Recommended

1001 malam

Titik Nol 204: Kamp Pengungsi

Bocah pengungsi Afghan di kamp pengungsian Kacha Garhi, dalam kemonotonan warna kehidupan (AGUSTINUS WIBOWO) Pulang. Mengapa harus pulang? Rumah sudah menjadi puing-puing. Tidak ada pekerjaan. Tidak ada roti. Tidak ada impian. Tidak ada yang tertinggal lagi, kecuali selimut debu, kerumunan orang-orang lapar, hancurnya kebanggaan masa lalu yang dibungkus rapat-rapat oleh pasir gurun dan gunung gersang. Bazaar Khyber di jantung kota Peshawar adalah mesin waktu yang melempar saya ke zaman Seribu Satu Malam. Hanya satu warna yang ada: coklat kelabu. Pria-pria bersurban dan berjubah lalu lalang di jalan-jalan pasar Khyber yang berkelok-kelok bak rumah sesat. Di dunia yang hanya dikuasai laki-laki ini, wajah wanita nyaris tak terlihat sama sekali. Pasang-pasang mata besar dan garang mengintip dari balik kain hitam pekat. Itu pun jumlahnya masih bisa dihitung. Keledai dan kuda menarik berbagai macam barang dagangan. Ada bagian yang khusus menjual jubah. Ada yang khusus menjual barang elektronik dari China. Ada lagi bagian baju-baju bekas yang dijual nyaris gratis. Bahkan topi beruntai manikam dari Kandahar, topi pakkol dari Gilgit, hingga peci Melayu, semua ada di bazaar besar ini. Melayu memang pernah singgah di sini. Bukan hanya saya saja yang selalu berpeci untuk membawa identitas ke-Indonesia-an saya, yang hampir tak lagi dikenali lagi ketika [...]

June 4, 2015 // 1 Comment

Titik Nol 179: Heera Mandi (1)

Masjid Badshahi di senja hari (AGUSTINUS WIBOWO) “Larki-marki dekhaun? Mau aku kasih liat koleksi cewek?” seorang pria berjubah shalwar kamiz yang tidak saya kenal berbisik ketika saya menyusuri gang-gang ruwet di kota kuno Lahore. Kemegahan Masjid Badshahi, masjid terbesar dari Dinasti Mughal, adalah kebanggaan Lahore dan Pakistan. Tetapi, bayang-bayang masjid ini menaungi daerah prostitusi paling tersohor di negeri ini, bahkan namanya hingga ke negara-negara tetangga. Siapa yang tak tahu nama Heera Mandi (baca: Hira Mandi)? Ratusan tahun lalu, ratusan gadis penari molek ditambah kaum hijra (penari transeksual) meliuk-liukkan badannya menggoda iman di malam yang gelap. Kini, di kota modern Lahore di bawah kibaran bendera Republik Islam Pakistan, gadis-gadis masih menawarkan hiburan malam, namun tersembunyi di balik tembok tebal. Siang hari, barisan rumah di ruwetnya gang Heera Mandi tak nampak istimewa. Hanya rumah-rumah kuno dari zaman negeri dongeng seribu satu malam. Ada pasar kuno yang ribut, para pria yang semuanya mengenakan ‘seragam’ shalwar kamiz, dan para perempuan yang dibalut purdah hitam pekat. “Tidak mahal,” kata lelaki berkumis itu masih penuh semangat, “hanya 300 Rupee saja.” Di siang hari pun, walaupun tidak semarak malam, transaksi masih terus perjalan. “Mujhe dilcaspi nehin. Saya tidak tertarik,” saya bergegas pergi menuju masjid. Matahari memanggang Lahore [...]

April 30, 2015 // 0 Comments

Garis Batas 61: Pancaran Sinar Lazuardi

Reruntuhan Masjid Bibi Khanym (AGUSTINUS WIBOWO) Ratusan tahun lalu, kota ini pernah menjadi pusat dunia. Di sinilah segala macam bangunan raksasa, mercu suar peradaban dunia, berdiri dengan segala keanggunannya. Puing-puing reruntuhan Masjid Bibi Khanym, yang pada zamannya pernah menjadi bangunan tertinggi di dunia, dibangun oleh sang Raja Amir Timur sebagai lambang cintanya untuk permaisuri tersayang dari negeri Tiongkok, masih menggambarkan kebesaran dan kejayaan negeri ini. Belum lagi barisan kuburan indah di kota makam bernama Shakhr-i-Zinda, yang diperuntukkan bagi Sang Raja Hidup yang membawa cahaya Islam ke tengah padang Asia Tengah. Bait-bait puisi mengalir bak air bah, di bawah kegagahan gedung-gedung kuno. Bintang, planet, galaksi ditemukan dari teropong panjang milik Ulughbek. Barisan karavan para saudagar tak pernah berhenti singgah di kota yang semakin hiruk pikuk oleh berbagai aktivitas perdagangan. Sinar lazuardi tak pernah berhenti memancar dari keagungan Samarkand. Samarkand memang tak pernah mati. Samarkand sekarang adalah ibu kota Samarkand Viloyati atau Provinsi Samarkand, kota terbesar kedua di Uzbekistan dengan jumlah penduduk hampir setengah juta jiwa. Musim panasnya menyengat, musim dinginnya bermandi salju. Tetapi nama Samarkand, yang senantiasa hidup dalam angan mimpi dan fantasi, adalah sebuah Samarkand yang dipenuhi alunan musik padang pasir, membahana memuja kemajuan peradaban. Zaman terus berputar. Gedung-gedung raksasa [...]

September 6, 2013 // 1 Comment

Garis Batas 60: Registan

Agustinus Wibowo jadi pedagang di Registan. Marhamat! Marhamat! Savdo keling! (AGUSTINUS WIBOWO) Siapa yang tak akan terpekur di bawah keagungan nama Samarkand? Sang pujangga Omar Khayyam tiada hentinya memuja kemuliaan kota ini, bahkan sebelum bangunan-bangunan molek raksasa itu berdiri. Di sinilah sang penakluk Amir Timur (dikenal juga sebagai Timurleng, Timur si Pincang), memulai kerajaannya yang menguasai wilayah dari padang rumput Asia Tengah hingga ke negeri India di timur dan Turki di barat. Di sinilah sang raja besar mendirikan gedung-gedung raksasa yang merupakan mahakarya tiada duanya. Di sini pulalah peradaban Islam pernah mencapai puncaknya. Tiga bangunan raksasa diselimuti mozaik warna-warni yang menyembunyikan nama-nama agung Tuhan dan Nabi, berdiri gagah mengelilingi lapangan besar Registan. Salju yang kemarin lebat membasuh bumi, kini berpadu dengan cantiknya kerlap-kerlip dinding gedung-gedung kuno Registan, membangkitkan imajinasi saya yang melihat Aladdin sedang melambai-lambai di atas permadani terbangnya menyapa barisan kawanan unta pedagang sutra. Sang pujangga besar Islam, Omar Khayyam, pernah menginjakkan kakinya di sini, di lapangan Registan. Kala itu, bangunan-bangunan raksasa ini masih belum berdiri. Lapangan Registan zaman Omar Khayyam adalah bazaar, pasar besar kota kuno Samarkand. Registan hari ini kembali lagi menjadi pasar, yang dikerumuni oleh tiga jenis manusia – pedagang suvenir, turis, dan satpam pemeriksa karcis. [...]

September 5, 2013 // 0 Comments

Garis Batas 57: Wajah yang Tersembunyi

Peninggalan Islam di Uzbekistan. (AGUSTINUS WIBOWO) Di antara sedikit wajah Islam yang ‘direstui’ oleh pemerintah Uzbekistan, adalah ajaran tassawuf, atau Sufisme, yang dibawa oleh sang guru besar Bahauddin Naqshband Bukhari. Di negara yang mayoritas penduduknya Muslim ini, agama Islam justru menjadi hal yang sangat sensitif. Saya teringat suatu hari di sebuah taksi antar kota, saya asyik membaca buku tentang pergerakan fundamentalis Islam di Lembah Ferghana, ditulis oleh seorang jurnalis dari Pakistan. Kebetulan penumpang yang duduk di sebelah saya adalah polisi, penasaran ingin tahu isi buku yang sejak tadi menyedot perhatian saya. Dia terloncat kaget ketika membaca nama-nama yang ‘tidak baik’, seperti Harakatul Islami Uzbekistan (Gerakan Islam Uzbekistan), Hizbut-Tahir, dan Taleqan Juma Namangani – buronan nomer satu pemerintah Tashkent yang sempat membikin ribut negara-negara Asia Tengah karena gerakan garis keras bawah tanahnya. Dalam sekejap, polisi yang semula akrab itu berubah sikap. Setelah menanyai ini itu, dia diam seribu bahasa sepanjang perjalanan. Mungkin dia sibuk mengira-ngira apakah saya ini kawan atau ancaman nasional. Saya juga ingat betul, di kesempatan lain ketika saya melintas perbatasan Uzbekistan dari Turkmenistan, tas saya digeledah dengan teliti. Kebetulan saya membawa buku-buku pelajaran bahasa Arab dan sejarah Persia. Saya tidak tahu bahwa buku-buku bertulis huruf Arab bisa jadi [...]

September 2, 2013 // 0 Comments