Recommended

Selimut Debu 102: Lalmi

Tidak semua daerah di Afghanistan seberuntung Yakawlang. Walaupun sebagian besar penduduk negeri ini hidup dari pertanian, Afghanistan bukanlah negara agraris yang makmur. Sekitar 75 persen dari wilayah Afghanistan adalah pegunungan, terbentang dari batas utara hingga ke selatan negeri. Sisanya adalah gurun pasir luas. Dari lahan yang ada, tak banyak pula yang ideal untuk diolah menjadi lahan pertanian.

Air langka, cuaca ekstrem. Karena musim dingin sama sekali tak mungkin bercocok tanam, dalam satu tahun hanya sekali musim panen, padahal lebih dari 25 juta penduduk Afghan butuh gandum dan beras setiap hari. Panen sering gagal, apalagi ketika kekeringan melanda, hujan tak turun, tanah retak, ladang gandum ”hangus”, kambing kurus kering, bayi-bayi mati kelaparan.

Ghor, salah satu provinsi termiksin di Afghanistan, sering dihantam kekeringan. Di sini, air adalah masalah utama. Tak jarang perempuan desa harus berjalan berjam-jam melintasi padang tandus untuk mencari air. Gandum yang seharusnya tumbuh sepinggang, di sini tumbuhnya sering kali tak sampai selutut, berpencaran, lunglai. Bulirnya teramat kecil, tak layak dikonsumsi.

Namun kenyataan bahwa orang masih bisa bertahan hidup dalam kondisi alam yang tak bersahabat ini patut mengundang decak kagum. Siapa sangka, gunung-gunung gundul yang dilapisi debu ini ternyata masih bisa menyokong hidup.

Di sini, tak ada irigasi, tak ada kanal. Bahkan air pun susah. Namun, di barisan bukit kosong dan gersang yang berlapis-lapis ini ternyata tertempel ratusan petak ladang tersebar, mirip belukar dari kejauhan. Ladang gandum hanya bisa mengandalkan siraman air dari langit, kemurahan dari Yang Kuasa. Lalmi, demikian sistem tadah hujan ini disebut, masih menjadi tulang punggung pertanian, tumpuan harapan manusia untuk bertahan hidup.

Petani lalmi harus bisa menentukan kapan mulai mencangkul di bukit, memperhitungkan temperatur, ketinggian, kesuburan tanah, dan—yang paling penting—kapan hujan turun. Yang terakhir ini sering kali lepas dari kontrol manusia.

Terkadang hujan yang turun terlalu sedikit dan salju di musim dingin sebelumnya tak cukup, tanah pun tak sanggup menyokong gandum untuk tumbuh subur. Beberapa tahun berturut-turut Ghor dilanda kekeringan parah. Di musim dingin mereka mati kedinginan, di musim panas mati kelaparan. Bayi-bayi kurang gizi rambutnya tegak berdiri, seperti tersetrum. Wajah bayi tujuh bulan sudah mirip kakek tujuh puluh tahun.

Aku teringat bagaimana seorang perempuan nomaden Kuchi mengeluh kelaparan hebat tahun ini. ”Mimpi apa lagi yang bisa dipunya orang lapar? Kami cuma bermimpi makan kenyang.” Harapannya menguap. Penduduk satu kampung kurang gizi dan menderita wabah beri-beri. Kambing mereka tinggal tulang berbalut kulit, sama sekali tak bisa dibandingkan dengan domba gemuk yang beradu cantik di jeshn Yakawlang.

Dibanding Ghor, Bamiyan jauh lebih beruntung. Di sini air melimpah, sungai mengalir deras ke berbagai pelosok. Begitu melintasi perbatasan Ghor dan Bamiyan di Puncak Kirman, seketika pemandangan berubah drastis dari bukit berdebu menjadi deretan lembah hijau. Di Bamiyan, selain sistem tadah hujan lalmi juga berkembang sistem pertanian irigasi abi. Mereka sudah punya tradisi menyalurkan air sungai ke ladang-ladang di kampung.

Di mana-mana kulihat para petani sibuk dengan tumpukan gandum di tepi ladang, digilas dengan kaki keledai atau sapi, untuk memisahkan gandum dari kulitnya. Hewan berkaki empat ini ditutup mulutnya, digiring oleh petani berputar-putar di atas tumpukan gandum sampai tiga jam. Gandum kemudian dilempar ke udara dengan garpu panjang, sehingga kulit yang tipis terbang terbawa angin. Wajah para petani riang, berlimpah syukur.

Tetapi apakah panen ini sebaik yang tampak di depan mata?

Qurban dan anaknya, sama-sama petani, sedang memanen gandum di ladang abi di sebuah desa di dekat danau Band-e-Amir. ”Kali ini hasilnya cuma 250 sir (1 sir = 7 kilogram) , kalau dijual cuma sekitar 15.000 Afghani—300 dolar, ini hasil kerja empat bulan. Padahal kalau panen bagus hasilnya sekitar 50.000 Afghani.”

Bagaimana dengan ladang lalmi?

“Hah. Yang itu tidak perlu diungkit lagi,” keluhnya. ”Kau lihat ladang di sana?” Ia menunjuk ke bukit gundul. Ada petak bujur sangkar tergambar di atas bukit itu. Di dalam batas petak yang tampak dari sini cuma belukar. ”Itu ladang lalmi kami. Berapa hasilnya? Hich. Nol besar!”

Sepuluh kilometer dari sini, di desa lain di dekat Band-e-Amir, para petani justru merayakan panen. Ahmadullah memanen ladang lalmi-nya di puncak bukit. ”Memang panen tahun ini tidak sebagus tahun kemarin karena hujan sedikit sekali. Tetapi masih bisa dibilang berhasil, bukan gagal.”

Bagaimana pun juga penduduk Bamiyan masih jauh lebih beruntung daripada Ghor, karena mereka punya danau-danau ajaib Band-e-Amir yang menyuapi hidup mereka.

 

(bersambung)

 

Versi lain dari serial ini diterbitkan sebagai buku perjalanan berjudul “Selimut Debu: Impian dan Harapan dari Negeri Perang Afghanistan” oleh Gramedia Pustaka Utama pada 2010.

 

1.Panen di ladang (AGUSTINUS WIBOWO)

1. Panen di ladang (AGUSTINUS WIBOWO)

2.Ini adalah tanah yang subur (AGUSTINUS WIBOWO)

2. Ini adalah tanah yang subur (AGUSTINUS WIBOWO)

3.Panen tahun ini cukup berhasil (AGUSTINUS WIBOWO)

3. Panen tahun ini cukup berhasil (AGUSTINUS WIBOWO)

4.Bocah-bocah petani (AGUSTINUS WIBOWO)

4. Bocah-bocah petani (AGUSTINUS WIBOWO)

5.Sapi pun wajib ikut bekerja (AGUSTINUS WIBOWO)

5. Sapi pun wajib ikut bekerja (AGUSTINUS WIBOWO)

About Agustinus Wibowo

Agustinus is an Indonesian travel writer and travel photographer. Agustinus started a “Grand Overland Journey” in 2005 from Beijing and dreamed to reach South Africa totally by land with an optimistic budget of US$2000. His journey has taken him across Himalaya, South Asia, Afghanistan, Iran, and ex-Soviet Central Asian republics. He was stranded and stayed three years in Afghanistan until 2009. He is now a full-time writer and based in Jakarta, Indonesia. agustinus@agustinuswibowo.com Contact: Website | More Posts

Leave a comment

Your email address will not be published.


*