Recommended

Nepal

Titik Nol (66): Lumbini

Pagoda Mongolia di Lumbini. (AGUSTINUS WIBOWO) Setelah mendapatkan visa India, saya langsung menggeret Nefransjah – seorang kawan backpacker Indonesia, untuk bersama-sama berangkat menuju negeri Hindustan. Perbatasan India dan Nepal yang paling sering dilintasi adalah Sunauli, terletak tiga kilometer di selatan kota Bhairawa yang panas dan kering. Debu langsung memenuhi kerongkongan, begitu kami meloncat dari bus. Lurus ke selatan adalah India. Belok ke kanan adalah Lumbini – tempat kelahiran Budha. Saya menganjurkan untuk singgah dulu ke Lumbini, bermalam di kota suci itu, dan melanjutkan ke India esok hari. Langit sudah mulai gelap, kendaraan pun tak banyak. Masuk ke negeri yang sama sekali asing di tengah kegelapan malam tentunya bukan hal yang menyenangkan. Jalan berdebu ke arah Lumbini sunyi senyap, tak ada kendaraan ke arah desa kecil itu. Hanya turis dan peziarah Budha yang ke sana. Sebagian besar kendaraan umum dan truk barang hanya menuju ke India, negara tetangga raksasa yang menawarkan gelimang kemakmuran. Bulan purnama bersinar, menerangi malam yang berdebu. Saya, Nef, dan seorang backpacker Israel terguncang-guncang di bak truk melintasi jalan batu menuju Lumbini. Lumbini sungguh berbeda dengan kota Nepal kebanyakan. Biksu Budha dari berbagai negara ada di sini. Selamat datang di India. Orang Nepal dan India bebas keluar masuk [...]

August 25, 2014 // 0 Comments

Titik Nol 65: Visa India yang Gagal

Mimpi buruk di Muktinath jadi kenyataan. (AGUSTINUS WIBOWO) Kedutaan India di Kathmandu selalu ramai oleh antrian panjang para pelamar visa. Nepal mungkin tempat paling mudah untuk mengambil visa India. Tetapi tak semua orang membawa pulang kisah keberhasilan dari sini. Saya terjebak lagi dalam antrean panjang pagi hari di depan kedutaan India yang tersembunyi di sebuah gang kecil tak jauh dari Thamel di Kathmandu. Ini adalah kali ketiga saya datang. Tiga minggu yang lalu, saya sudah mengisi formulir visa dan menyerahkan ke loket. “Datang seminggu lagi!” kata petugas visa. Prosedurnya, formulir saya konon akan dikirim ke kedutaan India di Jakarta untuk klarifikasi. Kalau kedutaan di Jakarta menyetujui dan mengirimkan fksimil ke Kathmandu, maka visa akan diterbitkan. Untuk harga formulir dan kontak lewat kawat ini, pelamar visa masih harus merogoh kocek 1.000 Rupee. Apakah formulir ini benar-benar akan difaks ke Jakarta dengan uang yang sudah kita bayar, hanya Tuhan yang tahu. Keesokan harinya, tiba-tiba saya memutuskan berangkat trekking ke Annapurna. Perjalanan mengelilingi barisan gunung bersalju ini membutuhkan waktu setidaknya dua minggu. Lalu bagaimana dengan formulir visa India saya? Kembali lagi saya ke Kedutaan India, terjebak dalam antrean panjang turis mancanegara yang mengular sampai 30 meter.. Orang Nepal tidak mengantre visa sama sekali, [...]

August 22, 2014 // 0 Comments

Titik Nol 64: Darah, Darah, dan Darah

Hewan-hewan dibantai dengan sekali tebas saja. (AGUSTINUS WIBOWO) Dengan jumlah dewa yang melebihi jumlah penduduknya, Nepal adalah negeri yang penuh dengan festival. Hari ini adalah puncak perayaan dua minggu penuh bagi Dewi Durga. Negeri ini dibasuh dengan darah. Dasain adalah festival terpenting sepanjang tahun bagi rakyat Nepal. Berasal dari kata das yang berarti sepuluh, hari terpenting Dasain adalah sepuluh hari pertama di bulan Kartika. Dikisahkan dalam legenda Ramayana, pada hari Dasain ini, Rama berhasil menaklukan Rahwana yang menculik Shinta di pulau Lanka (sekarang Sri Lanka). Dewa yang paling dipuja dalam perayaan Dasain adalah Dewi Durga, dewi perang manifestasi Parwati istri Dewa Penghancur – Syiwa. Di hari Dasain, Durga berhasil menaklukan Mahisasura, siluman berkepala kerbau. Terlepas dari legenda Tantrisme Hindu, Dasain juga merupakan perayaan menyambut musim panen, berkumpulnya keluarga sanak keluarga, serta perayaan festival layang-layang dan ayunan. Perayaan utama Dasain jatuh pada hari ketujuh hingga kesepuluh. Di hari ketujuh, pada perayaan Fulpati, kota Gorkha mengirimkan kereta bunga ke istana di Hanuman Dhoka Kathmandu. Saya tak sempat menyaksikan peristiwa ini karena sedang dalam kendaraan dari Pokhara menuju ibu kota. Tetapi, suasana kemeriahan sudah terasa. Penumpang bus yang saya tumpangi bukan hanya manusia yang penuh sesak, tetapi juga kambing jantan yang tak berhenti [...]

August 21, 2014 // 0 Comments

Titik Nol 63: Angkasa Raya

Manusia sungguh tak ada artinya di hadapan gunung-gunung perkasa ini. (AGUSTINUS WIBOWO) Babak belur saya sampai di Jomsom, diterpa angin ribut dan badai pasir. Kaki saya sudah tak kuat lagi rasanya. Rambut jadi gimbal seperti Bob Marley di Muktinath. Selapis debu bercampur keringat membungkus tubuh. Ini adalah akhir perjalanan saya di Annapurna. Memang saya belum berhasil mengitari seluruh Sirkuit Annapurna, tetapi saya sudah bulat memutuskan untuk kembali ke Kathmandu esok hari dengan pesawat gunung dari Jomsom menuju Pokhara. Kekhawatiran terutama saya adalah visa India. Tiga minggu lalu saya sudah menyodorkan pengajuan visa ke Kedutaan India, diminta untuk mengambil visa seminggu sesudahnya. Karena sedang berada di Annapurna, sekarang saya sudah terlambat satu minggu untuk pengambilan visa. Masalah visa ini sempat menghantui tidur saya di Muktinath. Saya merengek-rengek di depan petugas visa yang kejam, yang hanya bisa memberi saya visa satu bulan. Saya terjepit di Nepal, negeri mungil yang dipepet satu raksasa besar di utara dan satunya lagi di selatan. Mimpi buruk itu membuat saya memutuskan untuk kembali ke Kathmandu secepatnya. Saya adalah orang yang percaya firasat. Mimpi bisa jadi pertanda alam yang menuntun takdir. Di pegunungan Himalaya ini, banyak penerbangan swasta yang namanya membawa-bawa misteri atap dunia. Sebut saja Yeti Airlines, [...]

August 20, 2014 // 1 Comment

Titik Nol 62: Badai

Kagbeni di kejauhan. (AGUSTINUS WIBOWO) Ziarah ke tempat-tempat suci bukan hanya berkunjung dan berdoa. Setiap langkah dalam ziarah ada maknanya. Setiap tapak kaki adalah penyucian diri. Orang berjalan menempuh ratusan kilometer melewati alam yang tak selalu bersahabat, untuk mencapai tanah suci di Muktinath. Para peziarah ini banyak datang dari India. Ada rombongan sadhu berjubah kuning, bersandal jepit, berjenggot putih nan lebat. Ada barisan bikuni Tibet, berjubah merah marun, berambut hampir botak. Ada pula umat jelata, mencari kesembuhan dan mukjizat di tempat suci. Yang paling banyak adalah rombongan turis dengan berbagai macam tujuan – mencari arti hidup, menikmati kedahsyatan gunung raksasa, menjelajah Shangrila dan negeri yang hilang, berziarah di kuil kuno, memotret, menghabiskan liburan, melaksanakan misi keliling dunia, membebaskan diri sehabis wajib militer, pendekatan dengan pacar, dan lain sebagainya. Hikmah dari ziarah suci bagi tiap orang, setelah melintasi jarak yang jauh dan medan yang berat, tentunya berbeda-beda pula. Ada yang puas, telah berhasil ‘menaklukkan’ tantangan. Ada yang terpekur oleh kebesaran alam. Ada pula yang hanya capek dan tak berhenti mengomel. Saya berjalan lambat-lambat ke arah Jomsom. Setelah Thorung La, yang ada cuma turun dan terus turun, kembali ke habitat normal di dataran rendah sana. Kalau sebelum melintas Thorung La, setiap perjalanan [...]

August 19, 2014 // 0 Comments

Titik Nol 61: Api yang Tak Pernah Padam

Mendaki dalam kabut dan salju. (AGUSTINUS WIBOWO) Terbungkus kabut kami mendaki. Yang ada hanya kelabu, dingin. Angin menampar wajah, membekukan semangat. Tetapi, ada api yang tak pernah padam yang membuat kaki terus melangkah, menapak di atas tumpukan salju tebal. Kami berangkat dari High Camp pukul lima subuh. Matahari masih belum bersinar. Jalanan gelap. Hanya bulatan pancaran lampu senter yang menjadi penunjuk jalan, ditambah denting lonceng leher keledai yang mengangkut bawaan rombongan trekker. Dalam kegelapan ini, saya meraba jalan. Hanya tahu naik, naik, dan terus naik… Pada ketinggian 5000 meter, jangankan mendaki, untuk bernafas pun susah. Langkah menjadi pendek. Beban tas ransel kosong di punggung rasanya seberat karung beras. Naik, naik, dan terus naik…. Thorung La masih 600 meter lebih tinggi dari High Camp. Pukul enam, bias-bias mentari masih tak sanggup menembus mendung. Dunia di sekeliling terbungkus putih yang merata. Semalam hujan salju deras. Dulu waktu kecil, saya pernah membayangkan, bagaimana rasanya kehidupan di balik awan sana. Hari ini, pada ketinggian 5100 meter, dua per tiga perjalanan menuju puncak, saya sudah berada di tengah awan dan kabut. Dingin. Wajah terus ditampar terpaan angin, disiram bulir salju. Semangat dipadamkan oleh dingin dan kemuraman. Gunung-gunung di sekeliling pucat, namun perkasa. Saya tahu, di [...]

August 18, 2014 // 1 Comment

Titik Nol 60: High Camp

Menuju puncak. (AGUSTINUS WIBOWO) Perjuangan kami hampir mencapai titik kulminasi. Di ketinggian ini, langit sudah begitu dekat. Kami sudah nyaris sejajar dengan puncak-puncak salju di seberang sana. Tetapi justru di tempat ini, kaki semakin berat dan semangat menggebu-gebu tertekan oleh udara berat. Thorung Pedi adalah desa tertinggi di Sirkuit Annapurna. Ketinggiannya 4450 meter, hanya dua jam perjalanan dari Letdar melalui jalan batu yang berlekuk-lekuk. Tanaman tak nampak sama sekali. Gunung batu yang kami lewati hanya satu warna – muram kelabu. Senada dengan warna batu yang kelabu itu adalah rumah-rumah di Thorung Pedi. Rumah batu ala Tibet. Sunyi. Ada satu penginapan di sini, cukup terkenal karena merupakan tempat menginap rombongan turis. Karena tak banyak saingannya, ditambah lagi posisinya yang susah, harga menginap, makanan, dan air bersih di sini sangat mahal. Sebiji apel harganya 15 Rupee, sedangkan di bawah sana nyaris gratis. “Dari Indonesia?” tanya pemilik penginapan, orang Tibet yang pandai cakap Melayu, “Kemarin juga ada orang Indonesia menginap di sini. Hari ini sudah berangkat ke atas dia, naik kuda.” Hah? Pasti si Nef. Terkenal sekali kawan kita yang satu ini, di mana-mana meninggalkan jejak. Tetapi setahu saya ia hanya berangkat berjalan kaki dari Manang. “Kasihan sekali dia,” kata pria Tibet bertubuh [...]

August 15, 2014 // 1 Comment

Titik Nol 59: Vegetarian Seumur Hidup

Para porter bermain kartu mengisi senja yang dingin. (AGUSTINUS WIBOWO) Kabut mulai turun menyelimuti barisan pegunungan Annapurna III dan Gangapurna. Tak ada lagi yang tampak kecuali putih yang sempurna. Kami bertiga memutuskan untuk terus berangkat menuju puncak. “Tak perlu kita memforsir tenaga,” kata Jörg, “kita sudah mengirit satu hari di Manang, hari ini kita cukup berjalan satu desa saja sampai ke Letdar.” Pada ketinggian ini, desa semakin jarang dan berjauhan. Gunsang sudah hampir mencapai empat ribu meter, sudah jauh lebih tinggi daripada Gunung Semeru. Pepohonan sudah lenyap, berganti tanaman rumput. Orang Newar sudah tak nampak, yang ada cuma orang Tibet, Tamang, dan Gurung – semuanya orang gunung yang tangguh, bahan baku pasukan Ghurka yang tersohor di seluruh dunia. Kami terus mendaki. Masih kurang sekitar 1500 meter ketinggian lagi untuk mencapai puncak Thorung La. Sebenarnya saya tidak terlalu khawatir akan gejala penyakit ketinggian, karena saya sudah terbiasa dengan beratnya alam di Tibet. Tetapi, sejak meninggalkan Gunsang, saya merasa sedikit pusing dan meriang, ditambah batuk berdahak dan hidung mampet. Menurut peta yang dibawa Jörg, tujuan berikutnya, Dusun Letdar, hanya satu jam perjalanan dari Gunsang. Satu jam, tentu bukan siksaan yang terlalu berat, begitu pikir kami. Tetapi memang terlalu naif kalau menyamakan rayapan [...]

August 14, 2014 // 0 Comments

Titik Nol 58: Manang

Barisan bendera doa dan gunung salju. (AGUSTINUS WIBOWO) Manang adalah kejutan di tengah pendakian Sirkuit Annapurna. Sebuah perkampungan umat Budha Tibet yang religius, campur aduk dengan rombongan trekker, porter, pemandu wisata, barisan keledai, ladang jewawut, hotel, restoran, toko perlengkapan pendakian, warung internet, rumah sakit, dan seterusnya. Tak perlu heran, Manang adalah dusun terbesar sepanjang sisi timur lintasan Sirkuit Annapurna. Pada ketinggian 3540 meter ini, Manang adalah tempat yang paling dianjurkan bagi para pendaki untuk menyesuaikan diri dengan ketinggian. Beristirahat dua malam di sini sangat dianjurkan sebelum melangkahkan kaki menuju Puncak Thorung La. Nefransjah adalah salah satu trekker Indonesia yang sedang mengadaptasikan dirinya dengan tempat tinggi. Tak pernah ia berada di tempat setinggi ini. Keluhannya, kepala pusing dan cepat lelah. Tak salah pula kalau ia mengikuti kelas pelatihan gratis khusus para pendaki yang diselenggarakan setiap sore di klinik Manang. Acute Mountain Sickness (AMS) umumnya terjadi pada orang yang berpindah ketinggian terlalu cepat. Jadi bukan ketinggiannya yang bermasalah, tetapi kedrastisannya. Biasanya akan mulai terasa kalau kita sudah berada di atas ketinggian 2500 meter. Tanda-tandanya adalah sakit kepala, pusing, mual, batuk, hilang nafsu makan, muntah, atau halusinasi. Tanda-tanda ini tidak perlu harus muncul semuanya. Salah satu saja cukup sebagai gejala AMS. Kalau tidak [...]

August 13, 2014 // 1 Comment

Titik Nol 57: Kawan Lama

Batu bertahtakan mantra-mantra Budhisme. (AGUSTINUS WIBOWO) Di balik lekukan gunung-gunung tinggi ini selalu ada kejutan. Gunung salju raksasa menyembul di antara awan di langit biru. Pada ketinggian lebih dari 3000 meter, alam berganti drastis. Kuil dan pagoda Budhisme Tibet, di hadapan hamparan batu mani dengan mantra suci, semakin menebarkan nuansa mistis. Semakin ke atas, habitat orang Hindu semakin berkurang. Penduduk di sini kebanyakan orang etnis Tibet, menganut agama Budha aliran Tantrisme. Kenangan tentang perjalanan di Tibet terulang lagi di sini. Bedanya, saya tak perlu kejar-kejaran dengan polisi. Sebenarnya yang tinggal di daerah ini bukan orang Tibet, karena istilah etnik Tibet lebih dikhususkan pada mereka yang melarikan diri dari negeri China. Penduduk distrik Manang adalah etnis Manangi, atau disebut Manangapa, atau Nyeshang. Secara fisik, kultur, dan agama, memang sangat mirip dengan orang Tibet. Orang Manangi terkenal mahir berdagang. Walaupun habitat mereka jauh di gunung tinggi, tetapi jaringan perdagangan orang Manangi merambah hingga Kathmandu, bahkan sampai ke Malaysia dan Singapura. Selain Manangi, di tanah tinggi ini juga ada orang Tamang, Rai dan Limbu. Perawakan mereka seperti orang Asia Timur, pendek, bermata sipit, hidung pesek. Tetapi jangan ditanya soal ketangguhan. Seperti halnya orang Gurung, suku-suku ini adalah pemasok tentara Gurkha. Penduduk desa tradisional [...]

August 12, 2014 // 0 Comments

Titik Nol 56: Bahasa

Dusun Tibet yang tersembunyi. (AGUSTINUS WIBOWO) Tak disangka, di desa-desa di seluk pegunungan tinggi negeri terjepit ini, saya mendengar bahasa Melayu dilafalkan di mana-mana. Lintasan Sirkuit Annapurna sudah seperti menjadi lintasan wajib turis yang datang ke Nepal. Desa-desa di sini pun bergantung pada turisme. Kebanyakan desa yang kami singgahi tidak pernah ada sebelumnya. Hanya karena turis, desa-desa baru bermunculan, menawarkan pemondokan dan warung yang menjual makanan mulai dari dhal bat sampai makaroni, pizza, pasta, dan mashed potato. Harga makanan di sepanjang Sirkuit ditentukan oleh ketinggian tempat dari permukaan laut. Semua bahan makanan ini diangkut dari tempat rendah di bawah, oleh porter yang membawa berkarung-karung beras, gandum, tepung, sayur, sampai ayam hidup. Standar harga makanan sudah ditentukan oleh Annapurna Conservation Area Project (ACAP). Di setiap warung selalu tertempel daftar harga standar, biasanya selalu memasukkan dal bat – makanan tradisional Nepal yang terdiri dari nasi dan beberapa macam sayuran. Kalau makan di warung lokal yang bukan anggota ACAP, harganya lebih murah karena bukan ditujukan untuk turis. Harga makanan dengan daging jauh lebih mahal, saya pun jadi vegetarian. Selain jadi vegetarian, saya pun jadi penggemar makanan Barat macam makaroni, pasta, spageti, apple pie, dan mashed potato. Saking terkenalnya makanan Eropa di pemondokan dan [...]

August 11, 2014 // 3 Comments

Titik Nol 55: Tentara Kerajaan

Tentara Kerajaan Nepal (AGUSTINUS WIBOWO) Macam-macam cara orang menikmati perjalanan. Ada yang bersantai, menikmati setiap pemandangan yang terhampar di sekeliling. Ada yang terburu-buru, mengejar target yang dipasang sendiri. Ada yang sambil bermeditasi, merenungi setiap detail yang ditampilkan oleh alam. Perjalanan hidup pun tergantung bagaimana kita ingin menikmatinya. Namanya Rob, tingginya lebih dari 180 sentimeter, kekar dan gagah. Asalnya dari Amerika Serikat. Matanya biru, wajahnya tampan. Lulusan Phd dari salah satu universitas terbaik di muka bumi – Massachusetts Institute of Technology (MIT). Dia datang ke Danakkya ketika langit sudah mulai gelap, ikut bergabung dengan kami menginap di Hotel Snowland di dusun ini. Pemondokan di sepanjang Annapurna memang punya nama garang-garang, menawarkan misteri dari puncak salju Himalaya. “Hey man, saya berencana mengelilingi Annapurna dalam waktu satu minggu saja. Ini adalah hari kedua saya,” kata pendatang baru itu. Jörg langsung berseru, “Satu minggu? Kamu gila? Kamu bisa mati kalau tubuh kamu tidak teraklimatisasi dengan perubahan ketinggian yang tiba-tiba!” Kami sudah menghabiskan empat hari dengan melenggang santai baru sampai di sini. Jörg berkisah, ketika ia menginap di Pokhara, ada turis Jepang yang baru saja datang dari mengelilingi Sirkuit Annapurna. Rupanya orang Jepang ini bertaruh dengan kawannya, siapa yang bisa menyelesaikan putaran ini dalam waktu [...]

August 8, 2014 // 2 Comments

Titik Nol 54: Ladang Ganja

Ladang ganja (AGUSTINUS WIBOWO) Perjalanan keliling Annapurna masih panjang. Memasuki hari keempat, kami baru saja meninggalkan dusun Tal. Kalau dilihat di peta, tak sampai juga dua puluh persen lintasan menuju puncak Thorung. Di pegunungan Annapurna, jarak horizontal tak banyak berarti. Peta dunia di tempat ini seharusnya digambar tiga dimensi, karena ketinggian dan kecuraman pinggang gurun lebih berarti dalam pendakian. Pukul setengah delapan, matahari masih belum terlalu panas. Selepas Tal, pada ketinggian 1700 meter, desa-desa berikutnya semakin tinggi dan sejuk. Gadis pemilik pemondokan begitu ramah, menghadiahi kami masing-masing sebilah tongkat kayu. Kami menyeruput lemon panas yang disediakannya. Sirkuit Annapurna ini begitu nyaman. Pemondokan ramah tersebar sepanjang jalan. Bayangkan, seratus tahun lalu ketika para pendahulu penakluk gunung-gunung Himalaya menjelajah sampai ke sini, yang ada hanya hutan lebat. Bahkan untuk mencari Gunung Annapurna pun mereka tersesat berkali-kali. Tak lama setelah meninggalkan Tal, ada seorang gadis yang duduk kelelahan di pinggir jalan. Di pundaknya ada ransel besar berwarna biru. Di atas ransel masih ada pula matras yang digulung. Di tangannya ada sepasang tongkat treking. “Good morning,” kami menyapa. Gadis itu orang Asia, bermata sipit berwajah datar. “Good morning… Namaste,” ia menjawab, terengah-engah. Saya dan Jörg melanjutkan perjalanan. “Taruhan, gadis itu dari negara mana?” saya [...]

August 7, 2014 // 0 Comments

Titik Nol 53: Dusun Tal

Bermain, bermain, bermain… (AGUSTINUS WIBOWO) Saya tertunduk di hadapan gerilyawan Maois. Semua kisah sedih sudah saya ceritakan. Moga-moga ia tergerak hatinya. “Kya karen, bhai? Apa lagi yang bisa saya lakukan, Saudara?” Saya menunjukkan dompet saya yang kosong melompong. Hanya ada uang sepuluh Rupee di dalamnya. Sisanya sudah saya sembunyikan di dalam kaus kaki. Gerilyawan Maois itu hanya garuk-garuk kepala, mungkin pertama kali melihat turis yang begitu miskin. Saya menunjukkan betapa dekatnya saya dengan perjuangan Maois, mencoba menarik simpatinya. Dimulai dari bualan tentang kehidupan komunis di Beijing dan betapa saya memuja Mao, sampai menunjukkan saya memakai baju warna merah dengan bintang emas – bendera Vietnam – yang saya beli dari Hanoi. Dia tak terlalu tertarik. Tiba-tiba datang serombongan pendaki bule. Masing-masing membopong ransel mahal, membawa sepasang tongkat khusus trekking, yang pasti juga mahal, dan menggunakan jasa dua orang porter Nepal malang yang terbungkuk-bungkuk harus menggendong tumpukan ransel besar. Ditambah lagi seorang pemandu lokal. “Pajak Maois ya?” tanya si pendaki dengan ramah, senyum lebar menghias wajahnya. Ia langsung mengeluarkan beberapa lembar ribuan Rupee, menyerahkan kepada sang gerilyawan. Sekarang giliran pengumpul pajak Maois itu yang sibuk menandatangani kuitansi. Semua orang harus membayar pajak 100 Rupee per hari. Untuk porter dan pemandu lokal gratis. [...]

August 6, 2014 // 0 Comments

Titik Nol 52: Maois

Gerilyawan Maois menghampiri di pintu gerbang menuju Tal.(AGUSTINUS WIBOWO) Pendakian panjang dan curam akhirnya berakhir juga. Di atas sana, gerbang masuk desa Tal sudah nampak. “Welcome to Manang District”. Selamat datang, selamat datang. Seorang gerilyawan Maois menyambut kami. Hari sudah mulai tinggi ketika kami berangkat dari Chamje. Keith sudah berangkat duluan, karena mengejar waktu. Sementara Jörg masih berbaring malas di kamarnya yang sejuk. Saya memilih untuk berangkat agak siangan. Jörg, seperti saya, juga tak ingin terburu-buru menikmati perjalanan panjang keliling Annapurna ini. Pukul 8:30, matahari sudah panas menyengat, kami berdua baru mulai jalan. Tampaknya Jörg dan saya cocok sekali berjalan bersama, sama-sama pelannya. Saya jadi bisa lebih santai berjalan, tak perlu lagi malu karena berleha-leha. Tangga batu menurun drastis dari desa Chamje. Curam dan panjang. Dari dulu saya paling takut turun gunung terjal. Pengalaman saya terkilir berkali-kali, membuat pandangan saya hanya terpusat ke arah kaki. Keindahan alam sekitar terlewatkan begitu saja. Saya sadar satu hal, saya dilahirkan bukan untuk trekking. Orang memang tidak pernah memilih untuk dilahirkan di mana. Tengoklah orang-orang desa di sini, setiap hari mereka harus berjalan naik turun gunung yang terjal dan curam, melintasi sungai yang mengamuk di atas jembatan gantung yang bergoyang-goyang. Alam yang keras ini [...]

August 5, 2014 // 0 Comments

Titik Nol 51: Lereng Curam

Namaste……….!!! (AGUSTINUS WIBOWO) Perjalanan keliling Sirkuit Annapurna sebenarnya termasuk kategori tingkat kesulitan rendah. Walaupun demikian, bagi saya yang tidak biasa berjalan di medan pegunungan, perjalanan ini melelahkan juga. Ada pepatah China mengatakan, “Naik gunung mudah, turun gunung susah”. Mungkin lebih tepat kalau pepatah itu dimodifikasi: Naik gunung susah, turunnya lebih susah lagi. Perjalanan ini dimulai dari Besisahar, pada ketinggian 700 meter, melalui jalan mendaki, terus menurun, terus mendaki lagi, menurun lagi, dan seterusnya hingga ke Puncak Thorung La pada ketinggian 5400 meter, kemudian menurun drastis lagi terus sampai ke bawah. Demikianlah perjalanan hidup manusia. Ada naik, ada turun. Tujuan kita seakan tergambar jelas di awang-awang sana. Tetapi yang paling penting bukan tujuannya, melainkan lintasannya, naik turunnya, senang bahagia dan pahit getirnya hidup. Setiap trekker punya peta Annapurna, lengkap dengan hari pertama, kedua, ketiga, dan seterusnya, nama dusun-dusun yang akan dilewati, serta ketinggiannya dari permukaan laut. Angka-angka yang menjadi patokan perjalanan ini adalah motivasi untuk terus maju, mencapai tujuan. Yang paling berbahaya dalam perjalanan ini adalah ketika kita terlalu menggebu untuk mencapai tujuan yang tinggi itu. Dari ketinggian 700 meter hingga 5400 meter, tubuh manusia harus bisa beradaptasi pada perubahan drastis. Di puncak sana, suhu udara rendah dan oksigen minim. Salju [...]

August 4, 2014 // 1 Comment

Titik Nol 50: Naik Bukit

Bahundanda. (AGUSTINUS WIBOWO) Ada pepatah Jerman mengatakan, orang tidak seharusnya memuji hari kalau belum sampai malam. Orang tidak seharusnya senang di tengah jalan kalau belum melihat hasilnya. Hari pertama trekking Annapurna tak semudah yang saya bayangkan. Jalan-jalan keliling desa ini sebenarnya boleh juga. Sawah hijau menghampar di kanan kiri, mengingatkan saya pada hijaunya kampung halaman. Orang-orang Newari yang tinggal di sini pun mirip orang Jawa kulit dan perawakannya, walaupun sedikit lebih mancung. Bahkan kaum perempuannya pun memakai sarung batik sepanjang mata kaki. Motifnya pun mirip dengan yang dipakai perempuan desa di Jawa. Tak salah memang, sarung batik Indonesia banyak diekspor ke sini. Kalau dilihat secara detail, ada pula bedanya. Perempuan Hindu Nepal umumnya menindik hidung sebelah kiri, lalu dipasangi cincin kecil. Cara mereka bekerja mengangkut barang pun berbeda. Orang Jawa biasa mengusung benda berat di atas kepala, kalau orang Nepal digantungkan di kepala. Saya jadi teringat cara orang pedalaman Papua membawa tas yang talinya panjang, juga digantungkan di kepala. Segala jenis barang bisa digantungkan di kepala, mulai dari karung beras, keranjang rotan, sampai lemari baju, dari rumput, kayu bakar, sampai televisi. Laki-laki, perempuan, anak-anak, semua punya kepala sekeras baja. Jalanan datar, tak ada tantangan. Jujur saja, agak membosankan. “Moga-moga Sirkuit [...]

August 1, 2014 // 0 Comments

Titik Nol 49: Sirkuit Annapurna

Menuju puncak salju di atas sana. (AGUSTINUS WIBOWO) Bagi sebagian besar turis asing, Nepal berarti gunung. Negeri ini memang mungil kalau dilihat secara horizontal. Dilihat dari sudut vertikal, Nepal berada dalam jajaran atas negara tertinggi di dunia. Annapurna adalah serangkaian puncak Himalaya terletak di bagian barat Nepal. Annapurna I, puncak tertingginya mencapai 8.000 meter, dikelilingi saudara-saudaranya yang di atas 7.000 meter, senantiasa diselimuti salju dan memancarkan keagungan yang menjadi magnet datangnya turis ke negeri ini. Semula saya kurang begitu tertarik dengan kegiatan turisme seperti mendaki gunung. Melihat distrik Thamel di Kathmandu yang dipenuhi perusahaan wisata menawarkan jasa porter dan pemandu, saya langsung muak. Saya tak pernah tahu, bahwa trekking berkeliling gunung pun bisa dilakukan secara independen tanpa harus memakai jasa biro tur. Lam Li, si gadis Malaysia yang sudah berangkat dulu ke Annapurna, meyakinkan saya, “Keliling Annapurna pasti menarik sekali. Di sana, satu kali putaran, kamu bisa berjumpa delapan macam suku sekaligus, hidup di desa-desa yang masih asli.” Saya sangat tertarik dengan keragamam suku dan budaya, tetapi saya masih belum yakin saya bisa melakukan perjalanan seperti ini. Saya tak pernah punya pengalaman naik gunung. Sekali naik, mengelilingi gunung suci Kailash di Tibet nyaris celaka. Kepercayaan diri saya bertambah ketika berjumpa [...]

July 31, 2014 // 0 Comments

Titik Nol 48: Istana di Puncak Bukit

Istana Raja Prithvi Narayan Shah. (AGUSTINUS WIBOWO) Tentara Gurkha berasal dari kota perbukitan yang sunyi ini. Raja besar Nepal, Prithvi Narayan Shah, lahir di sini. Sekarang kota kecil Gorkha masih menjadi salah satu basis pertahanan penting Kerajaan Nepal. Seperti Kathmandu, Bhaktapur, dan Patan yang masing-masing punya Durbar Square, Gorkha pun punya. Gorkha Durbar terletak di puncak bukit, sekitar dua jam perjalanan mendaki, di daerah yang dijaga ketat oleh tentara Nepal. Istana Prithvi Narayan Shah di puncak bukit ini adalah tempat yang paling strategis yang pernah saya lihat. Sejauh mata memandang, barisan puluhan bukit hijau terpampang di hadapan. Lekuk kurvanya yang mulus sambung-menyambung. Bagaikan spektrum, dari hijau yang paling pekat hingga hijau kebiruan, dan jauh di sana bersambung dengan warna langit. Desa-desa kecil, berupa noktah putih, bertabur di seluruh penjuru perbukitan, dari kaki hingga puncak. Gorkha adalah salah satu kota peristirahatan di tepi bukit yang sejuk. Di kaki bukit sana, banyak vila yang dibangun untuk para pengunjung. Walaupun sekarang seperti kota hantu yang sepi, tetapi masih nampak bahwa dulunya kota ini pun pernah menjadi pusat kunjungan turis. Di sini dulu Prithvi Narayan Shah pernah berdiri, memandang seluruh negeri yang terhampar di hadapannya. Dari titik inilah ia menaklukkan seluruh penjuru, menaklukan seluruh [...]

July 30, 2014 // 4 Comments

Titik Nol 47: Pernikahan Seorang Kawan

Gorkha, alamnya seperti Indonesia. (AGUSTINUS WIBOWO) Kami sampai di kota Gorkha, asal muasal nama tentara Gurkha yang termasyhur di seluruh dunia itu. Bukan untuk mencari pasukan, tetapi untuk menonton acara pernikahan. Namanya Deepak. Umurnya seumuran dengan saya. Ia bicara bahasa Melayu patah-patah, tetapi lagak bicaranya seperti bos besar saja, mungkin belajar dari majikannya di Johor Bahru. “Nanti di Gorkha boleh tengok orang kawin, you know! Gorkha jauh sangat, you know! Nak ambil bus, sampai sana boleh tengok-tengok, you know!” Lam Li kenal Deepak di Freak Streeet. Mereka langsung akrab, karena pengalaman Deepak bekerja di Malaysia. Seperti halnya tenaga kerja asal Indonesia, pekerja asal Nepal, India, Pakistan, dan Bangladesh pun banyak di Malaysia. Deepak cuma pekerja kasar saja di sana, jadi pelayan di toko onderdil. Pria kerempeng berkulit gelap ini berkata bahwa ada kawannya yang menikah di dusun Gorkha. Ia mengajak Lam Li, yang mengajak Qingqing si gadis Beijing, yang kemudian mengajak saya. Jadilah rombongan kami berangkat pukul enam pagi dari Kathmandu yang masih dingin. Gorkha terletak sekitar 150 kilometer dari ibu kota, melintasi jalan raya utama Kathmandu – Pokhara, berbelok ke utara di pertigaan Abu Karim. Walaupun dulunya pekerja kasar di Malaysia, Deepak lebih bergaya. Ia tak mau naik bus [...]

July 29, 2014 // 1 Comment

1 2