Recommended

Aga Khan

Titik Nol (127): Dusun Mati

Desa mati yang ditinggal penduduknya di musim dingin (AGUSTINUS WIBOWO) Dusun Karimabad terperangkap dalam sepi. Salju terus mengguyur, menyelimuti lereng gunung dengan warna putih yang merambah semua sudut. Teras-teras ladang bagaikan lautan salju yang berombak. Saya juga terperangkap di sini. Sekarang hanya ada seutas jalan yang menghubungkan Karimabad dengan dunia luar – Karakoram Highway. Ke utara, ke arah China, perbatasan ditutup total sejak awal Januari. Ke selatan, ke arah kota-kota Pakistan, jalan pun tertutup oleh longsoran batu gunung. Seluruh wilayah Northern Areas sekarang terperangkap dalam dunianya sendiri. Saya sudah ingin cepat-cepat meninggalkan surga di lereng Karakoram ini menuju Kashmir, tempat saya seharusnya bekerja sebagai sukarelawan. Tetapi harga karcis bus ke Rawalpindi sungguh mahal, 821 Rupee. Karenanya, saya langsung mengiyakan tawaran Akhtar, pemuda dari Sost, yang katanya mau berangkat bersama menuju Islamabad dengan kendaraan pribadinya. Tetapi janji orang sini tak boleh dipercaya seratus persen. Akhtar berkata, seminggu lagi kita berangkat. Saya sudah menunggu seminggu penuh, tak ada kabar juga. Komunikasi satu-satunya yang mungkin hanya via telepon. Di musim dingin begini, hanya ada satu warung telepon yang buka di Karimabad. Saya harus naik bukit hanya untuk sekadar menanyakan kapan ia berangkat. Jawabannya, bisa ditebak, “Mister,‘dua’ hari lagi”. Dua hari berikutnya, di bawah [...]

February 17, 2015 // 0 Comments

Titik Nol 119: Pelabuhan Darat

Hunza bukan lagi Shangri-La yang tersembunyi, tak terjamah peradaban manusia. Sejak Karakoram Highway selesai dibangun, desa-desa di pegunungan tinggi ini semakin terbuka bersama kemajuan dunia. Pembangunan jalan raya menembus gunung-gunung pada ketinggian di atas 4000 meter bukanlah hal yang mudah. Pemerintah Pakistan dan China bersama-sama mengerjakan proyek ini, membutuhkan waktu 20 tahun, dan baru selesai pada tahun 1986. Panjangnya 1300 kilometer, menghubungkan Islamabad dengan kota Kashgar di propinsi Xinjiang milik Republik Rakyat China. Medannya sangat berat. Pakistan menyebut jalan raya ini sebagai Keajaiban Dunia Kedelapan. Saya berhasil mengalahkan rasa malas, memaksa diri beranjak meninggalkan Karimabad menuju kota Sost, kota terakhir Pakistan sebelum perbatasan China. Saya dengar karena banyaknya orang China, di kota Sost kita bisa membeli makanan China yang asli citarasanya. Dua tahun lalu, saya sudah pernah sampai di sini. Para pekerja China sedang sibuk membangun dry port – pelabuhan darat, yang akan membangkitkan denyut nadi perekonomian di barisan pegunungan Karakoram. Waktu itu mereka sangat gembira, karena kiriman daging babi dari China baru datang. Bagi para pekerja itu, makanan Pakistan terlalu hambar dan tak sesuai lidah mereka. Di seluruh negeri, daging babi tak tersedia sama sekali dan harus diimpor untuk konsumsi sendiri. Selain itu, para pekerja juga tidak bisa hidup [...]

February 5, 2015 // 15 Comments

Selimut Debu 70: Saudara Sebangsa

Para pria Pakistan ini memang katanya datang ke sini untuk membawa perubahan. Lihat celana modern dan jaket-jaket bulu yang mereka pakai. Coba dengarkan gemeresik radio yang mereka putar. Belum lagi mulut-mulut yang bercakap bahasa Inggris dengan fasih. Faizal-ur-Rahman, Juma Khan, dan yang lain-lainnya, datang dari Chapursan di Pakistan di balik gunung sana. Mereka menganut Islam Ismaili yang sama, bicara bahasa yang sama, tetapi betapa modernnya orang-orang ini di mata penduduk desa. Kelima belas orang ini umumnya adalah tukang batu dan tukang bangunan. Tugas mereka adalah membangun gedung sekolah di desa, proyek dari Central Asia Institute, sebuah NGO yang katanya cukup bermasalah. Ada yang menatah batu, ada yang mengangkut dengan traktor. Ada yang mengaduk semen, ada yang memasang tembok dan jendela. Penduduk desa kadang ikut membantu menyiapkan teh dan makanan kecil. Semua tidak sabar ingin melihat gedung sekolah mungil ini cepat selesai. Sekarang, anak-anak masih harus berjalan kaki empat kilometer untuk sampai di sekolah tenda berlogo UNICEF. Bukan berarti orang Wakhan miskin-miskin. Ada cukup banyak pula orang kaya di sini. Akimboy salah satunya. Juga Bulbul, yang rumahnya di bawah bayang-bayang puncak salju Baba Tangi. Nama Bulbul memang berarti burung bulbul. Ternaknya ada ratusan. Dua adik Bulbul sekarang tidak tinggal di desa. [...]

January 31, 2014 // 5 Comments

Selimut Debu 69: Terkunci Waktu

Waktu berjalan sekehendaknya, kadang cepat, kadang lambat. Musim panas, musim dingin datang silih berganti. Dan tak ada yang peduli. Coba tanyakan kepada orang-orang dari Dusun Kret ini, berapa musim panas yang telah berlalu dalam hidup mereka. Tak banyak yang tahu jawabnya. Si bocah pemungut kotoran kambing dengan bangga berkata umurnya sudah tiga setengah tahun. Anaknya tangkas, sudah bisa memanjat pohon dan meloncati batu di tepi jurang. Di mataku setidaknya ia pasti sudah berumur sepuluh tahun. Rajabmat mengaku 95 tahun. Kepalanya sudah ditumbuhi rambut-rambut putih. Bahkan daun telinganya pun berbulu putih. Dengan angka 95 itu, ia sudah menjadi orang yang paling tua yang pernah kutemui di desa ini. Tetapi angka itu meluncur begitu saja dari mulutnya. Siapa yang percaya? Orang bilang, Tila Khan adalah kakek paling tua di seluruh desa. Tetapi Tila Khan bilang “baru” berumur 80 tahun. Bagaimana membuktikannya? Akte kelahiran? Ah, itu barang dari dunia lain. Lembah ini hidup dalam dimensi waktunya sendiri. Sehari. Seminggu. Sebulan. Setahun. Sepuluh tahun. Tak ada bedanya. Masih musim panas yang itu-itu juga. Masih musim dingin yang sama menggigitnya. Waktu seakan tak pernah menggeser kehidupan di sini. Terperangkap. Terlupakan. Krek… krek… krek…. Derik bergema dalam kamar batu gelap. Zaman yang mana lagi ini, pikirku. [...]

January 30, 2014 // 1 Comment

Selimut Debu 68: Agama Kita Adalah Kemanusiaan

Terkadang aku lupa, ini adalah Afghanistan. Di sini tidak ada burqa, dan kaum perempuan begitu bebas bercengkerama di jalanan. Burqa tidak dikenal dalam kamus Bakhtali. Ia masih sering keseleo lidah menyebut kata itu, ”Bur-qa atau buq-ra? Apa sih namanya?” Bakhtali hanya tahu kata chadri, padanan kata burqa yang lebih banyak digunakan di sini. Bagi perempuan Ismaili di Wakhan, chadri sungguh adalah barang yang asing, namun terkadang mereka tak bisa menghindarinya. Bibi Sarfenaz, misalnya, pekerja sosial di Wakhan, selalu membawa chadri ke mana-mana. Ia adalah wanita tangguh, mengunjungi rumah-rumah penduduk di Desa Kret untuk survei. Ia bekerja untuk organisasi sosial milik Aga Khan. Dengan pengalaman kerjanya yang bertahun-tahun di wilayah umat Ismaili di Pakistan, kini ia kembali bekerja di kampung halamannya di Wakhan. “Orang Ismaili adalah pecinta kebebasan. Dan sudah seharusnya ada kebebasan terhadap perempuan, karena perempuan itu sejajar dengan laki-laki.” Bibi Sarfenaz berapi-api. Di Afghanistan, perempuan Sunni tidak pergi ke masjid. Tetapi kaum perempuan Ismaili bersama-sama dengan kaum prianya juga pergi beribadah di jemaatkhana, rumah ibadah orang Ismaili, tiga kali sehari. “Tetapi, kami juga terkadang harus memakai burqa,” lanjut Bibi Sarfenaz, ”yaitu ketika kami pergi ke kota. Di kota banyak orang-orang Sunni. Kalau tidak pakai burqa, mereka bilang darah kami [...]

January 29, 2014 // 13 Comments

Selimut Debu 65: Kebahagiaan yang Sederhana

Hidup di Ghoz Khan begitu sederhana. Nyaris tanpa fasilitas apa pun. Tapi kedamaian, bebas dari ketakutan, adalah kebahagiaan hidup yang sangat mahal di Afghanistan. Dan di sini mereka berlimpah itu. Minimnya fasilitas menyebabkan mereka menaruh mimpi-mimpi tinggi pada Tajikistan. Tidak ada dokter, selain dokter Alex yang berpatroli dari desa ke desa. Tidak ada listrik, mereka masih hidup dalam kegelapan lampu minyak. Sayang, aku tak berkesempatan menyaksikan apakah benar realita Tajikistan itu sesuai dengan impian orang-orang di sini. Perjalananku dari Ghoz Khan tempat keriuhan pesta pembukaan perbatasan, menuju desa Kret ini sungguh berat. Di sekelilingku adalah gunung-gunung tinggi, padang rumput, aliran sungai deras, bebatuan raksasa, sementara aku seorang diri di tengah jalan setapak yang terkadang datar, terkadang menanjak, terkadang dibasuh jeram yang dalam. Berangkat dari Desa Ghoz Khan pagi-pagi buta, hingga menjelang senja sampai ke Desa Kret tempat Faizal-ur-Rahman, Juma Khan, dan orang-orang Pakistan lainnya bekerja. Sebenarnya orang-orang Pakistan itulah yang menjadi alasan perjalanan ini. Aku tidak tahu sejauh apa Kret dari Ghoz Khan. Yang kutahu hanya berjalan dan berjalan, melewati jalan berbatu dan sungai-sungai menggenang. Beberapa kali aku harus menyeberang sungainya yang mengalir deras, terkadang sambil meloncat-loncat mencari titian batu-batu besar—termasuk dalam deretan hal-hal yang paling tidak kusukai dalam perjalanan. [...]

January 24, 2014 // 6 Comments

Selimut Debu 62: Agama Bukan di Baju

Traktor Juma Khan membawaku, Ghulam Sakhi, dan para penumpang lain hingga ke Qala Panja. Dari semua desa di tanah Wakhan ini, Qala Panja adalah yang paling terkenal. Namanya disebut-sebut dalam berbagai catatan perjalanan berabad silam. Karavan kuda yang membawa barang-barang dagangan dari Konstantinopel hingga ke negeri Tiongkok, pernah lewat di sini. Medan pegunungan Wakhan dan Pamir yang berat memaksa para saudagar mengganti kuda beban dengan keledai atau yak di Panja. Dalam catatan perjalanan yang dibuat Hsuan Tsang, disebutkan bahwa benteng-benteng kuno bertebaran antara Ishkashim hingga Qala Panja dan Yamchum (di seberang sungai, wilayah Tajikistan). Wilayah ini adalah sebuah kerajaan bernama Xiumi (Wakhan) yang beribu kota di Saijiazhen (Ishkashim). Kata Qala dalam nama Qala Panja memang berarti benteng, dan reruntuhan benteng kuno itu masih terlihat. Di sinilah Koridor Wakhan berakhir. Lidah sempit Afghanistan yang dimulai dari Ishkashim digantikan sebuah lidah besar yang dikelilingi Tajikistan, Pakistan, dan Cina. Qala Panja adalah tempat kediaman pemimpin besar Muslim Ismaili di seluruh tanah Wakhan, mulai dari Ishkashim hingga ke Boroghil. Namanya Said Ismail. Gelarnya Shah, yang berarti raja, atau lengkapnya Shah-e-Panja, sang raja dari Panja. Kedudukannya adalah pir, pemimpin komunitas umat Ismaili di seluruh Wakhan. Aku turun dari traktor, bersama Ghulam Sakhi dan Wali Mohammad, [...]

January 21, 2014 // 2 Comments

Garis Batas 22: Keluarkan Saya dari Sini!!!

  Dusun Karakul di pinggir danau (AGUSTINUS WIBOWO) Terjebak di tempat terpencil ini dengan visa yang sudah hampir habis berarti bencana. Penjara Tajikistan bukan tempat yang asyik bagi wisatawan. Tetapi, saya hampir tak tahu lagi bagaimana caranya keluar dari sini. Sebenarnya, kemarin ada truk yang melintas. Khurshed berteriak-teriak memanggil saya dan menyarankan untuk ikut dengan truk yang akan pergi ke Kyrgyzstan. Namun, karena batas waktu visa saya masih dua hari lagi, saya katakan saya masih ingin menikmati indahnya danau Karakul yang menyimpan kesunyian penuh misteri ini. Hari ini, saya bangun pagi-pagi, menyaksikan cantiknya matahari merekah di atas kesunyian danau dan barisan rumah-rumah balok. Angin dingin bertiup kencang, menerpa wajah, dan membekukan setiap partikel kotoran dalam hidung. Sakit sekali. Di tengah dinginnya angin, di bawah langit biru yang kemudian berubah menjadi gelap berselubung awan, saya menanti kendaraan lewat. Dua jam menunggu, sejauh mata memandang, 25 kilometer ke utara dan 10 kilometer ke selatan, sama sekali tidak ada kendaraan yang tampak. Saya lihat truk Kamaz melintas tepat pukul dua belas siang. Ini adalah kendaraan pertama yang saya lihat sejak pagi tadi. Begitu kecewanya saya mengetahui bahwa penumpang sudah penuh. Saya tahu betapa membosankannya bekerja di sini sebagai tentara perbatasan. Yang ada hanya [...]

July 15, 2013 // 0 Comments

Garis Batas 15: Tajikistan Sudah Kuat

Pembukaan jembatan Afghanistan – Tajikistan. Tilo dan seorang komandan Tajik bernegosiasi dengan para pejabat Afghan di tengah jembatan. (AGUSTINUS WIBOWO) Impian orang-orang desa, baik di Tajikistan sini maupun di Afghanistan sana, tentang sebuah pertemuan kembali, masih berupa impian. Bazaar bersama yang disambut dengan penuh suka cita itu ternyata hanya buka sekali saja. Jembatan kembali disegel, dijaga ketat oleh penjaga perbatasan yang tak kenal kompromi. Tiga bulan lalu, saya mengintip-ngintip Tajikistan dari seberang sana. Bersama dengan para petinggi Afghan yang penuh dengan mimpi dan harapan. Saya melihat secuil Tajikistan: beberapa tentara Tajik yang dengan fasih berbicara bahasa Persia, menandatangani surat-surat dan mengucapkan selamat kepada Shah dari Panjah. Saya datang kembali ke jembatan ini. Kali ini dari sisi Tajikistan, mengintip-intip Afghanistan yang berupa barisan gunung gundul di seberang sana. Tempat ini sepi. Mati. Tentara perbatasan Tajikistan menjaga rapat-rapat pintu gerbang menuju jembatan. Mereka juga perlahan-lahan dibunuh kesepian dan kebosanan. Tentunya tentara-tentara muda ini datang ke sini bukan karena pilihan mereka. Sebagian besar mereka datang dari tempat-tempat yang jauh. Ada yang dari kota modern Dushanbe, ada yang dari kota Khojand jauh di utara sana. Mereka datang ke sini karena terpaksa. Anak-anak muda ini sedang menjalani wajib militer. Di Tajikistan semua pemuda wajib mengikuti [...]

June 6, 2013 // 0 Comments

Garis Batas 13: Negeri Para Penganggur

Jalanan Vrang yang lengang, di mana mayoritas penduduknya adalah pengangguran. (Agustinus Wibowo) Berjalan-jalan di Tajikistan memang tidak mudah. Angkutan umum sangkat jarang, karena harga BBM sudah tidak terjangkau lagi oleh penduduk. Di sini hukumnya, semakin tinggi tempatnya, semakin mahal harga bensinnya. Tidak ada yang tahu kapan angkutan akan lewat. Sehari penuh mungkin hanya dua saja yang melintasi desa ini. Itu pun biasanya sudah penuh sesak. Hari ini saya berencana pergi ke desa Vrang, 5 kilometer jauhnya dari Tughoz. Tetapi sudah tiga jam lebih menunggu, tidak ada juga yang lewat. Sambil menunggu, saya mengunjungi rumah sakit di desa itu. Dokter Akhmed yang bekerja sebagai dokter kepala mempersilakan saya masuk. Bahkan desa terpencil seperti ini punya rumah sakit yang bagus. Infrastruktur di Tajikistan memang lebih bagus daripada di Indonesia. Tetapi gaji dokter Akhmed hanya 50 Somoni saja, sekitar 15 dolar, per bulan. Di Jakarta pengemis pun pendapatannya lebih besar dari ini. Dengan uang segitu di Tajikistan memang tidak akan membawanya ke mana-mana. Tetapi ia bangga dengan pekerjaannya, yang jauh lebih terhormat daripada mengemis. Dokter Akhmed bahkan menjerang teh untuk saya, tetapi belum sempat saya minum, saya sudah harus melompat ke angkutan desa yang baru saja melintas. Vrang hanya 5 kilometer saja, tetapi [...]

June 6, 2013 // 1 Comment

Garis Batas 10: Selamat Datang di Rumah Pamiri

Seorang bocah Tajik di Istaravshan di dalam musholla. (AGUSTINUS WIBOWO) Muhammad Bodurbekov, penumpang satu mobil dari Khorog, membawa saya ke rumahnya di Ishkashim. Rumah Muhammad adalah rumah tradisional Pamiri, dalam bahasa setempat disebut Chid. Karakteristik utamanya adalah adanya lima pilar penyangga ruangan, masing-masing melambangkan Muhammad, Ali, Bibi Fatima, Hassan dan Hussain. Angka lima melambangkan jumlah rukun Islam. Bentuk rumah seperti ini sama dengan rumah-rumah orang Ismaili di Pakistan Utara dan Afghanistan. Rumah adat Pamir sebenarnya sudah ada jauh sebelum datangnya Islam. Simbol-simbol Islam menggantikan simbol-simbol agama kuno Zoroastrian (Zardusht), di mana kelima pilar melambangkan dewa-dewa Surush, Mehr, Anahita, Zamyod, dan Ozar. Karakter lain rumah tradisional Pamir adalah adanya lubang jendela di atap, tempat menyeruaknya sinar matahari menyinari seluruh penjuru ruangan. Jendela ini bersudut empat, melambangkan empat elemen dasar: api, udara, bumi, dan air. Dibandingkan rumah-rumah orang Tajik Ismaili di Pakistan dan Afghanistan, memang rumah di Tajikistan ini jauh lebih modern. Lubang di tengah ruangan sudah tidak lagi digunakan untuk memasak, tetapi lebih sebagai dekorasi saja. Dindingnya dicat rapi, dihiasi dengan karpet-karpet indah, poster, dan foto keluarga. Lantainya dari kayu, dipelitur mengkilap. Di setiap ruangan selalu dipasang foto Aga Khan, pemimpin spiritual Ismaili yang didewakan sebagai penyelamat hidup di GBAO. Ada [...]

June 6, 2013 // 1 Comment

Kara Kul – Get Me Outta Here!!!

It;s beautiful. It’s surreal. But I wanna leave! I really regretted to refuse yesterday’s offer to take the truck lift to Kyrgyzstan. My Tajik visa is going to expire tomorrow (November 4) and I just found on Fridays (like today), transport is extremely difficult. The day is very cold and windy. I have to stand next to the main road, waiting for any vehicles. The first truck passes at 12 and it was full of passengers. The next two hours there was no vehicle at all passing the highway. Khurshid takes me to local stalovaya (canteen) and asks the girl to give me the best food. Khurshid promises to treat me, ‘a poor spion (spy) without money who has to travel on trucks’. I asked how much. The girl said, “Beker! Beker!” I jumped as I was surprised. This happened to be a fatal language misunderstanding. In Tajik Persian, the language which I understand, it means ‘no penis’. I explained to the girl that I had, but she only speaks Kyrgyz, and doesn’t understand my Tajik. Later I understood that it means ‘free of charge’ or ‘no cost’ in Kyrgyz. Khurshid laughed and ridiculed me, “I paid already with my [...]

November 3, 2006 // 0 Comments

Murghab – Life in Murghab

A morning greetings from Murghab Murgab (Murghab) was promising when it was built. It was a new Russian settlement built as frontier city of Pamir. The highway connecting the isolated mountains to the lowland towns was supposed to bring wealth to the nomadic community. Life had changed ever since. A town was built on the top of mountains. People were educated. Frontier military checkpoints were enforced. But how is life now, after Tajikistan gained independence from the USSR and civil war took place in the new country? The hope of the future had turned to be a bad fate. I had got a chance to know Gulnara, a 54 year old woman working as a primary school teacher in Murgab. Gulnara is the younger sister of Khalifa Yodgor from Langar. But the last time she saw him was 2 years ago. “It is too expensive to go there,” said her. Langar is not too far from Murgab. It is around 250 km only, but the public transport there is very rare and expensive. At present, Murghab-Langar cost 50 Somoni/pax. Gulnara’s salary is only 80 Somoni per month. She hardly manages to feed her family with that money, needless to say [...]

October 31, 2006 // 0 Comments

Murgab – 100 Questions and Answers about Tajik Presidential Election

Browsing through the list of candidates A friend of mine, Rosalina Tobing, works in social political section of the Embassy of Republic of Indonesia in Tashkent, Uzbekistan. She often gets assignments to make reports about political moments in Central Asia. These days, the thing which people in Tajikistan like to talk about was the presidential election which is going to happen on November 6, 2006. Besides of this, people in GBAO also like to know more about the spiritual leader Aga Khan who visit the area together with the president. Rosalina asked me to get a book for our embassy’s reference, entitled ‘100 Questions and Answers about Tajikistan Presidential Election”. The book is as mythical as the 1001 Nights. I couldn’t find anywhere in Tajikistan (maybe because I always bumped into wrong places all time) but in election booths in the villages in GBAO. First I saw the book in the community hall , which was magically turned to be an election booth, in Vrang. I tried to ask permission to photocopy it, but the chief of election committee said there was no photocopy machine at all in the village. When I started to take photos of the book with [...]

October 30, 2006 // 0 Comments

Murghab – The Dudkhoda’s Family

Boys of Murghab, in front of Tajik banner with the tricolor flag and coat-of-arms, of which important element is a snow mountain “Pamir will be better…. Pamir will be better….” – Dudkhoda My first impression of this 39 year old Tajik man was really not so good. this man tried to hug me and kiss me when I was sleeping next to him under the same blanket on the floor in the Kyrgyz restaurant in alichur packed by the Kyrgyz drivers. He also made me to pay his bills in the restaurant. But later I found that he had story worth to tell. He arranged for me a seat in the Kyrgyz truck, along with him, who returned to his home in Murghab. He was actually a passenger of the truck, not being able to pay the ride with money but offered the drivers a dinner in his hosue in Murghab. I came along with him, sitting along the way to Murghab (100 km) for free. Just near Murghab, there were two military checkpoint. The Kyrgyz drivers failed to do registration and they became easy target of the military man in the small dormitory. “Hey, brother, you should follow the [...]

October 29, 2006 // 0 Comments

Langar – Connecting Afghanistan

Yodgor family. Aga Khan portraits always decorate the houses of Ismaili families in Tajikistan Pamir. Three months ago, on July 31st exactly, I came to this little bridge. That time I was coming with the Shah (the King) of Panjah, district officials of Khandud, and Afghan soldiers. At that time, we were there to see the opening of the bridge and overwhelmed by the optimistism of the desperate Wakhi people from Afghan side, about the change of their future by this new border. Today, I am at the other side of the bridge, seeing the barren hills of Afghanistan with all of its hopes, from Tajikistan side, with Mulloev Yodgor Dildorovich, the khalifa (religious leader)-cum-teacher of Langar. Yodgor was among those who were overwhelmed by millions of mixed feelings when the border was opened, only for one day. On August 1, 2006, there was held an Afghan bazaar just next to the bridge in Langar side. The people from Afghanistan Wakhan Corridor were coming from all directions, from as far as Khandud and Sarhad-e-Boroghel, to attend this rare moment. So were people from Tajikistan side. This was not merely a moment of trading, but also a moment of reunion of [...]

October 26, 2006 // 1 Comment

Vrang – Life in Vrang

Green, peaceful, and lazy … Vrang Travelling in Tajikistan side of the Wakhan Corridor was as difficult as in Afghanistan side. Public transport was rare, the oil price got higher as the altitude got higher. It was 3.50 Somoni per liter of petrol here. No one was sure when the coming transport would come. And even when it came, it was often full, no space to share. It was indeed luck to be able to travel according to what one has planned. I was patient enough even though I worried about my short visa. Dr Akhmed was a doctor in Tughoz. I was waiting for transport to Vrang, 5 km away from tughoz, in his hospital. As the main doctor in this village, he earned only 50 Somoni per month. You would go nowhere with that amount of money in Tajikistan. But everybody was optimistic with his life. Working with little income was still better rather than begging on the streets. I have heard beggars in Jakarta could earn at least 60 dollars per month, about 280 Somoni, or 4 times higher than Dr Akhmed’s income. You need a lot of money and bunch of patience to travel in Tajikistan. [...]

October 25, 2006 // 0 Comments

Tughoz – Aliboy Family Aliboy family

The Aliboy family His name is Tuloev Aliboy Jumakhanovich, an unemployed man who sometimes work as driver, 33 years old. He greeted me, “We, Ismailis, dont go for hajj in Mecca. We dont waste our money for hajj. But our leader says, providing shelter and food for poor traveller, the mosafers, that is our hajj pilgrimage.” That is the reason of the hospitality of the Ismailis. No matter that there is no even wheat to make bread, being hospitable to a guest is compulsory. Aliboy sheltered me in his traditional house. There were his old father, Jumakhan, 72 years old, the old mother, sisters, cousins, and children in his little house. People of the Pamir are said to have long ages, like Jumakhan’s grand father who lived until 120 years old of age. Maybe it was because of the pure water. Aliboy had no job, even though he had a car. Here we could observe how live reduced dramatically to its modest form since the breakaway of the USSR. From a car owner to be an unemployed whou couldnt sustain sufficient income for basic needs, life have never been easy afterwards. The situation in Tajikistan was much worsened by the [...]

October 24, 2006 // 0 Comments

Ishkashim – Bodurbekov Family

Alisher (a.k.a Muhammad Bodurbekov) with his cousin “Now you are not guest anymore. You are part of our family. Welcome!” – Muhammad Bodurbekov Since the first minute I arrived in Ishkashim, I was impressed by the hospitality of the people in the Wakhan Valley. I was invited by Muhammad Bodurbekov, 29, to his house in the village. Muhammad, alias Alisher, worked in Dushanbe in Aga Khan’s NGO, MSDSP. He had classes in Khorog and he then had chance to see his family in Ishkashim. He spent a month in the UK for his higher education, and he still maintained his British accent. Alisher was an educated professional and he had so many things to discuss. So before starting, let’s sit on the ‘kurpacha’, the guest welcome matress, which Alisher laid between the pillars of Ali and Muhammad. Sitting on the kurpacha symbolized the acceptance of the welcome gesture from the host. In this house there were Alisher’s father, mother, sister, and some nephews and nieces. Alisher sister was married already but she was staying in her parents’ house. She was married to a man from Shegnon and according to the Shegnon tradition, the first child should be born in the [...]

October 22, 2006 // 0 Comments

Khorog – The Capital of GBAO

Driver is a respected job in Tajikistan, especially in GBAO where most people still struggle of unemployment “Thanks to God, thanks to Aga Khan, for their kindness to us” – Mamadrayonova Khurseda The provincial capital of GBAO, Khorog, is a little town set in a valley surrounded by vertical cliffs of high mountains. It is cool and lazy, and despite of its proximity with Afghanistan, it is quite laid back. The appearance of military still can be felt intensively in the town, thanks to the neighbouring Afghanistan, which is just across the river and notorious for opium export and illegal border crossing. Young soldiers have to patrol every morning along the misty and freezing river. The 1300 km long border with Afghanistan gives much headache to Tajikistan, and its patron – Russia. Russian guards were playing a big role in ‘saving’ the war torn Tajikistan from further deterioration. But as the situation of the country had been stabilized for almost ten years now, the existence of Russian and CIS troops had been much reduced since the previous two years. If you walk along the main street of Khorog, except for the numerous militsia, police, and KGB agents, you will feel [...]

October 19, 2006 // 0 Comments

1 2