Recommended

Selimut Debu 2: Kota Kuno Jalur Sutra

selimut-debu-02-1

Sepasang suami istri Uyghur (AGUSTINUS WIBOWO)

Dari Urumqi aku langsung melanjutkan perjalanan menuju Kashgar, 30 jam dengan kereta api kelas kambing yang paling murah.

Apakah ini masih di China? Aku bertanya-tanya. Di tengah hiruk-pikuk ini, yang ada cuma orang-orang yang berbicara bahasa yang begitu asing. Lihatlah mata mereka yang besar dan bercahaya itu! Lihatlah betapa mancung hidupnya! Juga topi tradisional besar yang dipakai para lelaki, kerudung warna-warni dari para perempuannya. Sementara aku, yang selama ini tidak pernah merasa jadi orang asing di China karena perawakanku, kini seperti sudah berada di negeri lain.

Para penumpang kereta termurah ini mungkin hanya orang Uyghur. Mereka bilang, orang China Han tidak akan berani menumpang kereta ini. Semula pandangan mereka sangat sinis ketika aku memasuki gerbong. Setelah aku memakai kopiahku dan menjelaskan pada mereka aku orang “Indonosia”, seketika itu pula mereka menjadi sangat ramah dan berusaha berbagi cerita denganku. Tapi sungguh sulit memahami apa yang mereka ucapkan, sebab bahasa Mandarin mereka jauh lebih buruk daripada aku yang orang asing ini, walaupun mereka adalah warga negara Republik Rakyat China.

Orang-orang Uyghur adalah orang-orang yang riang dan bersahabat. Tiada waktu tanpa tawa, dan mereka sangat suka berkenalan dengan orang-orang tak dikenal. Perjalanan bukan hanya sekadar perpindahan yang membosankan bagi mereka. Tiga puluh jam dari Urumqi menuju Kashgar menjadi begitu “hidup” karena mereka punya permainan yang dahsyat.

Mereka menyebut permainan ini sebagai dumdum. Dari namanya saja kita sudah membayangkan betapa menyakitkannya permainan ini. Dum…dum…dum… Bukan suara genderang ditabuh, tetapi suara badan yang ditabok sampai si korban terkadang menggelepar kejang-kejang.

Seorang pemain ditutup matanya, kemudian salah seorang akan memukulnya dari belakang. Orang yang tadi ditutup matanya itu sekarang harus menebak siapa yang tadi memukulnya. Kalau tebakannya benar, maka yang memukul tadi akan menggantikan posisinya. Kalau salah, ya dia harus ditutup kembali matanya, dipukul lagi, dan disuruh menebak lagi. Begitu seterusnya sampai tebakannya benar.

Sering kali orang-orang yang ikut memukul adalah para penumpang lain yang tidak dikenal, bahkan termasuk juga petugas kereta api orang Han yang mengepel lantai dan tadi membentak-bentak mereka karena para penumpang Uyghur itu jorok (bahkan mereka mengizinkan bayi-bayi mereka buang air besar di lorong kereta!). Semua orang ikut bermain, mulai dari anak-anak hingga nenek-nenek, baik suku Uyghur, suku Han, maupun orang asing seperti aku. Dari pukulan kita menjadi kenal, dari kenal kita menjadi sahabat. Memang sebuah cara berteman yang tiada duanya. Mereka tertawa terbahak-bahak, tergelak-gelak, terpingkal-pingkal. Segala jenis tawa membahana, sementara aku mengelus punggung yang berdenyut-denyut. Enam tabokan, sebelas pukulan telak di punggungku merupakan tanda mata istimewa dari perjalanan ini.

Tiga puluh jam yang dilewati dengan riang gembira sungguh tak terasa. Padang kosong di luar sana begitu luasnya, ke arah mana pun kita memandang yang terlihat adalah garis cakrawala. Sesekali terjadi badai pasir menerpa, masuk melalui lobang jendela, menjadikan kita para penumpang bermandi debu. Tapi tak apa, tengoklah di luar sana sebusur pelangi melintang sempurna di atas permadani hijau yang membentang. Mungkinkah kita masih tidak mensyukuri berkah hidup, diizinkan menyaksikan keindahan alam yang megah ini?

Kashgar seketika melemparkanku ke masa lampau. Lorong-lorong sempit di kota tua adalah mesin waktunya. Cokelat muram mendominasi, terpancar dari rumah-rumah lempung berbentuk kotak-kotak dan berpagar padat.

Sesekali terlihat para perempuan yang kepalanya ditutup selembar kain besar dan gelap, begitu saja ditaruh di atas kepala seperti taplak menutup meja. Kain itu menutup wajah, hidung, dan juga mata. Bagaimana mereka bisa melihat jalan gang yang ramai ini? Entahlah. Mereka menyebut “kerudung” itu sebagai paranja, aku merasakan mata yang tertutup itu sungguh bagaikan berada di dalam gelapnya penjara.

Pada masa keemasan Jalur sutra, karavan unta berbaris mengangkut barang dagangan melintasi gurun luas, sementara para pedagang bergaya Arabia berdatangan sambil menepuk-nepuk permadani kebanggaan. Ratusan tahun sudah berlalu, masa unta dan saudagar kuno telah jadi sejarah. Namun nuansa Timur Tengah masih begitu terasa di Kashgar, didendangkan dari radio butut para penghuni lorong, juga denting-denting palu dan logam para pengrajin di bazaar tradisional, dari misteriusnya rumah lempung tertutup pagar padat yang berbaris rapi berdesak-desakan sepanjang lorong, dan juga suara berdesis-desis orang Uyghur yang bercakap menghentak-hentak.

Menyusuri lorong-lorong kota tua, aku diiringi ratusan sorot mata penuh keingintahuan para bocah kecil dari balik pintu, serta puluhan dari mereka yang berlari-lari dan bersorak mengikuti tiap langkah kecilku. Mereka begitu antusias, begitu penasaran, hanya untuk melihat lebih dekat diriku, seorang asing dari negeri nun jauh yang tak mereka kenal. Yang kurasakan adalah ucapan selamat datang yang begitu istimewa dari tanah bangsa Uyghur.

Dan dari lorong-lorong kota tua inilah, perjalanan ke alam mimpiku semakin dekat. Negeri penuh misteri itu sudah ada di balik barisan pegunungan sana.

Bir… iki… uch… Kita berangkat!

 

(bersambung)

 

Versi lain dari serial ini diterbitkan sebagai buku perjalanan berjudul “Selimut Debu: Impian dan Harapan dari Negeri Perang Afghanistan” oleh Gramedia Pustaka Utama pada 2010.

 

Menanti waktu bergulir dalam perjalanan panjang (AGUSTINUS WIBOWO)

Menanti waktu bergulir dalam perjalanan panjang (AGUSTINUS WIBOWO)

Busur pelangi di padang kosong (AGUSTINUS WIBOWO)

Busur pelangi di padang kosong (AGUSTINUS WIBOWO)

Perempuan dalam “paranja” (AGUSTINUS WIBOWO)

Perempuan dalam “paranja” (AGUSTINUS WIBOWO)

Patung Mao raksasa melambai ria di pusat kota Kashgar (AGUSTINUS WIBOWO)

Patung Mao raksasa melambai ria di pusat kota Kashgar (AGUSTINUS WIBOWO)

Mereka warga China, tapi tak bisa bahasa China (AGUSTINUS WIBOWO)

Mereka warga China, tapi tak bisa bahasa China (AGUSTINUS WIBOWO)

Bazaar kota tua Uyghur sudah terkenal sejak berabad-abad (AGUSTINUS WIBOWO)

Bazaar kota tua Uyghur sudah terkenal sejak berabad-abad (AGUSTINUS WIBOWO)

About Agustinus Wibowo

Agustinus is an Indonesian travel writer and travel photographer. Agustinus started a “Grand Overland Journey” in 2005 from Beijing and dreamed to reach South Africa totally by land with an optimistic budget of US$2000. His journey has taken him across Himalaya, South Asia, Afghanistan, Iran, and ex-Soviet Central Asian republics. He was stranded and stayed three years in Afghanistan until 2009. He is now a full-time writer and based in Jakarta, Indonesia. agustinus@agustinuswibowo.com Contact: Website | More Posts

9 Comments on Selimut Debu 2: Kota Kuno Jalur Sutra

  1. hai mas agus. sy salah satu penggemar tulisan mu. apakah suasana di kashgar sama dengan urumqi?

  2. wah2 thanks y message q udah di respon tapi kayanya ada yg g mas tau kalau uyghur itu berbahasa sama dgn org uzbek tapi bukan dengan logat o dan mereka turunan turki bukan china. Mereka muslim, turki, dan bukan penyembah patung botak seperti anda..he2..he2..

    • Sebelum komen alangkah baiknya dicek apakah hal yang anda tulis itu pantas atau tidak ? Hargai umat yang lain. bukankah alquran sendiri yang mengatakan “Dan janganlah kamu memaki sembahan-sembahan yang mereka sembah selain Allah, karena mereka nanti akan memaki Allah dengan melampaui batas tanpa pengetahuan”

  3. sekali lagi mereka bukan org2 china han yg kejam yg selalu berusaha melakukan genosida di tanah mereka sendiri..save uyghurs and save our world…

  4. Yg mayoritas menindas yg minoritas.. Itu sdh biasa.. Sperti yg terjadi di negeri sendiri..

  5. biarkan uyghur merdeka, tar kita liat hasilnya, lebih melarat mana di banding tajikistan, dah dikasih otonomi khusus bukannya bersukur. mau bikin negara merdeka trus ga mikir dapat pdb dari mana? wilayah di kepung gunung begitu. yang ada jadi melarat.

    • Salavat Yulaev // May 29, 2015 at 5:46 pm // Reply

      Really? Who do you think you are? Are you a judge who can freely judging an ethnic? Or you’re a China’s symphatizer, so you are really hate Uyghur. What’s your matter with them bitch? Why are you so smart ass?

  6. satu lagi uyghur itu pendatang, dari dulu wilayah ini sudah milik dinasti china

    • Salavat Yulaev // May 29, 2015 at 5:49 pm // Reply

      So why if they’re a comer? Is that wrong in your fucking eyes? Don’t you know the Chinese government is so rude with Uyghur ethnic? They not allowed the Uyghur to commit their worship! Think again before talk!

Leave a comment

Your email address will not be published.


*