Recommended

Garis Batas 65: Plov

Makan malam bersama. (AGUSTINUS WIBOWO)

Makan malam bersama. (AGUSTINUS WIBOWO)

Di sini sutra, di sana sutra. Kehidupan di kota sutra Margilan memang tak terpisahkan dari ipak, sutra. Tetapi yang membuat saya lebih terpukau adalah keramahan dan kemurahan hati orang-orang Lembah Ferghana, seperti yang telah saya dengar sejak lama.

Lembah Ferghana disebut-sebut sebagai jantungnya kebudayaan Uzbek. Bahasa Uzbek yang paling murni katanya berasal dari sini. Lembah ini ditinggali lebih dari 8 juta penduduk, yang menjadikannya sebagai tempat terpadat di seluruh penjuru Asia Tengah. Di sini pulalah agama Islam mengakar kuat dalam keseharian, bercampur dengan adat dan kebudayaan. Tetapi yang paling membuat penduduknya bangga adalah keramahtamahan yang konon tiada bandingannya di mana pun.

Tidak sulit untuk membuktikannya. Saya yang tidak sampai sehari di Margilan, langsung diajak Firuza Turdameyeva untuk menginap di rumahnya yang tersembunyi jauh di dalam gang di pinggiran kota Margilan. Gadis Uzbek yang cantik jelita ini bekerja sebagai desainer kain sutra.

Kulit Firuza putih bersih. Matanya besar dan bulat. Hidungnya mancung. Senyum selalu terkembang di bibirnya yang secantik delima. Wajahnya benar-benar boleh dikatakan sebagai kecantikan tipikal Uzbek, kecantikan yang berasal dari Lembah Ferghana. Tetapi Firuza bukan tipe gadis desa. Pakaiannya modis, roknya cuma sedengkul. Saya heran bagaimana dia bertahan dalam udara yang sedingin ini. Sepatu bot nya tinggi, dengan hak yang tak kalah tingginya, serta jaket bulunya bergaya Eropa. Rambutnya tergerai indah, menghamburkan sinar matahari yang menyeruak dari jendela.

Firuza tidak bisa Bahasa Inggris, dan Bahasa Uzbek saya parah sekali. Kami bercakap-cakap dalam Bahasa Rusia.

“Mungkin tidak lazim seorang gadis mengundang laki-laki asing menginap di rumahnya begitu saja,” saya mengutarakan kekhawatiran saya.

Lembah Ferghana adalah tempat yang paling konservatif di seluruh Asia Tengah. Agama Islam di sini bukan sekedar nama atau identitas belaka seperti di Kazakhstan atau Kyrgyzstan, dan seorang gadis muda yang mengundang pria asing menginap di rumahnya tentu bukan sesuatu yang sedap dipandang para tetangga.

“Tidak apa-apa,” katanya, “keluarga kami sangat suka kedatangan tamu. Ayah dan ibu saya pasti senang sekali berjumpa dengan kamu.”

Benar saja. Ibu Firuza yang baru pulang segera sibuk menyiapkan teh dan segala macam permen, kismis, dan manisan untuk saya. Halima, wanita paruh baya bertubuh besar ini, tersenyum manis sekali, memamerkan barisan gigi emasnya.

Demikian halnya dengan ayah Firuza. Rambutnya sudah memutih semua, walaupun sebenarnya tidak terlalu tua.

Yakhshimisiz? Apa kabar?” sambutnya, sambil menyalami saya dan meletakkan tangan kirinya di atas dada, gestur orang Uzbek melambangkan penghormatan yang terdalam.

Saya menyambut salamnya dengan gerakan yang sama, setengah membungkuk, “Yakhshi, rahmat. O’siz yakshimisiz?”

Kami banyak berbincang-bincang tentang kehidupan di Uzbekistan, yang tak lama saya kenal. Saya merasakan perasaan yang sangat dalam ketika Komil, sang ayah, bercerita tentang adik Firuza yang bernama Farangis. Berulang kali ia menyebut Farangis sebagai buah hatinya.

Sore hari, Farangis datang, dan sang ayah menciumi dengan penuh mesra. Wajah Farangis mirip Firuza, tetapi gadis ini sangat lincah.UZ 17a

“Dia suka menari,” kata Komil, “nanti suatu hari ia akan berhasil sekolah di Tashkent, masuk sekolah tari di sana.” Farangis hanya tersenyum tersipu-sipu. Kalau jadi ke Tashkent, anjuran saya, jangan lupa untuk mengkontak mbak Murtie untuk minta diajari tarian Indonesia. Ujung-ujungnya keluarga itu malah mendaulat saya untuk menari tarian Indonesia, yang tentu saja saya tidak bisa.

Orang Uzbek, sekalipun susah hidupnya, tidak pernah lepas dari tarian. Terlebih lagi di Lembah Ferghana, jantungnya kebudayaan Uzbek. Farangis langsung berdiri, berputar cepat dan menggerakkan tangan dengan lincah. Tarian Uzbek memang biasanya berirama cepat, penuh keceriaan. Sang ayah bertepuk tangan berirama, dan membuat Farangis semakin lincah menari dan melompat. Bahkan si ibu yang sibuk menyiapkan makan malam, ikut bergabung menari bersama anaknya.

Nasi plov terhidang di atas sebuah piring besar di atas meja makan keluarga ini. Plov, atau osh pilao dalam bahasa Uzbek, adalah makan an nasional negara ini. Tidak ada pesta pernikahan atau perkabungan yang tidak menyajikan nasi plov. Nasi berminyak menggunung tinggi, puncaknya ditutup oleh gumpalan-gumpalan daging kambing, semakin indah warnanya dengan tebaran irisan wortel panjang-panjang, semakin sedap rasanya dengan butir-butir kismis, semakin hangat rasanya ketika dimakan bersama-sama. Tak lupa dengan nan, roti Uzbek yang berukuran bundar besar.

Kebersamaan, adalah hal yang utama di sini. Ibu Firuza tidak membagi nasi plov dalam piring-piring. Ayah, ibu, Firuza, Farangis, dan saya makan dari piring besar yang sama. Mereka semua makan dengan tangan, tetapi saya lebih terbiasa dengan sendok.

Sehabis makan , kami bersama-sama menengadahkan tangan. Ibu Firuza komat-kamit membaca doa, dan kami berlima berseru “amin”, sambil membuat gerakan meraupkan kedua tangan ke wajah. Ini adalah tanda syukur yang tidak boleh terlupakan sehabis makan . Saya membantu membawa piring-piring ke dapur. Firuza membungkus sisa-sisa roti.

Saya terbelalak melihat kain pembungkus roti itu. Kain atlas! Dari sutra murni, berwarna-warni cerah dengan motif wajiknya yang khas.

“Di sini semua memang dari sutra,” kata Firuza bangga, “ini khas Margilan, kota sutra.” Tidak mahal itu? Semeter kain atlas buatan tangan harganya sekitar 4 dolar, sayang juga kalau dipakai hanya untuk membungkus roti.

Tetapi bagi orang Uzbek, dan orang-orang Asia Tengah lainnya yang berlatar belakang kultur nomaden, roti adalah benda suci. Tidak boleh dibuang-buang, tidak boleh ditaruh di tanah, dan tidak boleh diletakkan tengkurap. Roti adalah sumber kehidupan yang harus dihormati. Maka tidak salah kalau sisa roti pun dibungkus dengan kain sutra.

Keesokan paginya, Firuza mengenakan pakaiannya yang paling cantik. Pakaian kain atlas dari sutra. Lembut, mengkilap, dan memancarkan keindahan warna-warna cerah. Melekat di atas tubuh Firuza, pakaian longgar ini memancarkan aura keanggunan. Baju orang Uzbek, juga seperti orang Tajik, kebanyakan sangat longgar seperti daster. Keanggunan dan kecantikan memang tidak harus berarti ketat dan modern.

Firuza dalam sekejap berubah menjadi seorang puteri Uzbek dalam fantasi saya. Topi kecil bersudut empat bertengger miring di atas rambutnya yang hitam. “Salom… salom…,” katanya sambil membungkukkan badan tiga kali, mengawali hari saya yang baru di Lembah Ferghana.

 

 

(Bersambung)

Serial ini pernah diterbitkan sebagai “Berkelana ke Negeri-Negeri Stan” di Rubrik Petualang, Kompas.com pada tahun 2008, dan diterbitkan sebagai buku perjalanan berjudul “Garis Batas: Perjalanan di Negeri-Negeri Asia Tengah” oleh Gramedia Pustaka Utama pada 2011.

Dimuat di Kompas Cyber Media pada 4 Juni 2008

About Agustinus Wibowo

Agustinus is an Indonesian travel writer and travel photographer. Agustinus started a “Grand Overland Journey” in 2005 from Beijing and dreamed to reach South Africa totally by land with an optimistic budget of US$2000. His journey has taken him across Himalaya, South Asia, Afghanistan, Iran, and ex-Soviet Central Asian republics. He was stranded and stayed three years in Afghanistan until 2009. He is now a full-time writer and based in Jakarta, Indonesia. agustinus@agustinuswibowo.com Contact: Website | More Posts

Leave a comment

Your email address will not be published.


*