Recommended

alam

Titik Nol 59: Vegetarian Seumur Hidup

Para porter bermain kartu mengisi senja yang dingin. (AGUSTINUS WIBOWO) Kabut mulai turun menyelimuti barisan pegunungan Annapurna III dan Gangapurna. Tak ada lagi yang tampak kecuali putih yang sempurna. Kami bertiga memutuskan untuk terus berangkat menuju puncak. “Tak perlu kita memforsir tenaga,” kata Jörg, “kita sudah mengirit satu hari di Manang, hari ini kita cukup berjalan satu desa saja sampai ke Letdar.” Pada ketinggian ini, desa semakin jarang dan berjauhan. Gunsang sudah hampir mencapai empat ribu meter, sudah jauh lebih tinggi daripada Gunung Semeru. Pepohonan sudah lenyap, berganti tanaman rumput. Orang Newar sudah tak nampak, yang ada cuma orang Tibet, Tamang, dan Gurung – semuanya orang gunung yang tangguh, bahan baku pasukan Ghurka yang tersohor di seluruh dunia. Kami terus mendaki. Masih kurang sekitar 1500 meter ketinggian lagi untuk mencapai puncak Thorung La. Sebenarnya saya tidak terlalu khawatir akan gejala penyakit ketinggian, karena saya sudah terbiasa dengan beratnya alam di Tibet. Tetapi, sejak meninggalkan Gunsang, saya merasa sedikit pusing dan meriang, ditambah batuk berdahak dan hidung mampet. Menurut peta yang dibawa Jörg, tujuan berikutnya, Dusun Letdar, hanya satu jam perjalanan dari Gunsang. Satu jam, tentu bukan siksaan yang terlalu berat, begitu pikir kami. Tetapi memang terlalu naif kalau menyamakan rayapan [...]

August 14, 2014 // 0 Comments

Titik Nol 58: Manang

Barisan bendera doa dan gunung salju. (AGUSTINUS WIBOWO) Manang adalah kejutan di tengah pendakian Sirkuit Annapurna. Sebuah perkampungan umat Budha Tibet yang religius, campur aduk dengan rombongan trekker, porter, pemandu wisata, barisan keledai, ladang jewawut, hotel, restoran, toko perlengkapan pendakian, warung internet, rumah sakit, dan seterusnya. Tak perlu heran, Manang adalah dusun terbesar sepanjang sisi timur lintasan Sirkuit Annapurna. Pada ketinggian 3540 meter ini, Manang adalah tempat yang paling dianjurkan bagi para pendaki untuk menyesuaikan diri dengan ketinggian. Beristirahat dua malam di sini sangat dianjurkan sebelum melangkahkan kaki menuju Puncak Thorung La. Nefransjah adalah salah satu trekker Indonesia yang sedang mengadaptasikan dirinya dengan tempat tinggi. Tak pernah ia berada di tempat setinggi ini. Keluhannya, kepala pusing dan cepat lelah. Tak salah pula kalau ia mengikuti kelas pelatihan gratis khusus para pendaki yang diselenggarakan setiap sore di klinik Manang. Acute Mountain Sickness (AMS) umumnya terjadi pada orang yang berpindah ketinggian terlalu cepat. Jadi bukan ketinggiannya yang bermasalah, tetapi kedrastisannya. Biasanya akan mulai terasa kalau kita sudah berada di atas ketinggian 2500 meter. Tanda-tandanya adalah sakit kepala, pusing, mual, batuk, hilang nafsu makan, muntah, atau halusinasi. Tanda-tanda ini tidak perlu harus muncul semuanya. Salah satu saja cukup sebagai gejala AMS. Kalau tidak [...]

August 13, 2014 // 1 Comment

Titik Nol 57: Kawan Lama

Batu bertahtakan mantra-mantra Budhisme. (AGUSTINUS WIBOWO) Di balik lekukan gunung-gunung tinggi ini selalu ada kejutan. Gunung salju raksasa menyembul di antara awan di langit biru. Pada ketinggian lebih dari 3000 meter, alam berganti drastis. Kuil dan pagoda Budhisme Tibet, di hadapan hamparan batu mani dengan mantra suci, semakin menebarkan nuansa mistis. Semakin ke atas, habitat orang Hindu semakin berkurang. Penduduk di sini kebanyakan orang etnis Tibet, menganut agama Budha aliran Tantrisme. Kenangan tentang perjalanan di Tibet terulang lagi di sini. Bedanya, saya tak perlu kejar-kejaran dengan polisi. Sebenarnya yang tinggal di daerah ini bukan orang Tibet, karena istilah etnik Tibet lebih dikhususkan pada mereka yang melarikan diri dari negeri China. Penduduk distrik Manang adalah etnis Manangi, atau disebut Manangapa, atau Nyeshang. Secara fisik, kultur, dan agama, memang sangat mirip dengan orang Tibet. Orang Manangi terkenal mahir berdagang. Walaupun habitat mereka jauh di gunung tinggi, tetapi jaringan perdagangan orang Manangi merambah hingga Kathmandu, bahkan sampai ke Malaysia dan Singapura. Selain Manangi, di tanah tinggi ini juga ada orang Tamang, Rai dan Limbu. Perawakan mereka seperti orang Asia Timur, pendek, bermata sipit, hidung pesek. Tetapi jangan ditanya soal ketangguhan. Seperti halnya orang Gurung, suku-suku ini adalah pemasok tentara Gurkha. Penduduk desa tradisional [...]

August 12, 2014 // 0 Comments

Titik Nol 56: Bahasa

Dusun Tibet yang tersembunyi. (AGUSTINUS WIBOWO) Tak disangka, di desa-desa di seluk pegunungan tinggi negeri terjepit ini, saya mendengar bahasa Melayu dilafalkan di mana-mana. Lintasan Sirkuit Annapurna sudah seperti menjadi lintasan wajib turis yang datang ke Nepal. Desa-desa di sini pun bergantung pada turisme. Kebanyakan desa yang kami singgahi tidak pernah ada sebelumnya. Hanya karena turis, desa-desa baru bermunculan, menawarkan pemondokan dan warung yang menjual makanan mulai dari dhal bat sampai makaroni, pizza, pasta, dan mashed potato. Harga makanan di sepanjang Sirkuit ditentukan oleh ketinggian tempat dari permukaan laut. Semua bahan makanan ini diangkut dari tempat rendah di bawah, oleh porter yang membawa berkarung-karung beras, gandum, tepung, sayur, sampai ayam hidup. Standar harga makanan sudah ditentukan oleh Annapurna Conservation Area Project (ACAP). Di setiap warung selalu tertempel daftar harga standar, biasanya selalu memasukkan dal bat – makanan tradisional Nepal yang terdiri dari nasi dan beberapa macam sayuran. Kalau makan di warung lokal yang bukan anggota ACAP, harganya lebih murah karena bukan ditujukan untuk turis. Harga makanan dengan daging jauh lebih mahal, saya pun jadi vegetarian. Selain jadi vegetarian, saya pun jadi penggemar makanan Barat macam makaroni, pasta, spageti, apple pie, dan mashed potato. Saking terkenalnya makanan Eropa di pemondokan dan [...]

August 11, 2014 // 3 Comments

Titik Nol 55: Tentara Kerajaan

Tentara Kerajaan Nepal (AGUSTINUS WIBOWO) Macam-macam cara orang menikmati perjalanan. Ada yang bersantai, menikmati setiap pemandangan yang terhampar di sekeliling. Ada yang terburu-buru, mengejar target yang dipasang sendiri. Ada yang sambil bermeditasi, merenungi setiap detail yang ditampilkan oleh alam. Perjalanan hidup pun tergantung bagaimana kita ingin menikmatinya. Namanya Rob, tingginya lebih dari 180 sentimeter, kekar dan gagah. Asalnya dari Amerika Serikat. Matanya biru, wajahnya tampan. Lulusan Phd dari salah satu universitas terbaik di muka bumi – Massachusetts Institute of Technology (MIT). Dia datang ke Danakkya ketika langit sudah mulai gelap, ikut bergabung dengan kami menginap di Hotel Snowland di dusun ini. Pemondokan di sepanjang Annapurna memang punya nama garang-garang, menawarkan misteri dari puncak salju Himalaya. “Hey man, saya berencana mengelilingi Annapurna dalam waktu satu minggu saja. Ini adalah hari kedua saya,” kata pendatang baru itu. Jörg langsung berseru, “Satu minggu? Kamu gila? Kamu bisa mati kalau tubuh kamu tidak teraklimatisasi dengan perubahan ketinggian yang tiba-tiba!” Kami sudah menghabiskan empat hari dengan melenggang santai baru sampai di sini. Jörg berkisah, ketika ia menginap di Pokhara, ada turis Jepang yang baru saja datang dari mengelilingi Sirkuit Annapurna. Rupanya orang Jepang ini bertaruh dengan kawannya, siapa yang bisa menyelesaikan putaran ini dalam waktu [...]

August 8, 2014 // 2 Comments

Titik Nol 54: Ladang Ganja

Ladang ganja (AGUSTINUS WIBOWO) Perjalanan keliling Annapurna masih panjang. Memasuki hari keempat, kami baru saja meninggalkan dusun Tal. Kalau dilihat di peta, tak sampai juga dua puluh persen lintasan menuju puncak Thorung. Di pegunungan Annapurna, jarak horizontal tak banyak berarti. Peta dunia di tempat ini seharusnya digambar tiga dimensi, karena ketinggian dan kecuraman pinggang gurun lebih berarti dalam pendakian. Pukul setengah delapan, matahari masih belum terlalu panas. Selepas Tal, pada ketinggian 1700 meter, desa-desa berikutnya semakin tinggi dan sejuk. Gadis pemilik pemondokan begitu ramah, menghadiahi kami masing-masing sebilah tongkat kayu. Kami menyeruput lemon panas yang disediakannya. Sirkuit Annapurna ini begitu nyaman. Pemondokan ramah tersebar sepanjang jalan. Bayangkan, seratus tahun lalu ketika para pendahulu penakluk gunung-gunung Himalaya menjelajah sampai ke sini, yang ada hanya hutan lebat. Bahkan untuk mencari Gunung Annapurna pun mereka tersesat berkali-kali. Tak lama setelah meninggalkan Tal, ada seorang gadis yang duduk kelelahan di pinggir jalan. Di pundaknya ada ransel besar berwarna biru. Di atas ransel masih ada pula matras yang digulung. Di tangannya ada sepasang tongkat treking. “Good morning,” kami menyapa. Gadis itu orang Asia, bermata sipit berwajah datar. “Good morning… Namaste,” ia menjawab, terengah-engah. Saya dan Jörg melanjutkan perjalanan. “Taruhan, gadis itu dari negara mana?” saya [...]

August 7, 2014 // 0 Comments

Titik Nol 53: Dusun Tal

Bermain, bermain, bermain… (AGUSTINUS WIBOWO) Saya tertunduk di hadapan gerilyawan Maois. Semua kisah sedih sudah saya ceritakan. Moga-moga ia tergerak hatinya. “Kya karen, bhai? Apa lagi yang bisa saya lakukan, Saudara?” Saya menunjukkan dompet saya yang kosong melompong. Hanya ada uang sepuluh Rupee di dalamnya. Sisanya sudah saya sembunyikan di dalam kaus kaki. Gerilyawan Maois itu hanya garuk-garuk kepala, mungkin pertama kali melihat turis yang begitu miskin. Saya menunjukkan betapa dekatnya saya dengan perjuangan Maois, mencoba menarik simpatinya. Dimulai dari bualan tentang kehidupan komunis di Beijing dan betapa saya memuja Mao, sampai menunjukkan saya memakai baju warna merah dengan bintang emas – bendera Vietnam – yang saya beli dari Hanoi. Dia tak terlalu tertarik. Tiba-tiba datang serombongan pendaki bule. Masing-masing membopong ransel mahal, membawa sepasang tongkat khusus trekking, yang pasti juga mahal, dan menggunakan jasa dua orang porter Nepal malang yang terbungkuk-bungkuk harus menggendong tumpukan ransel besar. Ditambah lagi seorang pemandu lokal. “Pajak Maois ya?” tanya si pendaki dengan ramah, senyum lebar menghias wajahnya. Ia langsung mengeluarkan beberapa lembar ribuan Rupee, menyerahkan kepada sang gerilyawan. Sekarang giliran pengumpul pajak Maois itu yang sibuk menandatangani kuitansi. Semua orang harus membayar pajak 100 Rupee per hari. Untuk porter dan pemandu lokal gratis. [...]

August 6, 2014 // 0 Comments

Titik Nol 52: Maois

Gerilyawan Maois menghampiri di pintu gerbang menuju Tal.(AGUSTINUS WIBOWO) Pendakian panjang dan curam akhirnya berakhir juga. Di atas sana, gerbang masuk desa Tal sudah nampak. “Welcome to Manang District”. Selamat datang, selamat datang. Seorang gerilyawan Maois menyambut kami. Hari sudah mulai tinggi ketika kami berangkat dari Chamje. Keith sudah berangkat duluan, karena mengejar waktu. Sementara Jörg masih berbaring malas di kamarnya yang sejuk. Saya memilih untuk berangkat agak siangan. Jörg, seperti saya, juga tak ingin terburu-buru menikmati perjalanan panjang keliling Annapurna ini. Pukul 8:30, matahari sudah panas menyengat, kami berdua baru mulai jalan. Tampaknya Jörg dan saya cocok sekali berjalan bersama, sama-sama pelannya. Saya jadi bisa lebih santai berjalan, tak perlu lagi malu karena berleha-leha. Tangga batu menurun drastis dari desa Chamje. Curam dan panjang. Dari dulu saya paling takut turun gunung terjal. Pengalaman saya terkilir berkali-kali, membuat pandangan saya hanya terpusat ke arah kaki. Keindahan alam sekitar terlewatkan begitu saja. Saya sadar satu hal, saya dilahirkan bukan untuk trekking. Orang memang tidak pernah memilih untuk dilahirkan di mana. Tengoklah orang-orang desa di sini, setiap hari mereka harus berjalan naik turun gunung yang terjal dan curam, melintasi sungai yang mengamuk di atas jembatan gantung yang bergoyang-goyang. Alam yang keras ini [...]

August 5, 2014 // 0 Comments

Titik Nol 51: Lereng Curam

Namaste……….!!! (AGUSTINUS WIBOWO) Perjalanan keliling Sirkuit Annapurna sebenarnya termasuk kategori tingkat kesulitan rendah. Walaupun demikian, bagi saya yang tidak biasa berjalan di medan pegunungan, perjalanan ini melelahkan juga. Ada pepatah China mengatakan, “Naik gunung mudah, turun gunung susah”. Mungkin lebih tepat kalau pepatah itu dimodifikasi: Naik gunung susah, turunnya lebih susah lagi. Perjalanan ini dimulai dari Besisahar, pada ketinggian 700 meter, melalui jalan mendaki, terus menurun, terus mendaki lagi, menurun lagi, dan seterusnya hingga ke Puncak Thorung La pada ketinggian 5400 meter, kemudian menurun drastis lagi terus sampai ke bawah. Demikianlah perjalanan hidup manusia. Ada naik, ada turun. Tujuan kita seakan tergambar jelas di awang-awang sana. Tetapi yang paling penting bukan tujuannya, melainkan lintasannya, naik turunnya, senang bahagia dan pahit getirnya hidup. Setiap trekker punya peta Annapurna, lengkap dengan hari pertama, kedua, ketiga, dan seterusnya, nama dusun-dusun yang akan dilewati, serta ketinggiannya dari permukaan laut. Angka-angka yang menjadi patokan perjalanan ini adalah motivasi untuk terus maju, mencapai tujuan. Yang paling berbahaya dalam perjalanan ini adalah ketika kita terlalu menggebu untuk mencapai tujuan yang tinggi itu. Dari ketinggian 700 meter hingga 5400 meter, tubuh manusia harus bisa beradaptasi pada perubahan drastis. Di puncak sana, suhu udara rendah dan oksigen minim. Salju [...]

August 4, 2014 // 1 Comment

Titik Nol 50: Naik Bukit

Bahundanda. (AGUSTINUS WIBOWO) Ada pepatah Jerman mengatakan, orang tidak seharusnya memuji hari kalau belum sampai malam. Orang tidak seharusnya senang di tengah jalan kalau belum melihat hasilnya. Hari pertama trekking Annapurna tak semudah yang saya bayangkan. Jalan-jalan keliling desa ini sebenarnya boleh juga. Sawah hijau menghampar di kanan kiri, mengingatkan saya pada hijaunya kampung halaman. Orang-orang Newari yang tinggal di sini pun mirip orang Jawa kulit dan perawakannya, walaupun sedikit lebih mancung. Bahkan kaum perempuannya pun memakai sarung batik sepanjang mata kaki. Motifnya pun mirip dengan yang dipakai perempuan desa di Jawa. Tak salah memang, sarung batik Indonesia banyak diekspor ke sini. Kalau dilihat secara detail, ada pula bedanya. Perempuan Hindu Nepal umumnya menindik hidung sebelah kiri, lalu dipasangi cincin kecil. Cara mereka bekerja mengangkut barang pun berbeda. Orang Jawa biasa mengusung benda berat di atas kepala, kalau orang Nepal digantungkan di kepala. Saya jadi teringat cara orang pedalaman Papua membawa tas yang talinya panjang, juga digantungkan di kepala. Segala jenis barang bisa digantungkan di kepala, mulai dari karung beras, keranjang rotan, sampai lemari baju, dari rumput, kayu bakar, sampai televisi. Laki-laki, perempuan, anak-anak, semua punya kepala sekeras baja. Jalanan datar, tak ada tantangan. Jujur saja, agak membosankan. “Moga-moga Sirkuit [...]

August 1, 2014 // 0 Comments

Titik Nol 49: Sirkuit Annapurna

Menuju puncak salju di atas sana. (AGUSTINUS WIBOWO) Bagi sebagian besar turis asing, Nepal berarti gunung. Negeri ini memang mungil kalau dilihat secara horizontal. Dilihat dari sudut vertikal, Nepal berada dalam jajaran atas negara tertinggi di dunia. Annapurna adalah serangkaian puncak Himalaya terletak di bagian barat Nepal. Annapurna I, puncak tertingginya mencapai 8.000 meter, dikelilingi saudara-saudaranya yang di atas 7.000 meter, senantiasa diselimuti salju dan memancarkan keagungan yang menjadi magnet datangnya turis ke negeri ini. Semula saya kurang begitu tertarik dengan kegiatan turisme seperti mendaki gunung. Melihat distrik Thamel di Kathmandu yang dipenuhi perusahaan wisata menawarkan jasa porter dan pemandu, saya langsung muak. Saya tak pernah tahu, bahwa trekking berkeliling gunung pun bisa dilakukan secara independen tanpa harus memakai jasa biro tur. Lam Li, si gadis Malaysia yang sudah berangkat dulu ke Annapurna, meyakinkan saya, “Keliling Annapurna pasti menarik sekali. Di sana, satu kali putaran, kamu bisa berjumpa delapan macam suku sekaligus, hidup di desa-desa yang masih asli.” Saya sangat tertarik dengan keragamam suku dan budaya, tetapi saya masih belum yakin saya bisa melakukan perjalanan seperti ini. Saya tak pernah punya pengalaman naik gunung. Sekali naik, mengelilingi gunung suci Kailash di Tibet nyaris celaka. Kepercayaan diri saya bertambah ketika berjumpa [...]

July 31, 2014 // 0 Comments

Titik Nol 48: Istana di Puncak Bukit

Istana Raja Prithvi Narayan Shah. (AGUSTINUS WIBOWO) Tentara Gurkha berasal dari kota perbukitan yang sunyi ini. Raja besar Nepal, Prithvi Narayan Shah, lahir di sini. Sekarang kota kecil Gorkha masih menjadi salah satu basis pertahanan penting Kerajaan Nepal. Seperti Kathmandu, Bhaktapur, dan Patan yang masing-masing punya Durbar Square, Gorkha pun punya. Gorkha Durbar terletak di puncak bukit, sekitar dua jam perjalanan mendaki, di daerah yang dijaga ketat oleh tentara Nepal. Istana Prithvi Narayan Shah di puncak bukit ini adalah tempat yang paling strategis yang pernah saya lihat. Sejauh mata memandang, barisan puluhan bukit hijau terpampang di hadapan. Lekuk kurvanya yang mulus sambung-menyambung. Bagaikan spektrum, dari hijau yang paling pekat hingga hijau kebiruan, dan jauh di sana bersambung dengan warna langit. Desa-desa kecil, berupa noktah putih, bertabur di seluruh penjuru perbukitan, dari kaki hingga puncak. Gorkha adalah salah satu kota peristirahatan di tepi bukit yang sejuk. Di kaki bukit sana, banyak vila yang dibangun untuk para pengunjung. Walaupun sekarang seperti kota hantu yang sepi, tetapi masih nampak bahwa dulunya kota ini pun pernah menjadi pusat kunjungan turis. Di sini dulu Prithvi Narayan Shah pernah berdiri, memandang seluruh negeri yang terhampar di hadapannya. Dari titik inilah ia menaklukkan seluruh penjuru, menaklukan seluruh [...]

July 30, 2014 // 4 Comments

Titik Nol 47: Pernikahan Seorang Kawan

Gorkha, alamnya seperti Indonesia. (AGUSTINUS WIBOWO) Kami sampai di kota Gorkha, asal muasal nama tentara Gurkha yang termasyhur di seluruh dunia itu. Bukan untuk mencari pasukan, tetapi untuk menonton acara pernikahan. Namanya Deepak. Umurnya seumuran dengan saya. Ia bicara bahasa Melayu patah-patah, tetapi lagak bicaranya seperti bos besar saja, mungkin belajar dari majikannya di Johor Bahru. “Nanti di Gorkha boleh tengok orang kawin, you know! Gorkha jauh sangat, you know! Nak ambil bus, sampai sana boleh tengok-tengok, you know!” Lam Li kenal Deepak di Freak Streeet. Mereka langsung akrab, karena pengalaman Deepak bekerja di Malaysia. Seperti halnya tenaga kerja asal Indonesia, pekerja asal Nepal, India, Pakistan, dan Bangladesh pun banyak di Malaysia. Deepak cuma pekerja kasar saja di sana, jadi pelayan di toko onderdil. Pria kerempeng berkulit gelap ini berkata bahwa ada kawannya yang menikah di dusun Gorkha. Ia mengajak Lam Li, yang mengajak Qingqing si gadis Beijing, yang kemudian mengajak saya. Jadilah rombongan kami berangkat pukul enam pagi dari Kathmandu yang masih dingin. Gorkha terletak sekitar 150 kilometer dari ibu kota, melintasi jalan raya utama Kathmandu – Pokhara, berbelok ke utara di pertigaan Abu Karim. Walaupun dulunya pekerja kasar di Malaysia, Deepak lebih bergaya. Ia tak mau naik bus [...]

July 29, 2014 // 1 Comment

Titik Nol 30: Nyaman di Nyalam

Dari pegunungan salju Himalaya…. (AGUSTINUS WIBOWO) Jalan raya Friendship Highway yang menghubungkan negeri China dengan Nepal beraspal mulus, walaupun masih ada perbaikan jalan di sana-sini. Ukuran keberhasilan negeri ini adalah pembangunan di mana-mana, merambah semua sudut negeri, meningkatkan kesejahteraan dan memperadabkan penduduknya. Bahkan gunung dan padang di kaki Himalaya pun kini sudah terjamah listrik dan jalan raya. Di padang rumput yang menghampar itu, air sungai bergemericik. Bocah-bocah bertelanjang, berlarian di tepi sungai, menceburkan diri dalam airnya yang segar. Tak ada malu, tak ada sungkan. Mereka hidup dalam surga mereka yang tak terjamah. Sementara kami, di dalam truk Dongfeng yang penuh sesak, dihantui kecemasan menuju Nyalam. Baru saja saya memberitahu Ding bahwa sejatinya saya orang asing. Di Nyalam, ada pos pemeriksaan besar. Orang asing yang tanpa permit akan kena hukuman. Sopir truk yang nekad memberi tumpangan pada orang asing juga akan didenda. “Jangan kuatir,” kata Ding menghibur, “kamu adalah mahasiswa Tsinghua. Langit pasti akan menolongmu.” Langit senja kemerahan, membilas puncak salju Himalaya yang berbaris di hadapan. Salju putih berubah menjadi kuning kemerahan, cantik sekali. Ding sering menghentikan mobilnya hanya untuk memberi kesempatan untuk memotret. “Mobil ini adalah punyamu, tak perlu berterima kasih. Justru saya merasa sangat terhormat mengangkut seorang anak Tsinghua.” [...]

June 11, 2014 // 1 Comment

Titik Nol 27: Berbalut Khata

Puncak Everest dibalut awan.(AGUSTINUS WIBOWO) Cuaca di pegunungan berubah cepat. Yang tadinya langit biru dan gumpalan mungil, kini sudah menjadi mendung tebal menggelayut. Saya tak melihat apa-apa, hanya putih kelabu yang dingin. “Shushu,” kata Donchuk, tukang sepeda motor yang mengantar saya sampai ke Everest Base Camp ini, “Masuk dulu. Qomolangma memang tergantung nasib. Banyak orang yang sampai sini juga tak lihat apa-apa. Moga-moga besok cuaca bagus.” Saya kembali ke tenda. Yang tinggal di sini adalah kawan Donchuk dan istrinya. Keduanya berkulit hitam, kasar, terbakar matahari. Si suami mengenakan jaket hijau ala jiefangjun – Tentara Pembebasan, model pakaian China yang cukup populer di Tibet. Istrinya berwajah datar, dengan rambut panjang dikepang dan dililitkan melingkari kepala. Mereka tak bisa bahasa Mandarin dan saya tak bisa bahasa Tibet. Perbincangan kami lebih banyak tak sambungnya. Walaupun demikian, saya merasakan kehangatan sebuah keluarga sederhana Tibet. Si istri menyiapkan teh mentega – minuman utama orang Tibet. Cara membuatnya khusus. Air teh yang sudah bersih dari daun ditumbuk bersama dengan mentega, garam, dan susu. Tumbukannya juga tak biasa, kurus dan panjang, terbuat dari kayu. Teh susu mentega ini bisa pula jadi makanan, disiramkan ke bubuk jewawut tsampa, yang hasilnya kemudian menjadi bubur mirip makanan bayi. Tsampa asalah [...]

June 6, 2014 // 3 Comments

Titik Nol 26: Everest Base Camp

Pemandangan menuju Everest. (AGUSTINUS WIBOWO) Siapa yang tak kenal Everest, puncak tertinggi di muka bumi? Gunung agung itu kini terpampang di hadapan mata. Saya berencana menuju Nepal hari ini. Uang Renminbi saya sudah tak banyak, tak bisa bertahan lama di Tibet yang serba mahal ini. Lagi pula, visa China saya juga sudah mepet. Di Shegar, mencari kendaraan ke Tingri atau perbatasan Nepal tak mudah, apalagi karena saya sekarang bersama dua orang bule Israel. Setiap kali saya berhasil menyetop truk, begitu sopirnya lihat ada bule, langsung kabur. Kami sudah menunggu dari pagi sampai siang. “Shushu….Shushu… mau ke Zhufeng?” seorang pria Tibet berkulit hitam dan keras menyapa. Shushu, dalam bahasa Mandarin, artinya paman. Apakah saya sudah setua itu? Lelaki ini umurnya sudah empat puluh tahunan, dan seperti biasanya orang Tibet memanggil orang China, tak peduli tua muda, dengan sebutan shushu (paman) dan ayi (bibi). Zhufeng, dalam bahasa Mandarin, berarti Puncak Permata. Nama ini adalah singkatan dari Zhumulangma Feng, terjemahan dari nama Tibet Qomolangma, yang artinya Dewi Ibunda Alam Semesta. Orang kebanyakan lebih mengenal tempat ini dengan nama Everest, sebuah nama yang melekat pada puncak tertinggi di dunia ini sejak tahun 1865. Sir George Everest adalah pemimpin Great Trigonometrical Survey yang pada masa [...]

June 5, 2014 // 0 Comments

Titik Nol 13: Danau Suci

Danau Suci Manasarovar. (AGUSTINUS WIBOWO) Saya tercebur ke dalam sungai dari mata air Kailash. Sungai ini dalam dan arusnya kencang. Tubuh saya terseret terbawa arus. Tangan pemuda itu dengan cekatan menangkap saya yang terjatuh dari batu. Basah kuyup saya menaiki batu-batuan ini. Tangan kanan saya dituntunnya. Sekali lagi saya terpeleset, nyaris hanyut. Tetapi bocah gembala ini tak hilang keseimbangannya. Saya begitu berterima kasih ketika berhasil mencapai tepi sungai. Saya tak bisa membayangkan apa yang terjadi jika hanyut sampai ke sungai besar di seberang sana. Kamera saya rusak. Paspor saya basah kuyup. Sekujur tubuh saya menggigil kedinginan. Tetapi saya harus maju. “Darchen masih jauh,” kata bocah itu dengan bahasa Mandarin yang terbata-bata. Ia menunjukkan peta Kailash dari buku pelajarannya. “Di sini sekarang kamu berada,” katanya menunjuk sebuah titik di sebelah barat lingkaran kora. Masih dua puluh kilometer lagi ke Darchen, dan hari sudah mulai beranjak senja. Dengan perasaan hancur lebur, saya menyeret kaki saya yang sudah mulai lumpuh untuk terus maju. Tiga jam perjalanan yang dilewatkan dengan meringis kesakitan. Saya bersorak gembira ketika sampai di sebuah desa. Ada tiang penuh dengan bendera doa. “Bukan. Ini bukan Darchen!” kata seorang turis Korea yang saya jumpai. Darchen masih 13 kilometer lagi jauhnya. Ini [...]

May 19, 2014 // 4 Comments

Titik Nol 11: Om Mani Padme Hum

Wajah utara Kailash dilihat dari Drira Puk. (AGUSTINUS WIBOWO) Batu warna-warni berjajar. Di atasnya bertahta mantra suci Budha, “Om Mani Padme Hum”. Burung elang bertengger gagah di atas batu. Gunung suci Kailash menampakkan wajahnya yang tersembunyi di balik awan. “Perjalanan kora adalah penyucian jiwa,” kata si gadis China, Yan Fang, mengutip sebuah buku yang ia baca tentang kultur Tibet. Dan dalam perjalanan penyucian jiwa itu, orang harus menghadapi lika-liku, cobaan, hingga akhirnya sampai pada pencerahan. Padang rumput yang membentang dan langit biru yang menangkup, semua khusyuk dalam keheningan gunung-gunung. Sebuah hening yang malah membuat hati bergemuruh. Melihat mantra Om Mani Padme Hom tertulis dalam huruf Tibet di atas batu mani, hati saya bergidik. Mantra itu seperti bergema dalam hati saya. Perlahan, tapi tak pernah berhenti. Dari sebuah bukit, saya memandang ke arah padang rumput yang luas itu. Dua buah danau raksasa bersebelahan. Yang kiri berwarna biru, yang kanan berwarna hitam. “Yang kiri itu Danau Suci,” kata Yan Fang, “airnya adalah air suci. Orang Tibet juga ke sana, mengitari danau sampai belasan kali. Yang kanan adalah Danau Setan. Itu danau yang penuh angkara murka. Menyentuh airnya pun membawa petaka.” Danau Suci, dalam tradisi Hindu disebut Manasarovar, milik Dewa Brahma. Orang Tibet [...]

May 15, 2014 // 5 Comments

Titik Nol 10: Kora

Kailash menjulang di balik kibaran bendera doa. (AGUSTINUS WIBOWO) Orang Hindu menyebutnya Kailash. Orang Tibet menyebutnya Permata Agung. Dalam  bahasa Mandarin namanya Shenshan, Gunung Dewa. Menjulang pada ketinggian 6638 meter, bertudung langit malam yang cerah. Ribuan bintang bertabut di angkasa raya. Langit menangkup ke seluruh batas cakrawala. Lolongan anjing bersahut-sahutan. Bulan bulat purnama. Keheningan malam membungkus Darchen. “Kamu harus banyak istirahat,” kata Xiao Wang, pria Sichuan pemilik warung, “keliling Gunung Dewa bukan perjalanan mudah. Kalau dalam perjalanan nanti lelah, jangan dipaksa. Di atas sana oksigen sangat tipis.” Xiao Wang kemudian menceritakan tentang peziarah India yang bertubuh tambun dan mati di puncak sana. Tetapi karena ia Hindu, penduduk Tibet tak mengizinkan mayatnya dibakar di sini. Jenazah pria malang itu dibawa pulang lagi ke negaranya, melalui perjalanan panjang melintasi barisan gunung suci. “Malangkah pria itu? Sama sekali tidak,” lanjut Xiao Wang, “bagi mereka yang percaya, mati di tempat sesuci ini adalah berkah yang tiada terkira.” Sejak China mengibarkan benderanya di Tibet, Dalai Lama mengungsi, hubungan China-India terus memburuk, kesempatan bagi orang Hindu India untuk sekadar melihat wajah Kailash – tempat paling suci dalam agama mereka – sangat tipis. Hanya mereka yang teramat sangat beruntung yang bisa memperoleh visa datang ke sini. Kailash [...]

May 14, 2014 // 2 Comments

Titik Nol 7: Penantian di Pinggir Jalan

Tas ransel tergeletak di jalan. Pemiliknya menanti dalam keputusasaan. (AGUSTINUS WIBOWO) Lengang. Kami berempat menanti dalam ketidakpastian. Tak ada manusia, tak ada kendaraan yang melintas. Kerajaan yang hilang itu tersembunyi di balik gunung-gunung tinggi sana. Pria Jerman berjaket merah ini bernama Hans, seorang trekker sejati. Umurnya sudah mendekati lima puluhan, tetapi keberanian dan ketangguhannya melebihi orang muda sekalipun. Seorang diri ia sudah mengelilingi Tibet selama tiga bulan, mendaki gunung-gunung dan merambah tempat-tempat tersembunyi. Zanda, kerajaan Guge, termasuk tempat terakhir yang belum disentuhnya di tanah Tibet. Hans bisa sedikit bahasa Mandarin. Bertualang di Tibet sebagai seorang laowai – bule – sangat tidak mudah. “Hitchhike – menumpang truk – sangat susah. Sopir truk kebanyakan tak berani mengangkut laowai, karena kalau tertangkap polisi mereka akan didenda mahal.” Untuk soal permit Tibet, Hans lebih memilih mematuhi hukum. Tetapi itu pun tak mudah. Aturan di Tibet berubah setiap saat. Tidak ada yang tahu aturan apa yang sedang berlaku. Permit yang sudah dibeli mahal-mahal pun bisa jadi tak berlaku di tempat lain. Sekarang pada permit yang dipegang Hans pun tak tercantum nama Ngari, yang artinya ia pun pelancong ilegal. Hans punya segudang nasihat terhadap para pelancong ilegal seperti kami. “Berhati-hatilah, di Barga nanti ada pos pemeriksaan [...]

May 9, 2014 // 3 Comments

1 2