Recommended

Selimut Debu 35: Mendadak Miskin

Mendadak miskin di tempat segersang ini (AGUSTINUS WIBOWO)

Mendadak miskin di tempat segersang ini (AGUSTINUS WIBOWO)

Aku terpaksa harus meninggalkan Bamiyan tanpa uang sepeser pun.

Semula aku sudah bersiap untuk melanjutkan perjalanan. Di benakku sudah terbayang petualangan dahsyat Afghanistan yang menanti. Danau-danau biru magis laksana kristal di Band-e-Amir. Jalanan berdebu menuju pedalaman Bamiyan. Atau menumpang truk melintasi daerah-daerah peninggalan sejarah dan peradaban kuno. Aku begitu bersemangat. Sampai di titik ini. Ketika sebuah insiden menjungkirbalikkan semua perasaan, menghablurkan semua harapan.

Kemarin, tepat sebelum tidur, aku menghitung semua uangku. Aku menaruh uangku bersama paspor di dalam sebuah amplop, kuletakkan dalam saku beritsleting di rompiku. Uang dan paspor itu selalu terbungkus amplop, dan aku punya kebiasaan selalu menghitung uang yang tersisa selang dua hari sekali.

Aku menginap di kantor LSM milik Akbar Danish. Sekitar pukul 7 malam, di ruangan ini ada aku bersama Ayatullah, seorang lelaki tua yang menjadi guru agama dan punya program siaran keagamaan di Radio Bamiyan. Seperti halnya diriku, Ayatullah juga tamu yang menginap di kantor ini. Masih ada dua lelaki Hazara lain, dan seorang pembantu lelaki.

Aku sedang mendengarkan lagu dangdut dari MP3 ketika berusaha mengeluarkan uang dari amplop untuk dihitung. Yang meloncat pertama adalah paspor. Kemudian aku menunggu keluarnya uang afghani pecahan besar. Kejutan! Tidak ada apa-apa lagi yang keluar setelah paspor. Aku melongok ke dalam amplop. Kosong melompong!

Semua duitku hilang!!!

Seharusnya ada 12 lembar uang pecahan 1.000 afghani, plus selembar uang 100 dolar Amerika. Itu adalah semua danaku untuk perjalanan keliling Afghanistan, dan sekarang semua lembar-lembar uang yang lucu itu sudah tidak ada lagi di tempatnya.

Ayatullah menanyakan padaku apa yang terjadi. Tanpa bertanya-tanya lagi, dia langsung berseru, “Pasti orang-orang Tajik pembersih ranjau itu biang keladinya! Mereka bukan orang baik-baik.” Ia terkekeh. “Mereka berbaik-baik denganmu, tapi pasti punya niat jahat. Sekarang kaulihat sendiri, uangmu dicuri. Hilang! Habis! Makanya jangan mudah percaya dengan orang Tajik!”

“Salah sendiri kamu sering bergaul dengan mereka,” tambah Qurban si pelayan. “Di sini jelas tidak ada pencuri!”

Untuk hal yang baik, pasti etnis sendiri yang disanjung. Kalau buruk, cukup etnis tetangga yang jadi kambing hitamnya.

Di rumah ini, semua orang langsung jadi defensif dan serempak bilang, “Bukan aku!”, “Bukan kami!”, “Tak mungkin Hazara jadi pencuri!”

Jantungku berdebar kencang. Hari sudah mulai gelap, dan aku justru harus mengalami kejadian seperti ini. Mendadak miskin dalam sekejap. Bagaimana aku harus bertahan dengan uang cuma 5 dolar yang tersisa di dompet? Aku mencoba menenangkan diri. Aku mengingat-ingat kapan terakhir kali aku menghitung uangku. Dua hari lalu! Pencurian itu pasti terjadi dalam dua hari terakhir.

Aku segera berlari ke arah kamp para penjinak ranjau untuk berbagi cerita. Aku tahu, kecil kemungkinan pelakunya adalah para penjinak ranjau, karena aku hampir tidak pernah terlepas dari rompiku. Uangku itu disimpan di dalam amplop bersama paspor, di dalam saku beritsleting. Butuh waktu cukup lama untuk membuka ritsleting, mengeluarkan uang, menutup amplop dan mengembalikan pasporku, lalu memasukkan semua uang ke amplop dan menutup kembali ritsleting saku rompi. Aku cuma pernah tidur siang setengah jam bersama para penjinak ranjau, itu pun dengan rompi masih melekat di badan. Aku tak pernah mabuk, tak pernah pingsan, dan tak pernah ada hal mencurigakan saat mewawancara para pembersih ranjau.

Tapi aku tetap pergi ke kamp mereka. Wais dan para anggota tim lainnya mendengarkan semua ceritaku dengan penuh perhatian. Aku dipenuhi emosi menggelegak, sampai tak sanggup berkata-kata.

“Jelas kami tidak mungkin melakukan hal seperti itu,” katanya, “Sebenarnya kami dilarang untuk berhubungan dengan orang yang bukan bagian dari tim. Tapi aku menganggap kamu itu mehman,”—tamu—, “Lihat, justru begini jadinya. Aku harap kamu tidak menuduh kami!”

Wais mengumpulkan anak buahnya, berunding untuk mengumpulkan uang secukupnya agar aku bisa pulang ke Kabul. “Mungkin kami hanya bisa mengumpulkan separuh ongkos kendaraan untuk kamu pulang ke Kabul. Hanya itu yang kami mampu.”

Aku sama sekali tidak mau menerima uang dari mereka. Mereka terlalu banyak berkorban untukku. Mereka bahkan masih menawariku makan malam.

“Makanlah bersama kami,” kata Wais, “juru masak sudah menyiapkan kari kentang.”

Dalam kondisi seperti ini, mana mungkin aku masih punya nafsu makan? Karena sudah tidak ada lagi hal yang bisa kulakukan di sini, aku melangkah pulang.

Tapi langit sudah gelap. Jalanan sepi, semakin tenggelam dalam bungkusan bayang malam. Bahkan bulan dan bintang tak bersinar. Rumah Akbar masih dua kilometer lagi dari sini.

Seorang tentara bersenjata mendekatiku.

Aku menggigil.

Entah karena dingin. Entah karena takut. Entah karena marah. Entah karena putus asa.

(bersambung)

 

Versi lain dari serial ini diterbitkan sebagai buku perjalanan berjudul “Selimut Debu: Impian dan Harapan dari Negeri Perang Afghanistan” oleh Gramedia Pustaka Utama pada 2010.

 

Impian tentang Band-e-Amir seketika harus dipendam kembali. (AGUSTINUS WIBOWO)

Impian tentang Band-e-Amir seketika harus dipendam kembali. (AGUSTINUS WIBOWO)

About Agustinus Wibowo

Agustinus is an Indonesian travel writer and travel photographer. Agustinus started a “Grand Overland Journey” in 2005 from Beijing and dreamed to reach South Africa totally by land with an optimistic budget of US$2000. His journey has taken him across Himalaya, South Asia, Afghanistan, Iran, and ex-Soviet Central Asian republics. He was stranded and stayed three years in Afghanistan until 2009. He is now a full-time writer and based in Jakarta, Indonesia. agustinus@agustinuswibowo.com Contact: Website | More Posts

1 Comment on Selimut Debu 35: Mendadak Miskin

  1. “dan semua lembar-lembar uang yang lucu itu sudah tidak ada di tempatnya lagi”
    diksi dlm tiap kalimat tulisan2 cak agus itu loh yg membuat pembaca menjadi seolah-olah turut dlm perjalanan petualangannya. jaman sekolah dulu pastinya nilai dan kemampuan mapel bahasa dan sastra indonesia bagus sekali. jempol sak akeh2e kanggo cak agus arek lumajang

Leave a comment

Your email address will not be published.


*