Recommended

Selimut Debu 71: Petualangan Sebuah Traktor

Di tempat seperti ini, kita tidak bisa pergi kapan pun kita suka. Transportasi sangat terbatas, dan aku hanya bisa menggantungkan jadwal perjalananku pada tumpangan.

Untungnya, hari ini Juma Khan kebetulan mau ke Khandud karena ada urusan, jadi aku bisa menumpang traktornya sampai ke Khandud. Kesempatan ini tidak datang setiap hari. Walaupun kakiku masih sakit gara-gara berjalan kaki 40 kilometer beberapa hari lalu, dan aku sebenarnya masih ingin tinggal lebih lama di Kret barang dua hari lagi, aku memutuskan untuk ikut.

Para penumpang gratisan ternyata juga bukan aku saja. Ada beberapa warga desa Kret yang juga gembira ada transportasi ke desa tetangga. Bahkan Bakhtali si moalem juga ikut menumpang. Ini karena jalanan di sepanjang sisi selatan Sungai Wakhan sangatlah susah dilewati kalau berjalan kaki, karena banyaknya sungai besar. Juma Khan tidak memungut bayaran apa pun. Tolong-menolong sesama manusia adalah jalan hidup di Wakhan. Di sini, kita tidak mungkin hidup sendiri. Toh kita juga pasti akan membutuhkan bantuan mereka.

Jalanan sesudah Desa Baba Tangi juga kebanjiran, yang airnya sampai sedalam pinggang. Saking dalamnya, kami para penumpang harus melemparkan batu ke dalam air supaya traktor bisa lewat.

Selanjutnya adalah jalanan mendaki yang sangat terjal ke atas bukit. Traktor kosong yang kurang beban ini (karena sudah banyak penumpang yang turun) ternyata tidak kuat mendaki jalan seterjal ini. Juma Khan tahu betul apa yang harus dilakukan dalam situasi ini. Dia menyuruh semua penumpang gratisan untuk mencari bebatuan besar dari gunung, yang kemudian disebar merata di bagian belakang traktor.

Berhasil. Traktor akhirnya berhasil mendaki bukit terjal sebelum jembatan di dekat Sargaz.

Beratnya perjalanan masih belum berhenti di sini. Traktor sudah merupakan kendaraan yang cukup tangguh untuk melintasi medan seperti ini, traktor punya roda yang sangat besar sehingga tidak takut selokan yang dalam. Tapi air yang dalam tetaplah merupakan musuh bagi mesin kendaraan.

Setiap kali mau menyeberangi genangan dan sungai, Juma Khan harus memastikan airnya tidak lebih dalam dari pinggang lelaki dewasa, sehingga air tidak masuk ke dalam mesin. Tetapi hari ini, Sungai Wakhan membanjiri jalan di dekat desa Sheulk. Sangat, sangat dalam. Bukan cuma dalam, arusnya pun deras. Bahkan aku pun tak berani berjalan kaki melintasi sungai ini. Sekarang penumpang traktor hanya aku dan Bakhtali. Apa yang harus kami lakukan di sungai sedalam ini?

Di sebelah kiri jalan, ada jalan setapak mendaki bukit untuk para pejalan kaki. Tetapi apakah jalan ini bisa dilewati traktor, tidak seorang pun yang tahu. Kami berjalan lewat jalan setapak ini. Awalnya cukup mudah dan lebar, tetapi kemudian jalanan berubah jadi berbatu-batu. Bukan masalah besar bagi traktor. Kami bertiga bersama memindahkan batu besar yang merintangi jalan, karena sangat berbahaya bagi traktor. Apalagi, di kanan kami sekarang adalah jurang. Terpeleset dari jalanan ini, berarti akan tercebur di sungai ganas di bawah sana.

Di beberapa bagian, jalan menjadi sangat sempit karena ada lubang besar. Jadi sebaliknya, kami memasang batu untuk melebarkan jalan. Ini bukan pekerjaan yang gampang. Kami cuma bertiga, dan lubang itu cukup dalam.

Setelah satu jam lebih “menyiapkan” jalan, akhirnya traktor pun berhasil mendaki jalur alternatif ini dan menghindari aliran sungai ganas di bawah sana.

Desa Warduj adalah desa kecil lainnya, tapi sangat penting karena posisinya. Desa ini terletak di dekat jembatan yang menghubungkan sisi utara dan selatan Sungai Wakhan. Kepala desa Warduj tinggal di atas bukit, sehingga kita perlu mendaki untuk mencapainya. Istrinya, perempuan Ismaili, sangat ramah dan selalu tersenyum saat menyajikan teh dan roti untuk para tamu. Melakukan perjalanan di Wakhan memang demikian. Kita bisa berhenti di desa mana pun ketika lapar, dan penduduk dengan tulusnya menyediakan makanan bagi kita, tanpa mengharapkan imbalan. Sekali lagi, ini adalah prinsip hidup keramahtamahan dan tolong-menolong yang sangat dijunjung tinggi di Lembah Wakhan.

Istri kepala desa sama sekali tidak ikut terlibat percakapan kami, tapi tampaknya dia penuh perhatian mendengarkan. Setelah menyantap teh, traktor kita semakin berat, karena banyak penduduk desa yang menitip barang. Mereka meminta Juma Khan membawa sejumlah kayu gelondongan dan furnitur sampai ke Khandud. Hanya barang saja, tak ditemani pemiliknya.

Aku kira setelah sungai yang tadi, perjalanan kita akan lancar-lancar saja. Tapi aku salah. Setelah aku mengagumi air terjun yang cantik, ternyata bahaya langsung merintang tidak jauh di depan. Air memang jatuh, mencurah, menggelegak ke jalan di depan. Banjir ini cukup dalam, bukan pertanda bagus buat Juma Khan.

Juma Khan meminta Bakhtali untuk berjalan ke genangan air itu untuk melihat seberapa dalam. Tapi Bakhtali takut basah. “Kamu sungguh tidak berguna,” kata Juma Khan. Dia kemudian meminta para gembala di dusun, karena mereka punya tongkat sehingga bisa membantu melintasi arus yang deras. Ternyata airnya sungguh dalam, bisa sampai ke dada. Pastinya, traktor Juma Khan tak mungkin lewat.

Ada jalur alternatif lain, seperti di genangan yang tadi, mendaki bukit di sebelah kiri. Juma Khan memintaku untuk berjalan sendiri ke sana, karena traktornya tidak mungkin naik. “Berjalanlah pelan-pelan, kamu bakal sampai di Qala Panja,” katanya. Aku ragu, aku masih ingin bersama Juma Khan.

Tapi dia tidak ingin aku membuang-buang waktu untuk segera berangkat ke Qala Panja, karena sebentar lagi langit gelap. Saat berpisah, belum sempat aku berterima kasih karena bantuannya selama ini, justru dia yang meminta maaf karena tidak berhasil mengantarku sampai ke tujuan. “Lekin kya karenge? What to do? Apa lagi yang bisa kita lakukan?” katanya. Keadaanlah yang membuat perpisahan kami begitu mendadak. Aku masih ingin berjumpa lagi dengannya, setidaknya untuk perpisahan yang lebih layak.

Aku melanjutkan perjalanan. Serba salah, karena aku hanya berdua dengan Bakhtali si pencandu opium. Bagaimana jika penyakitnya itu kembali kambuh di tengah jalan?

 

 

(bersambung)

 

Versi lain dari serial ini diterbitkan sebagai buku perjalanan berjudul “Selimut Debu: Impian dan Harapan dari Negeri Perang Afghanistan” oleh Gramedia Pustaka Utama pada 2010.

 

1.Meninggalkan dusun Kret yang dinaungi Baba Tangi (AGUSTINUS WIBOWO)

1. Meninggalkan dusun Kret yang dinaungi Baba Tangi (AGUSTINUS WIBOWO)

2.Air meluap sampai sedalam ini (AGUSTINUS WIBOWO)

2. Air meluap sampai sedalam ini (AGUSTINUS WIBOWO)

3.Traktor harus berjuang melintasi luapan air (AGUSTINUS WIBOWO)

3. Traktor harus berjuang melintasi luapan air (AGUSTINUS WIBOWO)

4.Tersangkut (AGUSTINUS WIBOWO)

4. Tersangkut (AGUSTINUS WIBOWO)

5.Jalan sepi yang harus kujalani seorang diri (AGUSTINUS WIBOWO)

5. Jalan sepi yang harus kujalani seorang diri (AGUSTINUS WIBOWO)

About Agustinus Wibowo

Agustinus is an Indonesian travel writer and travel photographer. Agustinus started a “Grand Overland Journey” in 2005 from Beijing and dreamed to reach South Africa totally by land with an optimistic budget of US$2000. His journey has taken him across Himalaya, South Asia, Afghanistan, Iran, and ex-Soviet Central Asian republics. He was stranded and stayed three years in Afghanistan until 2009. He is now a full-time writer and based in Jakarta, Indonesia. agustinus@agustinuswibowo.com Contact: Website | More Posts

6 Comments on Selimut Debu 71: Petualangan Sebuah Traktor

  1. Wah..membaca ini seperti ada film yg berputar dikepalaku..seru sekali perjalanannya

  2. Ternyata begini wujud traktornya 😀

  3. Very very amazing… the best of STORY… different from the others.. Very nice… 🙂

  4. colek sam Aldrin, ini mas agus penjelajah negeri2 stan, semoga kisah dari rusia lekas menyusul 🙂

  5. Novel yang sangat indah..baca perlahan untuk merasakan petualangannya. Juga agar tidak cepat habis bacaannya.

  6. Coba di video-in, suasanya pasti lebih berasa. Jd bisa ikut menikmati suasana pengunungan arep2 dunia

Leave a comment

Your email address will not be published.


*