Recommended

Garis Batas 94: Kembali ke Dunia Normal

Pagi di Turkmenabat (AGUSTINUS WIBOWO)

Pagi di Turkmenabat (AGUSTINUS WIBOWO)

Eksodus. Lima hari di negeri yang penuh keanehan dan keajaiban sudah lebih dari cukup untuk mendorong setiap bintik sel dalam tubuh saya menggelegak, tak sabar lagi untuk kembali ke dunia normal.

Ruhnama memang punya gaya gravitasi yang tiada duanya. Para penumpang kereta bak magnet tertarik ke arah saya, orang asing dari negeri seberang yang begitu khusyuk membaca Ruhnama. Ada yang antusias melantunkan lagu kebangsaan Turkmenistan, “Ciptaan agung Sang Turkmenbashi, tanah air, negeri berdaulat, Turkmenistan cahaya dan nyanyian jiwa, berjayalah selama-lamanya…”

Saya jadi akrab dengan Kalkali, seorang tentara muda berumur 20 tahun. Dia adalah minoritas etnik Azeri, wajahnya tampan, alisnya tebal, hidungnya mancung, mata lebarnya hitam pekat, dan perawakannya sangat gagah perkasa. Orang-orang Azeri, pemilik negara Azerbaijan di seberang Laut Kaspia sana, adalah salah satu kaum minoritas terbesar di Turkmenistan. Kalkali bukan orang Turkmen biasa, dunianya bukan cuma Ruhnama. Dia sudah pergi ke Kyrgyzstan, Uzbekistan, India, Sri Lanka, sebagai atlet sepak bola nasional.

“Saya juga sudah melihat dunia,” katanya bangga.

Sekarang Kalkali jadi tentara. Semua pria Turkmen harus menjalani wajib militer selama dua tahun. Tentang kehidupannya sebagai tentara, Kalkali cuma bilang lumayan dan tidak terlalu buruk. Gajinya 5 dolar per bulan. Masih jauh lebih bagus daripada tentara wamil di Tajikistan yang cuma diupah 1 hingga 2 dolar saja.

“Jangan lupa,” seru Kalkali, “kalau ke Ashgabat lagi mampir ke rumah saya. Nanti kamu lihat bayi saya yang lucu.”

Dia menghilang dalam kegelapan malam. Lampu kereta mati total. Yang ada cuma pekatnya gulita bersama raungan kereta dan hembusan nafas penumpang-penumpang yang duduk pasrah.

Kereta lambat ini merayap lambat-lambat. Saya terpaku di papan bangku kayu keras, terhimpit dan terdempet. Seorang pria dengan lugunya tertidur pulas dalam rangkulan saya. Saya terpaksa merangkulnya karena sudah tidak ada tempat lagi untuk menaruh lengan. Bangku keras ini sekarang sudah diduduki lima penumpang. Sedangkan di sekitar lubang hidung saya bertebar aroma busuk kaus kaki penumpang yang tanpa sadar diri mengumbar kakinya di depan wajah mungil saya. Dalam kegelapan ini, orang bisa tidur dalam segala macam posisi yang mustahil.

Siksaan panjang ini berakhir pukul 7 pagi, ketika kereta kami merapat di kota Turkmenabat. Angin pagi berhembus, menghantarkan dingin yang membekukan bulu roma.

Saya langsung naik taksi ke perbatasan, sekitar 60 kilometer jauhnya melintasi jalan raya yang lengang di tepian padang pasir. Saya cuma membayar 1 dolar untuk harga taksi sejauh ini.

Sudah ada puluhan orang yang berbaris sabar di depan pintu gerbang perbatasan. Satu per satu mereka diizinkan masuk ke dalam balairung utama. Ketika tiba giliran saya, pertanyaan-pertanyaan mengejutkan langsung menyergap.

“Kamu tadi baru datang dari Ashgabat, kan?” tanya polisi perbatasan itu.

“Benar, Pak,” jawab saya.

“Kamu naik kereta kan?”

“Benar.” Saya mulai heran bagaimana dia bisa tahu.

“Kamu tadi naik kereta murah kan, duduk di bangku keras, yang harga karcisnya 15.000 Manat, kan?”

Gigi emas di Abad Emas (AGUSTINUS WIBOWO)

Gigi emas di Abad Emas (AGUSTINUS WIBOWO)

Hah? Bagaimana mereka bisa tahu? Bahkan setiap detail gerak-gerik saya sudah terpantau. Tampaknya hampir semua orang di negeri ini dibesarkan dengan talenta sebagai mata-mata intelijen tingkat tinggi.

Keluar dari Turkmenistan lebih susah daripada waktu masuknya. Semua isi tas ransel saya diperiksa dengan teliti. Semua buku yang saya bawa, jumlahnya lusinan, ditanyakan apa isinya.

“Kami takut kamu bawa buku-buku berbahaya,” kata polisi itu.

‘Buku berbahaya’ terutamanya adalah buku-buku Islami. Buku sejarah Persia dan buku pelajaran bahasa Arab yang saya bawa sempat membuat mereka mengerutkan dahi. Tetapi senyum terpancar lagi ketika melihat Ruhnama, kitab pembersih jiwa, teronggok dalam tumpukan buku saya.

Setelah buku sekarang giliran foto-foto dalam kamera digital harus ditunjukkan semua. Untung saya tadi tidak iseng memotret perbatasan atau hal-hal sensitif lainnya.

Setelah sekian jam memeriksa saya, mereka mengizinkan saya lewat ke bagian imigrasi. Paspor saya dicap, dan saya harus mengucap selamat berpisah dengan kartu hologram imigrasi Turkmen yang sangat cantik, yang saya bayar dengan 12 dolar waktu masuk dulu.

Perbatasan Uzbekistan harus ditempuh dengan marshrutka saking jauhnya. Masih ada antrean panjang di depan gerbang yang tertutup rapat. Saya pun harus berdiri dengan sabar.

Petugas imigrasi tenggelam mengamati lembar demi lembar paspor saya. Lama sekali. Dilihat di bawah lampu UV, diterawang di awang-awang, diamat-amati lagi. Setelah puas, dia tersenyum ke arah saya, “Paspor kamu cantik sekali….,” katanya dalam bahasa Tajik logat Bukhara.

Sekarang giliran bea cukai Uzbek yang sama telitinya memeriksa obat-obatan dan ‘buku-buku agama’ saya, tetapi juga sibuk ngobrol menanyakan pertanyaan-pertanyaan yang tidak perlu. Karena petugasnya ini gadis Tajik yang cantik, maka saya layani saja.

Tak terasa, lebih dari satu jam saya masih tersangkut di perbatasan Uzbek. Orang-orang Turkmen melenggang begitu saja tanpa diperiksa, karena mereka adalah penduduk desa yang hampir setiap hari lintas batas. Orang Turkmen yang tinggal di dekat perbatasan Uzbek boleh melintas tanpa visa selama 3 hari. Lebih dari itu harus bayar 1 dolar per hari. Perbatasan ini ramai dilintasi oleh pedagang, dan sangat rawan penyelundupan minyak murah dari Turkmenistan ke Uzbekistan.

Gara-gara kesangkut di perbatasan, saya sudah ketinggalan kendaraan ke Bukhara. Terpaksa harus naik taksi ke kota Karakol, yang harganya paling murah sekitar 8 dolar.

Aduh. Sakit sekali rasanya. Dengan uang segitu, saya bisa pergi pulang Ashgabat-Turkmenabat 14 kali. Tetapi ini hanya satu kali jalan ke Karakol, cuma beberapa kilometer jauhnya. Di negeri antah berantah di balik perbatasan sana, harga bensin cuma 120 Rupiah per liter, bahkan lebih murah dari air botolan.

Terjun dari mimpi-mimpi Abad Emas dan fantasi negeri utopis, kembali ke kegersangan alam fana, memang sakit rasanya. Tetapi saya gembira, saya sudah kembali ke dunia normal!

 

(Bersambung)

Serial ini pernah diterbitkan sebagai “Berkelana ke Negeri-Negeri Stan” di Rubrik Petualang, Kompas.com pada tahun 2008, dan diterbitkan sebagai buku perjalanan berjudul “Garis Batas: Perjalanan di Negeri-Negeri Asia Tengah” oleh Gramedia Pustaka Utama pada 2011.

Dimuat di Kompas Cyber Media pada 15 Juli 2008

About Agustinus Wibowo

Agustinus is an Indonesian travel writer and travel photographer. Agustinus started a “Grand Overland Journey” in 2005 from Beijing and dreamed to reach South Africa totally by land with an optimistic budget of US$2000. His journey has taken him across Himalaya, South Asia, Afghanistan, Iran, and ex-Soviet Central Asian republics. He was stranded and stayed three years in Afghanistan until 2009. He is now a full-time writer and based in Jakarta, Indonesia. agustinus@agustinuswibowo.com Contact: Website | More Posts

1 Comment on Garis Batas 94: Kembali ke Dunia Normal

  1. Subhanallah. Keren bang. Kota megah yang sepi ya Ashgabat.

Leave a comment

Your email address will not be published.


*