazakhstan di media-media internasional juga terus terdongkrak berkat reputasi kontroversial Borat.

Presiden Kazakhstan, Nursultan Nazarbayev, berkomentar, “any publication is good publication.” Semoga dunia tidak hanya berhenti pada Borat, tetapi mau lebih mengenal Kazakhstan yang sebenarnya.

 

(Bersambung)

Serial ini pernah diterbitkan sebagai “Berkelana ke Negeri-Negeri Stan” di Rubrik Petualang, Kompas.com pada tahun 2008, dan diterbitkan sebagai buku perjalanan berjudul “Garis Batas: Perjalanan di Negeri-Negeri Asia Tengah” oleh Gramedia Pustaka Utama pada 2011.

Dimuat di Kompas Cyber Media pada 29 April 2008

About Agustinus Wibowo

Agustinus is an Indonesian travel writer and travel photographer. Agustinus started a “Grand Overland Journey” in 2005 from Beijing and dreamed to reach South Africa totally by land with an optimistic budget of US$2000. His journey has taken him across Himalaya, South Asia, Afghanistan, Iran, and ex-Soviet Central Asian republics. He was stranded and stayed three years in Afghanistan until 2009. He is now a full-time writer and based in Jakarta, Indonesia. agustinus@agustinuswibowo.com Contact: Website | More Posts

Leave a comment

Your email address will not be published.


*