Recommended

Allah

Titik Nol 185: Tinggal Separuh

Makam Bibi Jawindi yang tinggal separuh (AGUSTINUS WIBOWO) Kota tua Uch sudah ada sejak zaman Iskandar Yang Agung. Uch termasuk kota Muslim pertama di Asia Selatan ketika Islam datang pertama kali bersama pasukan Muhammad bin Qasim dari Arab pada tahun 710 Masehi. Perlahan-lahan Uch menjadi pusat peradaban Islam. Guru Sufi dari berbagai penjuru berdatangan. Sekolah-sekolah tinggi didirikan. Kala itu universitas Uch pastilah salah satu yang terbaik di dunia kuno. Tetapi sekarang yang tertinggal hanyalah puing-puing kejayaan masa lalu. Kaum perempuan berkerudung hanya meratap di depan pintu makam Syed Jalaluddin Munir Sakh Surkh Bukhari (bukan Hazrat Jalaluddin Bukhari – Sang Pengelana Dunia). Mereka terhalang purdah, tirai tak tampak yang memisahkan laki-laki dari kaum perempuan. Bahkan untuk makam Sang Guru pun perempuan tak boleh melihat. Hanya perempuan yang masih keturunan Sang Guru yang boleh masuk dan bersembahyang di sisi makam. Bagi peziarah pria, tak ada masalah sama sekali. Seorang kakek tua berjenggot dan bersurban, berjubah putih panjang dan bersarung, tenggelam dalam bacaan Al Quran. Sang kakek kemudian menaiki undak-undakan di sebelah makam. Mulutnya terus komat-kamit ketika tangannya menggapai peti mati besar berselimut kain merah, di dalam kotak kayu berdinding kaca. Ia kemudian berjongkok. Tangannya terkatup, dijunjung di atas dahi seperti sembahyang orang [...]

May 8, 2015 // 2 Comments

Titik Nol 184: Makam Suci

Chowkidar tak pernah berhenti memutar tasbih (AGUSTINUS WIBOWO) Tempat suci ini adalah kota kuno bertabur makam orang suci. Bangunan dari zaman kaum derwis berjenggot putih diselimuti nuansa mistis. Di sini keajaiban dan mukjizat bertabur. Uch Sharif, kota yang agung, bermandi cahaya mentari dan rembulan. Terperangkap waktu, demikianlah yang saya rasakan ketika menyusuri gang-gang kecil di pasar berdebu Uch Sharif, berkelok-kelok menyesatkan. Segala macam pedagang ada di sini. Mulai dari sirup sharbat, minuman segar faluda, sup lentil, nasi biryani, sampai pengeras suara Made in China. Tetapi di dalam labirin pasar kuno inilah tersembunyi tempat-tempat paling suci di Pakistan. Di antara ratusan orang suci yang pernah berdiam di kota Uch ratusan tahun silam adalah Sayyid Jalaluddin Bukhari, guru Sufi dari abad ke-15 yang termasyhur akan mukjizatnya. Jahanian Jahangasht, atau Pengelana Dunia, demikan julukannya. Sang Baba – orang suci – telah menjelajah muka bumi untuk mempelajari hakikat Islam. Dari tanah leluhurnya di Bukhara, sekarang wilayah Uzbekistan, sang guru sudah ke Mekkah, Medina, Bagdhad, Persia, dan akhirnya menetap di Punjab. Saya teringat Guru Nanak pendiri agama Sikh yang juga berkelana ke seluruh penjuru bumi untuk menemukan kebenaran hakiki. “Baba, dengan kekuatan magisnya bisa memindahkan mihrab dari Delhi ke Uch,” kata chowkidar – juru kunci [...]

May 7, 2015 // 1 Comment

Titik Nol 159: Hindko

Samera dan bayinya (AGUSTINUS WIBOWO) Cahaya remang-remang bohlam mungil mengaburkan raut wajah para penghuni rumah. Tetapi tawa riang tak pernah berhenti membawa kesegaran di sini. Yang saya ingat dari Samera, kakak Hafizah yang berusia 25 tahun ini, adalah seorang wanita berkulit gelap yang menangisi kepergian ayahnya, almarhum Haji Sahab. Di bawah rintik hujan, suara Samera meraung memilukan. Liang kubur ayahnya baru saja ditutup ketika ia menginjakkan kaki di tanah Noraseri yang becek. “Mengapa tidak ada foto Bapak?” kata Samera kecewa, memencet-mencet tombol kamera digital saya. Saya memang tidak mengambil foto jenazah Pak Haji karena takut melanggar norma masyarakat setempat. “Saya tidak sempat melihat wajah Bapak untuk terakhir kalinya, tetapi kamu malah tidak memotretnya,” keluh Samera lagi, air matanya menetes membasahi pipi. Tetapi Samera hari ini, tiga minggu lebih setelah kepergian ayahandanya, sudah berubah menjadi perempuan yang ceria. Ia tertawa lepas ketika melemparkan bayinya yang baru enam bulan tinggi-tinggi, dan kemudian memeluk si bayi erat-erat. Bayi laki-laki itu sama sekali tidak menjerit atau menangis. “Anakku ini bocah pemberani,” katanya sambil mengusap-usapkan kepalanya di atas kepala si bayi. Bayi itu hanya tersenyum kecil. Samera kemudian mengangkat bayinya tinggi-tinggi, memutar makhluk malang itu seperti kincir angin. Si bayi tertawa lepas. Samera lebih bangga [...]

April 2, 2015 // 0 Comments

Titik Nol 155: Para Pengikut Ali

Mengikatkan bendera (AGUSTINUS WIBOWO) Suasana kesedihan menggelayut di Muzaffarabad. Para pria serempak memukuli dadanya. Anak-anak menyambitkan pisau tajam. Darah di mana-mana. Empat puluh hari yang lalu, 10 Muharram, adalah hari yang paling sedih sepanjang tahun. Ratusan orang berkumpul di lapangan, menangis bersama-sama, memukuli diri, dan menyambitkan rantai pisau sambil meratap. Darah segar mengalir, tetapi sama sekali tidak menghalangi jalannya upacara. Bulan Muharram adalah bulan penuh kesedihan. Warna hitam bertabur di seluruh pelosok kota. Lengang, karena tidak ada yang menyalakan musik lagu-lagu Hollywood. Yang terdengar sekarang adalah lantunan irama maatam, tangan yang menepuk dada berirama sebagai lambang berkambung, dan lagu-lagu yang mengalir melankolis, meratapi kematian Hussain dan kejamnya perang Qarbala. Hari ini, 20 Safar, adalah berakhirnya masa perkabungan yang empat puluh hari itu. Orang Pakistan menyebutnya sebagai Hari Chehlum, dari bahasa Farsi yang artinya ‘hari ke-40’. Bagi umat Syiah, memperingati Chehlum hampir sama pentingnya dengan memperingati Ashura. Walaupun mayoritas penduduk Pakistan menganut sekte Sunni, Chehlum juga diperingati sebagai hari libur nasional. Saya mengunjungi sebuah masjid umat Syiah di pusat kota Muzaffarabad, tidak jauh dari bazaar utama. “Kamu Muslim?” tanya Hamdani, seorang pria tiga puluhan mengenakan shalwar kamiz hitam-hitam, warna perkabungan. Hamdani mengaku sebagai penjaga keamanan upacara peringatan [...]

March 27, 2015 // 0 Comments

Titik Nol 133: Ya Hussain

Menangisi penderitaan Hussain (AGUSTINUS WIBOWO) Bulan Muharram membawa kemuraman di seluruh penjuru Pakistan. Seketika, banyak orang berbaju hitam-hitam. Hingar bingar musik dan lagu India tak lagi terdengar. Para penabuh genderang jalanan, orang-orang bersurban dan bertrompet pemeriah pesta pernikahan, lenyap dari berbagai sudut kota. Tak ada orang yang menikah dalam bulan ini. Muharram adalah bulan perkabungan. Saya berada dalam bus antar kota yang menghubungkan Rawalpindi dengan Lahore. Kaset tua membunyikan lagu-lagu penuh kesedihan. Sebenarnya ini bukan lagu, tetapi alunan syair tentang perkabungan. Musiknya juga bukan dari alat musik, tetapi dari dada yang ditepuk secara serempak, berirama. Ada kekuatan magis di dalamnya, semua yang mendengarnya pasti larut dalam kesedihan. Di Indonesia, Muharram dirayakan sebagai Tahun Baru Islam. Di Pakistan, Muharram adalah waktu di mana orang meratapi kematian Imam Hussain, cucu Nabi Muhammad S.A.W yang gugur dalam perang Karbala. Perang ini adalah lambang keberanian untuk mengorbankan nyawa untuk membela kebenaran dan melawan kebatilan. Puncak perkabungan Muharram adalah hari Ashura, jatuh pada tanggal 10 Muharram. Kata Ashura berasal dari bahasa Arab, artinya ‘kesepuluh’. Pada hari inilah Hussain gugur dalam pertempuran melawan pasukan Yazid, tahun 61 Hijriyah. Ashura adalah hari teramat penting bagi umat Syiah, sekitar 20 persen jumlahnya di kalangan Muslim Pakistan. Tetapi Ashura [...]

February 25, 2015 // 5 Comments

Titik Nol 124: Mehman

Puncak-puncak lancip pegunungan di Pasu (AGUSTINUS WIBOWO) “Aap hamare mehman hai. Anda adalah tamu kami,” kata seorang sopir truk dari Karimabad, yang – selain menolak menerima ongkos –  menawari saya sekotak biskuit dan sekaleng minuman. Saya hampir tak bisa berkata-kata menerima ketulusan persahabatan ini. Jika Anda menjelajah Pakistan, ada satu hal yang selalu hadir: keramahtamahan.  Dalam bahasa Urdu disebut mehmannavazi. Tak peduli betapa miskinnya orang-orang di negeri ini, bagaimana pun tingkat pendidikan dan latar belakang sosialnya, semuanya seakan berlomba menawarkan yang terbaik untuk para tamu. Mehman, sebuah konsep yang melekat dalam sanubari penduduk setempat. Begitu kuatnya, sampai saya jadi malu sendiri. Tuan rumah tak makan tak mengapa, asalkan tamu dijamu dengan limpahan makanan mewah. Tak ada uang tak mengapa, asalkan sang tamu tetap merasa nyaman. Menggigil kedinginan bukan masalah, asalkan sang tamu tetap hangat dan lelap. Dari Chapursan kembali ke Karimabad, saya harus melewati Kota Sost di perbatasan Pakistan-Cina. Harga karcis angkot Sost-Karimabad cuma 100 Rupee, sekitar 15 ribu. Tidak mahal. Tapi saya memutuskan berjalan kaki agar lebih menikmati keindahan lembah-lembah dan barisan gunung Karakoram. Kalau sudah capek, sesekali saya menumpang mobil yang melintas. Hari ini matahari bersinar cerah. Lembah tanpa sinar mentari di Chapursan menjadi kenangan. Barisan pegunungan Gojal [...]

February 12, 2015 // 2 Comments

Titik Nol 120: Seutas Jalan di Bibir Jurang

Pernahkah Anda mendengar tentang sebuah lembah yang dirundung kegelapan – tanpa mentari  – selama berbulan-bulan? Saya tertarik anjuran Wahid untuk belajar lebih banyak tentang kehidupan orang Tajik di chapursan. Seorang pemilik kios kecil di kota perbatasan Sost menambahkan, “Engkau harus ke Chapursan, mengalami siksaan hidup kedinginan tanpa sinar matahari!” Saya memberanikan diri pergi ke Chapursan, sebuah lembah yang tersembunyi di balik barisan gunung, di tengah musim dingin Hunza yang menggigit. Gilakah saya? Noorkhan tertawa tergelak-gelak. Pria kurus 30 tahun berkumis tipis ini tubuhnya dibalut selimut tebal. Musim dingin membuat orang Hunza jalan ke mana-mana dengan selimut terlingkar di pundak. “Chapursan dingin sekali,” katanya, “dan tidak banyak orang yang senekad kamu pergi ke sana di musim begini.” Jalan sempit di tepi jurang (AGUSTINUS WIBOWO) Tawa Noorkhan membuat saya sedikit ragu. Afiyatabad dan Sost yang berkelimpahan sinar matahari seperti ini saja masih dingin bukan kepalang. Kalau lepas sarung tangan beberapa menit saja, telapak tangan sudah membiru. Apalagi di lembah yang terjepit gunung, 60 kilometer jauhnya dari sini itu, seperti apa dinginnya? “Saya sebenarnya juga pendatang ke Chapursan,” lanjutnya, “saya memang lahir di Chapursan, tetapi tinggal di Karachi.” Bahasa Inggrisnya fasih, gerak-gerik tubuhnya menunjukkan tingkat pendidikannya yang tinggi. Noorkhan adalah orang penting di [...]

February 6, 2015 // 0 Comments

Titik Nol 114: Malam Sufi

Berputar… berputar… berputar… (AGUSTINUS WIBOWO) Asap hashish mengepul, memenuhi ruangan yang penuh sesak oleh ratusan pria ini. Genderang bertambur bertalu-talu, menghipnotis semua yang ada. Dua orang pria berputar-putar di tengah lingkaran, bergedek bak pecandu ekstasi. Semua lebur dalam kecanduan spiritual. Sufisme, dikenal juga sebagai tasawuf, adalah aliran mistis dalam Islam yang percaya bahwa mendekatkan diri kepada Tuhan tidak hanya bisa melalui satu cara saja, termasuk musik dan tarian. Di Asia Tengah dan anak benua India, Sufisme adalah bagian dari budaya Islam itu sendiri. Kamis malam, bulan bersinar terang merambah kegelapan, susasana kuburan Baba Shah Zaman di daerah kota tua Ikhra di Lahore seakan melemparkan saya ke alam magis. Daerah ini seakan hidup dalam dunianya sendiri, dalam dunia yang berbeda dengan hiruk pikuk modernitas kota Lahore. Saya menyusuri anak tangga menuju ke makam suci ini. Semua orang harus melepas sandal di depan pintu. Di balik pintu gerbang, ada halaman berlantai pualam. Di sini hanya ada laki-laki. Perempuan dilarang masuk. Ratusan pria berjubah shalwar kamiz berusaha menerobos masuk ke halaman sempit yang terbatas ini. Saya mendapat tempat di antara kerumunan pria berjenggot. Semerbak baru harum bunga mawar bercampur dengan asap yang mengepul di mana-mana. Bau hashish, candu, menusuk dalam-dalam. “Ini adalah cara [...]

January 29, 2015 // 7 Comments

Titik Nol 113: Qawwali

Musik qawwali, mistis dan menghanyutkan (AGUSTINUS WIBOWO) Hanya beberapa jengkal dari perbatasan India, denyut jantung kehidupan Pakistan langsung bervibrasi kuat. Ada dunia lain di balik garis perbatasan itu. Dalam sekejap, India yang penuh warna, pertapa Hindu miskin yang berkeliaran, orang yang tidur di atas trotoar, serta peziarah Sikh dengan surbannya yang khas, tinggal kenangan. Kota Lahore yang terhampar di hadapan terasa gersang. Debu beterbangan. Para pria mengenakan pakaian yang sama semua – celana kombor shalwar dan jubah kamiz yang panjangnya sampai ke lutut dengan belahan di kedua tepinya. Warna shalwar dan kamiz biasanya sama, memberikan aksen monoton. Perempuan hampir tidak nampak sama sekali. Kalaupun terlihat di jalan, hanya satu atau dua, mengenakan cadar hitam pekat dan hanya menyisakan sepasang mata saja. Selamat datang di Republik Islam Pakistan. Tubuh saya lemah karena penyakit yang saya derita. Nafsu makan saya sudah mulai normal, tetapi sekarang saya harus berhati-hati memilih makanan. Kalau di Amritsar kemarin saya masih bisa menenggak sup China yang lezat dan bergizi, di Pakistan saya kesulitan kesulitan mencari makanan. Semuanya berminyak. Gara-gara penyakit kuning ini, saya selalu mual kalau melihat minyak. Akhirnya, saya terpaksa duduk di restoran mewah bernama Pizza Hut, di pinggir jalan utama Mall Road. Restoran ini terletak [...]

January 28, 2015 // 5 Comments

Garis Batas 28: Kawan Lama dari Toktogul

Depresi Kyrgyzstan (AGUSTINUS WIBOWO) Dari Karakul saya melanjutkan perjalanan ke Toktogul. Sebuah memori indah mengantar saya ke sana. Dua tahun silam, saya terdampar di kota ini, berkenalan dengan dua orang sukarelawan Amerika, Rosa dan Jason, yang mengajar bahasa Inggris. Gelar mereka keren – Peace Corps. Lewat mereka saya berkenalan dengan seorang guru bahasa Inggris di desa itu. Inilah awal persahabatan saya dengan Satina Eje, atau Mbak Satina, guru desa yang tak pernah padam semangatnya. Betapa manis kenangan bersama wanita paruh baya yang ramah dan terus berceloteh tanpa henti tentang kehidupan di Kyrgyzstan. Ia menghabiskan waktu bersama putra satu-satunya, Maksat, yang sudah hampir lulus sekolah, di rumah kayunya di sebuah apartemen kuno di sebuah gang kecil di Toktogul. Rumah Satina seperti mesin waktu. Ada dinding kayu berbalut shyrdak – permadani sulam-sulaman khas Kyrgyzstan. Ada hiasan dinding bergambar Mekkah dan bertulis huruf Arab. Satina tidak tahu kalau tulisan itu berbunyi “Allah” dan “Muhammad”. Ada telepon yang masih menggunakan papan putar yang mengeluarkan bunyi gredek-gredek tiap kali nomornya diputar. Ada pula televisi hitam putih yang tabungnya super cembung. Ada koleksi foto-foto keluarga hitam putih ketika suami Satina masih hidup. Bagi Satina, semua ini adalah barang biasa. Bagi saya, setiap pernik rumah Satina adalah serpihan [...]

July 23, 2013 // 0 Comments

Kara Kul – Get Me Outta Here!!!

It;s beautiful. It’s surreal. But I wanna leave! I really regretted to refuse yesterday’s offer to take the truck lift to Kyrgyzstan. My Tajik visa is going to expire tomorrow (November 4) and I just found on Fridays (like today), transport is extremely difficult. The day is very cold and windy. I have to stand next to the main road, waiting for any vehicles. The first truck passes at 12 and it was full of passengers. The next two hours there was no vehicle at all passing the highway. Khurshid takes me to local stalovaya (canteen) and asks the girl to give me the best food. Khurshid promises to treat me, ‘a poor spion (spy) without money who has to travel on trucks’. I asked how much. The girl said, “Beker! Beker!” I jumped as I was surprised. This happened to be a fatal language misunderstanding. In Tajik Persian, the language which I understand, it means ‘no penis’. I explained to the girl that I had, but she only speaks Kyrgyz, and doesn’t understand my Tajik. Later I understood that it means ‘free of charge’ or ‘no cost’ in Kyrgyz. Khurshid laughed and ridiculed me, “I paid already with my [...]

November 3, 2006 // 0 Comments