Recommended

bahasa

Garis Batas 75: Bahasa Uzbek

Bahasa Uzbek, huruf Rusia masih terlihat di mana-mana (AGUSTINUS WIBOWO) Konon Lembah Ferghana adalah pusat peradaban bangsa Uzbek. Orang-orangnya bicara bahasa Uzbek yang paling murni dan halus. Saya merasakan kesopanan yang luar biasa, karena orang tua di Lembah Ferghana bahkan menyapa anak-anaknya dengan siz – Anda, dan bukannya san – kamu – seperti orang-orang Uzbek di tempat lain.  Bagaimanakah asal-muasal Bahasa Uzbek? Ratusan tahun lalu, bahasa ini masih belum lahir. Yang ada adalah bahasa Turki Chaghatai, dari rumpun bahasa Altai. Sama seperti ketika itu nama Bahasa Indonesia belum ada, karena orang hanya kenal bahasa Melayu. Bahasa Uzbek menjadi penting, ketika tahun 1920’an, etnis-etnis Asia Tengah ‘ditemukan’, dan masing-masing bangsa harus punya bahasanya sendiri.  Pertanyaannya, bahasa yang mana yang layak menjadi Bahasa Uzbek? Sebelum tahun 1921, yang disebut ‘Bahasa Uzbek’ adalah bahasa Kipchak, yang dipakai di sekitar Bukhara dan Samarkand. Bahasa ini sangat rumit, karena seperti halnya bahasa Kirghiz, juga punya banyak aturan keharmonisan vokal. Pada saat itu, bahasa Qarluq yang dipakai di Ferghana dan Kashka-Darya dikenal sebagai Bahasa Sart. Tata bahasanya lebih mudah, karena tidak memakai harmonisasi vokal. Bahasa Sart, dipakai oleh umat Muslim yang sudah tidak nomaden, kaya akan kosa kata dari Bahasa Arab dan Persia. Selain itu, di [...]

September 26, 2013 // 5 Comments

Garis Batas 69: Cermin Gulshan, Cermin Halmiyon (1)

Presiden kita, kebanggaan kita. (AGUSTINUS WIBOWO)) Desa Gulshan di selatan kota Ferghana ini memang tidak tampak istimewa. Deretan rumah berbaris di sisi sebuah gang sempit yang tidak beraspal. Dari depan rumah kita tidak bisa melihat kehidupan si empunya rumah. Kultur orang Uzbek membungkus rumahnya rapat-rapat di balik tembok. Inilah satu hal yang membuat tempat ini berbeda. Orang-orang yang rumahnya di berada di sisi kiri gang memegang paspor Uzbekistan, sementara di sebelah kanan adalah warga negara Republik Kirghizia. Saya masih terpesona dengan lapangnya ruang tamu di rumah Temur Mirzaev, seorang kawan Uzbek yang belajar Bahasa Indonesia di Tashkent. Ruangan ini begitu lapang, karpet-karpet merah menyala menghiasi dinding. Tiga buah bohlam lampu menggantung tersebar begitu saja di sudut-sudut ruangan. Tiba-tiba satu bohlam mati. Yang dua tetap nyala.             “Listrik Uzbekistan putus,” kata Saidullo. Listrik Uzbekistan? Maksudnya? “Lampu tadi disambung dengan listrik dari Uzbekistan,” jelas Saidullo, “sedangkan yang dua ini pakai listriknya Kyrgyzstan. Musim dingin begini, biasa, listriknya Uzbekistan sering putus.” Ketika rumah-rumah lain kegelapan gara-gara pemadaman listrik mendadak, rumah ini tak akan pernah gelap gulita karena ada cadangan listrik dari negara tetangga. Rumah Temur berada di sisi jalan yang menjadi wilayah Kyrgyzstan. Kakek Hoshim, Nenek Salima, Saidullo, istri Saidullo dan [...]

September 18, 2013 // 0 Comments

Garis Batas 58: Orang Tajik dari Bukhara

Gadis penenun dari Bukhara. (AGUSTINUS WIBOWO)) Masih ingat Dushanbe, ibu kota Tajikistan, yang berkilau di bawah kebesaran patung Ismail Somoni di tengah Jalan Rudaki? Di sini, di Bukhara, ada makamnya Ismail Samani, atau Somoni menurut ejaan Tajikistan. Orang-orang Bukhara pun bicara Bahasa Tajik. Tetapi yang berkibar di sini adalah bendera Uzbekistan. Di antara kakak-beradik Stan, Uzbekistan dan Tajikistan adalah yang paling dekat kekerabatannya secara kultural dan historis. Susah membedakan mana yang murni kultur Uzbek, mana yang eksklusif punya Tajik. Pria-prianya memakai jubah chapan dan topi doppi yang sama. Perempuannya juga sama-sama suka pakai daster ke mana-mana di siang hari bolong. Baik orang Uzbek maupun Tajik sama-sama mendecakkan lidah di gigi belakang sebagai pengganti kata ‘tidak’. Adat pernikahan, perkabungan, arsitektur rumah, tata krama, semuanya mirip. Bangsa Uzbek dan Tajik sudah lama hidup menetap, memeluk Islam, dan saling berinteraksi satu sama lain selama berabad-abad. Perkawinan antar suku pun sudah berlangsung sejak zaman nenek moyang mereka. Perbedaan yang paling mencolok antara orang Uzbek dan Tajik adalah bahasa. Bahasa Uzbek masih sekeluarga dengan Bahasa Turki, sedangkan Tajik sekeluarga dengan Bahasa Persia di Iran. Raut wajah pun kalau diperhatikan betul-betul, memang sedikit berbeda. Orang Uzbek ada kesan-kesan Mongoloidnya, dengan mata yang agak lebih sipit. Nenek [...]

September 3, 2013 // 1 Comment

Garis Batas 55: Dua Bait

Tukang sepatu dari Bukhara (AGUSTINUS WIBOWO)             “Lihat, ini Bukhara kita,” kata Suhrat penuh bangga, ketika kami melintasi Masjid Kalon subuh-subuh. Gelap masih membungkus bumi. Masjid kuno berhadapan-hadapan dengan madrasah besar yang tidak kalah uzur sejarahnya. Sunyi, namun tak bisu. Ini bukan kali pertama saya datang ke sini, tetapi tetap saja saya terpekur di bawah keagungan gedung-gedung tua yang menyinarkan keluhuran peradaban Islam dan Persia. Bulan begitu bundar, membilas menara masjid yang tinggi menjulang. Siapa yang tidak tunduk di bawah keagungan Buxoro-i-Sharif, kota Bukhara yang suci. Sudah beberapa hari ini saya menginap di rumah Suhrat, seorang pemuda Tajik dua puluhan tahun dari Bukhara. Rumahnya tepat di tengah kota tua Bukhara, dikelilingi bangunan-bangunan kuno yang semuanya berwarna coklat. Bukhara laksana mesin waktu raksasa, melemparkan semua orang ke sebuah masa kejayaan peradaban Asia Tengah. Shokir, ayah Suhrat, adalah penjual sepatu. Bukan sembarang sepatu, tetapi sepatu tradisional dari kulit, berujung lancip dan berhias sulam-sulaman indah. “Bukhara adalah kota kuno, kota budaya, kota peradaban,” kata Shokir dalam bahasa Tajik, “ini adalah kotanya para seniman, di mana seni menjadi nafas dan detak jantung kehidupan.” Shokir berusia empat puluhan. Garis wajahnya sangat keras, khas orang Tajik. Hidungnya mancung, matanya besar, dan alis matanya tebal [...]

August 29, 2013 // 0 Comments

Garis Batas 52: Asyiknya Belajar Bahasa Indonesia

Pelajar bahasa Indonesia di Tashkent (AGUSTINUS WIBOWO) Ternyata bukan hanya tari-tarian Indonesia yang ikut menyemarakkan keindahan khasanah budaya Uzbekistan, orang-orang Uzbek pun mulai belajar bahasa nasional kita. Gedung yang terletak di jantung kota Tashkent ini bernama Tashkent State Institute of Oriental Studies. Di sinilah Temur Mirzaev, mahasiswa asal Lembah Ferghana berusia 20 tahun, mendalami Bahasa Indonesia. Temur boleh dikata adalah mahasiswa yang kemampuan bahasa Indonesianya paling menonjol diantara mahasiswa lainnya. Selain menjadi yang terbaik di sekolahnya, ia juga berhasil mendapat beasiswa satu tahun belajar Bahasa Indonesia di Surabaya, mengikuti program Dharmasiswa yang ditawarkan pemerintah Indonesia melalui KBRI. Tak heran dia sama sekali tidak kesulitan bercakap-cakap dalam Bahasa Indonesia dengan saya. Bahkan ia sesekali menggunakan kata-kata bahasa gaul yang otentik, seperti cuek, curhat, nih, dong, deh. “Saya sangat suka Surabaya, Mas Jagoan,” kata Temur bercerita, “saya suka kulturnya, budayanya, alamnya…” Kebetulan nama Temur, dibaca ‘Timur’, pas sekali dengan propinsi Jawa Timur. Di Surabaya Temur tinggal di kost-kostan di tengah gang kampung dan sempat menghadiri acara pernikahan tradisional Jawa Timuran di Kediri. Temur pun terbiasa makan nasi putih, mie instan, dan menjalani kehidupan kampung. Mungkin karena kenang-kenangannya akan Surabaya dan Indonesia, ia menjuluki saya ‘Mas Jagoan’. [...]

August 26, 2013 // 1 Comment

Garis Batas 51: Ada Indonesia di Uzbekistan

Ozoda dan murid-muridnya (AGUSTINUS WIBOWO) Tidak banyak negara seperti Uzbekistan. Bukan hanya terkunci daratan, semua negara yang mengelilinginya di keempat penjuru pun sama-sama tak punya lautan. Demikian jauhnya Uzbekistan dari laut, sampai ke utara, selatan, timur, barat, untuk mencapai lautan harus lewat setidaknya dua negara. Tetapi itu bukan berarti orang sini tidak peduli dengan Indonesia, negeri romantis berdebur ombak nun jauh di seberang lautan sana. “Setangkai anggrek bulan…, yang hampir gugur layu….” lagu tempo doeloe mengalun lembut di gedung kepemudaan Samarkand, kota bersejarah Uzbekistan yang terkenal dengan untaian monumen peradaban. Para penonton yang terkesima, ikut berdiri, dan mengayun-ayunkan badannya mengikuti irama lagu kepulauan yang mendayu-dayu. Kalau tidak diberi tahu bahwa yang menyanyi bukan orang Indonesia, melainkan orang Uzbek tulen, saya pun tak percaya. Lafal penyanyinya fasih, iramanya pas, dan emosinya sudah tepat, walaupun kemudian saya menemukan bahwa penyanyinya sendiri tidak tahu apa artinya. Tepuk tangan bergemuruh mengakhiri persembahan lagu Indonesia oleh sepasang penyanyi Uzbek itu. Pertunjukan kemudian dilanjutkan dengan tari-tari tradisional, yang nama-namanya pun tidak semuanya saya kenal, macam Badinding, Sukaria, Piring, Batik, Puspito, dan Yapong. Semuanya dibawakan oleh pelajar-pelajar Uzbek dari Samarkand, dan saya hanya bisa terkesima. Saya dibawa ke sini oleh staff penerangan Kedutaan Besar [...]

August 23, 2013 // 1 Comment

Garis Batas 42: Timbuktu

Apartemen, Karaganda (AGUSTINUS WIBOWO) Semua kota boleh punya sejarah. Tetapi, tak semua sejarah kota-kota Kazakhstan indah untuk dikenang. Karaganda adalah salah satunya.Dalam perjalanan kembali ke Almaty, saya menyempatkan singgah ke Karaganda, kota terbesar keempat Kazakhstan yang terletak hanya 200 kilometer di selatan Astana. Karaganda sempat dinominasikan sebagai calon ibu kota baru pengganti Almaty, tetapi akhirnya tempat terhormat itu direbut oleh Astana. Sama seperti Astana, dulunya kota ini sangat terpencil. Kalau kita sering menggunakan Timbuktu untuk melambangkan tempat middle of nowhere di ujung dunia, orang-orang Rusia punya Karaganda. Kota ini adalah Timbuktu-nya Uni Soviet, di tengah padang gurun luas tempat tinggalnya bangsa pengembara yang terbelakang, tempat pembuangan orang-orang yang hidup untuk dilupakan. Karaganda bermula dari batu bara yang ditemukan di dekat kota ini. Sebagai penghasil tambang, Karaganda menarik datangnya para pekerja paksa yang tinggal di kamp-kamp di sekitar kota.  Para budak inilah yang kemudian membangun kota di ujung dunia ini, dan di sini pulalah ratusan budak yang memberontak dibantai habis. Karaganda berdiri di atas genangan darah para budak. Sekarang pertambangan di Karaganda sudah tidak seaktif dulu lagi, tetapi nama Karaganda masih belum bersih. Timbuktu-nya Kazakhstan ini ternyata punya angka pengidap HIV tertinggi di seluruh negeri. Langit Karaganda kelabu. Asap mengepul dari [...]

August 12, 2013 // 0 Comments

Garis Batas 35: Pelarian

Sumpit tak pernah absen di meja makan keluarga Dungan (AGUSTINUS WIBOWO) Bagaimana bangsa Dungan bisa sampai di sebuah desa mungil di pelosok negeri Kirghiz ini? Di negeri ini, identitas mereka sebagai bangsa minoritas sering dipertanyakan. Mereka meninggalkan negeri leluhur di Tiongkok sana dalam sebuah pelarian, meninggalkan bentrokan identitas yang kini disusul pergesekan identitas yang lain. Apakah identitas itu? Anda bisa menjadi seorang bapak, seorang pegawai kantor, seorang warga Jakarta, warga Indonesia, seorang Muslim, seorang pendukung globalisasi, atau seorang pendukung emansipasi wanita, sekaligus pada saat bersamaan. Seorang manusia bisa punya sejumlah identitas sekaligus, ada yang saling mendukung, ada yang saling bergesek.  Demikian pula halnya dengan bangsa. Ada jati diri yang menyatukan beribu manusia yang menyatakan diri sebagai anggota dari golongan yang sama. Di Asia Tengah, pertanyaan tentang identitas suku bangsa semakin kompleks ketika Uni Soviet memutuskan untuk memecah dataran luas ini menjadi beberapa negeri Stan, yang masing-masing dihuni oleh suku-suku yang bersama-sama lahir dalam pencarian identitasnya masing-masing. Apa itu Kirghiz? Siapa itu Uzbek dan Tajik? Pertanyaan-pertanyaan ini baru muncul tak sampai seabad lalu ketika garis-garis batas negara mulai dicoret-coret di atas peta kawasan ini. Pencarian identitas semakin rumit, karena Asia Tengah tidak dihuni oleh lima suku bangsa yang sudah jelas definisi [...]

August 1, 2013 // 0 Comments

Garis Batas 34: Dungan

Muslim Kirghiz dan masjidnya (AGUSTINUS WIBOWO) Perkenalan saya dengan Dungan (baca: Dunggan) berawal dari ketertarikan saya terhadap makanan China yang banyak bertebaran di kota Bishkek. Bukannya berpapan nama “Chinese Restaurant“, warung-warung ini malah berjudul “Dunganskaya Kukhnia“, artinya “Depot Dungan”. Begitu memasuki ruangan bawah tanah semua warung masakan Dungan di dekat Kedutaan Iran, saya merasa seakan kembali lagi ke negeri China. Makanan yang disajikan sama persis dengan yang ada di Tiongkok sana. Baunya. Hiruk pikuknya. Asapnya. Wajah orang-orangnya. Bahkan sayup-sayup terdengar para koki yang berteriak-teriak dalam bahasa China. Siapakah orang-orang Dungan ini? Rasa ingin tahu membawa saya ke Tokmok, sebuah kota kecil 70 kilometer di sebelah timur Bishkek, yang merupakan basis komunitas Dungan terbesar di seluruh negeri Kyrgyzstan. Terletak di dekat Sungai Chuy yang menjadi perbatasan dengan Kazakhstan di utara, Tokmok adalah kota kecil tempat berkumpulnya berbagai bangsa – Kazakh, Kirghiz, Uzbek, Uyghur, dan Dungan. Di dekat pasar kota terdapat sebuah masjid kecil, tempat beribadahnya Muslim Dungan. Di Asia Tengah, dimana konsep negara-bangsa sangat kuat (Tajikistan negaranya orang Tajik, Kyrgyzstan negaranya orang Kirghiz, dan sebagainya), masjid pun dibeda-bedakan berdasar ras. Orang Dungan hanya sembahyang di masjid Dungan. Orang Kirghiz punya masjidnya sendiri di dekat terminal yang kubahnya mungkin mengilhami [...]

July 31, 2013 // 0 Comments

Garis Batas 30: Bagaimana Cara Membaca Kyrgyzstan

Aksakal, atau “kakek berjenggot putih” (AGUSTINUS WIBOWO) Bab ini mungkin seharusnya diletakkan pada saat awal-awal kita memasuki negeri ini. Saya yakin, banyak orang yang kesulitan membaca nama negara ini, karena dari sekian banyak deretan huruf itu, hampir semuanya huruf mati. Jadi bagaimana sih membaca Kyrgyzstan? Saya sebenarnya juga baru belajar bahasa Kirghiz. Dapat buku pinjaman dari sukaralewan PeaceCorps asal Amerika. Penutur bahasa Kirghiz sekitar 4 juta jiwa, tersebar di Kyrgyzstan, Kazakhstan, Uzbekistan, Tajikistan, Afghanistan, China, dan Rusia. Bahasa Kirghiz bersaudara dekat dengan bahasa Kazakh, Uzbek, Turkmen, dan Turki, semuanya masuk rumpun bahasa Turki. Ada yang bilang bahasa Jepang dan Korea juga masih bersaudara jauh, semuanya ikut kelompok bahasa Altai. Saya pernah belajar bahasa Jepang, tetapi tidak banyak membantu untuk belajar bahasa Kirghiz. Pertama kali belajar bahasa ini, saya merasa pusing karena begitu banyak rumus-rumus aneh bin ajaib. Dalam dua hari, saya melahap 100 halaman buku tata bahasa dasar itu, dan waktu malam Satina menanyakan mengapa jalan saya jadi sempoyongan. Karakteristik utama dalam bahasa Kirghiz, seperti bahasa-bahasa Turki lainnya, adalah harmonisasi vokal. Dalam satu kata, semua vokalnya harus berasal dari kelompok yang sama. Ada 4 kelompok vokal yang menjadi hukum dasar bahasa Kirghiz: a berpasangan dengan u dan y o berpasangan [...]

July 25, 2013 // 0 Comments

Garis Batas 29: Susahnya Jadi Guru

Manapova Satkinbu alias Mbak Satina di ruang kelasnya (AGUSTINUS WIBOWO) Sekolah Dasar dan Menengah Birimkulov adalah tempat Satina Eje mengajar bahasa Inggris. Walaupun terletak di desa kecil, Satina sangat bangga bahwa sekolah ini tidak kalah kualitasnya dengan sekolah-sekolah di kota besar seperti Bishkek dan Jalalabad. Satina, yang nama aslinya Manapova Satkinbu, membawa saya ke ruang kelas tempat saya mengajar. Murid-muridnya keleleran karena Satina terlambat datang. Melihat guru mereka datang, murid-murid yang bermain di halaman dalam hitungan detik langsung masuk ke ruangan kelas, duduk manis, seperti domba-domba tanpa dosa. Satina duduk di bangku guru, dengan kaca matanya yang berukuran super besar, mulai mengabsen murid-muridnya. Satina mengajar, mengajukan beberapa pertanyaan dalam bahasa Inggris. Murid-muridnya diam saja. Satina menerjemahkan pertanyaan dalam bahasa Kirghiz, baru ada satu dua murid yang mengacungkan tangan. Satina mengeluh kepada saya yang duduk di barisan belakang, “My students are too much stupid.” Keras sekali. Baru pertama kali ini saya mendengar guru yang mengeluhkan kebodohan murid-muridnya sendiri tanpa tedeng aling-aling. Murid-murid tak bereaksi. Mungkin tak mengerti, mungkin tak berani. Murid-murid Satina memang sangat pasif, seperti yang dikeluhkan Satina. Dia kebagian kelas mengajar siswa yang kurang mampu. Setiap kelas dibagi menjadi dua grup. Grup A, siswa-siswa yang dianggap pandai, ikut kelas [...]

July 24, 2013 // 3 Comments

Garis Batas 28: Kawan Lama dari Toktogul

Depresi Kyrgyzstan (AGUSTINUS WIBOWO) Dari Karakul saya melanjutkan perjalanan ke Toktogul. Sebuah memori indah mengantar saya ke sana. Dua tahun silam, saya terdampar di kota ini, berkenalan dengan dua orang sukarelawan Amerika, Rosa dan Jason, yang mengajar bahasa Inggris. Gelar mereka keren – Peace Corps. Lewat mereka saya berkenalan dengan seorang guru bahasa Inggris di desa itu. Inilah awal persahabatan saya dengan Satina Eje, atau Mbak Satina, guru desa yang tak pernah padam semangatnya. Betapa manis kenangan bersama wanita paruh baya yang ramah dan terus berceloteh tanpa henti tentang kehidupan di Kyrgyzstan. Ia menghabiskan waktu bersama putra satu-satunya, Maksat, yang sudah hampir lulus sekolah, di rumah kayunya di sebuah apartemen kuno di sebuah gang kecil di Toktogul. Rumah Satina seperti mesin waktu. Ada dinding kayu berbalut shyrdak – permadani sulam-sulaman khas Kyrgyzstan. Ada hiasan dinding bergambar Mekkah dan bertulis huruf Arab. Satina tidak tahu kalau tulisan itu berbunyi “Allah” dan “Muhammad”. Ada telepon yang masih menggunakan papan putar yang mengeluarkan bunyi gredek-gredek tiap kali nomornya diputar. Ada pula televisi hitam putih yang tabungnya super cembung. Ada koleksi foto-foto keluarga hitam putih ketika suami Satina masih hidup. Bagi Satina, semua ini adalah barang biasa. Bagi saya, setiap pernik rumah Satina adalah serpihan [...]

July 23, 2013 // 0 Comments

Garis Batas 17: Padang Gembala

Anak-anak Kirghiz bermain di dekat truk Kamaz. (AGUSTINUS WIBOWO) Semalam di Alichur, tidur di dalam stolovaya, di atas lantai dingin dan dibungkus selimut tebal yang kotor, mungkin bukan idaman semua petualang. Supir-supir truk yang tidak saya kenal dan saya ingat wajahnya, kecuali satu dua orang saja, tidur berjajar seperti ikan yang digelar di pasar. Dalam kegelapan total, suara dengkuran sahut menyahut, seakan bersaing dengan lolongan anjing-anjing gembala di luar sana. Tak bisa tidur, saya membuka mata. Yang terlihat hanya hitam. Tiba-tiba sebuah tangan merangkul saya. Di warung yang sempit ini memang tidak banyak tempat. Saya berbagi tikar dan selimut dengan Dudkhoda, pria Tajik yang menjadi teman bicara saya. Tak tahu apa artinya pelukan ini. Mungkin dia sudah pulas. Tapi, tidak terdengar dengkuran dari mulutnya. Ada hembusan napas yang lebih cepat dari biasanya. Saya diam saja. Tiba-tiba telapak tangan asing itu meraba-raba tubuh saya. Aduh, apa lagi ini? Bau vodka tercium kuat. Dudkhoda tidak sedang tidur lelap. Sepertinya ia butuh sesuatu untuk pelampiasan hasratnya. Suara dengkuran supir-supir Kirghiz masih bersahutan tanpa henti, seperti konser orkestra. Perjuangan Dudkhoda pun tidak pernah berhenti. Berkali-kali saya mengembalikan tangan itu ke tempat yang seharusnya. Berkali-kali pula tangan itu mendarat lagi di atas tubuh saya. Malam [...]

June 9, 2013 // 0 Comments

Garis Batas 16: Semalam di Alichur

Alichur, Kota Gembala di Pengunungan Pamir (AGUSTINUS WIBOWO) Di antara semua kesusahan hidup di Tajikistan, yang paling berat adalah transportasi. Langar memang sangat terpencil. Letaknya bukan di jalan utama, sehingga dalam sebulan mungkin hanya ada satu kendaraan saja yang lewat. Saya ingin meneruskan perjalanan ke utara, menuju Pamir Highway yang menghubungkan Tajikistan dengan Kyrgyzstan, negara tujuan saya berikutnya. Tetapi menunggu satu bulan di Langar tentu saja bukan pilihan. Visa Tajikistan, yang saya beli dengan harga 250 dolar di Kabul, hanya memberi saya ijin tinggal satu bulan. Khalifa Yodgor memang orang baik. Tahu kesulitan saya, ia membantu mencarikan saya kendaraan yang akan membawa saya melanjutkan perjalanan. Pemilik mobil yang satu ini memang sudah lama menganggur. Tahu saya ingin ke Alichur, dia langsung mengeluarkan sederetan hitung-hitungan yang membuat kepala saya pening. “Jarak Langar ke Alichur 120 kilometer. Pergi pulang 240 kilometer. Naik turun gunung, 1 liter bensin cuma untuk 3 kilometer. Kamu paling tidak harus memberi 80 liter bensin.” “Bisa bayar tidak pakai uang?” “Terserah kamu, mau bayar pakai bensin atau bayar pakai uang?” Apakah dia menganggap saya sebagai suplier bensin yang selalu membawa 80 liter bensin ke mana-mana? Atau memang di sini, di mana BBM langka sampai harganya mencekik leher, bensin [...]

June 9, 2013 // 1 Comment

Mazar-i-Sharif – Orang Pashtun

Pashtun guys having fun in Mazar Kantor Pajhwok Afghan News dipenuhi orang Pashtun. Selain Zabiullah Ehsas dan adiknya yang tinggal di sini, hari ini mereka kedatangan serombonan tamu dari Kabul. Sebagian dari tamu ini saya kenal sebelumnya, karena kami pernah bekerja di kantor yang sama di ibu kota. Suasana lantai atas hotel ini semakin ramai oleh kedatangan tamu-tamu ini. Dalam sekejap, saya menjadi sangat kikuk. “Jangan sekali-sekali kau bicara bahasa Persia di sini,” kata Israr, seorang pemuda Pashtun dari Kunar yang pernah memperoleh gelar juara dalam lomba programing internasional, memperingatkan dengan tegas, “di sini cuma boleh ada bahasa Pashtu!” “Orang Tajik itu brengsek,” kata yang lain, “mereka sama sekali tidak taat dan banyak melakukan dosa. Bahasa mereka sama sekali tidak terhormat.” Saya merasa tidak enak dengan Naqeeb yang mengantar saya ke sini, karena Naqeeb adalah orang Tajik. Tetapi Naqeeb bisa berbahasa Pashtu dan para pemuda Pashtun ini sama sekali tidak tahu ke-Tajik-an Naqeeb. Primordialisme etnik adalah fenomena yang sangat kuat di Afghanistan. Semua suku punya kebanggaan kesukuan yang luar biasa, jauh melebihi segala-galanya. Identitas Islam tidak cukup kuat untuk mengikat semua suku ini bersatu. Dalam sejarah Afghanistan kita teringat bagaimana semua suku Afghan bersatu padu melawan invasi Rusia tetapi kemudian [...]

March 19, 2008 // 5 Comments

1 2