Recommended

Badakhshan

Selimut Debu 74: Everything is Wrong in Afghanistan

Yang membuat aku lebih marah lagi adalah, ternyata aku sendirian di tengah kerumunan orang-orang pasar ini. Tidak ada yang menolongku berbicara. Si orang Tajikistan yang tadi bersamaku sudah kabur entah ke mana, mungkin mengira aku adalah orang yang penuh masalah. Kemarahanku yang lebih besar adalah, sesungguhnya ada beberapa orang asing di pasar ini. Ada Arnault, ada aku, ada pula si orang Tajikistan, juga kalau tidak salah ada orang India. Tapi mengapa hanya aku satu-satunya yang dikerumuni orang, diperiksa pasporku dengan tidak profesional dan tanpa tujuan? Dan gara-gara pemeriksaan tadi, aku ketinggalan kendaraan menuju Faizabad (Aku tidak mau menginap di Baharak, terima kasih!). Sekarang aku harus mencari lagi kendaraan yang sudah penuh penumpang. Aku sudah tidak tahu semarah apa aku jadinya, ketika tiba-tiba sebuah tangan keras mencengkeram pundakku. Tangan dari seorang lelaki berseragam yang lebih mirip seragam satpam. Aku harus ke kantor, katanya. Tentu aku menolak. Aku hanyalah turis yang menunggu bus, dan sekarang aku menjadi pusat perhatian begitu banyak orang-orang bosan di jalanan, dan menjadi objek permainan para polisi yang sebenarnya tidak mengerti apa itu paspor dan apa tulisan di atas paspor asing. Seorang lelaki berbahasa Urdu berbisik di telingaku. “Menurut sajalah. Tenang, ikuti kata mereka. Koi zabardasti nehi. Tidak [...]

February 6, 2014 // 0 Comments

Selimut Debu 73: Hadiah Ulang Tahun

Setelah perjuangan panjang dari Qala Panjah menuju Ishkashim (yang di luar dugaan, memakan waktu sampai tiga hari karena parahnya transportasi!), aku berjuang untuk melanjutkan perjalanan ke arah barat, moga-moga bisa mencapai Kedutaan Indonesia di Teheran untuk merayakan Hari Kemerdekaan 17 Agustus. (Nasionalisme? Mungkin ini gara-gara perbincangan dengan Arnault sebelumnya). Lagi pula, hari ini 8 Agustus adalah hari ulang tahunku yang ke-25. Semoga saja hari ulang tahun ini melimpahiku dengan keberuntungan. Amin. Jadi hari ini, kami berdua berangkat menuju Baharak, di mana aku bisa mendapat kendaraan menuju Faizabad, dan Arnault berbelok ke utara ke arah Danau Shewa. Orang Afghan ini punya konsep waktu yang aneh. Ketika kami masih sarapan jam 6 pagi, sopir memburu-buru kami katanya mobil segera berangkat. Tetapi setelah kami duduk manis di mobil, satu jam kemudian mesin baru dinyalakan dan dua jam kemudian kami baru meninggalkan Ishkashim. Matahari sudah sangat tinggi sedangkan perjalanan ke Baharak memakan waktu minimal tujuh jam. Sekarang semua berbalik arah. Dulu waktu berangkat dari Baharak ke Ishkashim, Baharak terasa seperti kota pasar yang membosankan tapi jalanannya teramat indah. Sekarang, sepulang dari Wakhan, jalanan bergunung-gunung ke Baharak terasa sangat datar, tetapi Baharak dengan barisan toko-tokonya terasa seperti metropolitan New York. Warung-warung, kios, pedagang asongan, penyemir [...]

February 5, 2014 // 1 Comment

Selimut Debu 72: Nilai Ke-Afghanistan-an

Aku berusaha keras menghindari Bakhtali. Tapi untunglah, kami berjalan dengan kecepatan yang jauh berbeda. Aku merayap lambat menyisir bebatuan, sementara dia melesat kilat seperti anak panah. Dalam kesendirian, aku menikmati pemandangan perbatasan yang begitu menakjubkan ini. Di sebelah kananku Tajikistan, di sebelah kiriku Pakistan, aku ada di tengah Koridor Wakhan yang sempit dan termasyhur itu. Tetapi kesepian ini sungguh menakutkan. Sepi yang sesepi-sepinya, selain suara angin dan debur arus sungai. Tak ada lagi orang lain yang bisa kumintai pertolongan, apalagi karena kedua kakiku semakin sakit karena berjalan terlalu jauh. Aku mulai berjalan pukul 1 sore, dan setelah dua jam berjalan kedua kakiku hampir lumpuh. Aku hanya bisa berjalan, dan terus berjalan, karena tidak ada pilihan lain. Tidak ada desa sama sekali di antara Aorgarch dengan Qala Panjah. Yang kulihat hanya ada tiga orang gembala, dan tidak ada manusia lainnya barang satu pun. Ah, andaikan saja ada jembatan yang menghubungkan jalanan ini dengan jalanan beraspal di seberang sungai sana. Tentu dengan mudah aku menumpang kendaraan bermotor, tanpa harus bersusah-payah seperti ini. Tapi… itu cuma mimpi. Yang di seberang sana, walaupun terlihat dekat, adalah tanah tak tergapai. Negara lain. Dunia lain. Ada garis batas tak tertembus. Setelah empat jam berjalan, langit sore [...]

February 4, 2014 // 3 Comments

Selimut Debu 71: Petualangan Sebuah Traktor

Di tempat seperti ini, kita tidak bisa pergi kapan pun kita suka. Transportasi sangat terbatas, dan aku hanya bisa menggantungkan jadwal perjalananku pada tumpangan. Untungnya, hari ini Juma Khan kebetulan mau ke Khandud karena ada urusan, jadi aku bisa menumpang traktornya sampai ke Khandud. Kesempatan ini tidak datang setiap hari. Walaupun kakiku masih sakit gara-gara berjalan kaki 40 kilometer beberapa hari lalu, dan aku sebenarnya masih ingin tinggal lebih lama di Kret barang dua hari lagi, aku memutuskan untuk ikut. Para penumpang gratisan ternyata juga bukan aku saja. Ada beberapa warga desa Kret yang juga gembira ada transportasi ke desa tetangga. Bahkan Bakhtali si moalem juga ikut menumpang. Ini karena jalanan di sepanjang sisi selatan Sungai Wakhan sangatlah susah dilewati kalau berjalan kaki, karena banyaknya sungai besar. Juma Khan tidak memungut bayaran apa pun. Tolong-menolong sesama manusia adalah jalan hidup di Wakhan. Di sini, kita tidak mungkin hidup sendiri. Toh kita juga pasti akan membutuhkan bantuan mereka. Jalanan sesudah Desa Baba Tangi juga kebanjiran, yang airnya sampai sedalam pinggang. Saking dalamnya, kami para penumpang harus melemparkan batu ke dalam air supaya traktor bisa lewat. Selanjutnya adalah jalanan mendaki yang sangat terjal ke atas bukit. Traktor kosong yang kurang beban ini [...]

February 3, 2014 // 6 Comments

Selimut Debu 70: Saudara Sebangsa

Para pria Pakistan ini memang katanya datang ke sini untuk membawa perubahan. Lihat celana modern dan jaket-jaket bulu yang mereka pakai. Coba dengarkan gemeresik radio yang mereka putar. Belum lagi mulut-mulut yang bercakap bahasa Inggris dengan fasih. Faizal-ur-Rahman, Juma Khan, dan yang lain-lainnya, datang dari Chapursan di Pakistan di balik gunung sana. Mereka menganut Islam Ismaili yang sama, bicara bahasa yang sama, tetapi betapa modernnya orang-orang ini di mata penduduk desa. Kelima belas orang ini umumnya adalah tukang batu dan tukang bangunan. Tugas mereka adalah membangun gedung sekolah di desa, proyek dari Central Asia Institute, sebuah NGO yang katanya cukup bermasalah. Ada yang menatah batu, ada yang mengangkut dengan traktor. Ada yang mengaduk semen, ada yang memasang tembok dan jendela. Penduduk desa kadang ikut membantu menyiapkan teh dan makanan kecil. Semua tidak sabar ingin melihat gedung sekolah mungil ini cepat selesai. Sekarang, anak-anak masih harus berjalan kaki empat kilometer untuk sampai di sekolah tenda berlogo UNICEF. Bukan berarti orang Wakhan miskin-miskin. Ada cukup banyak pula orang kaya di sini. Akimboy salah satunya. Juga Bulbul, yang rumahnya di bawah bayang-bayang puncak salju Baba Tangi. Nama Bulbul memang berarti burung bulbul. Ternaknya ada ratusan. Dua adik Bulbul sekarang tidak tinggal di desa. [...]

January 31, 2014 // 5 Comments

Selimut Debu 69: Terkunci Waktu

Waktu berjalan sekehendaknya, kadang cepat, kadang lambat. Musim panas, musim dingin datang silih berganti. Dan tak ada yang peduli. Coba tanyakan kepada orang-orang dari Dusun Kret ini, berapa musim panas yang telah berlalu dalam hidup mereka. Tak banyak yang tahu jawabnya. Si bocah pemungut kotoran kambing dengan bangga berkata umurnya sudah tiga setengah tahun. Anaknya tangkas, sudah bisa memanjat pohon dan meloncati batu di tepi jurang. Di mataku setidaknya ia pasti sudah berumur sepuluh tahun. Rajabmat mengaku 95 tahun. Kepalanya sudah ditumbuhi rambut-rambut putih. Bahkan daun telinganya pun berbulu putih. Dengan angka 95 itu, ia sudah menjadi orang yang paling tua yang pernah kutemui di desa ini. Tetapi angka itu meluncur begitu saja dari mulutnya. Siapa yang percaya? Orang bilang, Tila Khan adalah kakek paling tua di seluruh desa. Tetapi Tila Khan bilang “baru” berumur 80 tahun. Bagaimana membuktikannya? Akte kelahiran? Ah, itu barang dari dunia lain. Lembah ini hidup dalam dimensi waktunya sendiri. Sehari. Seminggu. Sebulan. Setahun. Sepuluh tahun. Tak ada bedanya. Masih musim panas yang itu-itu juga. Masih musim dingin yang sama menggigitnya. Waktu seakan tak pernah menggeser kehidupan di sini. Terperangkap. Terlupakan. Krek… krek… krek…. Derik bergema dalam kamar batu gelap. Zaman yang mana lagi ini, pikirku. [...]

January 30, 2014 // 1 Comment

Selimut Debu 68: Agama Kita Adalah Kemanusiaan

Terkadang aku lupa, ini adalah Afghanistan. Di sini tidak ada burqa, dan kaum perempuan begitu bebas bercengkerama di jalanan. Burqa tidak dikenal dalam kamus Bakhtali. Ia masih sering keseleo lidah menyebut kata itu, ”Bur-qa atau buq-ra? Apa sih namanya?” Bakhtali hanya tahu kata chadri, padanan kata burqa yang lebih banyak digunakan di sini. Bagi perempuan Ismaili di Wakhan, chadri sungguh adalah barang yang asing, namun terkadang mereka tak bisa menghindarinya. Bibi Sarfenaz, misalnya, pekerja sosial di Wakhan, selalu membawa chadri ke mana-mana. Ia adalah wanita tangguh, mengunjungi rumah-rumah penduduk di Desa Kret untuk survei. Ia bekerja untuk organisasi sosial milik Aga Khan. Dengan pengalaman kerjanya yang bertahun-tahun di wilayah umat Ismaili di Pakistan, kini ia kembali bekerja di kampung halamannya di Wakhan. “Orang Ismaili adalah pecinta kebebasan. Dan sudah seharusnya ada kebebasan terhadap perempuan, karena perempuan itu sejajar dengan laki-laki.” Bibi Sarfenaz berapi-api. Di Afghanistan, perempuan Sunni tidak pergi ke masjid. Tetapi kaum perempuan Ismaili bersama-sama dengan kaum prianya juga pergi beribadah di jemaatkhana, rumah ibadah orang Ismaili, tiga kali sehari. “Tetapi, kami juga terkadang harus memakai burqa,” lanjut Bibi Sarfenaz, ”yaitu ketika kami pergi ke kota. Di kota banyak orang-orang Sunni. Kalau tidak pakai burqa, mereka bilang darah kami [...]

January 29, 2014 // 13 Comments

Selimut Debu 67: Halusinasi

Asap mengepul dari pojok ruangan gelap rumah Bakhtali. Sumbernya bukan dari dapur atau perapian, melainkan dari sebuah pipa melengkung berbentuk tanda tanya. Seorang kakek tua berbaring di ruangan, mengisap dalam-dalam sambil meresapi kenikmatan pipa. Bakhtali mengambil tempat di sebelah kakek tua. Ia ikut menggerus sesuatu hingga menjadi bubuk, kemudian ditaruh dalam pipa, dan diisap asapnya. Aku bertanya, apa itu. “Taryak,” jawab Bakhtali kalem. Opium. Orang-orang Ismaili dari Lembah Wakhan ini memang dikenal akan tradisi mengisap opium. Aku sempat terkejut mencium aroma menusuk yang memualkan kini memenuhi seluruh ruangan. Si kakek tua terbaring menikmati surganya. Istri Bakhtali hanya duduk, di dekat perapian, mengamati teman suaminya yang tampaknya sudah langganan ke rumah ini. “Ini taryak,” kata Bakhtali sekali lagi, ”tapi percayalah. Aku tak akan mengisapnya. Ini barang jahanam.” Kakek tua mengisap dalam-dalam, menyemburkan asapnya ke arah Bakhtali. Bakhtali gelagapan. Godaan aroma asap itu menjebol daya tahannya. Tangannya gemetar. Ia meraih pipa tanda tanya itu dari kakek tua yang masih terbaring. Perlahan-lahan diisapnya, perlahan-lahan diembuskannya. “Aku tak akan mengisapnya. Ini barang jahanam,” ia masih berkata. Detik berikutnya ia sudah lupa ucapannya sendiri. Yang ada hanya ritual isap dan embus. Pufff…. Pufff…. Bergantian dengan kakek tua itu. Istri Bakhtali hanya merangkul kedua anak mereka, [...]

January 28, 2014 // 2 Comments

Selimut Debu 66: Nostalgia Komunis

Bagi sebagian orang, mimpi adalah masa lalu yang gemilang, sempurna, tanpa cacat. Itulah masa lalu yang sama sekali tak terbandingkan dengan realita hidup sekarang yang begitu terbelakang. Bakhtali, pria 35 tahun ini, masih hidup dalam masa lalunya. Gurat-gurat wajahnya menggambarkannya jauh lebih tua, tidak heran jika kuduga dia lebih dari 50 tahun. Kumisnya tebal tersekat antar hidung dengan bibir atas. Wajahnya keras. Tangannya pun keras. Sungguh berbeda dengan figur guru, atau mualem, sebagaimana ia biasa dipanggil penduduk Desa Kret. Dengan bangga dia menunjukkan serpihan-serpihan sejarahnya. ”Ini kartu anggota partai komunis.” Foto Bakhtali muda dalam lipatan kartu merah tampak sangat tampan dan gagah. Pandangan matanya tajam, wajahnya halus dan bersih. Bibirnya terkatup rapat. Inilah figur masa lalu seorang komunis yang sangat dibanggakannya. “Nah, kalau ini, tanda penghargaan kader komunis,” seringai Bakhtali, “langsung dari Presiden Najibullah!” Aku mengamati Bakhtali yang duduk di hadapanku. Mulutnya tak pernah terkatup rapat. Pandangan matanya kosong, kumisnya tebal, wajahnya gelap dan kasar, tak terawat. Benarkah ini Bakhtali yang sama dengan yang dibanggakan dalam kartu-kartu berlambang bintang dan palu arit? Ia masih hidup dalam masa lalu. ”Aku memang komunis,” katanya sambil menepuk dada, ”dan komunis itu baik.” Istri Bakhtali masuk membawa senampan cangkir dan poci teh, serta beberapa [...]

January 27, 2014 // 3 Comments

Selimut Debu 65: Kebahagiaan yang Sederhana

Hidup di Ghoz Khan begitu sederhana. Nyaris tanpa fasilitas apa pun. Tapi kedamaian, bebas dari ketakutan, adalah kebahagiaan hidup yang sangat mahal di Afghanistan. Dan di sini mereka berlimpah itu. Minimnya fasilitas menyebabkan mereka menaruh mimpi-mimpi tinggi pada Tajikistan. Tidak ada dokter, selain dokter Alex yang berpatroli dari desa ke desa. Tidak ada listrik, mereka masih hidup dalam kegelapan lampu minyak. Sayang, aku tak berkesempatan menyaksikan apakah benar realita Tajikistan itu sesuai dengan impian orang-orang di sini. Perjalananku dari Ghoz Khan tempat keriuhan pesta pembukaan perbatasan, menuju desa Kret ini sungguh berat. Di sekelilingku adalah gunung-gunung tinggi, padang rumput, aliran sungai deras, bebatuan raksasa, sementara aku seorang diri di tengah jalan setapak yang terkadang datar, terkadang menanjak, terkadang dibasuh jeram yang dalam. Berangkat dari Desa Ghoz Khan pagi-pagi buta, hingga menjelang senja sampai ke Desa Kret tempat Faizal-ur-Rahman, Juma Khan, dan orang-orang Pakistan lainnya bekerja. Sebenarnya orang-orang Pakistan itulah yang menjadi alasan perjalanan ini. Aku tidak tahu sejauh apa Kret dari Ghoz Khan. Yang kutahu hanya berjalan dan berjalan, melewati jalan berbatu dan sungai-sungai menggenang. Beberapa kali aku harus menyeberang sungainya yang mengalir deras, terkadang sambil meloncat-loncat mencari titian batu-batu besar—termasuk dalam deretan hal-hal yang paling tidak kusukai dalam perjalanan. [...]

January 24, 2014 // 6 Comments

Selimut Debu 64: Jembatan Menuju Impian

Jembatan kayu itu hanya tiga meter lebarnya, tak lebih dari dua puluh meter panjangnya. Sungai yang ada di bawahnya tak lebar, namun alirannya deras. Inilah jembatan tua yang akan mewujudkan impian orang-orang di lembah Wakhan ini. Jembatan-jembatan kayu dan reyot di pedalaman Koridor Wakhan sudah tua umurnya, seperti halnya jalan berdebu dari Ishkashim hingga ke sini. Semua pernah jadi saksi bisu kedatangan barisan tank Soviet yang menginvasi Afghanistan. Wakhan adalah salah satu pintu masuk para penjajah. Puluhan jembatan kayu dibangun untuk memuluskan jalan serdadu. Invasi itu mengubah jalan hidup Afghanistan, memundurkan peradabannya, membungkus kembali perempuan-perempuannya, mengawali pertumpahan darah berpuluh tahun, dan hidup manusia yang hanya digerayangi ketakutan dan kebodohan, hingga sekarang. Di seberang jembatan tampak tentara berjaga-jaga di belakang barikade gulungan kawat besi. Di sebelah kiri ada gambar bendera Tajikistan, di sebelah kanan ada gambar lambang negaranya. Persis seperti pintu masuk gang kecil di Indonesia. Ini adalah pintu masuk negeri impian, yang butuh perjuangan sangat panjang untuk menembusnya. Belasan tentara perbatasan anak buah Sakhi sibuk mempersiapkan prosedur—seperti layaknya operasi militer. Ada yang mengontak kantor pusat di Khandud dengan radio, ada yang mempersiapkan dokumen, tetapi kebanyakan hanya berkerumun, kemudian berpatroli sambil menenteng Kalashnikov. Di seberang sungai sana, selain kawat besi dan [...]

January 23, 2014 // 1 Comment

Selimut Debu 63: Poyandah Namaku

Malam ini sesungguhnya adalah malam yang penuh pengharapan. Orang-orang ini ternyata berkumpul di rumah Shah karena besok akan terjadi peristiwa bersejarah. Jembatan akan dibuka, menghubungkan langsung mereka dengan Tajikistan. Betapa susahnya kehidupan di sisi sungai ini, di negeri bernama Afghanistan. Sekolah sangat jarang, rumah sakit tidak ada, dan listrik hanya dihasilkan oleh generator pribadi. Jangan lupa pula, pasar terdekat ada di Ishkashim, dua hari perjalanan paling cepat kalau naik mobil, atau tiga hari jalan kaki. Seketika, negeri lain pas di seberang sungai sana menawarkan impian. Tajikistan sebentar lagi akan mereka rengkuh. Tajikistan akan membuka perbatasannya dengan dusun-dusun Wakhan. Adakah hal lain yang lebih baik daripada itu? “Kita bisa ke rumah sakit,” kata Wali Muhammad, “anak-anak kita bisa sekolah di sana.” “Listrik juga bisa masuk sini,” kata kakek tua beserban. “Kita bisa belanja ke pasar,” kata Khan Jon. “Kamu mau ikut? Kita besok belanja ke bazaar di Tajikistan sana” tanya Ghulam Sakhi. Tapi aku tak punya visa. Ghulam Sakhi sigap menjawab, “Jangan khawatir. Aku akan menyelundupkanmu!” Mereka bilang, wajahku sudah seperti orang Afghan. Aku cukup pura-pura bisu saja, beres. Mereka bahkan memberiku nama: Poyandah Iskashim, putra dari Rajab. Ya, namaku Poyandah Iskhashim bin Rajab. Inilah nama samaran yang harus kuhafal, jangan [...]

January 22, 2014 // 6 Comments

Selimut Debu 62: Agama Bukan di Baju

Traktor Juma Khan membawaku, Ghulam Sakhi, dan para penumpang lain hingga ke Qala Panja. Dari semua desa di tanah Wakhan ini, Qala Panja adalah yang paling terkenal. Namanya disebut-sebut dalam berbagai catatan perjalanan berabad silam. Karavan kuda yang membawa barang-barang dagangan dari Konstantinopel hingga ke negeri Tiongkok, pernah lewat di sini. Medan pegunungan Wakhan dan Pamir yang berat memaksa para saudagar mengganti kuda beban dengan keledai atau yak di Panja. Dalam catatan perjalanan yang dibuat Hsuan Tsang, disebutkan bahwa benteng-benteng kuno bertebaran antara Ishkashim hingga Qala Panja dan Yamchum (di seberang sungai, wilayah Tajikistan). Wilayah ini adalah sebuah kerajaan bernama Xiumi (Wakhan) yang beribu kota di Saijiazhen (Ishkashim). Kata Qala dalam nama Qala Panja memang berarti benteng, dan reruntuhan benteng kuno itu masih terlihat. Di sinilah Koridor Wakhan berakhir. Lidah sempit Afghanistan yang dimulai dari Ishkashim digantikan sebuah lidah besar yang dikelilingi Tajikistan, Pakistan, dan Cina. Qala Panja adalah tempat kediaman pemimpin besar Muslim Ismaili di seluruh tanah Wakhan, mulai dari Ishkashim hingga ke Boroghil. Namanya Said Ismail. Gelarnya Shah, yang berarti raja, atau lengkapnya Shah-e-Panja, sang raja dari Panja. Kedudukannya adalah pir, pemimpin komunitas umat Ismaili di seluruh Wakhan. Aku turun dari traktor, bersama Ghulam Sakhi dan Wali Mohammad, [...]

January 21, 2014 // 2 Comments

Selimut Debu 61: Dunia Begitu Kecil

Aku tak punya pilihan. Tidak ada rencanaku menginap di Khandud. Bahkan membayangkan pun aku tak pernah. Ada sejumput amarah bergemuruh di dalam diri, sopir yang kubayar ternyata mengantarkanku ke tempat lain yang bukan tujuanku. Kami masuk rumah Bashir, duduk melingkar di ruang tamu. Bashir langsung lenyap ke dalam rumah. Kegelapan menyelimuti ruangan ini. Matras-matras panjang digelar. Aku mengambil tempat di pojok. Waduj dan Haji Samsuddin di pojok lain. Sunyi. Senyap. Tak ada yang bicara. Mungkin semua lelah? Mungkin semua bingung? Komandan Sakhi tidak betah dengan kesunyian. Suaranya menggelegar. ”Hai, kamu semua tidak bisa bicara ya? Bisu ya?” Dia memang komandan, kata-katanya seakan menghipnotis. Samsuddin dan Waduj tiba-tiba mengobrol sembarang topik, memecah kesunyian. Tidak berapa lama, segunung nasi putih disajikan berwadah piring lebar dan panjang. Puncaknya tidak lancip seperti tumpeng, tetapi dengan kaldera seperti Bromo. Dalam cekungan di puncak gunungan nasi itu terdapat danau minyak bening. Dua piring lebar ditaruh di atas tikar, dikelilingi para lelaki yang wajahnya ikut berkelap-kelip bersama sinar lampu petromaks. Makan malam kami ini disediakan oleh keluarga Bashir. Ayah dan paman Bashir ikut bergabung bersama para tamu. Ini adalah kewajiban tuan rumah. “Kamu mau ke mana?” Sakhi bertanya padaku. Boroghil, aku menjawab. Dia tertawa. “Boroghil terlalu jauh. [...]

January 20, 2014 // 5 Comments

Selimut Debu 60: Bertualang di Garis Batas

Negeri itu begitu dekat, bagaikan film tiga dimensi yang diputar di depan mata. Wakhan dan Tajikistan hanya dipisahkan oleh Sungai Amu. Tajikistan terlihat di mana-mana di sepanjang Koridor Wakhan. Tajikistan terlihat seperti tembok gunung tinggi, terkadang diselingi lembah hijau, tepat di seberang sungai besar yang bergejolak marah. Bahkan mobil-mobil, kuda, keledai, dan barisan tiang listrik dari negeri tetangga itu dapat dilihat dari Afghanistan. Dekat di mata, jauh di kaki. Tajikistan mungkin sejauh langit, atau bahkan lebih jauh. Di sisi sungai sebelah sini, hidup begitu berat dan penuh kekurangan. Meninggalkan Ishkashim, menyusuri tepian Sungai Amu di sisi Wakhan, jalanan semakin buruk. Sudah bukan lagi jalan makadam yang bisa dilalui mobil, tapi benar-benar padang liar yang penuh dengan jeram dan kubangan. Jalan ini sering kebanjiran, dan beberapa daerah sangat berlumpur, sehingga mobil yang sanggup melewati medan seperti ini adalah jip Rusia yang tangguh, 4WD, dan traktor. Berkubang bukanlah monopoli kerbau saja. Di Wakhan, mobil pun berkubang. Jip Rusia kuno yang kutumpangi dari Ishkashim terseok di dalam pasir, tenggelam hampir separuh roda. ”Khoda-e-man! Ya Tuhanku!” teriak Hamid si sopir jip kurus yang masih belia dan berkulit putih, ketika mobil terperosok ke luberan air di tanah berpasir. Aku melompat turun. Tinggi air selutut. Arusnya [...]

January 17, 2014 // 2 Comments

Selimut Debu 59: Melihat Dunia Luar

Di zaman sekarang, informasi tentang dunia luar jauh lebih mudah didapatkan. Orang Afghan tidak perlu harus menjadi pengungsi dulu untuk melihat kehidupan di dunia luar. Cukup menyalakan televisi, dan voila, fantasi semua penonton digiring pada sebuah kehidupan di dunia yang sama sekali berbeda. Sekarang acara lagi yang populer di televisi Afghanistan, selain siaran berita, adalah sinetron India yang judulnya “Ibu Mertua Juga Pernah Jadi Menantu.” Anehnya, acara opera sabun yang tidak habis-habis ini justru menjadi favorit para lelaki Afghan yang tampak berjenggot dan beringas. Sumber informasi lainnya bagi orang-orang di Ishkashim datang dari para tentara asing. Hari ini, para tentara gabungan mancanegara (ISAF) datang dan menyebarkan buletin publikasi (atau propaganda) mereka yang berjudul ISAF News. Dalam bahasa Farsi, nama buletin ini berjudul Sada ye Azadi, yang artinya “Suara Kemerdekaan”. Dua mobil baja besar berisikan tentara Denmark singgah di Ishkashim. Dalam sekejap mereka dikelilingi para penduduk desa yang begitu gembira menerima pamflet informasi dengan gambar-gambar berwarna. ISAF News terdiri dari beberapa halaman, terlihat seperti koran, ditulis dalam tiga bahasa: Inggris, Farsi, dan Pashto. Isinya beraneka ragam, mulai dari foto-foto Piala Dunia, cerita humor Molla Nasruddin, berita dunia, kegiatan ISAF (sepertinya ini yang menjadi poin utama). Bagian yang menarik adalah sebuah kolom [...]

January 16, 2014 // 5 Comments

Selimut Debu 58: Masih Tidur

Pagi bermula dengan begitu damai di Ishkashim. Pagi yang biasa, sejuk yang biasa, dan kemalasan yang biasa ala daerah pegunungan. Para lelaki di toko roti mulai sibuk membuat roti nan yang datar dan panjang. Mereka membuat roti dengan meletakkan adonan tepung yang sudah berbentuk di dalam tungku bokhari di dalam lobang di bawah tanah, dengan api yang menjilat-jilat langsung ke permukaan roti. Hasilnya adalah roti tebal yang renyah saat hangat. Para bocah di restoran baru saja menikmati sarapan dengan mencelupkan serpihan-serpihan roti ke dalam semangku teh susu yang asin rasanya. Ishkashim adalah juga sebuah kota pasar. Jalanan utamanya hanya segaris, merupakan jalan sempit berlumpur yang pada kedua sisinya berbaris toko-toko dan kios-kios kecil. Barang yang mereka jual kebanyakan buatan China, tetapi mungkin dalam waktu dekat akan dimeriahkan dengan barang-barang produk negeri-negeri Asia Tengah. Katanya ada rencana untuk membuka zona perdagangan bebas di sebuah pulau di tengah Sungai Amu, sehingga para pedagang dari kedua sisi perbatasan bisa bertransaksi dengan mudah tanpa harus mengurus visa. Ini diharapkan bisa memacu perdagangan antara Afghanistan dan Tajikistan Barang Indonesia pun sudah mencapai sudut terjauh Afghanistan ini. Setidaknya, kita bisa melihat foto-foto Ikke Nurjannah yang tersenyum di atas pembungkus sampo sachet Emeron, atau juga meneguk teh [...]

January 15, 2014 // 4 Comments

Selimut Debu 57: Mengintip Tajikistan dari Afghanistan

Kepalaku pusing, aku hampir tak sanggup melangkah ketika polisi menyeretku ke ruang wawancara. Dia mengamati pasporku. Tapi dia memang tidak kenal huruf, pasporku dibaca terbalik, atas ke bawah. Aku harus minta izin darinya, karena aku sudah tidak sanggup lagi mengendalikan diareku. Kantor polisi ini punya toilet, tapi tidak ada air. Aku tidak punya kertas. Jadi dia menyuruhku menyelesaikan urusanku di balik pepohonan, dan mencuci diri dengan air di selokan. Ketika aku kembali dari urusan berhajat, pasporku dikembalikan. Tanpa dia melakukan apa-apa dengan paspor itu. Katanya, dia juga tidak tahu mau diapakan pasporku itu. Aku diminta datang lagi besok, karena komandan yang bertugas mengurusi orang asing sepertiku sudah tidur. Jam 4 sore si komandan sudah tidur? Mungkin juga dia kena diare seperti aku? Petugas itu tak jawab. Ah, sudahlah. Aku pergi ke warung yang ada di seberang jalan. Aku beristirahat di sini. Di Afghanistan, kita bisa menginap di warung atau kedai teh gratis asalkan kita makan di  sini. Warung punya kewajiban mengurusi para musafir. Berkat kode keramahtamahan Afghan inilah, aku bisa bertahan di negeri yang keras dan sulit ini. Bocah kecil yang bekerja di warung menyiapkan matras di lantai, juga selimut tebal supaya aku bisa tidur siang. Dia menyiapkan seteko teh, [...]

January 14, 2014 // 3 Comments

Selimut Debu 56: Ladang Candu

Jarak dari Faizabad menuju kota Ishkashim di timur hanya 160 kilometer. Tetapi seperti halnya seluruh jalanan di Badakshan, jalanan ini pun berdebu, tidak beraspal. Transportasi sangat sulit dan tidak terjamin. Provinsi yang sejuk ini termasuk daerah paling tertinggal di Afghanistan. Bahkan ibukota provinsi pun sama sekali tidak memiliki jalan beraspal. Selama di Faizabad aku tinggal di rumah seorang jurnalis merangkap petani bernama Jaffar Tayyar, di pinggiran kota. Seperti biasa, semua kendaraan umum jarak jauh berangkat pagi-pagi buta karena bepergian di negeri tanpa jalan beraspal dan tanpa listrik di malam hari sangatlah berbahaya. Untuk mencapai terminal bus Faizabad, aku harus meninggalkan desa tempat tinggal Tayyar sejak pukul 4 subuh. Tidak ada kendaraan yang langsung menuju Ishkashim. Semua harus berhenti dulu di Baharak, 42 kilometer atau sekitar 2 jam perjalanan dari Faizabad, dengan ongkos Af 150 (US$3).  Baharak adalah dusun pasar yang teramat biasa. Di sinilah kita bisa menemukan kendaraan menuju Ishkashim. Semua kendaraan baru berangkat ketika penumpang penuh, tapi Ishkashim bukanlah tujuan yang umum, sehingga jadi berangkat atau tidaknya sangat tergantung pada keberuntungan. Aku beruntung karena ketika aku tiba di Baharak, ada sebuah kendaraan Toyota 4WD (yang bertuliskan besar-besar “ATOYOT”, mungkin yang menulis adalah orang Afghan yang terbiasa menulis dari kanan [...]

January 13, 2014 // 4 Comments

Selimut Debu 55: Perjalanan Menuju Badakhshan

Kendaraan yang membawa penumpang dari Taloqan menuju provinsi tetangga Badakhshan sudah sibuk sejak pagi-pagi buta. Pukul 5, langit masih gelap, tapi bus-bus sudah penuh dan siap berangkat. Ada beberapa jenis kendaraan umum di Afghanistan, tergantung dari model mobilnya. Mulai dari yang paling murah, falancoach (sebuah korupsi dari nama flying coach) hingga mobil Volvo yang nyaman dijamin mahal. Aku memilih falancoach, karena aku pencinta kemurahan. Tapi aku datang terlambat. Setelah pukul 5:30, penumpang sudah mulai jalan. Mobil hanya berangkat kalau penumpang penuh, dan kebanyakan para penumpang memilih untuk berangkat sebelum matahari terbit. Baru pukul 7, mobil ini berhasil mengumpulkan penumpang dan kami bertolak dari Taloqan. Aku duduk di baris ketiga. Mobil ini sejatinya berkapasitas menampung 14 penumpang, tapi dipaksa  mengangkut 18 orang. Di depanku ada dua orang perempuan memakai burqa. Kelihatannya, yang satu adalah wanita muda dan kurus, merupakan anak dari perempuan yang satunya. Ketika aku bersiap duduk, mereka sudah duduk di sana dan sibuk mengurus tiga anak kecil. Di samping mereka juga ada bocah lelaki lain, yang tentunya adalah kerabat mereka, karena di Afghanistan laki-laki yang bukan mahram dilarang duduk di samping penumpang perempuan. Para perempuan itu sangat terkejut begitu aku masuk mobil, hanya karena aku orang asing. Laki-laki pula. [...]

January 10, 2014 // 3 Comments

1 2