Recommended

Garis Batas

Tak Ada Hitam Putih di Afghanistan

Harian Kompas, 26 Agustus 2021 Oleh AGUSTINUS WIBOWO ”Di sini semua mahal. Yang murah hanya satu: nyawa manusia.” Begitu seorang warga Afghanistan pernah berkata kepada saya tentang situasi negaranya. Sebagai jurnalis yang pernah bekerja di Afghanistan dari 2007 hingga 2009, saya pernah mengalaminya sendiri. Di Kabul, bom meledak setidaknya sekali dalam dua hari. Orang-orang pun senantiasa dicekam teror berupa hujan roket, perampokan, penculikan, dan pembunuhan. Kenangan itu seperti diputar kembali. Jatuhnya Kabul ke tangan Taliban, 15 Agustus 2021, peristiwa mengejutkan sekaligus menakutkan bagi banyak orang Afghanistan. Ribuan orang, termasuk perempuan dan anak-anak, berbondong menuju bandara Kabul, satu-satunya jalur tersisa untuk melarikan diri. Isak tangis dan teriakan bertalu-talu dari lautan manusia. Mayat bergelimpangan di bandara, mungkin terinjak-injak atau tertembak tentara. Para lelaki berusaha bergelantungan pada badan pesawat militer AS yang hendak lepas landas. Beberapa dari mereka terjatuh dari pesawat yang mengangkasa. Begitu takut dan putus asanya mereka, hingga nekat melakukan apa pun. Apa pun. Beberapa kawan jurnalis di Kabul dan Mazar-i-Sharif mengatakan, mereka beberapa hari ini belum berani ke luar sama sekali. Mereka khawatir anggota Taliban akan melakukan pemeriksaan dari rumah ke rumah, membunuhi siapa pun yang dianggap musuh. Apakah kemenangan Taliban bisa dianggap kemenangan rakyat Afghanistan mengusir penjajah AS? Atau [...]

August 31, 2021 // 2 Comments

Garis Batas 96: Good Boy

Agustinus Wibowo di Perbatasan Pakistan dan Afghanistan. Tentara perbatasan Uzbekistan memang terkenal sangat merepotkan. Penggeledahan barang-barang bawaan sudah menjadi prosedur wajib. Tetapi masih ada yang lebih melelahkan dan menjengkelkan dari ini. Sudah hampir satu jam saya berdiri di hadapan tentara muda itu, dengan semua barang bawaan saya tertata amburadul di atas meja bea cukai. Kaos dan celana-celana lusuh bertumpuk-tumpuk seperti gombal, membuat dia mirip pedagang keliling baju bekas, dan membuat muka saya merah padam. Puas mengobrak-abrik semua isi tas ransel, tentara itu langsung memerintah saya cepat-cepat mengemas kembali semua barang itu. Seperti diplonco rasanya. Saya disuruh mengikutinya, ke sebuah kamar kecil dan tertutup di pinggir ruangan. Ukurannya cuma 2 x 3 meter, sempit sekali, dengan sebuah kasur keras di sisinya. Begitu saya masuk, dia langsung mengunci pintu. Apa lagi ini? Saya berduaan dengan tentara tinggi dan gagah yang mengunci pintu di sebuah kamar dengan ranjang yang nyaman, dan sekarang dia menyuruh saya menungging. Dia mulai menggerayangi tubuh saya dengan kedua tangannya. Jangan berpikir yang aneh-aneh dulu. Setelah barang bawaan yang diperiksa, kini giliran tubuh saya yang diteliti habis-habisan. Dari ujung kepala sampai ke ujung kaki. Dan ini dalam arti harafiah. Ujung sepatu saya diketok-ketok. Kebetulan sepatu yang saya pakai ini [...]

October 25, 2013 // 11 Comments

Garis Batas 95: Tangan Tuhan

Belajar menembak (AGUSTINUS WIBOWO) Saya ingat, tak sampai dua bulan yang lalu, saya datang ke KBRI Tashkent dengan bercucuran air mata. Empat ratus dolar saya tiba-tiba raib dari dompet, yang saya sendiri pun tak tahu bagaimana ceritanya. Ceroboh, ceroboh, ceroboh, saya memaki-maki sendiri. Satu per satu diplomat dan staf KBRI duduk di hadapan saya, memberikan penguatan. “Gus, mungkin Tuhan memang punya kehendak,” kata Pak Pur, seorang diplomat, “mungkin dengan kejadian ini Tuhan mengingatkan kamu supaya lebih rajin bekerja, lebih rajin memotret, lebih rajin menulis. Semua itu ada hikmahnya.” Pak Pur kemudian bercerita tentang puluhan ribu dolar yang dicuri orang waktu naik kereta di Rusia. Lebih sakit rasanya. Tetapi akhirnya beliau juga bisa mengikhlaskan. Bicara tentang Tuhan, mengapa Tuhan tak mengizinkan saya melanjutkan perjalanan lagi, saya ingin sekali melihat negeri-negeri Kaukasus yang dilupakan orang, eksotisnya padang pasir Timur Tengah, serta Afrika yang liar. Apa daya, Tuhan tak mengizinkan, uang saya tak banyak lagi tersisa. Empat ratus dolar, begitu besar artinya bagi saya. Mungkin Pak Pur benar, Tuhan berkehendak lain. Setelah meratap berhari-hari, saya akhirnya berusaha bangkit dari keterpurukan. Saya mencari lowongan kerja di sana-sini, mengontak kawan ini dan itu, hingga pada akhirnya, hari ini, saya tersenyum kecil melihat sebuah visa Afghanistan [...]

October 24, 2013 // 2 Comments

Garis Batas 94: Kembali ke Dunia Normal

Pagi di Turkmenabat (AGUSTINUS WIBOWO) Eksodus. Lima hari di negeri yang penuh keanehan dan keajaiban sudah lebih dari cukup untuk mendorong setiap bintik sel dalam tubuh saya menggelegak, tak sabar lagi untuk kembali ke dunia normal. Ruhnama memang punya gaya gravitasi yang tiada duanya. Para penumpang kereta bak magnet tertarik ke arah saya, orang asing dari negeri seberang yang begitu khusyuk membaca Ruhnama. Ada yang antusias melantunkan lagu kebangsaan Turkmenistan, “Ciptaan agung Sang Turkmenbashi, tanah air, negeri berdaulat, Turkmenistan cahaya dan nyanyian jiwa, berjayalah selama-lamanya…” Saya jadi akrab dengan Kalkali, seorang tentara muda berumur 20 tahun. Dia adalah minoritas etnik Azeri, wajahnya tampan, alisnya tebal, hidungnya mancung, mata lebarnya hitam pekat, dan perawakannya sangat gagah perkasa. Orang-orang Azeri, pemilik negara Azerbaijan di seberang Laut Kaspia sana, adalah salah satu kaum minoritas terbesar di Turkmenistan. Kalkali bukan orang Turkmen biasa, dunianya bukan cuma Ruhnama. Dia sudah pergi ke Kyrgyzstan, Uzbekistan, India, Sri Lanka, sebagai atlet sepak bola nasional. “Saya juga sudah melihat dunia,” katanya bangga. Sekarang Kalkali jadi tentara. Semua pria Turkmen harus menjalani wajib militer selama dua tahun. Tentang kehidupannya sebagai tentara, Kalkali cuma bilang lumayan dan tidak terlalu buruk. Gajinya 5 dolar per bulan. Masih jauh lebih bagus daripada [...]

October 23, 2013 // 1 Comment

Garis Batas 93: Histeria

Penuh sesak (AGUSTINUS WIBOWO) Sepeninggal Sang Pemimpin Agung, kehidupan di negeri Turkmenia perlahan-lahan kembali seperti sedia kala. Pengganti Turkmenbashi, Gurbanguly Berdimuhammedow, menjanjikan perubahan besar-besaran. Orang Turkmen sudah terbiasa dengan kehidupan macam ini bertahun-tahun. Tak ada yang mengharap perubahan drastis. Ruhnama masih tetap menjadi bacaan wajib, dan foto Turkmenbashi masih menjadi emblem semua saluran televisi. Turkmenistan, masih menjadi negerinya Turkmenbashi. Tetapi bayang-bayang Sang Turkmenbashi, tiga bulan setelah kematiannya, masih terlalu kuat. Foto-foto Gurbanguly perlahan-lahan mengisi sudut-sudut kota, dengan wajah, sorot mata, ekspresi, dan emosi yang mirip pendahulunya. Gurbanguly mungkin juga akan menjadi Turkmenbashi jilid II. Siapa tahu? Lima belas tahun telah membuat sebuah dunia Turkmenia, yang khas Turkmen dan hanya ada di Turkmenistan. Sebuah dunia utopia penuh fantasi yang tak akan pupus begitu saja sepeninggal Sang Pemimpin. Hari ini, dengan berat hati saya harus meninggalkan Kota Cinta Ashgabat, meninggalkan semua kenangan indah tentang kota antah berantah yang diciptakan oleh Sang Pemimpin. Kontras-kontras kehidupan yang sama sekali berlawanan tiba-tiba saja terpampang di hadapan saya. Sisi kehidupan berbeda yang diciptakan oleh Pemimpin yang sama. Hiruk pikuk lautan manusia yang memenuhi stasiun kereta Ashgabat sore ini. Mulai dari bisik-bisik, tangisan, hingga pekik lantang, semua terdengar bercampur baur mengisi [...]

October 22, 2013 // 5 Comments

Garis Batas 92: Mari Sucikan Jiwa

Kebanggaan nasional (AGUSTINUS WIBOWO) “Dalam nama ALLAH, yang paling termuliakan … kitab ini, yang ditulis dengan bantuan ilham yang dikirimkan langsung ke hatiku, oleh Tuhan yang menciptakan alam semesta yang agung dan mampu melakukan apa pun yang Ia inginkan, adalah kitab Ruhnama bangsa Turkmen.“ Demikian Sang Turkmenbashi memulai tulisan sepanjang 400 halaman untuk membuka jalan bagi roh-roh bangsa Turkmen. Dalam keheningan malam, saya mulai membalik lembar demi lembar Ruhnama, mengharapkan sebuah kesegaran spiritual Turkmen membasuh jiwa saya yang kering kerontang ini. Kitab ini dibuka dengan sebuah foto Sang Presiden Turkmenbashi, Bapak Bangsa Turkmen, sang penulis agung kitab suci Ruhnama, menebarkan aura kegagahan dan kekuasaan. Dilanjutkan gambar bendera hijau Turkmenistan, perpaduan antara bintang dan permadani indah. Selanjutnya lambang negara, yang melibatkan kuda Altheke, spesies kuda yang hanya ada di Turkmenistan, salah satu kebanggaan bangsa yang tak terperi. Halaman selanjutnya, lambang kepresidenan Turkmenistan, berupa elang berkepala lima. Berikutnya adalah ratusan halaman penuh berisi teks suci Ruhnama, diselingi foto-foto corat-coret Sang Turkmenbashi yang menggubah karya agungnya. Ruhnama, sekali lagi, bukan buku agama. Dia bukan pula buku sejarah. Tetapi campur aduk yang membingungkan antara autobiografi Turkmenbashi, ajaran-ajaran moral, ulasan kultural, percakapan monolog, sampai penulisan sejarah dunia dan Turkmen yang mengundang [...]

October 21, 2013 // 2 Comments

Garis Batas 91: Ruhnama

Monumen Ruhnama di Berzengi (AGUSTINUS WIBOWO) “Wahai Turkmen! Segala cintaku hanya bagimu. Segala penderitaan hanya untukku” demikian tulis Sang Turkmenbashi dalam buku panduan jiwa, Ruhnama, yang menjadi bacaan wajib semua orang Turkmen. Siapa pengarang buku terlaris di Turkmenistan? Tak perlu terkejut kalau untuk posisi ini pun, Sang Presiden Turkmenbashi menjadi jawaranya. Lihat saja toko-toko buku milik negara yang bertebaran di seluruh Ashgabat. Hampir semua buku yang dijual adalah buah karya Sang Presiden. Warna hijau dan merah kitab suci berjudul Ruhnama memenuhi rak-rak. Ruhnama, dari kata ruh dan nama, artinya ‘kitab jiwa’. Tujuannya untuk mempersiapkan roh dan jiwa bangsa Turkmen menyambut datangnya era baru, Abad Emas yang telah berabad-abad dinantikan kedatangannya. Bukan hanya ditulis dalam bahasa Turkmen, tetapi juga ada versi terjemahan Bahasa Inggris, Perancis, Jerman, Rusia, China, Jepang, Arab, Hungaria, Ceko, Korea, Hindi, Thai, sampai Zulu. Lebih dari 25 bahasa dunia. Turkmenbashi ingin cita-cita dan buah pikirannya pun dibaca seluruh umat manusia di dunia, sebagai sumnbangsih negerinya pada peradaban dan perdamaian di muka bumi. Saya yang terkagum-kagum dengan kedahsyatan toko buku Ruhnama ini, langsung mengeluarkan kamera dan siap menjepret. Mbak penjaga toko serta merta dengan judes berteriak, “Dilarang potret-potret!” Yang jelas, walaupun belum diterjemahkan dan diekspor ke Indonesia, Ruhnama sudah [...]

October 18, 2013 // 8 Comments

Garis Batas 90: Berzengi

Berzengi dan segala mukjizatnya (AGUSTINUS WIBOWO) Di bagian selatan Ashgabat, sebuah dunia surealis menebar nuansa misterius negeri antah berantah. Gedung-gedung tinggi dari pualam putih berjajar megah, tetapi tak ada manusia yang menghuni. Jalan raya beraspal mulus membentang amat lebar, tetapi tak nampak mobil yang melintas. Monumen-monumen megah berdiri, merayakan kegemilangan negeri, di tengah kelengangan alam yang tiada banding. Taman-taman hijau menghampar, gemericik air mancur mengalun sendiri di tengah sunyi dunia. Inilah Berzengi, tempat keajaiban tingkat dunia muncul satu per satu. Inilah Berzengi, tempat bulu kuduk saya berdiri di sebuah dunia aneh yang kosong dan hampa ini. Berzengi adalah sekelumit wajah Turkmenistan yang pertama kali saya intip ketika datang dari Iran dulu. Dalam bis kota modern yang harga tiketnya mendekati gratis, saya terpesona oleh barisan gedung-gedung tinggi dan baru, dengan cita rasa arsitektur entah dari zaman apa. Kekaguman saya juga mengantarkan senyum kebanggaan di wajah Rita, seorang pegawai perbatasan, yang mengagung-agungkan kehidupan di negeri utopis Turkmenistan. Setelah beberapa hari di Ashgabat, saya kembali ke Berzengi, mengagumi barisan gedung-gedung raksasa nan bisu ini.  Gedung-gedung pualam megah berbaris di tengah sepi (AGUSTINUS WIBOWO)   Berzengi adalah jalan panjang yang membentang ke arah pegunungan Kopet Dag di selatan, yang membatasi negeri ini dengan Iran. [...]

October 17, 2013 // 6 Comments

Garis Batas 89: Disneyland

Dunia Fantasi di Turkmenistan (AGUSTINUS WIBOWO) Negeri fantasi ini pun menciptakan sebuah Dunia Fantasi … “Wahai generasi Abad Emas, engkau adalah manusia-manusia yang paling berbahagia!”   Turkmenbashi yang Agung bersabda, tertulis dengan tinta emas di pintu gerbang sebuah taman bermain, mengingatkan keberuntungan tiada tara putra dan putri Abad Emas, masa depan Turkmenistan. Dunia Dongeng Turkmenbashi, demikian nama taman penuh imajinasi dan fantasi ini, mengantar pengunjung ke dunia syahibul hikayat Turkmenia, salah satu proyek maha besar sang pemimpin untuk merayakan 15 tahun perjalanan hidup Turkmenistan menyongsong Abad Emas. Tetapi penduduk Ashgabat lebih sering menyebut tempat ini dengan nama yang lebih keren – Turkmen Disneyland. Pintu gerbang berwarna putih pualam berdiri megah, di hadapan barisan bendera Turkmenistan yang berkibar-kibar penuh gairah. Kota Ashgabat adalah salah satu kota yang hampir setiap hari berganti wajah. Gedung-gedung baru dari pualam bermunculan dalam sekejap malam. Semuanya seperti sihir penuh kejutan. Dan salah satu kejutan terakhir Turkmenbashi yang menggemparkan seluruh negeri dan jagad raya adalah  taman Disneyland ini. Lupakan Donal Bebek dan Miki Tikus, juga Sinderela dan tujuh kurcaci. Turkmenistan bukan tempat bagi mereka. Di sini, yang mengisi mimpi bocah-bocah Turkmen, generasi mendatang di Abad Emas, semuanya berasal dari hikayat-hikayat dan khasanah kesusastraan Turkmen yang tiada bandingnya [...]

October 16, 2013 // 2 Comments

Garis Batas 88: Jejak Soeharto

Pasar permadani di Tolkuchka Bazaar(AGUSTINUS WIBOWO) Siapa sangka di negeri yang penuh dengan patung-patung sang Pemimpin Agung yang selalu ingin dipuja setiap detik, saya menemukan jejak mantan presiden kita, Bapak Pembangunan Soeharto, tersembunyi di sebuah sudut pasar. Ashgabat adalah kota yang banjir semboyan. Saya sudah hapal di luar kepala apa itu ‘Ruhnama Jalan Hidup’ dan bahwa ‘Turkmenistan Selalu Merdeka dan Netral’. Saya sudah hapal lekuk-lekuk tubuh dan raut wajah Turkmenbashi. Dan saya tak perlu diingatkan lagi bahwa sekarang kita hidup dalam ‘Abad Emas’. Saya memunguti serpihan-serpihan masa lalu saya dari wajah kota Ashgabat. Saya teringat akan Penataran Pancasila dan jargon-jargon masa lalu seperti era tinggal landas, adil dan makmur, gerakan non-blok, dan semboyan-semboyan penuh kebanggaan sebagai bangsa yang merayakan Indonesia Emas di bawah ‘petunjuk‘ sang nahkoda, Bapak Pembangunan. Mungkin Turkmenistan memang negeri antah berantah yang penuh keajaiban. Tetapi kehidupan di sini bukan hal yang asing sama sekali bagi orang Indonesia. Di pinggiran kota Ashgabat, sekitar delapan kilometer dari pusat kota, ada sebuah pasar kuno yang termashyur di seluruh penjuru Asia Tengah. Pasar ini bernama Tolkuchka Bazaar, yang dalam bahasa Rusia berarti ‘Pasar Tarik’. Mengapa namanya demikian, saya pun tak tahu pasti. Tetapi yang jelas, setiap hari Minggu Tolkuchka Bazaar menjadi [...]

October 15, 2013 // 14 Comments

Garis Batas 87: Baju Indah

Pelajar Turkmen dengan pakaiannya yang indah (AGUSTINUS WIBOWO) Saya masih terkesima dengan pemuda dan pemudi Turkmen yang semuanya berbaju rapi, indah, dan penuh pesona. Apakah ini bagian wajib dari sebuah Abad Emas? Jeyhun adalah seorang mahasiswa teknik mesin di sebuah universitas di Ashgabat. Namanya berarti Sungai Amu Darya, sungai besar yang disebut-sebut sebagai tempat lahirnya peadaban Asia Tengah. Kampung halaman Jeyhun sebenarnya berada di Uzbekistan, di kota kecil Karakul di selatan Bukhara. Tetapi sekarang keluarganya tinggal di kota Turkmenabat, persis di seberang pintu gerbang Uzbekistan. Mahasiswa yang satu ini berpakaian sangat parlente. Kemejanya putih bersih. Dasinya pun berpadu serasi. Yang bikin mana tahan adalah jas hitamnya yang lembut dan gagah. Celana panjangnya pun hitam mengkilap. Tak lupa sepatu hitamnya yang terus-menerus bercahaya. Tak tampak seperti orang Turkmen? Masih ada tahia, topi bundar, tipis, mungil berhiaskan noktah-noktah berwarna kuning dan merah teronggok miring menutupi ubun-ubun di puncak kepalanya. Bukankah berpakaian seperti ini menghabiskan biaya? Harga jas yang berkualitas bagus seperti ini harganya mulai dari 40 dolar sampai 100 dolar. Sangat mahal untuk ukuran mahasiswa. “Tidak masalah,” kata Jeyhun, seorang mahasiswa dari Turkmenabat yang belajar di Ashgabat, “semua orang jadi kelihatan bagus. Para pelajar di sini sangat cantik dan tampan. Tak ada [...]

October 14, 2013 // 4 Comments

Garis Batas 86: Puja dan Puji

Puja bagi Ruhnama (AGUSTINUS WIBOWO) Taman Abad Emas Saparmurat Turkmenbashi yang Agung, nama tempat di mana segala puja dan puji terhadap Sang Pemimpin Besar dipanjatkan setiap minggu, disiarkan secara langsung ke seluruh penjuru negeri oleh televisi negara. Inilah altar pemujaan, yang sepeninggal Sang Pemimpin masih terus melantunkan nyanyian pujian ke angkasa raya. Hari Sabtu dan Minggu sore, taman ini selalu ramai dikerumuni orang. Letaknya di hadapan patung emas Turkmenbashi yang gagah berdiri menyibakkan jubah. Dengan berbekal kamera saya mencoba menyelinap ke tengah kerumunan itu. Tahu-tahu saya diciduk polisi. “Hei, kamu! Mau ke mana?” Saya jawab mau ikut konser. Si polisi tambah curiga, menhardik, “Kamu dari kelas mana? Grup mana?” tanya polisi yang satunya. Kelas? Grup? Waduh, saya kan orang asing yang menyelundup, kok ditanya grup dan kelas. Kedua polisi itu mulai mengancam akan menjebloskan saya ke penjara. Nada-nadanya para pegawai kecil ini ingin mempertunjukkan kekuasaannya. Saya hanya ikut permainan mereka, tersenyum-tersenyum kecil, dan terus memohon-mohon. Ketika mereka lengah saya berhasil menyelinap ke kerumunan orang ramai ini. Sekarang baru saya sadar mengapa polisi-polisi itu mencegat saya. Semua orang yang datang ke tengah kerumunan ini berpakaian hampir sama. Para prianya mengenakan kemeja, dasi, jas hitam kualitas tinggi, dan topi tradisional berbentuk bundar [...]

October 11, 2013 // 0 Comments

Garis Batas 85: Bukan Emas Tulen

Melewatkan kebosanan di taman. (AGUSTINUS WIBOWO) Abad emas menyelimuti seluruh penjuru negeri Turkmenistan. Patung-patung emas berdiri menyambut datangnya era baru, lengkap dengan slogan, semboyan, motto, dan berbagai ragam jargon. Altyn Asyr, Abad Emas, apa pun namanya, kini menjadi salah satu frase yang paling banyak disebut-sebut di negeri ini. Bicara soal Abad Emas, Marat sama sekali tidak antusias. Marat yang penduduk asli Ashgabat malah bosan dengan hidupnya yang biasa-biasa saja dan terus datar tanpa perubahan. Umurnya baru dua puluhan, tetapi wajahnya sudah nampak tua sekali. Mungkin karena kebosanan luar biasa setiap hari kerut-kerut baru muncul di wajahnya.  “Turkmenistan ini sama sekali bukan tempat untuk bekerja,” keluhnya, “tidak ada uang di sini.” Pekerjaannya sebagai tukang cuci mobil. Sekali mencuci mobil, pendapatannya berkisar antara 30.000 hingga 40.000 Manat. Tidak terlalu kecil sebenarnya, cukup untuk membeli selembar tiket pesawat terbang domestik atau setengah piring nasi plov di pasar. Tetapi masalahnya tak banyak mobil yang bisa dicuci di ibukota kecil ini. Apalagi sudah berapa hari ini hujan turun terus. Tuhan telah memberikan layanan cuci mobil gratis kepada para pemilik mobil, tetapi Marat berteriak kehilangan sumber pemasukan. “Masih jauh lebih baik Uzbekistan. Orang-orang di sana lebih cerdas dan pintar, tahu bagaimana caranya mencari uang,” keluhnya lagi. [...]

October 10, 2013 // 1 Comment

Garis Batas 84: Ketakutan

Penuh tentara (AGUSTINUS WIBOWO) Saya masih mencoba untuk mencari jawab akan rasa hormat dan takzim yang demikian tiada bandingan terhadap Sang Turkmenbashi. Apakah euforia abad emas yang begitu memesonakan? Atau mungkin hasil cuci otak dengan bilasan ideologi? Atau bahkan rasa takut yang sudah tersembunyi di sudut hati dan ikut mengalir bersama aliran darah? Rasa takut terus menghantui saya ketika menyusuri jalanan kota Ashgabat. Bukan karena lalu lintas maut seperti di Jakarta, karena jalanan megah dan lebar di kota ini hampir selalu lengang. Bukan karena pencopet atau pencuri, karena kota ini tak pernah ramai. Juga bukan karena patung-patung bisu Turkmenbashi. Saya merasa seperti berada di kota perang. Polisi dan tentara berseragam berpatroli di mana-mana, tanpa henti, sepanjang hari. Ada mata-mata jelmaan KGB yang terus mengintai. Di tiap sudut jalan setidaknya ada sepasang tentara yang mondar-mandir dengan langkah tegap, menyebarkan aura kegagahan dan keperkasaan. Tetapi aura yang mencapai permukaan kulit saya adalah rasa takut yang mencekam. Saya merasa setiap langkah saya selalu diawasi oleh mata-mata tanpa wujud. Setiap gerak-gerik saya terpantau, bahkan mungkin hembusan nafas saya di negeri ini pun ada yang memindai. Pusat kota Ashgabat memang daerah yang teramat sangat sensitif, yang menjadi alasan ketatnya pengamanan. Ada istana presiden yang berkubah [...]

October 9, 2013 // 2 Comments

Garis Batas 83: Sang Idola

Sang Idola berputar bersama matahari (AGUSTINUS WIBOWO) Ada satu figur yang cukup untuk menggambarkan seluruh negeri Turkmenistan, terbentang dari pesisir Laut Kaspia hingga gurun pasir hitam Karakum, menangkupi gunung Kopet Dag sampai bantaran sungai Amu Darya. Hanya satu. Sang Pemimpin Besar, Presiden pertama dan seumur hidup, Putra besar dari seluruh rakyat negeri, Pendiri Turkmenistan yang merdeka dan netral, Sang Turkmenbashi… Saparmurat Niyazov. Kota cinta Ashgabat dipenuhi oleh patung-patung dan gambar wajah sang Turkmenbashi. Sebagian besar patung-patung itu berpoles emas, memantulkan cahaya matahari yang membuat kota ini semakin berkilau. Sang Pemimpin dipatungkan dalam berbagai pose dan gaya: duduk, melambaikan tangan kanan, melambaikan kedua tangan, berdiri, menghadap matahari, membaca buku, bertopang dagu, dan sejenisnya. Para pematung Turkmenistan rupanya harus belajar khusus anatomi sang Turkmenbashi untuk dapat memfigurkan pemimpin agung ini dengan secermat-cermatnya. Patung-patung emas Turkmenbashi dikawal oleh para tentara, seolah-olah mereka sedang mengawal harta karun nasional. Para tentara berwajah garang tanpa ampun itu berpatroli di seputar patung-patung. Mungkin takut emasnya dicuri. Atau mungkin takut kehormatan sang Pemimpin dinodai orang-orang tak bertanggung jawab. Mendiang Turkmenbashi pernah bersabda bahwa bukan kehendak beliau untuk membangun patung-patung dan memasang foto-foto dirinya di mana-mana. Semua itu semata-mata karena kecintaan [...]

October 8, 2013 // 0 Comments

Garis Batas 82: Utopistan

Dua dunia (AGUSTINUS WIBOWO) Mendung bergelayut di langit Ashgabat. Hujan turun rintik-rintik. Perumahan kuno tempat saya tinggal sudah menjadi lautan lumpur. Tempat ini tepat berada di belakang gedung-gedung marmer pencakar langit yang dibangun oleh Turkmenbashi, dengan cita rasa yang penuh tanda tanya. Hanya menyeberang gang ke jalan utama, meninggalkan kumuhnya rumah-rumah kuno, saya sudah kembali ke dunia Turkmenistan yang dibangun oleh Turkmenbashi. Dalam bahasa Turkmen, Turkmenbashi artinya ‘Pemimpin orang Turkmen’. Mirip-mirip gelar Kemal Ataturk, sang pembaharu Turki, yang artinya ‘Bapa orang Turki’. Di negeri ini, itulah nama yang tidak boleh kita lupakan, karena dialah seluruh roh dan jiwa Turkmenistan, pembawa pencerahan dan pembaharuan ke seluruh penjuru negeri dan dunia. Wajah Saparmurat Turkmenbashi, presiden agung yang baru saja meninggal, menghiasi setiap sudut jalan Ashgabat. Gedung-gedung kementrian selalu punya patung emasnya. Siluet wajahnya mengawali setiap slogan dan pesan pemerintah. Semua saluran televisi juga pasti memasang gambar sang Bapa Agung. Belum cukup. Desa, kota, pelabuhan, jalan, bandara, semuanya diganti dengan nama beliau, nama orang tua beliau, juga konsep-konsep agung beliau. Kota pelabuhan Krasnodovsk di pinggir Laut Kaspia sekarang bernama Turkmenbashi. Kota perbatasan Charjou sekarang berjudul Turkmenabat. Kota kecil Kerki sudah menjadi Atamurat, nama ayah Turkmenbashi. Ibundanya, Gurbansoltan Eje, sekarang [...]

October 7, 2013 // 4 Comments

Garis Batas 81: Semua Gratis di Abad Emas

Kompleks istana kepresidenan dengan kubah emas, dibangun oleh perusahaan konstruksi Perancis Bouygues. (AGUSTINUS WIBOWO) Tiga puluh kilometer perjalanan dari perbatasan membawa saya ke Ashgabat, ibu kota Turkmenistan. Ashgabat artinya ‘kota cinta’. Tetapi seperti Tashkent yang bukan tempat mencari batu, saya juga tidak mencari cinta di sini. Ashgabat, dalam benak saya, adalah kota fantasi yang megah di tengah padang pasir luas. Rita, nama wanita ini, yang mengantar saya naik bus kota menuju pusat Ashgabat. Umurnya sekitar empat puluh tahunan, bekerja sebagai pegawai imigrasi di perbatasan. Warga keturunan Rusia. Rambutnya pirang, hidungnya mancung, matanya biru. “Berapa harga karcisnya?” saya bertanya.             “Lima puluh manat,” jawab Rita.             “Lima puluh ribu manat?” saya belum yakin.             “Bukan. Bukan lima puluh ribu. Lima puluh. Hanya lima puluh Manat,” dia menyimpan sebuah senyuman di wajahnya. Lima puluh manat. Dua puluh rupiah, harga karcis bis kota di ibu kota negeri Turkmen. Rita mengerti keheranan saya. Dan itu justru membuatnya bangga. Dengan sukarela Rita membayarkan karcis saya, yang masih kebingungan karena tidak punya uang kecil. “Di sini, semuanya gratis – air, listrik, gas, layanan kesehatan. Semuanya. Kami memang tidak punya uang. Tetapi semuanya gratis. Kami tidak perlu banyak uang untuk hidup.” [...]

October 4, 2013 // 2 Comments

Garis Batas 80: Turkmenistan Menyambut Anda

Pintu gerbang Kota Cinta Ashgabat (AGUSTINUS WIBOWO) Kota terakhir Iran sebelum memasuki Turkmenistan adalah Guchan di utara Mashhad. Serpihan Iran yang satu ini memang bukan kemegahan macam Tehran Di kota ini gubuk-gubuk tersebar semrawut di kaki-kaki gunung berdebu. Iran, negara kaya raya ini, ternyata punya juga daerah yang morat-maritnya mirip Pakistan. Perbatasan Turkmenistan di desa Bajgiran masih 75 kilometer lagi. Bajgiran sudah seperti dunia lain. Padang-padang hijau menghampari kurva mulus bukit-bukit, membuat saya seakan sudah berada di Asia Tengah lagi. Kalau bukan tulisan-tulisan huruf Arab bahasa Persia, serta perempuan-perempuan yang dibungkus chador hitam, mungkin saya sudah lupa kalau saya masih di Iran. Penukar uang gelap berebutan menjajakan uang Turkmen. Semua membawa kresek hitam besar-besar, yang isinya hanya duit. Sebegitu tidak berharganya kah uang Turkmenistan sampai dibungkus kresek seperti dagangan kismis? Mata uang Turkmenistan namanya Manat. Nilai tukar resmi pemerintah Turkmenistan, 1 dolar = 5.500 Manat. Tetapi harga pasar gelap 25.000 Manat, hampir lima kali lipat. Tanda-tanda negara dengan perekonomian tidak sehat. Walaupun duitnya kecil, pecahan terbesar uang Turkmen hanya 10.000 Manat, yang kira-kira 3.600 Rupiah saja. Saya hanya menukar 100.000 Rial (kira-kira 100.000 Rupiah) dan langsung mendapat sekresek uang Manat pecahan 5000-an. Rasanya benar-benar seperti beli sekantung kismis. Di setiap [...]

October 3, 2013 // 3 Comments

Garis Batas 79: Menuju Antah Berantah

Bendera Turkmenistan (AGUSTINUS WIBOWO) Tak sampai sebulan berselang, saya sudah berada di Bandara Internasional Mehrabad, Republik Islam Iran. Dingin langsung menyambut saya, yang menginjakkan kaki kembali ke tengah negeri-negeri yang tak pernah pupus dari mimpi. Dingin yang sama digemakan oleh pilar-pilar, koridor, eskalator. Bandara Mehrabad sudah tua umurnya. Kosong, lengang, tak beraturan. Tak bernyawa. Saya hanya merasa berada di sebuah bandara. Tak kurang tak lebih. Pesawat kami terbang dari Kuala Lumpur, tempat belanja favorit orang Iran di Asia Tenggara. Setiap penumpang membawa berkoper-koper barang, sepertinya tak ada yang mau menyia-nyiakan kesempatan berbelanja di sebuah surga shopping dunia. Roda bagasi berputar perlahan-lahan. Satu per satu barang bawaan muncul entah dari mana. Di antara barang-barang itu, ada banyak kotak besar berisi makanan bubuk dan popok bayi. Aneh-aneh saja belanjaan favorit orang Iran ini. Dua ratusan penumpang Iran berbaris dengan sabar di depan bea cukai, yang sangat teliti memeriksa semua barang. Saya malah melengang begitu saja, mungkin karena mereka tidak tertarik dengan ransel kumal saya. Tak banyak yang saya lakukan di kota Tehran, selain mengurus visa Uzbekistan dan Turkmenistan. Yang pertama sangat gampang. Dengan berbekal surat undangan dari Tashkent, paspor saya langsung ditempeli stiker visa hanya dalam waktu lima menit. Yang bikin pusing [...]

October 2, 2013 // 3 Comments

Garis Batas 78: Pulang

Batas negara tak lagi berarti dari angkasa raya. (AGUSTINUS WIBOWO) Baru saja saya bernafas lega karena visa Iran sudah di genggaman, dan visa Turkmenistan sedang diproses, tiba-tiba sebuah SMS singkat dari Indonesia membuyarkan rencana perjalanan saya. “Papa mau kamu pulang Tahun Baru Imlek ini. Kami ada yang mau dibicarakan,” demikian bunyinya. Singkat, tetapi cukup mendebarkan jantung. Ayah yang selama ini tidak pernah meminta apa-apa dari saya, kali ini memohon saya dengan sangat untuk – pulang. Ya, pulang ke kampung halaman, mencari pekerjaan dan menetap di Indonesia, mengakhiri perjalanan di belantara Asia Tengah. Ayah baru-baru ini kena serangan jantung, dan saya tidak tega untuk tidak memenuhi permintaannya. “Kamu pulang saja, memang mau bagaimana lagi? Sebelum kamu menyesal seumur hidup, Gus,” demikian mbak Rosalina Tobing, kawan dekat saya di KBRI Tashkent, menganjurkan saya untuk segera membeli tiket ke Kuala Lumpur. Kebetulan sedang ada promosi dari Uzbekistan Airways, harga tiket ke Malaysia hanya 299 dolar. Singkat cerita, saya sudah di Bandara Internasional Tashkent. Petugas imigrasi Uzbekistan memang sudah tersohor korupnya, semakin ganas dengan rumitnya birokrasi negara ini. Berbekal ‘surat sakti’ dari KBRI pun masih belum menenangkan hati saya. Saya terus memanjatkan doa, melewati pos demi pos. Pos terakhir yang paling saya takuti, pos [...]

October 1, 2013 // 11 Comments

1 2 3 5