Recommended

batas

Titik Nol 119: Pelabuhan Darat

Hunza bukan lagi Shangri-La yang tersembunyi, tak terjamah peradaban manusia. Sejak Karakoram Highway selesai dibangun, desa-desa di pegunungan tinggi ini semakin terbuka bersama kemajuan dunia. Pembangunan jalan raya menembus gunung-gunung pada ketinggian di atas 4000 meter bukanlah hal yang mudah. Pemerintah Pakistan dan China bersama-sama mengerjakan proyek ini, membutuhkan waktu 20 tahun, dan baru selesai pada tahun 1986. Panjangnya 1300 kilometer, menghubungkan Islamabad dengan kota Kashgar di propinsi Xinjiang milik Republik Rakyat China. Medannya sangat berat. Pakistan menyebut jalan raya ini sebagai Keajaiban Dunia Kedelapan. Saya berhasil mengalahkan rasa malas, memaksa diri beranjak meninggalkan Karimabad menuju kota Sost, kota terakhir Pakistan sebelum perbatasan China. Saya dengar karena banyaknya orang China, di kota Sost kita bisa membeli makanan China yang asli citarasanya. Dua tahun lalu, saya sudah pernah sampai di sini. Para pekerja China sedang sibuk membangun dry port – pelabuhan darat, yang akan membangkitkan denyut nadi perekonomian di barisan pegunungan Karakoram. Waktu itu mereka sangat gembira, karena kiriman daging babi dari China baru datang. Bagi para pekerja itu, makanan Pakistan terlalu hambar dan tak sesuai lidah mereka. Di seluruh negeri, daging babi tak tersedia sama sekali dan harus diimpor untuk konsumsi sendiri. Selain itu, para pekerja juga tidak bisa hidup [...]

February 5, 2015 // 15 Comments

Titik Nol 112: Gerbang Kemerdekaan

Bus bersejarah itu pun tiba di wilayah India (AGUSTINUS WIBOWO) “Pakistan memang diciptakan untuk membuat jarak antara kita dan mereka, memecah belah persaudaraan kita. Tak perlu kita teruskan lagi [permusuhan ini].” Demikian sebuah koran India menurunkan artikel di rubrik opini. Kedua negara tetangga ini sudah berseteru sejak kelahirannya. Pakistan tercipta dari British India tahun 1947 ketika umat Muslim India minta diberi negara sendiri. Pakistan berarti ‘Negeri yang Murni’, cita-cita luhurnya adalah negara umat Muslim yang berdiri di atas kesucian dan kemurnian Islam. Tetapi, pertikaian dan perselisishan selalu mewarnai sejarah kedua negara, menyebarkan benci yang merayap sampai ke sanubari rakyat jelata. Ingat kasus bom di New Delhi yang serta merta membuat orang India langsung menunjuk hidung Pakistan sebagai kambing hitam? Ingat betapa susahnya orang India mendapat visa Pakistan dan juga sebaliknya? Orang India menggunakan kata Pakistan sebagai umpatan yang paling kasar – “Chalo Pakistan!”, artinya “Enyahlah ke Pakistan”. Mengapa Pakistan selalu digambarkan sebagai tempat bak neraka yang penuh kesengsaraan? Mengapa imej Pakistan di India hanya hitam dan kelabu? India dan Pakistan punya garis perbatasan sekitar 3000 kilometer, tetapi hanya satu perbatasan resmi yang dibuka. Perbatasan Wagah teramat sepi, kecuali di sore hari ketika upacara penurunan bendera berlangsung. Tak banyak orang yang [...]

January 27, 2015 // 4 Comments

Titik Nol 111: Negeri Berjuta Warna

Negeri berjuta warna (AGUSTINUS WIBOWO) Hindustan, negeri Bharat yang jaya, meninggalkan berbagai kenangan. Berjuta warna satu per satu diputar kembali dalam memori saya, ketika matahari mulai perlahan-lahan terbenam menerbakan semarak senja di kota Amritsar. Ini adalah senja terakhir yang saya lihat di negeri ini. Saya datang ke India dengan secarik mimpi. Mimpi yang saya dapatkan dari beberapa film Bollywood yang pernah saya tonton. Gadis cantik berpakaian bak putri raja tinggal di rumah seperti istana, mengejar cintanya pada pangeran tampan, yang kemudian menari bersama diiringi ratusan orang yang entah muncul dari mana. Mimpi Hindustan yang saya bawa adalah mimpi tentang kehidupan gemerlap, semua orang kaya, punya mobil mewah, punya lusinan pembantu, sopir berseragam, kepala rumah tangga yang cerdas, dan helikopter di atap rumah. Tetapi, secuil Hindustan tempat saya menginjakkan kaki pertama kali adalah stasiun kota Gorakhpur, di mana pengemis bocah merintih tanpa henti, sapi berkeliaran di dalam peron, dan orang yang tidur di lantai tanpa alas. Selanjutnya adalah New Delhi yang penuh dekan tukang tipu di pasar, teriakan “Hallo! Hallo!”, bau pesing, jalan bolong-bolong, losmen tempat pasangan manusia mengumbar nafsu birahi, penderita kusta dan tumor terbaring tak berdaya di pinggir jalan yang hiruk pikuk oleh pejalan lalu-lalang namun tak satu pun [...]

January 26, 2015 // 2 Comments

Titik Nol 110: Chalo, Pakistan

Bendera Pakistan dan India turun bersamaan (AGUSTINUS WIBOWO) Pakistan di hadapan mata. Perasaan berdosa menyelimuti diri saya. Mengapa saya masih belum juga melintas gerbang perbatasan itu? Enam minggu yang lalu, saya bersorak gembira ketika visa Pakistan tertempel di paspor saya. Orang-orang Kashmir menyemangati saya, dan ikut merayakan kemenangan perjuangan visa saya. Tawa itu, air mata kebahagiaan itu, tak akan pernah saya lupakan. Tetapi, bukannya cepat-cepat berangkat ke Pakistan, saya masih menyempatkan bermain ke Rajasthan, dengan justifikasi untuk menenangkan diri setelah frustrasi berhari-hari di New Delhi. Banyak pengalaman menarik yang saya alami, membuat saya semakin betah di India, semakin melupakan Pakistan. Hingga pada akhirnya datang penyakit ini – kuning merambah mata dan tubuh, lemas melambatkan langkah, rasa mual mengeringkan perut. Mungkin peringatan dari Tuhan, mungkin pula hukuman karena saya melupakan komitmen sendiri. Saya berdiri di depan pintu perbatasan, tertunduk lesu. Sementara di sekeliling saya suasana gegap gempita menggelorakan jiwa nasionalisme India. “Bharat mata ji, jay! Bunda India, jayalah!” ribuan orang India bersorak sorai di depan perbatasan Pakistan. Genderang bertalu-talu. Gemuruh siswa sekolah serempak melantunkan    “Hindustan Zindabad! Hindustan Zindabad! Hidup India! Hidup Hindustan!” Perbatasan India dan Pakistan terletak tepat di antara kota Amritsar dengan Lahore. Dulu, sebelum India dan Pakistan dibelah, [...]

January 23, 2015 // 7 Comments

Titik Nol (66): Lumbini

Pagoda Mongolia di Lumbini. (AGUSTINUS WIBOWO) Setelah mendapatkan visa India, saya langsung menggeret Nefransjah – seorang kawan backpacker Indonesia, untuk bersama-sama berangkat menuju negeri Hindustan. Perbatasan India dan Nepal yang paling sering dilintasi adalah Sunauli, terletak tiga kilometer di selatan kota Bhairawa yang panas dan kering. Debu langsung memenuhi kerongkongan, begitu kami meloncat dari bus. Lurus ke selatan adalah India. Belok ke kanan adalah Lumbini – tempat kelahiran Budha. Saya menganjurkan untuk singgah dulu ke Lumbini, bermalam di kota suci itu, dan melanjutkan ke India esok hari. Langit sudah mulai gelap, kendaraan pun tak banyak. Masuk ke negeri yang sama sekali asing di tengah kegelapan malam tentunya bukan hal yang menyenangkan. Jalan berdebu ke arah Lumbini sunyi senyap, tak ada kendaraan ke arah desa kecil itu. Hanya turis dan peziarah Budha yang ke sana. Sebagian besar kendaraan umum dan truk barang hanya menuju ke India, negara tetangga raksasa yang menawarkan gelimang kemakmuran. Bulan purnama bersinar, menerangi malam yang berdebu. Saya, Nef, dan seorang backpacker Israel terguncang-guncang di bak truk melintasi jalan batu menuju Lumbini. Lumbini sungguh berbeda dengan kota Nepal kebanyakan. Biksu Budha dari berbagai negara ada di sini. Selamat datang di India. Orang Nepal dan India bebas keluar masuk [...]

August 25, 2014 // 0 Comments

Titik Nol 26: Everest Base Camp

Pemandangan menuju Everest. (AGUSTINUS WIBOWO) Siapa yang tak kenal Everest, puncak tertinggi di muka bumi? Gunung agung itu kini terpampang di hadapan mata. Saya berencana menuju Nepal hari ini. Uang Renminbi saya sudah tak banyak, tak bisa bertahan lama di Tibet yang serba mahal ini. Lagi pula, visa China saya juga sudah mepet. Di Shegar, mencari kendaraan ke Tingri atau perbatasan Nepal tak mudah, apalagi karena saya sekarang bersama dua orang bule Israel. Setiap kali saya berhasil menyetop truk, begitu sopirnya lihat ada bule, langsung kabur. Kami sudah menunggu dari pagi sampai siang. “Shushu….Shushu… mau ke Zhufeng?” seorang pria Tibet berkulit hitam dan keras menyapa. Shushu, dalam bahasa Mandarin, artinya paman. Apakah saya sudah setua itu? Lelaki ini umurnya sudah empat puluh tahunan, dan seperti biasanya orang Tibet memanggil orang China, tak peduli tua muda, dengan sebutan shushu (paman) dan ayi (bibi). Zhufeng, dalam bahasa Mandarin, berarti Puncak Permata. Nama ini adalah singkatan dari Zhumulangma Feng, terjemahan dari nama Tibet Qomolangma, yang artinya Dewi Ibunda Alam Semesta. Orang kebanyakan lebih mengenal tempat ini dengan nama Everest, sebuah nama yang melekat pada puncak tertinggi di dunia ini sejak tahun 1865. Sir George Everest adalah pemimpin Great Trigonometrical Survey yang pada masa [...]

June 5, 2014 // 0 Comments

Titik Nol 7: Penantian di Pinggir Jalan

Tas ransel tergeletak di jalan. Pemiliknya menanti dalam keputusasaan. (AGUSTINUS WIBOWO) Lengang. Kami berempat menanti dalam ketidakpastian. Tak ada manusia, tak ada kendaraan yang melintas. Kerajaan yang hilang itu tersembunyi di balik gunung-gunung tinggi sana. Pria Jerman berjaket merah ini bernama Hans, seorang trekker sejati. Umurnya sudah mendekati lima puluhan, tetapi keberanian dan ketangguhannya melebihi orang muda sekalipun. Seorang diri ia sudah mengelilingi Tibet selama tiga bulan, mendaki gunung-gunung dan merambah tempat-tempat tersembunyi. Zanda, kerajaan Guge, termasuk tempat terakhir yang belum disentuhnya di tanah Tibet. Hans bisa sedikit bahasa Mandarin. Bertualang di Tibet sebagai seorang laowai – bule – sangat tidak mudah. “Hitchhike – menumpang truk – sangat susah. Sopir truk kebanyakan tak berani mengangkut laowai, karena kalau tertangkap polisi mereka akan didenda mahal.” Untuk soal permit Tibet, Hans lebih memilih mematuhi hukum. Tetapi itu pun tak mudah. Aturan di Tibet berubah setiap saat. Tidak ada yang tahu aturan apa yang sedang berlaku. Permit yang sudah dibeli mahal-mahal pun bisa jadi tak berlaku di tempat lain. Sekarang pada permit yang dipegang Hans pun tak tercantum nama Ngari, yang artinya ia pun pelancong ilegal. Hans punya segudang nasihat terhadap para pelancong ilegal seperti kami. “Berhati-hatilah, di Barga nanti ada pos pemeriksaan [...]

May 9, 2014 // 3 Comments

Titik Nol 6: Kerajaan yang Hilang

Pagi hari di Ngari, ketika gunung-gunung salju bersinar kemerahan dibilas mentari. (AGUSTINUS WIBOWO) Mashang, segera, dalam konsep sopir truk Uyghur ini ekuivalen dengan menunggu delapan jam. Truk merek Dongfeng – asli buatan China – baru berangkat meninggalkan Rutog menjelang malam setelah penantian dari siang tadi. Saya duduk berdesakan di bangku sempit sebelah sopir. Saya tak sendiri. Ada Ilya, seorang pesepeda dari Italia. Tibet memang surga bagi para pesepeda. Banyak yang datang jauh-jauh dari Eropa, menempuh perjalanan dengan sepeda melintasi Rusia dan Asia Tengah, masuk Tibet hingga ke Nepal dan India, atau berbelok ke Vietnam dan Asia Tenggara. Di mana-mana saya melihat pesepeda. Bukan hanya orang asing, pemuda-pemudi China pun sudah menempuh perjalanan keliling negara mereka yang luar biasa luasnya, hanya dengan sepeda. Lima tahun lalu, kegiatan menjelajah masih belum terlalu populer di kalangan generasi muda China. Anak muda yang saya temui di universitas semua sibuk belajar untuk meraih beasiswa ke luar negeri. Cita-cita mereka – melihat dunia luar. Waktu itu dengan paspor China sungguh sulit bisa ke luar negeri. Negara-negara lain tak mau memberi visa. Semuanya penuh perjuangan. Sekarang, ketika perekonomian sudah mulai maju, bocah-bocah dari kelas menengah sudah mengenal gaya hidup backpacking. Belajar giat, tetap. Tetapi waktu liburan juga [...]

May 8, 2014 // 1 Comment

Titik Nol 5: Meja Biliar

Kota modern di tengah gunung (AGUSTINUS WIBOWO) Kalau ada daftar tempat-tempat di ujung dunia yang paling aneh, Rutog pastilah salah satu nominasi. Kota baru yang muncul di tengah kumpulan gunung, sepetak jalan aspal lurus yang mulai dari kepulan debu dan berakhir pada kepulan debu, polisi yang berkeliaran, serta penduduk yang sehari-hari hanya bermain biliar dari pagi hingga malam. Para pesepeda Perancis baru saja berangkat menuju kota Rutog – pemukiman orang Tibet pertama dari arah Pegunungan Kunlun – sepuluh kilometer di selatan Danau Pangong yang masih dibungkus kesunyian ketika matahari pagi sudah memancarkan sinarnya ke sudut-sudut gunung. Jarak sepuluh kilo mestinya tak telalu jauh, bisa jalan kaki. Tetapi karena ini di atap dunia, pada ketinggian 4000 meter lebih, di mana oksigen tipis dan kepala selalu terasa berat, menggendong ransel pun saya hampir tak kuat lagi. Saya duduk di pinggir jalan, di atas ransel, menunggu mobil atau truk yang bisa ditumpangi. Wajah saya sekarang sama dekilnya dengan tas ransel – berbalut debu. Rambut kusut dan kasar. Kulit penuh daki. Pakaian pun jadi hitam. Danau Pangong adalah ironi, di mana danau luas berair jernih dan dingin membentang, di pinggirnya ada perkampungan gubug kumuh dan toilet tanpa air yang dikerubungi lalat hijau sebesar ujung [...]

May 7, 2014 // 4 Comments

Titik Nol 4: Surga Burung

Danau Pangong (AGUSTINUS WIBOWO) Pegunungan Kunlun membelah dunia. Di utara, Xinjiang dibungkus debu yang beterbangan dari gurun Taklamakan. Kering dan panas. Begitu melewati puncak Satsum La, dunia berubah menjadi padang rumput hijau menghampar di kelilingi gunung salju, ditangkupi langit biru. Tibet adalah sebuah dunia lain. Di sini banyak kisah tentang kehidupan di puncak bumi, di tanah yang dipeluk langit dan mega. Ada Parit Kematian yang menghantar maut, ada gunung tak berpenghuni dengan desingan angin lembah, dan sekarang, saya tiba di sebuah danau yang terhampar laksana lukisan surgawi. Danau Pangong, atau Pangong-Tso, bukan sembarang danau. Terletak pada ketinggian 4300 meter di atas permukaan laut, panjangnya sekitar 150 kilometer, lebar rata-ratanya cuma empat sampai lima kilometer. Pada bagian tersempit lebarnya cuma lima meter saja. Dengan bentuknya yang mirip lidah panjang, danau ini terbentang dari pegunungan Tibet sampai ke Kashmir. Sekitar 100 kilometer danau ini masuk wilayah China, sisanya lagi di seberang perbatasan India. Yang membuat danau ini tak biasa adalah di sisi China airnya tawar dan segar, sedangkan di sisi India berubah menjadi air asin. Hanya saya dan Deng Hui yang turun di tepi danau ini. Kernet bus Tibetan Antelope menurunkan tas ransel kami berdua dari bagasi. Dua hari perjalanan dengan bus [...]

May 6, 2014 // 0 Comments

Garis Batas 96: Good Boy

Agustinus Wibowo di Perbatasan Pakistan dan Afghanistan. Tentara perbatasan Uzbekistan memang terkenal sangat merepotkan. Penggeledahan barang-barang bawaan sudah menjadi prosedur wajib. Tetapi masih ada yang lebih melelahkan dan menjengkelkan dari ini. Sudah hampir satu jam saya berdiri di hadapan tentara muda itu, dengan semua barang bawaan saya tertata amburadul di atas meja bea cukai. Kaos dan celana-celana lusuh bertumpuk-tumpuk seperti gombal, membuat dia mirip pedagang keliling baju bekas, dan membuat muka saya merah padam. Puas mengobrak-abrik semua isi tas ransel, tentara itu langsung memerintah saya cepat-cepat mengemas kembali semua barang itu. Seperti diplonco rasanya. Saya disuruh mengikutinya, ke sebuah kamar kecil dan tertutup di pinggir ruangan. Ukurannya cuma 2 x 3 meter, sempit sekali, dengan sebuah kasur keras di sisinya. Begitu saya masuk, dia langsung mengunci pintu. Apa lagi ini? Saya berduaan dengan tentara tinggi dan gagah yang mengunci pintu di sebuah kamar dengan ranjang yang nyaman, dan sekarang dia menyuruh saya menungging. Dia mulai menggerayangi tubuh saya dengan kedua tangannya. Jangan berpikir yang aneh-aneh dulu. Setelah barang bawaan yang diperiksa, kini giliran tubuh saya yang diteliti habis-habisan. Dari ujung kepala sampai ke ujung kaki. Dan ini dalam arti harafiah. Ujung sepatu saya diketok-ketok. Kebetulan sepatu yang saya pakai ini [...]

October 25, 2013 // 11 Comments

Garis Batas 95: Tangan Tuhan

Belajar menembak (AGUSTINUS WIBOWO) Saya ingat, tak sampai dua bulan yang lalu, saya datang ke KBRI Tashkent dengan bercucuran air mata. Empat ratus dolar saya tiba-tiba raib dari dompet, yang saya sendiri pun tak tahu bagaimana ceritanya. Ceroboh, ceroboh, ceroboh, saya memaki-maki sendiri. Satu per satu diplomat dan staf KBRI duduk di hadapan saya, memberikan penguatan. “Gus, mungkin Tuhan memang punya kehendak,” kata Pak Pur, seorang diplomat, “mungkin dengan kejadian ini Tuhan mengingatkan kamu supaya lebih rajin bekerja, lebih rajin memotret, lebih rajin menulis. Semua itu ada hikmahnya.” Pak Pur kemudian bercerita tentang puluhan ribu dolar yang dicuri orang waktu naik kereta di Rusia. Lebih sakit rasanya. Tetapi akhirnya beliau juga bisa mengikhlaskan. Bicara tentang Tuhan, mengapa Tuhan tak mengizinkan saya melanjutkan perjalanan lagi, saya ingin sekali melihat negeri-negeri Kaukasus yang dilupakan orang, eksotisnya padang pasir Timur Tengah, serta Afrika yang liar. Apa daya, Tuhan tak mengizinkan, uang saya tak banyak lagi tersisa. Empat ratus dolar, begitu besar artinya bagi saya. Mungkin Pak Pur benar, Tuhan berkehendak lain. Setelah meratap berhari-hari, saya akhirnya berusaha bangkit dari keterpurukan. Saya mencari lowongan kerja di sana-sini, mengontak kawan ini dan itu, hingga pada akhirnya, hari ini, saya tersenyum kecil melihat sebuah visa Afghanistan [...]

October 24, 2013 // 2 Comments

Garis Batas 94: Kembali ke Dunia Normal

Pagi di Turkmenabat (AGUSTINUS WIBOWO) Eksodus. Lima hari di negeri yang penuh keanehan dan keajaiban sudah lebih dari cukup untuk mendorong setiap bintik sel dalam tubuh saya menggelegak, tak sabar lagi untuk kembali ke dunia normal. Ruhnama memang punya gaya gravitasi yang tiada duanya. Para penumpang kereta bak magnet tertarik ke arah saya, orang asing dari negeri seberang yang begitu khusyuk membaca Ruhnama. Ada yang antusias melantunkan lagu kebangsaan Turkmenistan, “Ciptaan agung Sang Turkmenbashi, tanah air, negeri berdaulat, Turkmenistan cahaya dan nyanyian jiwa, berjayalah selama-lamanya…” Saya jadi akrab dengan Kalkali, seorang tentara muda berumur 20 tahun. Dia adalah minoritas etnik Azeri, wajahnya tampan, alisnya tebal, hidungnya mancung, mata lebarnya hitam pekat, dan perawakannya sangat gagah perkasa. Orang-orang Azeri, pemilik negara Azerbaijan di seberang Laut Kaspia sana, adalah salah satu kaum minoritas terbesar di Turkmenistan. Kalkali bukan orang Turkmen biasa, dunianya bukan cuma Ruhnama. Dia sudah pergi ke Kyrgyzstan, Uzbekistan, India, Sri Lanka, sebagai atlet sepak bola nasional. “Saya juga sudah melihat dunia,” katanya bangga. Sekarang Kalkali jadi tentara. Semua pria Turkmen harus menjalani wajib militer selama dua tahun. Tentang kehidupannya sebagai tentara, Kalkali cuma bilang lumayan dan tidak terlalu buruk. Gajinya 5 dolar per bulan. Masih jauh lebih bagus daripada [...]

October 23, 2013 // 1 Comment

Garis Batas 80: Turkmenistan Menyambut Anda

Pintu gerbang Kota Cinta Ashgabat (AGUSTINUS WIBOWO) Kota terakhir Iran sebelum memasuki Turkmenistan adalah Guchan di utara Mashhad. Serpihan Iran yang satu ini memang bukan kemegahan macam Tehran Di kota ini gubuk-gubuk tersebar semrawut di kaki-kaki gunung berdebu. Iran, negara kaya raya ini, ternyata punya juga daerah yang morat-maritnya mirip Pakistan. Perbatasan Turkmenistan di desa Bajgiran masih 75 kilometer lagi. Bajgiran sudah seperti dunia lain. Padang-padang hijau menghampari kurva mulus bukit-bukit, membuat saya seakan sudah berada di Asia Tengah lagi. Kalau bukan tulisan-tulisan huruf Arab bahasa Persia, serta perempuan-perempuan yang dibungkus chador hitam, mungkin saya sudah lupa kalau saya masih di Iran. Penukar uang gelap berebutan menjajakan uang Turkmen. Semua membawa kresek hitam besar-besar, yang isinya hanya duit. Sebegitu tidak berharganya kah uang Turkmenistan sampai dibungkus kresek seperti dagangan kismis? Mata uang Turkmenistan namanya Manat. Nilai tukar resmi pemerintah Turkmenistan, 1 dolar = 5.500 Manat. Tetapi harga pasar gelap 25.000 Manat, hampir lima kali lipat. Tanda-tanda negara dengan perekonomian tidak sehat. Walaupun duitnya kecil, pecahan terbesar uang Turkmen hanya 10.000 Manat, yang kira-kira 3.600 Rupiah saja. Saya hanya menukar 100.000 Rial (kira-kira 100.000 Rupiah) dan langsung mendapat sekresek uang Manat pecahan 5000-an. Rasanya benar-benar seperti beli sekantung kismis. Di setiap [...]

October 3, 2013 // 3 Comments

Garis Batas 74: Raja Umat Manusia

Seorang mullah dari Shakhimardan (AGUSTINUS WIBOWO) Gerbang perbatasan terakhir yang harus kami lewati untuk menuju Shakhimardan adalah pintu Uzbekistan. Tiga gerbang perbatasan sebelumnya berlalu dengan mulus, berkat kecerdikan Bakhtiyor aka. Namun tidak yang satu ini. Sardor nampak gelisah. Bibirnya tak berhenti komat-kamit membaca doa. Bakhtiyor aka sudah cukup lama turun dan bernegosiasi dengan tentara perbatasan. Seperti yang Bakhtiyor bilang, peluang kami bisa masuk Shakhimardon cuma fifty-fifty. Tentara muda itu datang mendekati Sardor. Sardor di suruh turun, menunjukkan paspor dan dokumen-dokumennya. Saya hanya disuruh tunggu di mobil seorang diri. Tak lama kemudian Sardor berlari ke arah mobil dengan senyum terkembang. Berita bagus, pastinya.              “Kita boleh masuk, kita boleh masuk….,” dia tertawa riang. “Berapa sogokannya?” “Tidak usah sama sekali,” kata Sardor, “kamu boleh masuk karena kamu dari Indonesia. Saya bilang kamu adalah Muslim, dan kita akan pergi berziarah. Tetapi kita hanya punya waktu 45 menit. Tak lebih.” Empat puluh lima menit lagi akan ada pertukaran tentara perbatasan. Kami harus keluar dari Shakhimardan sebelum tentara muda yang berbaik hati ini berganti giliran. Kalau sampai kami terlambat dan tentara lain yang menjaga perbatasan, maka kami tidak akan bisa keluar dari Shakhimardan dengan selamat. Sardor menyebut-nyebut ziarah. Nama Shakhimardan dalam bahasa Tajik [...]

September 25, 2013 // 6 Comments

Garis Batas 73: Menyelundup

Qadamjoy dan semangat Kirghizia-nya (AGUSTINUS WIBOWO) Dunia antah berantah ini bertaburan kampung-kampung terpencil yang dikelilingi negara-negara asing. Shakhimardan, tempat yang paling ingin saya kunjungi di Asia Tengah, adalah sebuah lembah tersembunyi milik Uzbekistan yang dikelilingi gunung-gunung tinggi Pamir Alay milik Kyrgyzstan. Tetapi bagaimana caranya ke sana? Saya harus melewati pintu-pintu gerbang perbatasan Uzbekistan dan Kyrgyzstan, tanpa visa apa pun. Bakhtiyor aka (aka dalam bahasa Uzbek artinya kakak laki-laki), adalah seorang supir taksi dari Vuadil yang kebetulan juga tetangga Sardor. Melihat Sardor yang kelimpungan mencari kendaraan untuk menyelundupkan saya ke Shakhimardan, Bakhtiyor pun menawarkan bantuan. “40 ribu Sum saja,” katanya. Sekitar 35 dolar. Terlalu mahal untuk ukuran kantong kami berdua yang masih standar pelajar. Shakhimardan hanya 25 kilometer jauhnya dari Vuadil, tetapi karena pos-pos perbatasan Uzbekistan dan Kyrgyzstan itulah yang  bikin mahal. Berkat hubungan tetangga, Sardor berhasil menawar sampai 20 ribu Sum untuk misi rahasia bin berbahaya ini. “Kamu harus berjanji,” kata Bakhtiyor aka, “nanti lewat pos perbatasan, sembunyikan kameramu. Jangan bicara apa-apa. Pura-pura bisu. Davai?” “Davai,” saya mengangguk. Bakhtiyor adalah warga negara Uzbekistan, tetapi mobilnya berplat nomer Kirghiz. Dengan mobil ini, Bakhtiyor bisa melaju melintasi semua pos perbatasan Kyrgyzstan tanpa [...]

September 24, 2013 // 0 Comments

Garis Batas 72: Terkurung

Shakhimardan, desa Uzbekistan yang dikelilingi gunung-gunung Kyrgyzstan. (AGUSTINUS WIBOWO) Kalau Anda merasa Gulshan dan Halmiyon adalah aneh-anehnya negeri antah berantah, tunggu dulu, Anda mesti ke Shakhirmardan untuk melihat ajaibnya Asia Tengah. Pernahkah Anda membayangkan tinggal di sebuah kampung kecil yang dikepung oleh negara lain, sehingga untuk keluar kampung pun Anda mesti menyiapkan paspor dan visa? Ini bukan mengada-ada, enklaf-enklaf bertaburan di Lembah Ferghana. Enklaf artinya daerah kantong, seperti misalnya enklaf Oecussi-Ambeno milik Timor Leste yang dikelilingi provinsi NTT Indonesia. Bedanya, enklaf-enklaf Asia Tengah sangat kecil, biasanya cuma sebesar kampung, dan saking kecilnya banyak yang sampai tidak termuat di peta. Ada sejumput Tajikistan bertaburan di wilayah Uzbekistan, sejumput Uzbekistan di wilayah Kyrgyzstan, dan desa-desa Kirghiz terkepung distrik Ferghana-nya Uzbekistan. Ketiga negara ini, dengan segala konflik ego dan nasionalismenya, tak bisa hidup lepas satu sama lain. Politik regional Asia Tengah dibuat semakin ruwet dengan adanya enklaf-enklaf terisolasi ini, yang sengaja ditanam oleh pemerintah Soviet untuk menjadi ‘bom waktu’ kalau negara-negara ini nekat merdeka. Dan benar saja, konflik teritorial di Lembah Ferghana semakin memanas dengan pertikaian antar Uzbekistan, Kyrgyzstan, dan Tajikistan yang berdiri di atas garis-garis batas yang hanya Tuhan yang tahu kenapanya. Salah satu contohnya adalah Sokh, enklaf [...]

September 23, 2013 // 1 Comment

Garis Batas 71: Cermin Gulshan, Cermin Halmiyon (3)

Pasar ‘internasional’ (AGUSTINUS WIBOWO) Garis perbatasan internasional yang melintang ke sana ke mari di Lembah Ferghana menciptakan kantung-kantung suku minoritas di mana-mana. Salah satu contohnya adalah Halmiyon. Desa orang Uzbek yang hanya sepuluh langkah kaki dari Uzbekistan kini merupakan bagian wilayah Distrik Osh, Kyrgyzstan. Anak-anak sekolah di Halmiyon berusaha keras belajar bahasa Kirghiz, menghafal hikayat kepahlawanan Manas, mengenal pernik-pernik adat bangsa nomaden, dan yang paling penting dari semua itu, menyamakan detak jantung dan deru nafas dengan saudara setanah air nun jauh di Bishkek sana.  Republik-republik baru bermunculan di atas peta Asia Tengah menyusul buyarnya Uni Soviet. Mulai dari Turkmenistan, Uzbekistan, Tajikistan, Kyrgyzstan, hingga Kazakhstan. Semuanya adalah negara-negara yang didirikan atas dasar ras dan etnik. Turkmenistan punyanya orang Turkmen, Uzbekistan untuk Uzbek, Tajikistan negeri bangsa Tajik, demikian pula Kyrgyzstan dan Kazakhstan bagi orang Kirghiz dan Kazakh. Kini kelimanya berdiri tegak sebagai negara-negara merdeka dan berdaulat penuh. Siapa lagi yang dulu membuat kelima negara etnik ini kalau bukan sang induk semang Soviet. Bahkan definisi suku-suku, mana yang disebut orang Uzbek, mana yang namanya Tajik, mana si Kirghiz dan si Kazakh, juga buatan Soviet.  Ketika Soviet bubar, negara-negara buatan ini berdiri di atas setumpuk masalah. Tidak perlu bicara soal ekonomi yang carut-marut ketika [...]

September 20, 2013 // 8 Comments

Garis Batas 70: Cermin Gulshan, Cermin Halmiyon (2)

Bocah-bocah Uzbek di sekolah Kirghiz (AGUSTINUS WIBOWO) Gulshan adalah sebuah desa di Uzbekistan yang dipotong-potong oleh garis perbatasan Kyrgyzstan yang hanya para komrad Soviet dan Tuhan yang tahu apa mengapanya. Ada perbatasan di tengah gang kecil, ada keluarga yang dipecah-pecah oleh batas negara, ada bangunan rumah yang separuh ikut Uzbekistan separuh ikut Kyrgyzstan. Tepat di sebelah Gulshan, ada desa Halmiyon. Orang-orangnya, kulturnya, rumah-rumahnya, bahasanya, semua sama persis dengan Gulshan, yang cuma sepuluh langkah kaki jauhnya. Bedanya, di Halmiyon yang berkibar adalah bendera merah Kyrgyzstan. Saidullo mengendarai mobil Tico-nya, made in Uzbekistan, membawa saya melintasi jalan setapak di belakang desa. Jalan ini tak beraspal dan becek. Gunung-gunung salju berjajar di hadapan. Itu gunungnya Kyrgyzstan, Negeri Gunung Surgawi yang memang tak pernah lepas dari gunung dan salju. Sebenarnya jalan setapak ini juga sudah masuk wilayah teritorial Kyrgyzstan. Saya sedang dalam misi penyelundupan lintas batas tanpa paspor masuk ke wilayah Kyrgyzstan secara ilegal. Tetapi kata Saidullo, ini sudah biasa, orang-orang Halmiyon pun tidak mungkin bisa hidup tanpa interaksi dengan Gulshan, demikian pula sebaliknya. Apalagi pernikahan internasional antara penduduk dua desa sudah sangat lazim. Saidullo mengemudikan kendaraannya ke pusat Halmiyon. Saya dibawa ke sebuah sekolah, gedungnya berdiri megah, papan namanya bertulis “Sekolah Toktogul No. [...]

September 19, 2013 // 0 Comments

Garis Batas 69: Cermin Gulshan, Cermin Halmiyon (1)

Presiden kita, kebanggaan kita. (AGUSTINUS WIBOWO)) Desa Gulshan di selatan kota Ferghana ini memang tidak tampak istimewa. Deretan rumah berbaris di sisi sebuah gang sempit yang tidak beraspal. Dari depan rumah kita tidak bisa melihat kehidupan si empunya rumah. Kultur orang Uzbek membungkus rumahnya rapat-rapat di balik tembok. Inilah satu hal yang membuat tempat ini berbeda. Orang-orang yang rumahnya di berada di sisi kiri gang memegang paspor Uzbekistan, sementara di sebelah kanan adalah warga negara Republik Kirghizia. Saya masih terpesona dengan lapangnya ruang tamu di rumah Temur Mirzaev, seorang kawan Uzbek yang belajar Bahasa Indonesia di Tashkent. Ruangan ini begitu lapang, karpet-karpet merah menyala menghiasi dinding. Tiga buah bohlam lampu menggantung tersebar begitu saja di sudut-sudut ruangan. Tiba-tiba satu bohlam mati. Yang dua tetap nyala.             “Listrik Uzbekistan putus,” kata Saidullo. Listrik Uzbekistan? Maksudnya? “Lampu tadi disambung dengan listrik dari Uzbekistan,” jelas Saidullo, “sedangkan yang dua ini pakai listriknya Kyrgyzstan. Musim dingin begini, biasa, listriknya Uzbekistan sering putus.” Ketika rumah-rumah lain kegelapan gara-gara pemadaman listrik mendadak, rumah ini tak akan pernah gelap gulita karena ada cadangan listrik dari negara tetangga. Rumah Temur berada di sisi jalan yang menjadi wilayah Kyrgyzstan. Kakek Hoshim, Nenek Salima, Saidullo, istri Saidullo dan [...]

September 18, 2013 // 0 Comments

1 2 3