Recommended

bahaya

Titik Nol 206: Afganistan, Saya Datang

Khyber Pass yang termashyur (AGUSTINUS WIBOWO) KOMPAS.com — Masuk ke mulut singa. Begitulah yang saya rasakan ketika akhirnya saya melihat papan besar, bertuliskan  “FOREIGNERS ARE NOT ALLOWED BEYOND THIS POINT”. Inilah pintu gerbang Khyber Agency, salah satu dari tribal area yang tersohor itu, di mana orang asing tidak diperbolehkan masuk tanpa surat izin dari Political Agent di Peshawar. Gerbang ini adalah tempat dimulainya daerah tanpa hukum. Yang berlaku selepas ini adalah hukum adat Pashtun. Mata balas mata. Darah balas darah. Dari sekian banyak agency, unit wilayah tribal area di Pakistan, semuanya adalah sumber masalah bagi negara ini. Kata tribal sering diorientasikan dengan keterbelakangan, primitif, dan kekacauan. Dalam kasusnya di Pakistan, memang tidak ada berita bagus tentang tribal area. Taliban, opium, senjata ilegal, hashish, penculikan, perang, bom, tanpa hukum, pemberontakan. Semuanya kumpulan kosa kata berkonotasi negatif. Khyber agency, yang pintu gerbangnya ada di depan mata saya sekarang, adalah urat nadi utama yang menghubungkan Peshawar ke Kabul melintasi Celah Khyber. Nama Khyber sudah membangkitkan nostalgia masa lalu, celah di gunung-gunung yang dilewati para penakluk dunia, mulai dari Iskander Yang Agung, raja-raja Persia, Turki, Mongol, hingga pasukan kolonial Inggris. Sekarang, tempat ini juga sudah mulai dirambah Taliban, didukung Lashkar-i-Islami, pasukan suku setempat, yang [...]

June 6, 2015 // 14 Comments

Titik Nol 205: Pasar Senjata

Pistol yang disamarkan dalam bentuk pena dijual bebas di Darra (AGUSTINUS WIBOWO) Hembusan ganas Afghanistan sudah terendus di Peshawar. Tak lebih dari 40 kilometer sebelah selatan Peshawar, di tengah jalan utama menuju Kohat, terletak desa Darra Adam Khel. Dari luar memang nampak seperti desa Pakistan biasa. Kumuh, semrawut, dan berdebu. Yang tak biasa adalah, desingan tembakan yang tiada henti. Ini adalah tempat di mana segala macam senjata dan bedil dibuat di balik tembok rumah-rumah, dan anak-anak bermain butir-butir peluru menggantikan kelereng. Tak banyak tempat yang benar-benar wild west seperti Darra Adam Khel. Orang-orang bebas membeli dan mencoba segala macam senapan di sini. Mulai dari Kalashnikov, M-16, hingga bolpoint dan tongkat yang bisa menembak. Kakek tua bersurban dan berjenggot putih, keluar dari sebuah toko dengan senyum. Kemudian dia menembakkan M-16 nya ke udara. Tiga tembakan. Nampaknya dia cukup puas dengan bedil barunya. Langit Darra dipenuhi suara-suara tembakan yang menyalak-nyalak tanpa henti. Saya dikejutkan lebih dari sepuluh kali ketika menyeruput segelas teh panas di kedai. Hati saya penuh tanda tanya, ke mana jatuhnya peluru yang ditembakkan tegak lurus ke atas? Sesuai prinsip gravitasi, peluru itu pasti akan jatuh lagi ke bumi. Adakah dia jatuh kembali kepada si penembaknya? Atau nyasar menembus atap [...]

June 5, 2015 // 4 Comments

Titik Nol 204: Kamp Pengungsi

Bocah pengungsi Afghan di kamp pengungsian Kacha Garhi, dalam kemonotonan warna kehidupan (AGUSTINUS WIBOWO) Pulang. Mengapa harus pulang? Rumah sudah menjadi puing-puing. Tidak ada pekerjaan. Tidak ada roti. Tidak ada impian. Tidak ada yang tertinggal lagi, kecuali selimut debu, kerumunan orang-orang lapar, hancurnya kebanggaan masa lalu yang dibungkus rapat-rapat oleh pasir gurun dan gunung gersang. Bazaar Khyber di jantung kota Peshawar adalah mesin waktu yang melempar saya ke zaman Seribu Satu Malam. Hanya satu warna yang ada: coklat kelabu. Pria-pria bersurban dan berjubah lalu lalang di jalan-jalan pasar Khyber yang berkelok-kelok bak rumah sesat. Di dunia yang hanya dikuasai laki-laki ini, wajah wanita nyaris tak terlihat sama sekali. Pasang-pasang mata besar dan garang mengintip dari balik kain hitam pekat. Itu pun jumlahnya masih bisa dihitung. Keledai dan kuda menarik berbagai macam barang dagangan. Ada bagian yang khusus menjual jubah. Ada yang khusus menjual barang elektronik dari China. Ada lagi bagian baju-baju bekas yang dijual nyaris gratis. Bahkan topi beruntai manikam dari Kandahar, topi pakkol dari Gilgit, hingga peci Melayu, semua ada di bazaar besar ini. Melayu memang pernah singgah di sini. Bukan hanya saya saja yang selalu berpeci untuk membawa identitas ke-Indonesia-an saya, yang hampir tak lagi dikenali lagi ketika [...]

June 4, 2015 // 1 Comment

Titik Nol 203: Romantisme

Gandengan tangan, berangkulan, berpelukan antara sesama pria adalah hal lazim (AGUSTINUS WIBOWO) Mungkin ini termasuk kotoran yang dipandang Wahid dengan tatap mata penuh jijik. Baru saja saya berhasil menghindar dari pria Pashtun yang mengaku dirinya sebagai Prince, pangeran – entah dari kerajaan mana lagi, yang menawarkan angkutan murah meriah menuju Afghanistan. Perjalanan menuju Afghanistan nantinya akan melewati daerah-daerah berbahaya. Pemerintah Pakistan mewajibkan orang asing yang akan melintas untuk dikawal tentara bersenjata. Orang asing juga tidak diijinkan untuk naik kendaraan umum, harus menyewa kendaraan sendiri. Bagi saya dengan kantong backpacker ini, biaya menyewa taksi yang bisa sampai seribu Rupee tentu saja membuat gundah. Prince, dengan aura kepangeranan yang terlalu dipaksakan, terus memantau kedatangan orang asing di Peshawar. Ia punya jaringan kuat dengan semua hotel di kota ini. Setiap ada backpacker yang datang, dengan sigap ia langsung nyanggong di hotel yang bersangkutan untuk bertemu dengan si turis. Lalu ia akan memamerkan foto-fotonya, tindakan amal apa saja yang pernah dia lakukan, gambar ratusan anak asuhnya, juga foto ribuan turis yang terpuaskan oleh layanan angkutan dan tour guide-nya. Ia memamerkan dua buku tebal testimonial para turis yang ditulis dalam pelbagai bahasa, mulai dari Inggris, Jepang, Perancis, hingga Mandarin. Para turis itu terpikat oleh aroma [...]

June 3, 2015 // 9 Comments

Titik Nol 198: Karachi

Mausoleum Mohammad Ali Jinnah, Bapa Pendiri Pakistan, adalah lanmark Karachi (AGUSTINUS WIBOWO) Karachi, inilah kota terbesar di Pakistan. Inilah salah satu urutan atas kota terbesar di muka bumi. Di sinilah belasan juta manusia Pakistan tumpah ruah, segala macam etnis dan agama campur aduk. Di sinilah segala kebanggaan bangsa, gemilang sejarah, bercampur dengan bau busuk gunung sampah dan sungai tercemar. Perjalanan dengan bus melintasi gurun pasir membawa saya kembali dari dunia Thar ke alam Pakistan. Begitu meninggalkan Umerkot, bus tak henti memutar acara khotbah pengajian dan lantunan syair maatam yang membawa suasana kesedihan Ashura. Penumpang bus, kebanyakan perempuan Hindu dengan sari dan kalung hidung ukuran besar, sama sekali tidak ada yang protes. Karachi, walaupun sudah bukan ibu kota Pakistan lagi, masih memegang kendali sebagai pusat perekonomian negeri ini. Kota pelabuhan ini masih menjadi hub perdagangan internasional dan gerbang utama masuknya komoditi ke seluruh Pakistan. Siapa yang tak terkesima oleh ukuran kota yang sudah masuk kategori megapolitan ini? Siapa yang tak takjub melihat modernitas arsitektur kuburan Muhammad Ali Jinnah – sang Bapak Pendiri Pakistan, sang Quaid-e-Azam (Pemimpin Yang Agung)? Di mana lagi di Pakistan kita bisa melihat hiruk pikuk orang seramai di kota ini, dengan luas sebesar ini, dengan gedung tinggi dan [...]

May 27, 2015 // 3 Comments

Titik Nol 190: Kuning Lagi

Pengobatan tradisional Ayurveda (AGUSTINUS WIBOWO) Punjab diserang badai panas. Harian Dawn 14 Mei 2006 memberitakan, tiga puluhan orang tewas di Sialkot dan Lahore, karena suhu udara yang meledak hingga 50 derajad Celcius. Saya terbaring lemah. Saya juga korban badai panas yang melanda Punjab. Minggu kemarin saya masih nekad keliling Multan dan Bahawalpur dengan berjalan kaki ke mana-mana. Kini, saya cuma bisa menghabiskan hari-hari di atas ranjang rumah Om Parkash Piragani di Umerkot. ‘Kawan lama’ saya, penyakit hepatitis, hinggap lagi di tubuh saya. Hasil cek darah kemarin menunjukkan angka SGPT melonjak dari batas normal 10 menjadi angka fantastis 1355. Bola mata saya kuning pekat, hilang cahaya kehidupannya. Saya tak pernah berhenti melihat cermin, mencoba menerima kenyataan, sekaligus berharap-harap cemas warna kuning menjengkelkan ini lekas-lekas pudar. Satu hal yang patut disyukuri, penyakit liver saya meledak tepat ketika saya mencapai rumah Om Parkash. Di rumah besar yang dihuni puluhan orang ini, saya dibasuh dengan belaian kasih sayang dan perhatian. Saya tak pernah kenal Parkash sebelumnya. Tetapi dia begitu lembut merawat saya, seorang kawan baru, yang terkapar di rumahnya. “Kamu harus istirahat total,” kata Parkash, “jangan berpikir macam-macam. Tidur saja!” “Berapa lama?” “Berapa lama pun kamu mau. Rumah ini adalah rumahmu. Kamu boleh tinggal [...]

May 15, 2015 // 3 Comments

Titik Nol 186: Anak Muda

Punjab, ‘lima sungai’, adalah propinsi tersubur di Pakistan. (AGUSTINUS WIBOWO) Dari sekadar berkenalan di terminal bus, sekarang pemuda ini sudah mengajak saya menginap di rumahnya di Bahawalpur. Namanya Amir. Tinggi, gagah, berpostur seperti tentara, dan berkulit gelap. Tak bisa bahasa Inggris. Kalau berbicara bahasa Urdu, setiap kalimat hampir selalu diakhiri kata matlab, yang artinya adalah ‘yang artinya’, seolah-olah setiap kalimatnya terlalu susah dimengerti dan pendengar harus selalu butuh penjelasan lebih lanjut. Sehari-hari ia bicara bahasa Siraiki, yang menjadi bahasa daerah di Punjab selatan. “Kamu harus belajar bahasa Siraiki, matlab bahasa ini sangat indah dan lucu,” demikian sarannya. Rumah Amir terletak di daerah Model Town, sebuah perumahan baru di pinggiran kota kuno Bahawalpur. Dulu Bahawalpur adalah kerajaan semi merdeka, dipimpin oleh seorang Nawab. Nawab Bahadur memutuskan untuk bergabung bersama Pakistan pada tahun 1947, dan tahun 1955 kerajaannya lenyap, melebur dalam Propinsi Pakistan Barat. Sekarang, Bahawalpur adalah bagian propinsi Punjab yang menampilkan khasanah kekayaan dan kejayaannya. Bahawalpur tentu pernah menjadi tempat yang sangat makmur. Bukan hanya istana milik Nawab yang masih megah berdiri, tetapi juga benteng besar di tengah padang gurun Cholistan yang menunjukkan betapa gagahnya negeri ini dulu. Setelah sekian lama berada di bawah panji-panji Pakistan, Bahawalpur mulai menunjukkan benih-benih kesemrawutan [...]

May 11, 2015 // 1 Comment

Titik Nol 180: Heera Mandi (2)

Kota tua Lahore dengan gang-gang kecil yang bak rumah sesat menyimpan banyak kejutan. Salah satunya, Heera Mandi (AGUSTINUS WIBOWO) Saya terjebak di Heera Mandi, kompleks prostitusi terbesar di Pakistan. Kamar ini berukuran cuma 2 x 3 meter. Dindingnya dicat biru. Foto-foto keluarga bergantungan di dinding. Ada pintu menuju dapur di ruangan sebelah. Di belakang saya duduk ada tangga. Melalui tangga inilah Jawad naik dan sudah lima menit tak turun juga. Ibu tua tak banyak bicara. Saya berbasa-basi sedikit, yang dijawab hanya dengan senyuman. Mengapa ibu ini tidur tak menutup pintu rumah? Mungkin karena hawa yang panas, saya mencoba berpikir positif. Jawad turun. Ia minta izin pada ibu itu untuk membawa saya naik. “Ini turis yang ingin melihat-lihat atap rumah,” katanya dalam bahasa Urdu. Kebohongannya mulai terbongkar. “Ini bukan rumahku,” bisiknya, “dan perempuan itu bukan ibuku. Sekarang, ayo kamu naik.” Ia memaksa. Tangga ini mengantar kami ke lantai dua, sebuah ruangan yang sama persis ukurannya dengan yang di bawah tadi. Selain televisi dan foto-foto keluarga di tembok, tak ada apa-apa lagi. Tak ada siapa-siapa. Kami terus naik tangga sampai ke atap rumah. Rumah ini berbentuk kotak sederhana. Atapnya datar. Ada sebuah charpoy di salah satu sudutnya. Charpoy adalah kasur di India [...]

May 1, 2015 // 1 Comment

Titik Nol 179: Heera Mandi (1)

Masjid Badshahi di senja hari (AGUSTINUS WIBOWO) “Larki-marki dekhaun? Mau aku kasih liat koleksi cewek?” seorang pria berjubah shalwar kamiz yang tidak saya kenal berbisik ketika saya menyusuri gang-gang ruwet di kota kuno Lahore. Kemegahan Masjid Badshahi, masjid terbesar dari Dinasti Mughal, adalah kebanggaan Lahore dan Pakistan. Tetapi, bayang-bayang masjid ini menaungi daerah prostitusi paling tersohor di negeri ini, bahkan namanya hingga ke negara-negara tetangga. Siapa yang tak tahu nama Heera Mandi (baca: Hira Mandi)? Ratusan tahun lalu, ratusan gadis penari molek ditambah kaum hijra (penari transeksual) meliuk-liukkan badannya menggoda iman di malam yang gelap. Kini, di kota modern Lahore di bawah kibaran bendera Republik Islam Pakistan, gadis-gadis masih menawarkan hiburan malam, namun tersembunyi di balik tembok tebal. Siang hari, barisan rumah di ruwetnya gang Heera Mandi tak nampak istimewa. Hanya rumah-rumah kuno dari zaman negeri dongeng seribu satu malam. Ada pasar kuno yang ribut, para pria yang semuanya mengenakan ‘seragam’ shalwar kamiz, dan para perempuan yang dibalut purdah hitam pekat. “Tidak mahal,” kata lelaki berkumis itu masih penuh semangat, “hanya 300 Rupee saja.” Di siang hari pun, walaupun tidak semarak malam, transaksi masih terus perjalan. “Mujhe dilcaspi nehin. Saya tidak tertarik,” saya bergegas pergi menuju masjid. Matahari memanggang Lahore [...]

April 30, 2015 // 0 Comments

Titik Nol 166: Negeri Para Petarung (2)

Selalu berapi-api waktu bicara (AGUSTINUS WIBOWO) Saya baru tahu betapa susahnya mencari orang Kandar. Bukan hanya medan gunung yang berat melintasi titik-titik rawan longsor, tetapi juga saya tak tahu bagaimana wujud orang Kandar. Sekarang Farman, kawan seperjalanan saya, ingin membuat saya terkesan dengan perjalanan lintas gunung ini. Setiap kali kami berpapasan dengan orang yang bersurban atau berjenggot lebat, Farman langsung bilang, “Dia orang Kandar! Dia orang Kandar!” Saya tidak percaya. Masa cuma surban dan jenggot yang menjadi karakteristik orang dari negeri petarung? Benar saja, seorang pemuda malang langsung menjerit, “Bukan! Aku bukan dari Kandar!” Farman terpingkal-pingkal. Kami singgah di sebuah rumah. “Selamat datang, ini adalah rumah pertama orang Kandar yang kita jumpai,” kata Farman bak seorang pemandu wisata. Sebagai seorang turis yang sama sekali buta pelosok gunung ini, saya cuma bisa mengamini. Empat orang pria sedang sibuk bekerja. Ada yang menggergaji, ada yang memotong kayu. Semua berpakaian celana shalwar dan jubah kamiz. Kepalanya dibungkus surban putih, yang cara memasangnya pun tak lazim. Ujung lilitan surban tak panjang, menyerong ke atas seperti menantang langit. Tiba-tiba seorang kakek tua yang melihat saya memotret-motret, dengan garang menerjang ke arah saya, mencoba merampas kamera yang saya pegang. Saya terkejut sampai terlompat. Farman menghalangi si [...]

April 13, 2015 // 0 Comments

Titik Nol 165: Negeri Para Petarung (1)

Gunung-gunung Kashmir yang megah (AGUSTINUS WIBOWO) Dari segala kisah-kisah aneh yang saya dengar di sini, tidak ada yang lebih tidak masuk akal daripada cerita tentang orang Kandar, suku petarung di puncak gunung. Kandar adalah sebuah desa kecil terletak di puncak bukit yang terlihat di belakang Noraseri. Jaraknya cuma empat kilometer, naik turun gunung, dan butuh waktu tiga jam untuk mencapainya. Walaupun demikian, bagi sebagian besar orang normal, Kandar sama sekali bukan tempat yang bisa dikunjungi. Ada apa dengan Kandar? Namanya tersohor di seluruh pelosok perbukitan. Tak ada orang Noraseri yang tak kenal desa kecil di atas sana itu. Bahkan di kota pasar Pattika dan Muzaffarabad yang jauh di bawah sana, semua orang pernah mendengar nama desa ini. “Walaupun cuma empat kilometer jauhnya,” kata Rashid, sukarelawan dari Islamabad, “orang Kandar sudah nampak jauh berbeda dari penampilan fisiknya. Mereka selalu berjalan ke mana-mana dengan tongkat kayu. Tongkat ini selalu siap untuk memukul orang. Mereka juga menggantungkan syal di leher.” Saya jadi terbayang pejuang Pashtun di Afghanistan, apalagi nama Kandar mirip dengan Kandahar, kota lahirnya Taliban. “Kalau Afghanistan punya Kandahar, maka Kashmir punya Kandar,” Rashid melanjutkan, “orang-orangnya sama-sama suka perang.” Tanggal 12 Januari 2006, pernah kejadian orang Kandar membajak helikopter yang mengangkut bala [...]

April 10, 2015 // 1 Comment

Titik Nol (161): Pak Dokter yang Bukan Dokter

Karena alasan keamanan, keluarga di Kashmir menyimpan senjata api (AGUSTINUS WIBOWO) Orang-orang Noraseri menyebut pria berjenggot putih yang murah senyum ini sebagai Doctor Sahab, Pak Dokter. Saya pun mengamininya sebagai dokter, setelah mendengar ceramahnya tentang obat-obatan anti diare. “Hah, kau kira Dokter Sahab itu benar-benar dokter?” Hafizah, putri Haji Sahab yang juga bekerja di rumah sakit tertawa tergelak-gelak, “Bukan. Dia sama sekali bukan dokter. Tak tahu mengapa semua orang sini memanggilnya Pak Dokter.” Pak Dokter yang satu ini, saudara kandung Basyir Sahab yang menjaga keamanan tenda kami, hampir setiap sore bertandang ke perkemahan kami. Orangnya humoris dan tak pernah kehabisan bahan lelucon. Walaupun sudah tua, Pak Dokter suka sekali bermain dengan kami yang muda-muda, mulai dari kartu sampai kriket, semua dia jagonya. “Saya dulu satu sekolah dengan Presiden Sukarno,” saya teringat salah satu bualan Pak Dokter yang paling dahsyat, “jadi jangan lupa kirim peci dari Indonesia, paling sedikit 50 biji. Nanti penduduk desa Noraseri semua akan jadi seperti Presiden Sukarno, sahabat karibku itu.” Di kesempatan lain, Pak Dokter menyuruh saya cepat-cepat menikah. “Kalau kamu tidak menikah, nanti kamu tidak bisa dapat bahan bangunan rumah!” Organisasi kami memang punya ketentuan, hanya mendistribusikan bahan bangunan shelter permanen kepada keluarga. “Tak peduli betapa [...]

April 6, 2015 // 1 Comment

Titik Nol 147: Turun Gunung

Kota Muzaffarabad pasca gempa (AGUSTINUS WIBOWO) Setiap seminggu atau sepuluh hari, kami mendapat giliran sekali ‘turun gunung’ ke Muzaffarabad. Sebuah kesempatan untuk melepaskan kejenuhan bekerja di pedalaman. Juga kesempatan untuk berhubungan dengan dunia luar, atau setidaknya bertelepon ria dengan sanak saudara di luar sana. Perjalanan dengan jip dari Noraseri tidak selalu lancar. Jalan sempit menukik lancip di pinggang gunung seringkali tertimbun batu dan pasir dari longsoran, gara-gara hujan lebat semalam. Mobil kami berlari sambil melompat, sementara di bawah sana jurang menganga dalam. “Ayo, sekarang kamu hapalkan puisi ini,” kata Aslam, “Puisi ini wajib hukumnya di Kashmir. Namanya Qaumi Tarana, Syair Kebangsaan.” Walaupun berkibar bersama bendera Pakistan, Azad Kashmir bukan Pakistan. Selain punya bendera, lagu kebangsaan, sendiri, ternyata ada puisi kebangsaannya juga. Baris-barisnya mudah diingat, sajaknya cantik, dan maknanya sederhana. Baghon aur baharonwalla (taman dan musim semi) Daryaon aur kohsaronwalla (sungai dan pegunungan) Jannat ki nazaronwalla (pemandangan surgawi) Jammu Kashmir hamara (Jammu dan Kashmir milik kita) Watan hamara, Azad Kashmir, Azad Kashmir, Azad Kashmir! (Tanah air kita, Kashmir merdeka!) Jalan utama Muzaffarabad yang tetap ramai (AGUSTINUS WIBOWO) Syair ini menyebut keindahan negeri Kashmir – taman, musim semi, sungai, gunung, dan pemandangan surgawi. Saya masih bersusah payah menghafal larik-larik syair itu. Di [...]

March 17, 2015 // 4 Comments

Titik Nol 145: Belajar di Atas Puing-Puing

Sekolah tenda (AGUSTINUS WIBOWO) Kemah biru besar terletak di bukit di atas perkemahan tim sukarelawan kami. Pagi hari, ketika kabut masih menyelimuti badan gunung, saya masih terbungkus selimut tebal mengusir dingin, bocah-bocah di luar sana sudah bernyanyi lagu kebangsaan. Di tenda biru itu mereka sekolah, belajar di atas puing-puing gedung sekolah yang sudah ambruk. Tenda ini sumbangan China. Tertulis huruf Mandarin besar – Jiu Zai – Pertolongan Bencana. Saya dulu pernah melihat ratusan tenda serupa di Aceh sehabis tsunami. Sekarang, tenda China ini juga populer di daerah gempa Pegunungan Kashmir. Hari ini, semangat anak-anak sekolah yang belajar di pagi yang masih dingin menggigit, turut membakar tekad saya untuk bekerja lebih giat. Walaupun medan sangat berat, saya membulatkan tekad untuk terus berjalan bersama Ijaz Gillani dan Manzur, dua sukarelawan asal Islamabad. Mereka orang kaya, tetapi tak segan bekerja di desa seperti ini. Tugas kami hari ini adalah mendata keluarga yang menerima sumbangan bahan bangunan rumah. Beberapa hari ini, NGO kami membagikan sheet CGI untuk atap rumah, yang katanya lebih tahan gempa dan sejuk di musim panas. Sekarang, beberapa keluarga sudah menyelesaikan pembangunan rumah mereka, dan tugas kami adalah mendokumentasikan aktivitas mereka. Total ada 500 rumah permanen yang dibangun di pegunungan ini, [...]

March 13, 2015 // 10 Comments

Titik Nol 139: Do Nambar

Asyiknya naik bus di Pakistan. Duduk di atap bukan pengalaman untuk dicoba kaum hawa. (AGUSTINUS WIBOWO) Bagi perempuan, bepergian seorang diri di Pakistan tidak selalu mudah. Bukan hanya kendaraan yang penuh sesak, tetapi juga ada tangan-tangan jahil yang mengintai. Di Pakistan, di mana segala sesuatu selalu dipisahkan untuk perempuan dan laki-laki, naik kendaraan umum bisa jadi kesusahan sendiri. Aturan mainnya, perempuan tidak boleh duduk di sebelah laki-laki kalau bukan muhrimnya. Untuk bus dan kereta, masalahnya tidak terlalu besar, karena tempat duduk banyak tersedia. Tetapi untuk angkutan kota lain lagi ceritanya. Angkutan umum yang paling banyak mengarungi rute Rawalpindi – Islamabad adalah colt. Maksimal 14 orang bisa disumpalkan ke dalam mobil kecil ini. Jarang sekali saya melihat penumpang perempuan. Bukan hanya karena perempuan tidak banyak bepergian, tetapi sopir pun sering enggan menyediakan tempat buat wanita. Apa sebab? Biasanya, tempat yang tersedia untuk penumpang perempuan adalah dua bangku di depan di sebelah sopir. Itu kalau jam-jam peak hour juga sudah diduduki laki-laki. Kalau bagian tengah atau belakang, kecuali sopir bisa menemukan empat atau delapan penumpang perempuan sekaligus, maka mengangkut penumpang perempuan berarti harus kehilangan banyak slot untuk penumpang laki-laki, yang lebih banyak. Keadaan sedikit lebih gampang kalau si perempuan bepergian dengan saudara [...]

March 5, 2015 // 2 Comments

Titik Nol 138: Pir Wadhai

Terminal bus Pir Wadhai (AGUSTINUS WIBOWO) Di sini mereka menggantung mimpi, bersama deru mesin bus yang tanpa henti, asap knalpot hitam, selokan bau, debu beterbangan, dan tangisan bocah. Pir Wadhai adalah pembuluh nadi Pakistan, menyambungkan kota-kota di seluruh negeri dengan ibu kota Islamabad yang modern. Terletak di antara kota kembar Islamabad – Rawalpindi, stasiun bus Pir Wadhai adalah tempat interaksi antara saudagar, musafir, pedagang, sopir, kernet, tentara, dan pengungsi. Bermacam mimpi menuntun beragam manusia sampai ke tempat ini. Dan di tempat berdebu dan kumuh inilah tempat mereka menggantung mimpi. Bau busuk tercium dari jauh sebelum saya mencapai Pir Wadhai chowk, pertigaan penuh lobang jalan yang ironisnya malah menjadi tempat perhentian segala macam jenis bus antar kota yang berhenti di Rawalpindi. Menyengat, menusuk hidung, segala jenis sampah basah dan kering menyumbat selokan terbuka dengan air hitam yang tergenang. Debu dan asap hitam membungkus lingkungan manusia yang bertahan hidup. Ada orang makan di pinggir jalan, dikerubungi lalat beterbangan. Tempat ini adalah surga bagi serangga kotor itu, tetapi neraka bagi manusia yang tinggal di sana. Perkampungan kumuh semburat tak beraturan di dekat terminal ramai. Warnanya semua sama – coklat kemerahan, warna bata yang tidak dicat, warna tanah lumpur yang membungkus bumi. Sedikit variasi [...]

March 4, 2015 // 1 Comment

Titik Nol 136: Hancur Lebur

Api di mana-mana (AGUSTINUS WIBOWO) Saya dikeroyok orang-orang yang mulai beringas. Teriakan penuh marah terus bergemuruh. Asap mengepul di mana-mana. Data Darbar diselimuti lautan laki-laki yang membeludakkan semua kekesalan, “Bush anjing! Bush anjing!” bersahut-sahutan membahana. Tiba-tiba tangan saya diseret seseorang. “Ikut saya,” katanya lembut, di tengah keberingasan gerombolan lelaki yang mengepung saya. Pria bertubuh gemuk ini kemudian menghalau orang-orang beringas yang masih berusaha menyerang saya. “Kita ke rumah dulu, yuk,” katanya. Saya mengangguk. Qutbi bukan saja menyelamatkan saya dari kekisruhan, dia masih memberi saya segelas air dingin. Di dalam halaman rumahnya yang sederhana, saya aman. “Kamu pulang saja. Hari ini berbahaya sekali. Semua orang sudah jadi gila,” ia menganjurkan. Saya menggeleng. Qutbi pun tak berdaya dengan kekeraskepalaan saya. Istrinya yang bercadar sekujur tubuh datang membawa sebuah kopiah putih. Qutbi memasangkannya di atas kepala saya. “Sekarang kamu sudah seperti pelajar Muslim,” kata Qutbi, “Orang-orang itu tidak akan mengganggumu lagi.” Saya sangat terharu. Qutbi tidak tega melihat saya turun ke jalan sendirian. Ia menjadi pengawal saya. Saya merasa aman sekali. Kami kembali ke Data Darbar. Orang-orang baru saja bershalat, dan sekarang siap bergerak, melakukan pawai jalanan keliling Lahore. Suasana semakin panas dan kacau. Asap mengepul tinggi dan api berkobar di mana-mana. Di [...]

March 2, 2015 // 2 Comments

Titik Nol 135: Bukan Hari Valentine Biasa

Kerusuhan di depan Data Darbar (AGUSTINUS WIBOWO) 14 Februari 2006. Matahari sudah mulai tinggi di Lahore. Tetapi tak ada hiruk pikuk klakson kendaraan di jalan raya yang biasanya selalu ruwet oleh segala macam kendaraan. Toko sepanjang jalan tutup semua. Bahkan sarapan pun susah. Ada apa ini? “Hartal,” demikian jawab pemilik penginapan tempat saya tinggal. Artinya mogok – acara mogok massal di mana semua toko-toko tutup, semua orang tak bekerja dan mengurung diri di rumah, kendaraan tidak hilir mudik, semua kantor tak beroperasi. Saya ingat hartal adalah salah satu gerakan damai Mahatma Gandhi melawan imperialisme Inggris. Hingga sekarang, acara mogok-mogokan massal ini masih sangat populer di negara-negara Asia Selatan. “Bukan, bukan hartal,” sanggah seorang pemuda pemilik guesthouse tempat menginapnya para backpacker asing, “Kamu lupa? Hari ini kan hari Valentine. Ini hari cinta kasih di Pakistan, dan dirayakan di seluruh negeri. Kamu pergi saja ke taman kota. Di sana kamu melihat pasangan muda-mudi memadu kasih.” Sejak kapan Pakistan merayakan hari Valentine? Tak ayal, saya tetap melangkahkan kaki ke arah taman kota. Jalan raya Mall Road, jalan paling ramai di Lahore, hari ini tampak lengang dan sunyi. Yang bertebaran di mana-mana cuma polisi Pakistan, berseragam coklat abu-abu, membawa tongkat kayu. Demonstrasi damai yang [...]

February 27, 2015 // 2 Comments

Titik Nol 134: Lambang Cinta

Maatam, memukuli dada sendiri melambangkan duka cita yang mendalam (AGUSTINUS WIBOWO) Para pria ini kalap. Mereka memukulkan pisau ke punggung mereka. Berkali-kali, tanpa henti. Darah segar mengalir. Inilah lambang cinta bagi sang Imam Hussain. Ada banyak cara menunjukkan duka cita ketika ditinggal pergi orang yang disayangi. Ada yang menangis berhari-hari. Ada yang berpantang kesenangan selama empat puluh hari. Ada yang mengurung diri, tak mau bicara dengan siapa pun. Ada pula yang menyakiti diri sendiri, untuk menunjukkan kesedihan yang tak terkira. Ratusan pria yang berkumpul di sebuah lapangan di Lahore ini termasuk golongan yang disebut terakhir. Begitu kesedihan mereka mencapai klimaks, lautan massa menangis keras dan suara pukulan-pukulan pada kepala dan dada berlangsung serempak, tamparan-tamparan di wajah sendiri meninggalkan jejak-jejak tangan. Kaum perempuan sudah meledak air matanya di balik cadarnya yang hitam pekat. Tangisan yang tak lagi terbendung mengeringkan kantung air mata, para pria yang bertelanjang dada berebutan menggapai rantai pisau, untuk menunjukkan cinta mereka pada sang Imam yang syahid dalam membela kebenaran. Massa mulai tidak terkendali. Semuanya berdiri dan saling dorong. laki-laki yang bertelanjang dada saling berebutan zanjir, rantai.  Rantai ini berupa rangkaian beberapa bilah pisau berujung melengkung, terikat oleh jalinan rantai logam. Bilah pisau bermata tajam, cukup untuk menyayat [...]

February 26, 2015 // 1 Comment

Titik Nol 132: Losmen Murah di Rawalpindi

Para buruh harian menanti pekerjaan di Rajja Bazaar (AGUSTINUS WIBOWO) Dengan visa Pakistan dari India, sungguh susah mencari losmen murah di Rawalpindi. Dan akhirnya saya malah terjebak di tempat seperti ini. Semua visa Pakistan yang diterbitkan High Commission of Pakistan di New Delhi distempel “Visa Not Valid for Cantt Area”. Cantt adalah singkatan Cantontment, kota garnisun, peninggalan kolonial Inggris di kota-kota British India yang sekarang masih menjadi pusat aktivitas pertahanan Pakistan. Biasanya memang tidak banyak pengaruhnya untuk turis karena saya bukan turis mata-mata yang ingin mengintai persenjataan, perbentengan, teknologi nuklir, pasukan tempur, dan lain-lain untuk dilaporkan kepada India. Tetapi, di Rawalpindi, cap stempel di atas visa sangat mengganggu, karena kebanyakan losmen murah terletak di daerah pasar ramai Saddar Bazaar yang kebetulan bertetangga dengan daerah kota garnisun. Tak bisa menginap di Saddar, saya langsung menuju ke Rajja Bazaar, pasar ramai lainnya di kota ini. Perjalanan panjang 20 jam dari Gilgit memang sangat menyiksa. Yang saya inginkan sekarang adalah sebidang kasur empuk untuk beristirahat barang sejenak. Tetapi mencari penginapan tidak mudah. Hotel Tujuh Bersaudara yang nampak kumuh dan gelap katanya sudah fully booked padahal dari luar tampaknya semua kamarnya kosong. Saya disuruh ke hotel di sebelahnya, Hotel Javed, yang kelihatan lebih bersih [...]

February 24, 2015 // 1 Comment

1 2 3 5