Recommended

Selimut Debu 69: Terkunci Waktu

Waktu berjalan sekehendaknya, kadang cepat, kadang lambat. Musim panas, musim dingin datang silih berganti. Dan tak ada yang peduli. Coba tanyakan kepada orang-orang dari Dusun Kret ini, berapa musim panas yang telah berlalu dalam hidup mereka.

Tak banyak yang tahu jawabnya.

Si bocah pemungut kotoran kambing dengan bangga berkata umurnya sudah tiga setengah tahun. Anaknya tangkas, sudah bisa memanjat pohon dan meloncati batu di tepi jurang. Di mataku setidaknya ia pasti sudah berumur sepuluh tahun.

Rajabmat mengaku 95 tahun. Kepalanya sudah ditumbuhi rambut-rambut putih. Bahkan daun telinganya pun berbulu putih. Dengan angka 95 itu, ia sudah menjadi orang yang paling tua yang pernah kutemui di desa ini. Tetapi angka itu meluncur begitu saja dari mulutnya. Siapa yang percaya? Orang bilang, Tila Khan adalah kakek paling tua di seluruh desa. Tetapi Tila Khan bilang “baru” berumur 80 tahun. Bagaimana membuktikannya? Akte kelahiran? Ah, itu barang dari dunia lain.

Lembah ini hidup dalam dimensi waktunya sendiri. Sehari. Seminggu. Sebulan. Setahun. Sepuluh tahun. Tak ada bedanya. Masih musim panas yang itu-itu juga. Masih musim dingin yang sama menggigitnya. Waktu seakan tak pernah menggeser kehidupan di sini. Terperangkap. Terlupakan.

Krek… krek… krek…. Derik bergema dalam kamar batu gelap. Zaman yang mana lagi ini, pikirku. Seorang nenek dengan wajah yang berkerut-kerut dimakan usia, mengenakan kerudung merah menyala dengan gambar bunga-bunga, perlahan-lahan mengayunkan seutas rentangan kain. Satu ujungnya terikat di pilar penyangga ruangan. Ujung lainnya di pilar seberang. Di atas ayunan kain panjang itu, seorang bayi terbebat erat-erat. Matanya terpejam. Bayi itu tertidur lelap.

Sinar matahari menyeruak masuk melalui lubang di langit-langit ruang keluarga Akimboy. Nenek tua wajahnya juga berkilauan diterpa sinar matahari. Perlahan-lahan ia membungkukkan kepalanya. Dibisikkannya lagu-lagu ninabobo. Matanya terpejam, mata si bayi juga terpejam. Ada senyum yang tersimpul di wajah mungilnya.

Rumah Akimboy penuh bayi. Dalam rumah lempung itu ada tiga bayi mungil, semuanya harus ditidurkan dulu dengan diikat-ikat di atas katq dan diayun-ayun. Tetapi hanya ada satu ayunan, jadi bayi-bayi itu memang harus diatur jam tidurnya. Dan perempuan-perempuan dalam rumah itu bergantian menggendong-gendong, mengayun-ayun, dan membisikkan mantra-mantra pengiring tidur.

Akimboy tinggal bersama dua adiknya. Tiga bersaudara ini semuanya sudah menikah, dan semua punya anak. Akimboy punya tiga anak, perempuan semua. Akimboy bahkan tidak tahu umur anak-anaknya sendiri. Yang paling kecil, Rashida, kira-kira baru dua setengah tahun. Pukul setengah tujuh pagi, ketiga bocah cilik ini sudah keluar menggembalakan dua sapi milik keluarga. Dengan tongkat kayu, mereka menjaga sapi-sapi berukuran besar. Sabetan tongkat kayu mereka sangat garang. Sapi pun tak berani sembarangan makan gandum tetangga. Gadis cilik lincah melompati bebatuan di tepi jurang terjal menggiring kawanan domba. Di bawah sana Sungai Wakhan menggelegak hebat.

Rashida cepat bosan, segera ia kembali ke rumah. Bibinya sedang menjahit. Rashida menarik baju si bibi. Dimarahi. Rashida masuk ke rumah lempung lagi. Bergulingan di tanah. Menangis. Memukuli bayi-bayi yang sedang tidur. Jalan-jalan berkeliling. Naik ke panggung. Memanjati tiang. Menyepaki anjing besar milik Akimboy. Menangis lagi. Wajahnya tak pernah bersih. Cemong, ditempeli segala macam kotoran dan ingus kering.

Cukup lama juga Rashida menunggu kakak-kakaknya. Sapi butuh waktu sekitar empat jam untuk sarapan rumput segar. Kambing juga sama rakusnya.

Pertama kali seumur hidupku melihat sebegitu banyak hewan ternak berkumpul di satu tempat seperti ini. Ada puluhan bocah laki-laki dan perempuan, banyak yang masih balita malah, membawa kawanan sapi, kambing, dan domba tanah lapang ini. Ini adalah ternak milik semua keluarga di desa ini, jumlahnya ribuan. Padang hijau seketika berubah menjadi peternakan raksasa.

Semua hewan ternak yang dimiliki oleh penduduk Kret dikumpulkan waktu tengah hari. Sekarang giliran pria-pria dewasa, ditemani beberapa ekor anjing gembala, menggiring kawanan hewan ini ke padang hijau lainnya di balik gunung, beberapa kilometer jauhnya dari desa. Yang bertugas membawa hewan-hewan ini pun ada gilirannya. Kalau hari ini para pria dari keluarga A, besok dari keluarga B, demikian seterusnya. Ini adalah sistem penggembalaan kolektif yang sudah berlangsung turun-temurun di tengah komunitas yang semula adalah bangsa nomaden penggembala dan mengalami peralihan menjadi bangsa petani yang menetap di ladang.

Ketika petang menjelang, kawanan hewan ini akan digiring pulang lagi balik ke desa. Giliran anak-anak yang sama datang kembali ke padang untuk menjemput hewan-hewan mereka. Ajaibnya, dari ribuan hewan ternak itu tidak ada yang hilang. Semua pasti kembali ke empunya masing-masing.

Tak penting untuk selalu ingat berapa musim dingin dan musim panas yang sudah berganti. Yang penting sapi-sapi selalu gemuk, kambing-kambing selalu berlemak, dan gandum menyediakan bulir-bulir yang cukup untuk menyambung kisah hidup mereka.

 

 

(bersambung)

 

Versi lain dari serial ini diterbitkan sebagai buku perjalanan berjudul “Selimut Debu: Impian dan Harapan dari Negeri Perang Afghanistan” oleh Gramedia Pustaka Utama pada 2010.

 

1.Mereka hidup seperti di zaman kuno (AGUSTINUS WIBOWO)

1. Mereka hidup seperti di zaman kuno (AGUSTINUS WIBOWO)

2.Rajabmat, katanya sudah 95 tahun umurnya (AGUSTINUS WIBOWO)

2. Rajabmat, katanya sudah 95 tahun umurnya (AGUSTINUS WIBOWO)

3.Lelaki muda dan bunga (AGUSTINUS WIBOWO)

3. Lelaki muda dan bunga (AGUSTINUS WIBOWO)

4.Si gembala cilik (AGUSTINUS WIBOWO)

4. Si gembala cilik (AGUSTINUS WIBOWO)

5.Berteduh (AGUSTINUS WIBOWO)

5. Berteduh (AGUSTINUS WIBOWO)

6.Mengumpulkan kotoran hewan adalah tugas sehari-hari para bocah (AGUSTINUS WIBOWO)

6. Mengumpulkan kotoran hewan adalah tugas sehari-hari para bocah (AGUSTINUS WIBOWO)

7.Keluarga gembala (AGUSTINUS WIBOWO)

7. Keluarga gembala (AGUSTINUS WIBOWO)

8.Riang bermain di padang saat menggembala, begitulah waktu berlalu di sini (AGUSTINUS WIBOWO)

8. Riang bermain di padang saat menggembala, begitulah waktu berlalu di sini (AGUSTINUS WIBOWO)

About Agustinus Wibowo

Agustinus is an Indonesian travel writer and travel photographer. Agustinus started a “Grand Overland Journey” in 2005 from Beijing and dreamed to reach South Africa totally by land with an optimistic budget of US$2000. His journey has taken him across Himalaya, South Asia, Afghanistan, Iran, and ex-Soviet Central Asian republics. He was stranded and stayed three years in Afghanistan until 2009. He is now a full-time writer and based in Jakarta, Indonesia. agustinus@agustinuswibowo.com Contact: Website | More Posts

1 Comment on Selimut Debu 69: Terkunci Waktu

  1. Kehidupan yang sangat sederhana berbalut ceria

Leave a comment

Your email address will not be published.


*