Recommended

Garis Batas 72: Terkurung

Shakhimardan, desa Uzbekistan yang dikelilingi gunung-gunung Kyrgyzstan. (AGUSTINUS WIBOWO)

Shakhimardan, desa Uzbekistan yang dikelilingi gunung-gunung Kyrgyzstan. (AGUSTINUS WIBOWO)

Kalau Anda merasa Gulshan dan Halmiyon adalah aneh-anehnya negeri antah berantah, tunggu dulu, Anda mesti ke Shakhirmardan untuk melihat ajaibnya Asia Tengah.

Pernahkah Anda membayangkan tinggal di sebuah kampung kecil yang dikepung oleh negara lain, sehingga untuk keluar kampung pun Anda mesti menyiapkan paspor dan visa? Ini bukan mengada-ada, enklaf-enklaf bertaburan di Lembah Ferghana. Enklaf artinya daerah kantong, seperti misalnya enklaf Oecussi-Ambeno milik Timor Leste yang dikelilingi provinsi NTT Indonesia. Bedanya, enklaf-enklaf Asia Tengah sangat kecil, biasanya cuma sebesar kampung, dan saking kecilnya banyak yang sampai tidak termuat di peta.

Ada sejumput Tajikistan bertaburan di wilayah Uzbekistan, sejumput Uzbekistan di wilayah Kyrgyzstan, dan desa-desa Kirghiz terkepung distrik Ferghana-nya Uzbekistan. Ketiga negara ini, dengan segala konflik ego dan nasionalismenya, tak bisa hidup lepas satu sama lain.

Politik regional Asia Tengah dibuat semakin ruwet dengan adanya enklaf-enklaf terisolasi ini, yang sengaja ditanam oleh pemerintah Soviet untuk menjadi ‘bom waktu’ kalau negara-negara ini nekat merdeka. Dan benar saja, konflik teritorial di Lembah Ferghana semakin memanas dengan pertikaian antar Uzbekistan, Kyrgyzstan, dan Tajikistan yang berdiri di atas garis-garis batas yang hanya Tuhan yang tahu kenapanya.

Salah satu contohnya adalah Sokh, enklaf Uzbekistan seluas 325 kilometer persegi terkurung di Distrik Batken milik Kyrgyzstan. Anehnya, walaupun termasuk wilayah Uzbekistan yang kesasar di negara Kirghiz, 99% penduduk Sokh adalah etnik Tajik. Yang lebih membuat pusing, tahun 2001 Sokh malah menjadi tempat persembunyian gerakan militan Harakatul Islami Uzbekistan (Islamic Movement of Uzbekistan) yang bercita-cita mendirikan negara Islam di Asia Tengah.

Presiden Uzbekistan, Islam Karimov, yang bernafsu menggempur habis-habisan gerakan ini, mengalami kesulitan karena untuk mencapai Sokh, tentaranya harus melewati wilayah Kyrgyzstan. Dengan lobi-lobi, Uzbekistan berhasil membujuk Kyrgyzstan untuk melakukan ‘tukar tanah’. Jalan yang menghubungkan Uzbekistan ke Sokh, yang sekarang wilayah Kyrgyzstan, akan dijadikan wilayah Uzbekistan. Kyrgyzstan nanti akan dapat kompensasi wilayah di gunung-gunung sekitar.

Rencana rahasia ini terendus penduduk distrik Batken, yang langsung mengajukan protes keras ke ibu kota Bishkek. Jika rencana ‘edan’ ini terlaksana, maka justru seluruh distrik Batken yang berubah menjadi enklaf, dikelilingi Uzbekistan dan terputus dari saudara-saudaranya di Kyrgyzstan. Siapa yang berani menanggung akibatnya? Tekanan kanan kiri memaksa pemerintah Kirghiz membatalkan rencana ini.

Suasana politik di Asia Tengah pun semakin panas. Uzbekistan, sang jagoan Asia Tengah, menuduh Kyrgyzstan dan Tajikistan tidak mau bekerja sama memberantas terorisme. Warga negara Kirghiz dan Tajik pun harus pakai visa jika mau masuk wilayah Uzbekistan. Ini menjadi masalah bagi orang-orang yang tinggal di wilayah perbatasan, yang sekarang tidak bisa bebas lagi menyeberang untuk berbelanja di pasar.

Ada tiga enklaf Uzbekistan lain terdampar di wilayah Kyrgyzstan. Dua di antaranya, Chonkara dan Tashdobo, hanya desa-desa kecil yang tidak layak diingat. Masing-masing lebarnya hanya sekitar dua kilometer saja. Yang terbesar dan terpenting, namanya Shakhimardan, luasnya 90 kilometer persegi. Tidak seperti Sokh yang selalu panas dengan isu-isu terorisme, Shakhimardan malah jadi tempat piknik yang bergengsi bagi warga Uzbekistan dan Kyrgyzstan.

Sudah lama saya ingin sekali ke Shakhimardan. Tetapi karena letaknya yang terkurung, pergi ke sana berarti saya harus keluar dari wilayah Uzbekistan, masuk Kyrgyzstan, keluar Kyrgyzstan, dan masuk lagi ke Uzbekistan. Untuk pulangnya, harus lewat jalan yang sama. Delapan perbatasan yang harus saya lewati, tanpa visa Kyrgyzstan dan visa multiple entry Uzbekistan. Setelah pernah nyangkut di kantor polisi Ferghana, saya pun jadi pikir-pikir kalau mau nekad, apalagi ini masalah perbatasan internasional.

Beruntung sekali Temur memperkenalkan saya kepada Sardor, seorang kawannya yang sedang belajar bahasa Arab di universitas bahasa di Tashkent. Rumah Sardor ada di kota perbatasan Vuadil. Di pekarangan belakang rumahnya sudah terhampar Kyrgyzstan. Di dunia antah berantah ini, negara-negara saling bersilangan, bertabrakan dimensi.

Sardor berjanji akan membawa saya ke Shakhimardan, mengalami sendiri bagaimana rasanya hidup di kampung-kampung yang terkepung negara asing. Seperti halnya kebanyakan orang Uzbekistan yang ramah dan rela berkorban demi tamunya, Sardor pun menghujani saya dengan janji-janji indah tanpa menyadari masalah yang akan dihadapinya.

Bagi orang Uzbekistan dan Kyrgyzstan, pergi ke Shakhimar dan hanya masalah paspor saja. Di kedua negara, semua orang punya paspor, karena paspor berfungsi sebagai KTP. Tahun ini, ketika hubungan kedua negara sedang mesra-mesranya, kebijakan visa juga dihapuskan. Tak perlu lagi repot-repot membeli visa kalau mau ke Kyrgyzstan, walaupun sogok-menyogok tentara penjaga perbatasan masih lazim hukumnya.

Tetapi bagi saya, warga negara Indonesia, Asia Tengah bukan tempat di mana saya bisa bebas berkeliaran. Delapan perbatasan harus saya lewati untuk pergi pulang Shakhimardan, delapan kali saya harus melewati pos imigrasi kedua negara. Walaupun pakai ilmu menyamar dan menyelundup pun sukar sekali bisa lolos delapan kali tak tersentuh.

Sardor yang jauh-jauh datang dari Tashkent hanya untuk menemani saya ke Shakhimardan, baru memahami permasalan ini. Kami berdua menyusuri terminal-terminal kota Vuadil, tetapi tidak satu pun yang mau mengangkut saya yang orang asing ini.

“Kamu menyamar saja jadi orang Kirghiz,” usul Sardor. 

Wajah saya memang sudah mirip Kirghiz, tetapi bahasa saya tidak lancar. Berpura-pura jadi bisu pun, seperti yang diusulkannya, juga bukan solusi.

Bagaimana ini? Saya juga sudah terlanjur menaruh harapan untuk bisa melihat Shakhimardan, apa pun caranya. Sardor kebingungan. Apakah cita-cita saya untuk melihat sebuah lembah Uzbekistan yang terkepung gunung-gunung Kyrgyzstan harus berakhir di sini? Kyrgyzstan sudah terbentang di belakang pekarangan rumah, tetapi untuk ke sana tidak semudah yang dibayangkan.

 

(Bersambung)

Serial ini pernah diterbitkan sebagai “Berkelana ke Negeri-Negeri Stan” di Rubrik Petualang, Kompas.com pada tahun 2008, dan diterbitkan sebagai buku perjalanan berjudul “Garis Batas: Perjalanan di Negeri-Negeri Asia Tengah” oleh Gramedia Pustaka Utama pada 2011.

Dimuat di Kompas Cyber Media pada 13 Juni 2008

About Agustinus Wibowo

Agustinus is an Indonesian travel writer and travel photographer. Agustinus started a “Grand Overland Journey” in 2005 from Beijing and dreamed to reach South Africa totally by land with an optimistic budget of US$2000. His journey has taken him across Himalaya, South Asia, Afghanistan, Iran, and ex-Soviet Central Asian republics. He was stranded and stayed three years in Afghanistan until 2009. He is now a full-time writer and based in Jakarta, Indonesia. agustinus@agustinuswibowo.com Contact: Website | More Posts

1 Comment on Garis Batas 72: Terkurung

  1. Saya ingin ke Asia Tengah kak 🙂 tadinya ga kenal sama sekali sama daerah dengan nama belakang -tan smpai baca buku Stones into Schoolnya Greg Morteson 🙂

Leave a comment

Your email address will not be published.


*