Recommended

Perjalanan Akbar

Titik Nol 147: Turun Gunung

Kota Muzaffarabad pasca gempa (AGUSTINUS WIBOWO) Setiap seminggu atau sepuluh hari, kami mendapat giliran sekali ‘turun gunung’ ke Muzaffarabad. Sebuah kesempatan untuk melepaskan kejenuhan bekerja di pedalaman. Juga kesempatan untuk berhubungan dengan dunia luar, atau setidaknya bertelepon ria dengan sanak saudara di luar sana. Perjalanan dengan jip dari Noraseri tidak selalu lancar. Jalan sempit menukik lancip di pinggang gunung seringkali tertimbun batu dan pasir dari longsoran, gara-gara hujan lebat semalam. Mobil kami berlari sambil melompat, sementara di bawah sana jurang menganga dalam. “Ayo, sekarang kamu hapalkan puisi ini,” kata Aslam, “Puisi ini wajib hukumnya di Kashmir. Namanya Qaumi Tarana, Syair Kebangsaan.” Walaupun berkibar bersama bendera Pakistan, Azad Kashmir bukan Pakistan. Selain punya bendera, lagu kebangsaan, sendiri, ternyata ada puisi kebangsaannya juga. Baris-barisnya mudah diingat, sajaknya cantik, dan maknanya sederhana. Baghon aur baharonwalla (taman dan musim semi) Daryaon aur kohsaronwalla (sungai dan pegunungan) Jannat ki nazaronwalla (pemandangan surgawi) Jammu Kashmir hamara (Jammu dan Kashmir milik kita) Watan hamara, Azad Kashmir, Azad Kashmir, Azad Kashmir! (Tanah air kita, Kashmir merdeka!) Jalan utama Muzaffarabad yang tetap ramai (AGUSTINUS WIBOWO) Syair ini menyebut keindahan negeri Kashmir – taman, musim semi, sungai, gunung, dan pemandangan surgawi. Saya masih bersusah payah menghafal larik-larik syair itu. Di [...]

March 17, 2015 // 4 Comments

Titik Nol 146: Di Bawah Temaram Lampu Minyak

Gembira menerima sheet CGI (AGUSTINUS WIBOWO) Sekali perjalanan naik turun gunung, mengumpulkan data puluhan keluarga korban gempa dalam sehari, rasanya sudah membuat remuk tulang punggung. Tetapi saya tersentuh oleh keramahan setiap keluarga miskin yang selalu menawarkan secangkir teh panas. Dalam kesengsaraan, mereka masih ingat berbagi kebahagiaan. Hari ini kami mengunjungi lima desa. Tiga di atas, dua di bawah. Ijaz mengajari saya, kalau berpapasan dengan perempuan, kita tak boleh memandang wajah mereka atau berkontak mata, harus cepat-cepat menunduk dan mengalihkan pandangan. Umumnya penduduk desa menantikan kedatangan kami, menyampaikan keluh kesah jumlah CGI sheet yang tak cukup, atau menyampaikan keberhasilan rumah baru mereka yang mungil namun nyaman. Untuk setiap penerima bahan bantuan, kami mencatat nama kepala keluarga dan nama ayah. Hanya mereka yang sudah berkeluarga saja yang berhak menerima. Banyak orang yang punya nama sama di Pakistan. Hampir semua orang namanya berasal dari Al Qur’an. Karena itu pulalah, nama ayah juga perlu dicatat untuk menjadi pembeda. Tetapi ada pula kasus di mana dua orang bisa punya nama sendiri dan nama ayahnya yang sama persis. Untuk kasus begini, yang paling berfungsi adalah nomor KTP. Setiap korban gempa yang menerima bahan bangunan harus menunjukkan dokumen. Mengerjakan laporan di kemah menjelang tidur (AGUSTINUS WIBOWO) Senja [...]

March 16, 2015 // 4 Comments

Titik Nol 145: Belajar di Atas Puing-Puing

Sekolah tenda (AGUSTINUS WIBOWO) Kemah biru besar terletak di bukit di atas perkemahan tim sukarelawan kami. Pagi hari, ketika kabut masih menyelimuti badan gunung, saya masih terbungkus selimut tebal mengusir dingin, bocah-bocah di luar sana sudah bernyanyi lagu kebangsaan. Di tenda biru itu mereka sekolah, belajar di atas puing-puing gedung sekolah yang sudah ambruk. Tenda ini sumbangan China. Tertulis huruf Mandarin besar – Jiu Zai – Pertolongan Bencana. Saya dulu pernah melihat ratusan tenda serupa di Aceh sehabis tsunami. Sekarang, tenda China ini juga populer di daerah gempa Pegunungan Kashmir. Hari ini, semangat anak-anak sekolah yang belajar di pagi yang masih dingin menggigit, turut membakar tekad saya untuk bekerja lebih giat. Walaupun medan sangat berat, saya membulatkan tekad untuk terus berjalan bersama Ijaz Gillani dan Manzur, dua sukarelawan asal Islamabad. Mereka orang kaya, tetapi tak segan bekerja di desa seperti ini. Tugas kami hari ini adalah mendata keluarga yang menerima sumbangan bahan bangunan rumah. Beberapa hari ini, NGO kami membagikan sheet CGI untuk atap rumah, yang katanya lebih tahan gempa dan sejuk di musim panas. Sekarang, beberapa keluarga sudah menyelesaikan pembangunan rumah mereka, dan tugas kami adalah mendokumentasikan aktivitas mereka. Total ada 500 rumah permanen yang dibangun di pegunungan ini, [...]

March 13, 2015 // 10 Comments

Titik Nol 144: Kehidupan di Tenda

Mencukur jenggot pagi-pagi (AGUSTINUS WIBOWO) Sudah tiga puluh jam lebih hujan turun tanpa henti. Kalau Jakarta, pasti sudah banjir bandang. Di Kashmir, tanah melorot dari barisan gunung-gunung tinggi. Gemuruh longsor sambung menyambung tiada henti, menciutkan nyali. Pagi yang baru sudah diusung ke Pegunungan Kashmir. Langit masih gelap, dibungkus mendung. Dari barisan tenda yang sepi itu, satu demi satu tirai tersibak. Suara sandal yang diseret-seret memecah keheningan pagi. Laki-laki membawa pot berisi air panas, mengambil wudhu dan menggosok gigi. Anis Sahab duduk di dalam tenda, memegang cermin kecil, mencukur jenggotnya dan menyisakan kumis lebatnya. Aslam Sahab sudah keluar, selimut dan tikarnya sudah rapi. Di pagi yang dingin, berbungkus jaket tebal, para sukarelawan sudah rapi jali. Sedangkan saya, ah, menyentuh air pun tak berani. Hanya menggosok gigi saja, itu pun sehari sekali. Karena kemalasan yang tiada duanya ini, lima hari kemudian, wajah saya jadi hancur diselimuti jerawat gemuk. Kawan-kawan Pakistan ini tidak memakai sikat gigi dan odol untuk menggosok gigi. Cukup dengan potongan batang kayu yang disebut miswaak atau maswak. Panjangnya sekitar 15 cm, diameternya kecil. Disodokkan ke dalam mulut, digosok-gosok. Kelihatannya nyaman sekali, karena potongan kayu itu bisa nyangkut di mulut mereka sepanjang hari. Kalau iseng, digosok-gosok lagi. Pantas saja gigi [...]

March 12, 2015 // 11 Comments

Titik Nol 143: Perkabungan

Acara jenazah (AGUSTINUS WIBOWO) Hujan rintik-rintik masih mengguyur pegunungan Kashmir. Dingin menggigit. Di bawah selimut tebal yang hangat terasa sangat nyaman. Memang waktu terbaik untuk tidur. Tetapi tiba-tiba datanglah berita duka itu. Saya membuka mata dengan malas. Sesaat saya lupa sedang berada di mana. Malam pertama di Noraseri, dengan suara gemuruh tanah longsor yang sambung-menyambung, mengantarkan segala macam mimpi aneh dalam tidur saya. Orang-orang mulai ribut dalam kemah, bicara dalam bahasa yang tidak saya mengerti. Anis, pria Kashmir empat puluh tahunan berkumis tebal ini menjelaskan dalam bahasa Urdu, “Ada banda (orang) yang barusan meninggal.” Bahasa Urdu saya masih pas-pasan sekali. Saya tidak menangkap maksudnya. “Apa? Ada bandar meninggal?” Para sukarelawan terpingkal-pingkal. “Bukan. Bukan bandar. Tetapi banda.” Belakangan saya tahu bandar artinya monyet. Sungguh kesalahpahaman yang tidak pada tempatnya, karena orang yang meninggal ini sangat dihormati di desa Noraseri. Suasana kembali serius. “Kemarin Haji Sahab, Pak Haji, masih ke sini. Dia masih segar bugar. Hari ini sudah meninggal?” Pak Anis masih tercengang dengan kabar yang disampaikan penduduk desa. “Sakit jantung! Memang sangat mendadak sekali!” “Kita mesti turun, ikut berbelasungkawa.” Para sukarelawan sibuk berdiskusi di kemah kami. Rashid menoleh ke arah saya. “Kamu ikut saja. Di sana kamu bisa potret-potret. Lumayan, baru [...]

March 11, 2015 // 2 Comments

Titik Nol 142: Sebuah Desa di Lereng Gunung

Barisan gunung salju terlihat dari Noraseri (AGUSTINUS WIBOWO) Tengoklah tanah Kashmir ini. Gunung-gunung hijau tinggi menggapai langit. Manusia, bak semut, bertaburan dari kaki, pinggang, hingga ke puncak gunung. Di kala malam, gunung-gunung itu seperti mengenakan pakaian berkelap-kelip. Indah sekali. “Tetapi bayangkan ketika gunung yang menggapai langit itu, tiba-tiba, ditumpahkan ke atas kepalamu,” kata Syed Abid Gilani, pemimpin LSM Danish Muslim Aid di Islamabad, “itulah yang terjadi di Kashmir.” Ia menitikkan air mata. Siapa yang tidak menangis meratapi bencana yang menimpa tanah Kashmir, surga di muka bumi? Bahkan setelah gempa bumi ini pun, tempat ini masih teramat indah. Muzaffarabad gemerlap di waktu malam. Bukit-bukit diselimuti rumah penduduk. Setiap rumah menyalakan lampu, menjadikan bukit ini tidak hanya berselimut gelap yang muram. Saya malah teringat Hong Kong. Walaupun tidak ada gedung tinggi di sini, Muzaffarabad tak kalah cantiknya. “Listrik, air, semua gratis untuk korban gempa selama enam bulan, 24 jam sehari,” kata Rashid. Tak heran semalam suntuk semua orang menyalakan lampu. Kota ini seperti lautan bintang yang berkelap-kelip, mendaki dari permukaan bumi, menyusuri lereng gunung, hingga ke langit tinggi bergabung dengan bintang yang sesungguhnya di batas cakrawala. Tetapi banyak di antar penduduk yang kurang beruntung. Bukannya menikmati fasilitas gratis ‘pelipur lara’ dari pemerintah, [...]

March 10, 2015 // 9 Comments

Titik Nol 141: Dari Reruntuhan

Bocah-bocah pengungsi (AGUSTINUS WIBOWO) Mulai hari ini saya punya gelar baru – sukarelawan. Saya sudah berada dalam mobil milik Danish Muslim Aid, sebuah organisasi kemanusiaan, menuju ke Kashmir yang diluluhlantakkan  oleh gempa bumi 8 Oktober 2005. Sudah lama sekali saya ingin ke Kashmir. Saya teringat betapa bulatnya tekad saya untuk menjadi sukarelawan gempa ketika memohon visa Pakistan di New Delhi, lima bulan silam. Tetapi setelah mendapatkan visa, saya malah menyempatkan berkeliling Rajasthan, dan akhirnya mendapat penyakit hepatitis. Mungkin Tuhan mengingatkan saya akan komitmen yang saya buat dahulu. Ada perasaan tertekan dan bersalah, ketika harus menghabiskan hari-hari dengan beristirahat di pegunungan Hunza untuk memulihkan diri dari sakit kuning. Perasaan bersalah akan pengingkaran janji. “Mana Agustinus yang dulu bercita-cita jadi sukarelawan? Mana semangat sosialnya yang menggebu-gebu? Sekarang mengapa malah jadi turis di Hunza?” demikian bunyi e-mail Lam Li yang langsung menampar saya tanpa basa-basi. Hari ini, saya sudah resmi jadi sukarelawan, walaupun terlambat. Seorang kawan di Islamabad menjadi kepala organisasi Danish Muslim Aid (DM-Aid) yang menghimpun dana bantuan dari Denmark. Saya diminta membantu mendokumentasikan kegiatan mereka di lapangan. Saya berada di dalam mobil organisasi bersama Rashid, seorang sukarelawan juga. Rashid masih berumur 25 tahun, tetapi kumis tebalnya membuatnya tampak jauh lebih tua [...]

March 9, 2015 // 0 Comments

Titik Nol 140: Kota Modern

Kota Islamabad yang modern (AGUSTINUS WIBOWO) “Yang istimewa dari Islamabad adalah,” kata Syed Khalid Raza, pemuda Islamabad, “ibu kota ini terletak sepuluh kilometer jauhnya dari Pakistan.” Berada di Islamabad, kita seakan sudah bukan lagi berada di Pakistan. Lupakan hiruk pikuknya Rawalpindi, benteng dan masjid kuno Lahore, gang sempit yang meliuk-liuk di tengah bazaar Anarkali, atau kereta keledai yang hilir mudik di jalanan kota Pakistan. Di sini bukannya tempat jalan bolong-bolong dan genangan air hitam berbau busuk, bukan pula tempat asap hitam kendaraan bermotor mengotori udara. Selamat datang di sebuah kota masa depan Pakistan, di mana gedung tinggi menjulang sepanjang jalan raya yang mulus, lurus dan lebar, di mana mobil mewah berseliweran, dan rakyat Pakistan meletakkan kebanggaannya. Sebelum tahun 1960, Islamabad bukan apa-apa. Ibu kota Pakistan sejak negeri ini terpisah dari India pada tahun 1947 adalah Karachi. Kota Karachi, jauh di ujung  propinsi Sindh di selatan, di tepi Laut Arab, dianggap kurang strategis letaknya. Presiden Ayub Khan kemudian memindahkan ibu kota ke Rawalpindi pada tahun 1958 lalu pindah lagi ke Islamabad dua tahun kemudian. Ibu kota ini sepuluh kilometer jauhnya dari Pakistan, demikian gurauan penghuni Islamabad. Walaupun jaraknya hanya beberapa kilometer dari Rawalpindi – kota terdekat dan dinyatakan sebagai sister city [...]

March 6, 2015 // 0 Comments

Titik Nol 139: Do Nambar

Asyiknya naik bus di Pakistan. Duduk di atap bukan pengalaman untuk dicoba kaum hawa. (AGUSTINUS WIBOWO) Bagi perempuan, bepergian seorang diri di Pakistan tidak selalu mudah. Bukan hanya kendaraan yang penuh sesak, tetapi juga ada tangan-tangan jahil yang mengintai. Di Pakistan, di mana segala sesuatu selalu dipisahkan untuk perempuan dan laki-laki, naik kendaraan umum bisa jadi kesusahan sendiri. Aturan mainnya, perempuan tidak boleh duduk di sebelah laki-laki kalau bukan muhrimnya. Untuk bus dan kereta, masalahnya tidak terlalu besar, karena tempat duduk banyak tersedia. Tetapi untuk angkutan kota lain lagi ceritanya. Angkutan umum yang paling banyak mengarungi rute Rawalpindi – Islamabad adalah colt. Maksimal 14 orang bisa disumpalkan ke dalam mobil kecil ini. Jarang sekali saya melihat penumpang perempuan. Bukan hanya karena perempuan tidak banyak bepergian, tetapi sopir pun sering enggan menyediakan tempat buat wanita. Apa sebab? Biasanya, tempat yang tersedia untuk penumpang perempuan adalah dua bangku di depan di sebelah sopir. Itu kalau jam-jam peak hour juga sudah diduduki laki-laki. Kalau bagian tengah atau belakang, kecuali sopir bisa menemukan empat atau delapan penumpang perempuan sekaligus, maka mengangkut penumpang perempuan berarti harus kehilangan banyak slot untuk penumpang laki-laki, yang lebih banyak. Keadaan sedikit lebih gampang kalau si perempuan bepergian dengan saudara [...]

March 5, 2015 // 2 Comments

Titik Nol 138: Pir Wadhai

Terminal bus Pir Wadhai (AGUSTINUS WIBOWO) Di sini mereka menggantung mimpi, bersama deru mesin bus yang tanpa henti, asap knalpot hitam, selokan bau, debu beterbangan, dan tangisan bocah. Pir Wadhai adalah pembuluh nadi Pakistan, menyambungkan kota-kota di seluruh negeri dengan ibu kota Islamabad yang modern. Terletak di antara kota kembar Islamabad – Rawalpindi, stasiun bus Pir Wadhai adalah tempat interaksi antara saudagar, musafir, pedagang, sopir, kernet, tentara, dan pengungsi. Bermacam mimpi menuntun beragam manusia sampai ke tempat ini. Dan di tempat berdebu dan kumuh inilah tempat mereka menggantung mimpi. Bau busuk tercium dari jauh sebelum saya mencapai Pir Wadhai chowk, pertigaan penuh lobang jalan yang ironisnya malah menjadi tempat perhentian segala macam jenis bus antar kota yang berhenti di Rawalpindi. Menyengat, menusuk hidung, segala jenis sampah basah dan kering menyumbat selokan terbuka dengan air hitam yang tergenang. Debu dan asap hitam membungkus lingkungan manusia yang bertahan hidup. Ada orang makan di pinggir jalan, dikerubungi lalat beterbangan. Tempat ini adalah surga bagi serangga kotor itu, tetapi neraka bagi manusia yang tinggal di sana. Perkampungan kumuh semburat tak beraturan di dekat terminal ramai. Warnanya semua sama – coklat kemerahan, warna bata yang tidak dicat, warna tanah lumpur yang membungkus bumi. Sedikit variasi [...]

March 4, 2015 // 1 Comment

Titik Nol 137: Timbangan Kecil

Anarkali Food Street, terang benderang di malam hari (AGUSTINUS WIBOWO) Taktaktaktaktak…taktaktaktak… suara denting logam beradu, menambah riuh rendahnya jalanan di waktu malam. Bau harum semerbak. Seorang pedagang pinggir jalan dengan bangga menawarkan jualan andalannya. Orang-orang Lahore memenuhi jalanan yang diterangi lampu warna-warni ini, sudah tak sabar lagi mengisi perut mereka. Anarkali Food Street adalah daya tarik kuliner kota Lahore malam hari. Bagi penduduk kota besar Pakistan, keluar untuk makan malam adalah salah satu kegiatan hiburan yang digemari. Bukan hanya karena makanan lezat yang dijual dengan harga murah, tetapi karena juga suasana makan di jalan terbuka khusus para pejalan juga punya nuansanya sendiri. Segala macam jajanan Punjabi, segala macam nasi biryani dan roti, sampai kebab ala Turki dan bakmi China, tak lupa juga teh susu dudhpati dan manisnya faluda bisa dicicip di sini. Tak-a-tak atau kat-a-kat, diberi nama demikian karena bunyi santer taktaktaktaktak atau katkatkatkatkatkat yang dihasilkan ketika pemasak menggilas daging ayam dan kambing di atas wajan datar berdiameter besar. Kedua tangan koki sangat piawai memainkan dua lempeng logam berbentuk segitiga, cepat, berirama, menjadi melodi yang mengiringi harumnya beragam makanan tradisional dan hiruk pikuknya pengunjung dari segala penjuru kota. Jalanan ini terang benderang. Lampu hias warna-warni mengiluminasi semua sudut jalanan. Hasrat makan [...]

March 3, 2015 // 1 Comment

Titik Nol 136: Hancur Lebur

Api di mana-mana (AGUSTINUS WIBOWO) Saya dikeroyok orang-orang yang mulai beringas. Teriakan penuh marah terus bergemuruh. Asap mengepul di mana-mana. Data Darbar diselimuti lautan laki-laki yang membeludakkan semua kekesalan, “Bush anjing! Bush anjing!” bersahut-sahutan membahana. Tiba-tiba tangan saya diseret seseorang. “Ikut saya,” katanya lembut, di tengah keberingasan gerombolan lelaki yang mengepung saya. Pria bertubuh gemuk ini kemudian menghalau orang-orang beringas yang masih berusaha menyerang saya. “Kita ke rumah dulu, yuk,” katanya. Saya mengangguk. Qutbi bukan saja menyelamatkan saya dari kekisruhan, dia masih memberi saya segelas air dingin. Di dalam halaman rumahnya yang sederhana, saya aman. “Kamu pulang saja. Hari ini berbahaya sekali. Semua orang sudah jadi gila,” ia menganjurkan. Saya menggeleng. Qutbi pun tak berdaya dengan kekeraskepalaan saya. Istrinya yang bercadar sekujur tubuh datang membawa sebuah kopiah putih. Qutbi memasangkannya di atas kepala saya. “Sekarang kamu sudah seperti pelajar Muslim,” kata Qutbi, “Orang-orang itu tidak akan mengganggumu lagi.” Saya sangat terharu. Qutbi tidak tega melihat saya turun ke jalan sendirian. Ia menjadi pengawal saya. Saya merasa aman sekali. Kami kembali ke Data Darbar. Orang-orang baru saja bershalat, dan sekarang siap bergerak, melakukan pawai jalanan keliling Lahore. Suasana semakin panas dan kacau. Asap mengepul tinggi dan api berkobar di mana-mana. Di [...]

March 2, 2015 // 2 Comments

Titik Nol 135: Bukan Hari Valentine Biasa

Kerusuhan di depan Data Darbar (AGUSTINUS WIBOWO) 14 Februari 2006. Matahari sudah mulai tinggi di Lahore. Tetapi tak ada hiruk pikuk klakson kendaraan di jalan raya yang biasanya selalu ruwet oleh segala macam kendaraan. Toko sepanjang jalan tutup semua. Bahkan sarapan pun susah. Ada apa ini? “Hartal,” demikian jawab pemilik penginapan tempat saya tinggal. Artinya mogok – acara mogok massal di mana semua toko-toko tutup, semua orang tak bekerja dan mengurung diri di rumah, kendaraan tidak hilir mudik, semua kantor tak beroperasi. Saya ingat hartal adalah salah satu gerakan damai Mahatma Gandhi melawan imperialisme Inggris. Hingga sekarang, acara mogok-mogokan massal ini masih sangat populer di negara-negara Asia Selatan. “Bukan, bukan hartal,” sanggah seorang pemuda pemilik guesthouse tempat menginapnya para backpacker asing, “Kamu lupa? Hari ini kan hari Valentine. Ini hari cinta kasih di Pakistan, dan dirayakan di seluruh negeri. Kamu pergi saja ke taman kota. Di sana kamu melihat pasangan muda-mudi memadu kasih.” Sejak kapan Pakistan merayakan hari Valentine? Tak ayal, saya tetap melangkahkan kaki ke arah taman kota. Jalan raya Mall Road, jalan paling ramai di Lahore, hari ini tampak lengang dan sunyi. Yang bertebaran di mana-mana cuma polisi Pakistan, berseragam coklat abu-abu, membawa tongkat kayu. Demonstrasi damai yang [...]

February 27, 2015 // 2 Comments

Titik Nol 134: Lambang Cinta

Maatam, memukuli dada sendiri melambangkan duka cita yang mendalam (AGUSTINUS WIBOWO) Para pria ini kalap. Mereka memukulkan pisau ke punggung mereka. Berkali-kali, tanpa henti. Darah segar mengalir. Inilah lambang cinta bagi sang Imam Hussain. Ada banyak cara menunjukkan duka cita ketika ditinggal pergi orang yang disayangi. Ada yang menangis berhari-hari. Ada yang berpantang kesenangan selama empat puluh hari. Ada yang mengurung diri, tak mau bicara dengan siapa pun. Ada pula yang menyakiti diri sendiri, untuk menunjukkan kesedihan yang tak terkira. Ratusan pria yang berkumpul di sebuah lapangan di Lahore ini termasuk golongan yang disebut terakhir. Begitu kesedihan mereka mencapai klimaks, lautan massa menangis keras dan suara pukulan-pukulan pada kepala dan dada berlangsung serempak, tamparan-tamparan di wajah sendiri meninggalkan jejak-jejak tangan. Kaum perempuan sudah meledak air matanya di balik cadarnya yang hitam pekat. Tangisan yang tak lagi terbendung mengeringkan kantung air mata, para pria yang bertelanjang dada berebutan menggapai rantai pisau, untuk menunjukkan cinta mereka pada sang Imam yang syahid dalam membela kebenaran. Massa mulai tidak terkendali. Semuanya berdiri dan saling dorong. laki-laki yang bertelanjang dada saling berebutan zanjir, rantai.  Rantai ini berupa rangkaian beberapa bilah pisau berujung melengkung, terikat oleh jalinan rantai logam. Bilah pisau bermata tajam, cukup untuk menyayat [...]

February 26, 2015 // 1 Comment

Titik Nol 133: Ya Hussain

Menangisi penderitaan Hussain (AGUSTINUS WIBOWO) Bulan Muharram membawa kemuraman di seluruh penjuru Pakistan. Seketika, banyak orang berbaju hitam-hitam. Hingar bingar musik dan lagu India tak lagi terdengar. Para penabuh genderang jalanan, orang-orang bersurban dan bertrompet pemeriah pesta pernikahan, lenyap dari berbagai sudut kota. Tak ada orang yang menikah dalam bulan ini. Muharram adalah bulan perkabungan. Saya berada dalam bus antar kota yang menghubungkan Rawalpindi dengan Lahore. Kaset tua membunyikan lagu-lagu penuh kesedihan. Sebenarnya ini bukan lagu, tetapi alunan syair tentang perkabungan. Musiknya juga bukan dari alat musik, tetapi dari dada yang ditepuk secara serempak, berirama. Ada kekuatan magis di dalamnya, semua yang mendengarnya pasti larut dalam kesedihan. Di Indonesia, Muharram dirayakan sebagai Tahun Baru Islam. Di Pakistan, Muharram adalah waktu di mana orang meratapi kematian Imam Hussain, cucu Nabi Muhammad S.A.W yang gugur dalam perang Karbala. Perang ini adalah lambang keberanian untuk mengorbankan nyawa untuk membela kebenaran dan melawan kebatilan. Puncak perkabungan Muharram adalah hari Ashura, jatuh pada tanggal 10 Muharram. Kata Ashura berasal dari bahasa Arab, artinya ‘kesepuluh’. Pada hari inilah Hussain gugur dalam pertempuran melawan pasukan Yazid, tahun 61 Hijriyah. Ashura adalah hari teramat penting bagi umat Syiah, sekitar 20 persen jumlahnya di kalangan Muslim Pakistan. Tetapi Ashura [...]

February 25, 2015 // 5 Comments

Titik Nol 132: Losmen Murah di Rawalpindi

Para buruh harian menanti pekerjaan di Rajja Bazaar (AGUSTINUS WIBOWO) Dengan visa Pakistan dari India, sungguh susah mencari losmen murah di Rawalpindi. Dan akhirnya saya malah terjebak di tempat seperti ini. Semua visa Pakistan yang diterbitkan High Commission of Pakistan di New Delhi distempel “Visa Not Valid for Cantt Area”. Cantt adalah singkatan Cantontment, kota garnisun, peninggalan kolonial Inggris di kota-kota British India yang sekarang masih menjadi pusat aktivitas pertahanan Pakistan. Biasanya memang tidak banyak pengaruhnya untuk turis karena saya bukan turis mata-mata yang ingin mengintai persenjataan, perbentengan, teknologi nuklir, pasukan tempur, dan lain-lain untuk dilaporkan kepada India. Tetapi, di Rawalpindi, cap stempel di atas visa sangat mengganggu, karena kebanyakan losmen murah terletak di daerah pasar ramai Saddar Bazaar yang kebetulan bertetangga dengan daerah kota garnisun. Tak bisa menginap di Saddar, saya langsung menuju ke Rajja Bazaar, pasar ramai lainnya di kota ini. Perjalanan panjang 20 jam dari Gilgit memang sangat menyiksa. Yang saya inginkan sekarang adalah sebidang kasur empuk untuk beristirahat barang sejenak. Tetapi mencari penginapan tidak mudah. Hotel Tujuh Bersaudara yang nampak kumuh dan gelap katanya sudah fully booked padahal dari luar tampaknya semua kamarnya kosong. Saya disuruh ke hotel di sebelahnya, Hotel Javed, yang kelihatan lebih bersih [...]

February 24, 2015 // 1 Comment

Titik Nol 131: Berjalan Lagi

Mata Hassan masih sembab melepas kepergian kedua anaknya (AGUSTINUS WIBOWO) Saya melihat tetes air menggenangi mata Hassan Shah melepas kepergian anak-anaknya. Saya teringat air mata yang sama mengalir di kedua belah pipi ibunda saya. Sudah sepuluh hari Karimabad terkunci dari dunia luar. Jalan Karakoram Highway, satu-satunya jalan yang menghubungkan Islamabad ke negeri Tiongkok melintasi barisan gunung tinggi Himalaya, tak bisa ditembus. Penyebabnya, badai salju menyebabkan beberapa titik sepanjang jalan ini ditimbun longsor. Batu-batu gunung raksasa bisa begitu saja berpindah tempat dari puncak sana ke badan jalan. Di belahan bumi ini, di tengah musim seperti ini, longsor batu sama lazimnya dengan chapati di pagi hari. Lebih dari sebulan sudah saya terperangkap di Hunza. Semula saya datang dengan tubuh lemah, nafsu makan minim, dan mata kuning mengerikan. Tetapi udara pegunungan surgawi yang berdaya magis dalam sekejap menyembuhkan penyakit saya. Setelah beristirahat sekian lama, rasanya segenap semangat hidup saya sudah kembali lagi, walaupun saya belum yakin kekuatan tubuh ini sudah pulih seperti sedia kala. Lepas dari hepatitis, sekarang saya ditekan rasa berdosa. Dulu semangat saya begitu meluap-luap, ingin segera membaktikan diri ke daerah gempa di Kashmir. Tetapi kini, saya tak lebih dari seorang turis lemah yang menghabiskan hari-hari di pondokan, menonton film India [...]

February 23, 2015 // 1 Comment

Titik Nol 130: Air Mata Pengantin

Rombongan barat tiba di rumah pengantin perempuan (AGUSTINUS WIBOWO) Baru pertama kali saya menyaksikan pesta pernikahan seperti ini – sang pengantin perempuan menangis keras, meraung-raung seperti orang yang ditinggal mati keluarganya. Hassanabad, rumah sang pengantin perempuan, letaknya hanya empat kilometer dari Karimabad. Tetapi rombongan barat kami diangkut dalam iring-iringan belasan jip. Bersama kami, ikut seorang khalifa, penghulu umat Ismaili. Acara akad nikah dilangsungkan di jemaatkhana di dekat rumah pengantin wanita, demikian adatnya. Kalau zaman dulu barat selalu menampilkan seorang pangeran tampan berjubah yang duduk dengan gagah di atas kuda putih, sekarang sang pangeran naik jip butut yang tak kalah tangguhnya menyusuri lereng perbukitan di barisan pegunungan raksasa. Apalagi sekarang dingin tak terkira menembus mantel dan jaket. Hassanabad terletak di lereng bukit terjal. Karena jip kami sudah terengah-engah, rombongan bharat kami harus mendaki gunung dengan berjalan kaki. Acara akad nikah tertutup bagi orang luar. Hanya famili dekat kedua mempelai, plus khalifa dan muki (imamnya orang Ismaili) yang boleh masuk ke jemaatkhana. Rombongan 50 orang barati, termasuk saya, menunggu dengan sabar di rumah mempelai wanita. Sekitar setengah jam berselang, iring-iringan pengantin pria dan kerabatnya datang. Mereka bersiap masuk ke rumah pengantin perempuan. Beberapa orang perempuan menunggu di depan pintu, membawa sebuah nampan berisi [...]

February 20, 2015 // 1 Comment

Titik Nol 129: Menjemput Sang Istri

Pengantin pria siap menjemput sang putri (AGUSTINUS WIBOWO) Rombongan barat berarak-arak menyusuri jalan sempit di pinggir rumah-rumah batu Karimabad. Kami menuju Hassanabad bersama sang pengantin pria untuk menjemput sang putri. Pukul sembilan pagi. Rumah keluarga karim mulai ramai didatangi sanak saudara. Bahkan ada beberapa paman yang sudah sejak beberapa hari yang lalu datang dari luar kota dan menginap di sini. Bocah-bocah perempuan anak tetangga berlari riang di halaman, menunjukkan tangan mereka yang sudah berhias henna. Yang laki-laki sudah siap dengan korek dan petasan. Ledakan demi ledakan sambung-menyambung. Di ruang utama, di bawah potret besar sang pemimpin spiritual Aga Khan yang sedang tersenyum, para pria kerabat dekat menikmati sarapan pagi – roti tipis chapati yang dimakan dengan gumpalan mentega padat. Minumnya adalah teh susu campur mentega, asin rasanya. Semua pria yang duduk di ruangan ini, termasuk saya, adalah kaum barati. Kami akan ikut dalam rombongan barat, rombongan pengantin pria untuk menjemput pengantin perempuan di rumahnya. Amin Khan, sang pengantin pria, kakak kandung Karim, sudah tiga puluh tahunan umurnya. Ia pemilik hotel di dusun Altit di atas Karimabad. Wajahnya garang dan tegang. Kumisnya tebal. Matanya menyorot tajam. Ia mengenakan shalwar kamiz putih bersih, dipadu dengan sweater abu-abu untuk mengusir dingin. Pakaian pengantin [...]

February 19, 2015 // 0 Comments

Titik Nol 128: Sharbat dan Tamasha

Sharbat (AGUSTINUS WIBOWO) Semarak tari-tarian di malam yang gelap, memecah kesunyian pegunungan bisu Karakoram, mengawali hidup baru sepasang pengantin di Karimabad. Karim adalah seorang kawan Hussain si juru masak. Rumah Karim hari ini sibuk sekali, karena keluarga besar itu sedang menyiapkan acara pernikahan. “Makanlah ini,” Karim menyuguhi saya semangkuk makanan yang nampak seperti bubur. Namanya sharbat, makanan wajib pesta pernikahan di Hunza. Sharbat selalu dimasak oleh laki-laki, terbuat dari mentega yang direbus dengan air dalam wajan besar dengan api kecil, dicampur tepung kasar sampai mengental. Hangat, lembek, sedikit hambar. Di tengah kesibukannya membersihkan rumah, Karim bercerita bahwa kakaknya, Amin Khan, akan menikah besok lusa.. Pernikahan di Hunza selalu jatuh hari Sabtu. Tetapi sehari sebelumnya, hari Jumat, baik di keluarga pengantin pria dan wanita pesta sudah dimulai. Masing-masing keluarga mengundang tetangga, kerabat, dan kawan-kawan untuk makan siang. Menunya adalah sharbat, makanan kental yang barusan saya santap. “Acara besok dan besok lusa pasti meriah,” kata Karim, “Besok adalah acara tamasha, acara pesta dengan tari-tarian. Hari Sabtu lusa adalah puncak dari semua perayaan ini – nikah. Nikah akan dilaksanakan di jemaatkhana di dekat rumah pengantin perempuan. Nanti kami akan berombongan berangkat ke sana.” Untuk urusan jumlah tamu dan rombongan di Hunza ada aturan [...]

February 18, 2015 // 0 Comments

1 2 3 4 5 6 21