Recommended

bencana alam

Titik Nol 197: Menanti Mimpi Menjadi Nyata

Kekra, kendaraan di gurun pasir, akhirnya datang selelah sekian lama dinanti-nantikan (AGUSTINUS WIBOWO) Subuh. Adzan mengalun merdu dari masjid mungil bertembok lempung di dusun Ramsar, di pedalaman gurun Thar. Lantunan lembut mengawali pagi yang masih gelap gulita. Tak perlu pengeras suara, tak perlu teriak-teriak. Alunan adzan ini menyejukkan kalbu. Sang imam adalah pria tinggi bertubuh kurus dan berkumis lebat, berjubah dan bersarung. Umatnya tak banyak. Orang masih sibuk memikirkan perut yang keroncongan dan kerongkongan yang kekeringan. Sebuah hari baru pun bermula lagi di Ramsar. Nenek-nenek tua memulai kegiatan setiap pagi, mengaduk-aduk ampas gandum dengan air. Bocah-bocah menggembalakan sapi dan kambing ke tengah jungle. Ibu-ibu membikin roti chapati. Jamal bersiap mandi. Ritual mandi Jamal sangat sederhana. Airnya cuma dua timba kecil. Itu sudah termasuk mewah. Jamal suka mandi tiap hari, tetapi karena sekarang air sedang langka, biasanya cuma dua hari sekali. Anak-anaknya malas mandi. Semua kumal dan kotor, karena tiap hari cuma bermandi debu dan pasir. Sehabis mandi, roda kehidupan desa ini kembali bergulir ke monotonnya padang gersang. Angin menerbangkan debu-debu, mengisi sudut-sudut kerongkongan. Masih pasang-pasang kaki yang sama, masih tak beralas, menggesek pasir-pasir lembut, menyusuri jalan panjang mencari air. Masih kambing-kambing yang sama, mengembik meratap, mencari serpihan biji-bijian yang tersisa [...]

May 26, 2015 // 0 Comments

Titik Nol 196: Perjuangan Hidup

Di balik tirai benang-benang sulaman, penuh dengan harapan (AGUSTINUS WIBOWO) Mereka memang hidup dari bulir-bulir pasir dan setetes air yang masam lagi pahit. Tetapi mereka pun punya mimpi dan cita-cita. Jamal adalah seorang guru di desa Muslim Ramsar. Muridnya ada 15 orang. Semua kerabatnya sendiri. Gajinya dari pemerintah Pakistan. Kecil sekali. Itu pun sering terlambat. Untuk menambah penghasilan, Jamal membuka toko, satu-satunya toko di desanya. Barangnya semua dari Umerkot. “Sekarang zaman sudah modern,” katanya, “saya tinggal telepon saja ke Umerkot dan barang diantar ke sini keesokan harinya dengan bus padang pasir.” Anda mungkin heran, bagaimana di gurun kering kerontang yang listrik dan air pun tak ada, malah ada telepon. Teknologi telepon nirkabel memang sebuah mukjizat yang tahu-tahu diturunkan kepada masyarakat di gurun pedalaman. Telepon made in China yang dipegang Jamal menyambungkan seluruh penduduk desa ke dunia luar. Gagang telepon ada di rumah Jamal, sedangkan mesin telepon ditinggal di Umerkot. Gagah sekali Jamal dengan gagang telepon itu, seperti punya telepon genggam saja. Gagang telepon yang satu ini, ramai-ramai dipakai penduduk desa sebagai telepon umum, dan Jamal pun dapat sumber pemasukan baru. Toko modern (AGUSTINUS WIBOWO) Di desa Ramsar Hindu juga ada toko kelontong yang persis sama, dengan persediaan barang remeh-temeh yang [...]

May 25, 2015 // 0 Comments

Titik Nol 195: Air

Berjalan mencari air (AGUSTINUS WIBOWO) Gemerincing puluhan gelang wanita-wanita Hindu memecah kesunyian padang gurun. Masing-masing kepala mereka menyangga sebuah kendi tanah liat yang menganga lebar. Kaki telanjang menyeret-nyeret di atas pasir lembut gurun Thar yang membakar. Ini adalah perjalanan maha penting –  perjalanan mencari air. Dusun Ramser milik umat Hindu tersembunyi di balik gunung pasir, terpisah dari dusun Muslim. Kumpulan chowra bundar yang sama, bertudung rumput, membercaki kegersangan gurun, tersebar dalam kelompok-kelompok rumah sederhana yang dipagari dalam pekarangan-pekarangan. Beberapa tembok rumah bergambar dekorasi primitif berwujud flora atau fauna, sapi dan kambing – dekorasi makhluk hidup yang tidak dijumpai di rumah-rumah Muslim. Sedangkan sapi-sapi sungguhan, bertubuh kurus kering hingga nampak gamblang tulang belulangnya, berjemur santai di atas lautan pasir, menghabiskan hari-hari yang membosankan. Jaglo, seorang dokter, mengundang saya ke dalam rumahnya. Isinya mirip sekali dengan otagh tempat saya menginap kemarin malam di desa Muslim. Kosong melompong. Ada beberapa kasur kecil, piring makan, cermin, foto-foto kakek moyang, dan gambar-gambar dewa Hindu. Itu saja. Gambar-gambar dewa, mulai dari Syiwa yang berwarna biru sampai kera Hanuman berbibir merah tebal, tertempel rapi di sudut kamar. Ini adalah altar untuk puja. Walaupun miskin dan masuk kasta terendah, orang sini tak pernah lalai memanjatkan puja. Dewa-dewi dan [...]

May 22, 2015 // 0 Comments

Titik Nol 194: Menanti Hujan

Otagh (AGUSTINUS WIBOWO) “Hidup di sini sangat berat,” keluh Jamal, “sudah empat tahun tak turun hujan. Tidak ada air untuk kami minum. Tidak ada rumput untuk hewan-hewan kami. Tidak ada susu untuk anak-anak kami. Sapi-sapi sudah kurus tanpa tenaga.” Jamal adalah seorang penduduk desa Ramsar, sebuah desa yang boleh dibilang cukup besar di tengah padang gurun Thar. Desa ini dihuni hampir 2000 orang, sekitar 150 keluarga. Ada penduduk Hindu, ada pula yang Muslim. Tetapi mereka tidak hidup bersama-sama. Desa Ramsar Muslim, ditinggali 50 keluarga, sangat dekat dengan jalan raya. Desa Ramsar Hindu masih satu setengah kilometer lagi jauhnya, di balik barisan bukit-bukit pasir di belakang sana. Jamal tinggal di desa Muslim. Dengan ramah Jamal bersedia menjadi tuan rumah saya, yang begitu ingin mengalami kehidupan di tengah padang gurun. Tahu saya sedang menderita hepatitis, Jamal bahkan sampai membeli es batu dari pasar Umerkot, diwadahi termos supaya tetap dingin di bawah teriknya mentari gurun. Di tempat sekering ini, air begitu berharga, apalagi es batu. Saya tinggal di sebuah chowra, rumah tradisional padang Thar. Bentuknya bundar, terbuat dari batu bata dan lumpur. Atapnya dari rumput-rumputan, diikat rapi, menjulang tinggi berujung lancip. Rumah ini sangat berangin, karena jendelanya besar-besar dan tak bisa ditutup. Ada [...]

May 21, 2015 // 4 Comments

Titik Nol 173: Tuan Rumah

Rumah mewah bertabur di Islamabad (AGUSTINUS WIBOWO) Konsep mehman begitu mengakar dalam sanubari kehidupan orang Pakistan. Sebagai tamu, saya tidak hanya merasa malu saja, kali ini saya bahkan dirundung perasaan berdosa. Sudah beberapa hari ini saya tinggal di rumah Syed Ijaz Gillani, seorang kawan dekat yang juga sukarelawan selama di Kashmir. Dari namanya, Syed, menunjukkan ia orang yang dihormati karena konon adalah keturunan langsung Nabi Muhammad. Di negara ini, biasanya orang yang mengenal sang Syed langsung menyentuhkan tangan mereka ke sepatunya, lalu menempelkan tangan ke jidat mereka. Kalau bersalaman mereka sampai mencium tangan dan untuk kasus ekstrim sampai mencium kaki. Penghormatan seperti ini adalah cara orang Hindu menghormati kasta pandita. Kultur India ini belum luntur di Republik Islam Pakistan. Selain karena namanya, Syed Ijaz juga orang terpandang. Rumahnya seperti istana kecil di Islamabad. Rumah-rumah di kota yang jarang-jarang penduduknya ini bisa dikatakan hampir semuanya tergolong mewah, sungguh kontras dengan perumahan kumuh di Rawalpindi, saudara kembar kota ini. Ijaz punya bisnis keluarga yang cukup sukses. Selain itu beberapa kerabat dekatnya adalah pemuka agama penting di seluruh Pakistan. Ayah Ijaz yang sudah tua dan sangat taat beragama (AGUSTINUS WIBOWO) Kekayaan Ijaz dan kawan-kawannya membuat saya terperangah. Pernah saya diundang ke rumah Madam [...]

April 22, 2015 // 0 Comments

Titik Nol 169: Selamat Tinggal Noraseri

Para sukarelawan mengucapkan selamat tinggal kepada penduduk Noraseri, diiringi cucuran air mata (AGUSTINUS WIBOWO) Mentari pagi menyembulkan sinarnya di balik barisan pegunungan Kashmir. Puncak tinggi Nanga Parbat berdiri gagah penuh aura misteri. Lekukan kurva sambung menyambung ke seluruh penjuru. Permadani hijau membungkus bumi. Kashmir menyambut datangnya musim panas. Tetapi justru di saat inilah saya harus meninggalkan Noraseri. Tujuh minggu di kamp sukarelawan berlalu begitu cepat. Saya teringat, di bawah rintik hujan ketika saya pertama kali datang, dikenalkan dengan belasan wajah-wajah dan nama-nama baru, berkelap-kelip di bawah sinar lampu minyak. Para sukarelawan yang masing-masing punya cerita unik. Ada juru masak yang telur gorengnya luar biasa nikmat di pagi yang dingin, yang berkisah tentang hidup di Yunani dan bagaimana beriman sepenuhnya. Ada yang suka mengajukan pertanyaan tanpa henti, sepanjang hari, membawa berbagai topik diskusi berat. Ada permainan kriket di sore yang cerah. Ada yang serius mengerjakan tugas-tugas di kegelapan malam hanya dengan sinar lampu petromaks. Ada lantunan naat di kemah, dengan penduduk desa yang datang berkerumun. Saya teringat betapa susahnya jalan naik turun gunung untuk melakukan survey di bawah guyuran hujan, melintasi tebing curam dan becek, atau lereng terjal berbalut pasir dan kerikil licin yang bisa longsor setiap saat. Betapa indahnya senyum [...]

April 16, 2015 // 0 Comments

Titik Nol 168: Negeri Para Petarung (4)

Ali Zaman dan Gul Zaman (AGUSTINUS WIBOWO) Tongkat, bedil, dan pedang adalah bagian tak terpisahkan dari kehidupan orang Kandar. Seorang tetua Kandar mengajari saya tentang filosofi budaya bertarung mereka. “Tidak benar orang Kandar suka bertarung,” sangkal Behsar, pemuda dari desa Kandar Tengah. Saya masih berdebat dengannya, membenturkan data-data yang berhasil saya kumpulkan dengan sanggahan-sanggahannya. Saya bertanya tentang di mana helipad tempat pembajakan helikopter itu terjadi. Behsar menunjuk ke atas. Dia keceplosan. Jawabannya membuktikan bahwa peristiwa itu memang terjadi. Semuanya jadi berbalik arah. Dari defensif, ia kini terang-terangan membanggakan kebiasaan berkelahi. “Apa salahnya? Kami memang bukan orang yang lemah! Tetapi kami sangat bersahabat dengan orang luar!” Lalu mengapa orang-orang Noraseri punya begitu banyak kisah konyol dan seram tentang kebiasaan antik orang Kandar? Mengapa semua orang di lereng bawah gunung sana takut akan keganasan orang Kandar? “Karena orang Noraseri-mu itu tidak berpendidikan!” Dari seorang Behsar yang lemah lembut dengan bahasa Inggris yang fasih karena pendidikan yang tinggi, kini ia berubah menjadi Behsar yang benar-benar orang Kandar. Farman sebenarnya sudah mulai kesal dengan saya. Dia sudah tidak ingin untuk membawa saya ke tempat yang lebih tinggi lagi. “Saya masih belum melihat Kandar,” sanggah saya, “ayolah, bawalah saya ke atas lagi. Setidaknya sampai melihat [...]

April 15, 2015 // 0 Comments

Titik Nol 166: Negeri Para Petarung (2)

Selalu berapi-api waktu bicara (AGUSTINUS WIBOWO) Saya baru tahu betapa susahnya mencari orang Kandar. Bukan hanya medan gunung yang berat melintasi titik-titik rawan longsor, tetapi juga saya tak tahu bagaimana wujud orang Kandar. Sekarang Farman, kawan seperjalanan saya, ingin membuat saya terkesan dengan perjalanan lintas gunung ini. Setiap kali kami berpapasan dengan orang yang bersurban atau berjenggot lebat, Farman langsung bilang, “Dia orang Kandar! Dia orang Kandar!” Saya tidak percaya. Masa cuma surban dan jenggot yang menjadi karakteristik orang dari negeri petarung? Benar saja, seorang pemuda malang langsung menjerit, “Bukan! Aku bukan dari Kandar!” Farman terpingkal-pingkal. Kami singgah di sebuah rumah. “Selamat datang, ini adalah rumah pertama orang Kandar yang kita jumpai,” kata Farman bak seorang pemandu wisata. Sebagai seorang turis yang sama sekali buta pelosok gunung ini, saya cuma bisa mengamini. Empat orang pria sedang sibuk bekerja. Ada yang menggergaji, ada yang memotong kayu. Semua berpakaian celana shalwar dan jubah kamiz. Kepalanya dibungkus surban putih, yang cara memasangnya pun tak lazim. Ujung lilitan surban tak panjang, menyerong ke atas seperti menantang langit. Tiba-tiba seorang kakek tua yang melihat saya memotret-motret, dengan garang menerjang ke arah saya, mencoba merampas kamera yang saya pegang. Saya terkejut sampai terlompat. Farman menghalangi si [...]

April 13, 2015 // 0 Comments

Titik Nol 165: Negeri Para Petarung (1)

Gunung-gunung Kashmir yang megah (AGUSTINUS WIBOWO) Dari segala kisah-kisah aneh yang saya dengar di sini, tidak ada yang lebih tidak masuk akal daripada cerita tentang orang Kandar, suku petarung di puncak gunung. Kandar adalah sebuah desa kecil terletak di puncak bukit yang terlihat di belakang Noraseri. Jaraknya cuma empat kilometer, naik turun gunung, dan butuh waktu tiga jam untuk mencapainya. Walaupun demikian, bagi sebagian besar orang normal, Kandar sama sekali bukan tempat yang bisa dikunjungi. Ada apa dengan Kandar? Namanya tersohor di seluruh pelosok perbukitan. Tak ada orang Noraseri yang tak kenal desa kecil di atas sana itu. Bahkan di kota pasar Pattika dan Muzaffarabad yang jauh di bawah sana, semua orang pernah mendengar nama desa ini. “Walaupun cuma empat kilometer jauhnya,” kata Rashid, sukarelawan dari Islamabad, “orang Kandar sudah nampak jauh berbeda dari penampilan fisiknya. Mereka selalu berjalan ke mana-mana dengan tongkat kayu. Tongkat ini selalu siap untuk memukul orang. Mereka juga menggantungkan syal di leher.” Saya jadi terbayang pejuang Pashtun di Afghanistan, apalagi nama Kandar mirip dengan Kandahar, kota lahirnya Taliban. “Kalau Afghanistan punya Kandahar, maka Kashmir punya Kandar,” Rashid melanjutkan, “orang-orangnya sama-sama suka perang.” Tanggal 12 Januari 2006, pernah kejadian orang Kandar membajak helikopter yang mengangkut bala [...]

April 10, 2015 // 1 Comment

Titik Nol 164: Terbungkus

Membaca doa setelah akad nikah (AGUSTINUS WIBOWO) Imam berkomat-kamit membaca doa. Pengantin pria menundukkan kepalanya, tegang sekali. Para pria mengelilingi sebuah lingkaran di dalam rumah darurat. Rintik-rintik hujan dan deru angin menembus melalui lobang pintu dan jendela. Di sinilah akad nikah berlangsung. Saya terbayang pernikahan Kashmir yang pernah saya baca. Ratusan orang menari-nari di jalan, dengan tetabuhan musik dan senandung lagu-lagu, menembus keheningan barisan gunung-gunung yang menggapai langit. Makanan melimpah ruah. Orang-orang berpesta pora. Tetapi di sini, enam bulan lalu gempa dahsyat telah menghancurkan semuanya. Bukan hanya rumah yang hancur, tetapi juga keluarga, manusia, hewan ternak, harta benda, mimpi dan cita-cita. Semua dirundung kesedihan karena kehilangan sanak saudara. Banyak desa yang musnah, sisanya lagi tinggal sebagian saja penduduknya. Longsor menghanyutkan rumah-rumah. Manusia bangkit dari puing-puing reruntuhan. Tetapi hidup masih harus terus berjalan bukan? Setelah sekian bulan berlalu, pelan-pelan hidup mulai bangkit dari kehancuran. Setelah melewati Ramadan, Idul Fitri, hingga empat puluh hari perkabungan Muharram, pasangan-pasangan berbahagia pun dinikahkan, menempuh hidup baru yang berawal dari bongkahan kehancuran. Lupakan pesta perkawinan Kashmir yang mewah dan berwarna-warni. Sekarang, kita kembali ke reruntuhan, barisan tenda, dan rumah darurat yang masih belum jadi. Di sinilah akad nikah dilangsungkan. Dalam keheningan dan [...]

April 9, 2015 // 0 Comments

Titik Nol 163: Barat dan Baran

Menanti datangnya barat (AGUSTINUS WIBOWO) Vicky terbilang rajin mengunjungi kamp sukarelawan kami, sudah menjadi kawan akrab kami hampir setiap hari. Kemarin, di bawah guyuran hujan gerimis, Vicky datang menyampaikan undangan pernikahan seorang kerabatnya. Sudah beberapa hari pegunungan Kashmir dilanda sapuan hujan lebat dan gemuruh tanah longsor. Tetapi hari ini matahari terik bersinar. Gunung-gunung Kashmir mulai berdandan dengan selimut hijau. Musim semi telah tiba, diawali hujan yang memunculkan kembali segarnya rumput dan pohon. Langit biru cerah. Benar-benar hari yang indah untuk melangsungkan pernikahan. Bersama beberapa kawan sukarelawan, kami menuju ke tempat perhelatan pernikahan. Vicky dan beberapa sepupunya yang masih kecil-kecil sibuk menata kursi di tanah lapang yang dipenuhi bongkah batu. Seperti layaknya daerah pasca gempa, lokasi acara pernikahan kali ini pun tak jauh dari puing-puing dan tenda. Lihat saja dapurnya. Tungku api dinyalakan di atas puing-puing batu. Entah rumah siapa yang pernah ambruk di sini. Dua tongkat kayu menyokong selapis atap seng, melindungi masakan yang baru matang. Di dapur terbuka ini semua orang sibuk. Dua juru masak membikin nasi biryani di panci berukuran raksasa. Di Kashmir, nasi adalah menu wajib untuk acara besar seperti pernikahan, perkabungan, tahlilan, dan sebagainya. Panci satunya untuk memasak daging sapi, diiris kecil-kecil dan diaduk dalam adonan [...]

April 8, 2015 // 0 Comments

Titik Nol 162: Rindu Rumah

Pathika yang masih bernafas di tengah kehancuran (AGUSTINUS WIBOWO) Kehangatan keluarga-keluarga Noraseri terkadang membuat saya tersiksa. Ada kerinduan yang menggebu di dalam hati – kerinduan akan rumah, kampung halaman, ayah bunda dan keluarga. Sudah lebih dari satu bulan saya tinggal di desa ini. Saya masih ingat betul, betapa garangnya hujan di Kashmir kala itu, diikuti gemuruh longsor yang sambung-menyambung, dan gelap gulita di setiap malam. Di bawah kelip lampu petromaks, saya menyantap nasi biryani dan kari tanpa sendok, berkenalan dengan belasan kawan baru yang nama-namanya hampir mustahil untuk diingat semua. Tetapi sekarang, ketika gunung-gunung menjulang di seluruh penjuru itu berbalut permadani rerumputan hijau, saya merasa sudah menjadi bagian dari kampung ini. Saya mulai tahu gosip-gosip yang beredar. Penduduk desa pun selalu memanggil nama saya. Medan gunung yang berat, naik turun tebing, meloncati batu besar, sekarang sudah menjadi keseharian saya. Dulu saya hanya tahu Pak Basyir cuma penjaga tenda, tetapi sekarang saya tahu bahwa Bu Basyir sering menangis di malam hari hanya karena merindukan saya. Ketika saya ‘turun gunung’ untuk berinternet, Afaq, Danish, Ilham, dan para pemuda desa lainnya selalu menanyakan keberadaan saya. Pak Dokter yang penuh candaan konyol ternyata menyimpan kisah sedih di sudut rumahnya. Demikian pula keluarga Pak Haji yang [...]

April 7, 2015 // 0 Comments

Titik Nol (161): Pak Dokter yang Bukan Dokter

Karena alasan keamanan, keluarga di Kashmir menyimpan senjata api (AGUSTINUS WIBOWO) Orang-orang Noraseri menyebut pria berjenggot putih yang murah senyum ini sebagai Doctor Sahab, Pak Dokter. Saya pun mengamininya sebagai dokter, setelah mendengar ceramahnya tentang obat-obatan anti diare. “Hah, kau kira Dokter Sahab itu benar-benar dokter?” Hafizah, putri Haji Sahab yang juga bekerja di rumah sakit tertawa tergelak-gelak, “Bukan. Dia sama sekali bukan dokter. Tak tahu mengapa semua orang sini memanggilnya Pak Dokter.” Pak Dokter yang satu ini, saudara kandung Basyir Sahab yang menjaga keamanan tenda kami, hampir setiap sore bertandang ke perkemahan kami. Orangnya humoris dan tak pernah kehabisan bahan lelucon. Walaupun sudah tua, Pak Dokter suka sekali bermain dengan kami yang muda-muda, mulai dari kartu sampai kriket, semua dia jagonya. “Saya dulu satu sekolah dengan Presiden Sukarno,” saya teringat salah satu bualan Pak Dokter yang paling dahsyat, “jadi jangan lupa kirim peci dari Indonesia, paling sedikit 50 biji. Nanti penduduk desa Noraseri semua akan jadi seperti Presiden Sukarno, sahabat karibku itu.” Di kesempatan lain, Pak Dokter menyuruh saya cepat-cepat menikah. “Kalau kamu tidak menikah, nanti kamu tidak bisa dapat bahan bangunan rumah!” Organisasi kami memang punya ketentuan, hanya mendistribusikan bahan bangunan shelter permanen kepada keluarga. “Tak peduli betapa [...]

April 6, 2015 // 1 Comment

Titik Nol 159: Hindko

Samera dan bayinya (AGUSTINUS WIBOWO) Cahaya remang-remang bohlam mungil mengaburkan raut wajah para penghuni rumah. Tetapi tawa riang tak pernah berhenti membawa kesegaran di sini. Yang saya ingat dari Samera, kakak Hafizah yang berusia 25 tahun ini, adalah seorang wanita berkulit gelap yang menangisi kepergian ayahnya, almarhum Haji Sahab. Di bawah rintik hujan, suara Samera meraung memilukan. Liang kubur ayahnya baru saja ditutup ketika ia menginjakkan kaki di tanah Noraseri yang becek. “Mengapa tidak ada foto Bapak?” kata Samera kecewa, memencet-mencet tombol kamera digital saya. Saya memang tidak mengambil foto jenazah Pak Haji karena takut melanggar norma masyarakat setempat. “Saya tidak sempat melihat wajah Bapak untuk terakhir kalinya, tetapi kamu malah tidak memotretnya,” keluh Samera lagi, air matanya menetes membasahi pipi. Tetapi Samera hari ini, tiga minggu lebih setelah kepergian ayahandanya, sudah berubah menjadi perempuan yang ceria. Ia tertawa lepas ketika melemparkan bayinya yang baru enam bulan tinggi-tinggi, dan kemudian memeluk si bayi erat-erat. Bayi laki-laki itu sama sekali tidak menjerit atau menangis. “Anakku ini bocah pemberani,” katanya sambil mengusap-usapkan kepalanya di atas kepala si bayi. Bayi itu hanya tersenyum kecil. Samera kemudian mengangkat bayinya tinggi-tinggi, memutar makhluk malang itu seperti kincir angin. Si bayi tertawa lepas. Samera lebih bangga [...]

April 2, 2015 // 0 Comments

Titik Nol 158: Keluarga Haji Sahab

Keluarga Haji Sahab (AGUSTINUS WIBOWO) Masih ingat Pak Haji, atau Haji Sahab, yang meninggal di hari kedatangan saya di Noraseri? Rumah duka itu kini sudah mulai menampakkan keceriaan di tengah masa perkabungan. Terlahir sebagai Sayyid Karim Haider Shah Kazmi, almarhum Pak Haji pernah tinggal selama 38 tahun di Saudi Arabia. Ia bekerja, menetap, dan menikah di sana. Istrinya orang Arab. Selama di tanah suci, Karim Haider sudah menunaikan ibadah haji tujuh kali. Karena itu begitu pulang, ia dikenal oleh penduduk kampung Noraseri sebagai Haji Sahab. Orang desa menyebut keluarga ini sebagai Arabwallah, orang Arab. Pak Haji punya delapan anak. “Sebenarnya waktu itu kami sudah punya satu anak laki-laki,” kata Bu Haji, “tetapi Haji Sahab ingin satu putra lagi. Tetapi Allah berkehendak lain. Anak-anak berikutnya, sampai anak kedelapan, semua perempuan.” Bu Haji, atau Bari Amma (nenek besar) berusia lima puluhan, berkulit gelap seperti orang dari propinsi Baluchistan di selatan sana. Raut mukanya tenang, tak banyak bicara. Pakaiannya adalah shalwar kamiz sederhana dengan dupata yang berfungsi sebagai kerudung sekaligus penutup dada. Saya sempat tak percaya bahwa Bari Amma ini orang asing. Ketika baru datang dari tanah Arab dulu, bahasa Urdunya katanya tak jauh berbeda dengan bahasa Urdu saya yang amburadul, tetapi sekarang [...]

April 1, 2015 // 0 Comments

Titik Nol (156): Mandi Darah

Zanjir terayun (AGUSTINUS WIBOWO) Darah segar mengaliri punggung bocah-bocah kecil belasan tahun ini. Beberapa tetes terciprat ke wajah dan pakaian saya. Semua orang hanyut dalam nuansa perkabungan, peringatan empat puluh hari wafatnya Imam Hussain dalam perang Karbala. Sepuluh Muharram tahun 61 Hijriyah, atau 680 Masehi, Hussain bin Ali bin Abi Thalib, cucu Nabi Muhammad S.A.W, gugur dalam pertempuran di perang Karbala melawan khalifah Yazid. Lebih dari 1300 tahun berselang, umat Syiah di Pakistan memperingati peristiwa itu dengan bermandi darah. Saya didampingi seorang pria tua berjenggot lebat yang mengaku sebagai petugas lapangan acara peringatan Chehlum hari ini. Pak tua bukan hanya memberi tahu saya harus ke mana dan meliput apa, malah masih membantu saya memanjat tembok dan pagar untuk mendapatkan angle yang bagus untuk liputan prosesi akbar ini. Pelataran masjid Syiah Muzaffarabad dipenuhi oleh pria yang berbaris bersaf-saf, berhadap-hadapan. Mereka semua bertelanjang dada atau berkaus kutang putih. Bersamaan, mereka mengayunkan lengan kanan tinggi-tinggi, kemudian dilecutkan ke dada masing-masing dengan keras. Plak..! Kemudian lengan kiri diangkat, dipukulkan dengan kencang ke dada. Plak…! Berulang-ulang, bertalu-talu. Gemuruh pukulan serempak di dada ratusan orang berhamoni bak musik pengiring. Kadang lembut dan lambat, kadang cepat dan penuh histeria. Orang-orang ini seakan tersihir dalam maatam, memukuli dada [...]

March 30, 2015 // 2 Comments

Titik Nol 155: Para Pengikut Ali

Mengikatkan bendera (AGUSTINUS WIBOWO) Suasana kesedihan menggelayut di Muzaffarabad. Para pria serempak memukuli dadanya. Anak-anak menyambitkan pisau tajam. Darah di mana-mana. Empat puluh hari yang lalu, 10 Muharram, adalah hari yang paling sedih sepanjang tahun. Ratusan orang berkumpul di lapangan, menangis bersama-sama, memukuli diri, dan menyambitkan rantai pisau sambil meratap. Darah segar mengalir, tetapi sama sekali tidak menghalangi jalannya upacara. Bulan Muharram adalah bulan penuh kesedihan. Warna hitam bertabur di seluruh pelosok kota. Lengang, karena tidak ada yang menyalakan musik lagu-lagu Hollywood. Yang terdengar sekarang adalah lantunan irama maatam, tangan yang menepuk dada berirama sebagai lambang berkambung, dan lagu-lagu yang mengalir melankolis, meratapi kematian Hussain dan kejamnya perang Qarbala. Hari ini, 20 Safar, adalah berakhirnya masa perkabungan yang empat puluh hari itu. Orang Pakistan menyebutnya sebagai Hari Chehlum, dari bahasa Farsi yang artinya ‘hari ke-40’. Bagi umat Syiah, memperingati Chehlum hampir sama pentingnya dengan memperingati Ashura. Walaupun mayoritas penduduk Pakistan menganut sekte Sunni, Chehlum juga diperingati sebagai hari libur nasional. Saya mengunjungi sebuah masjid umat Syiah di pusat kota Muzaffarabad, tidak jauh dari bazaar utama. “Kamu Muslim?” tanya Hamdani, seorang pria tiga puluhan mengenakan shalwar kamiz hitam-hitam, warna perkabungan. Hamdani mengaku sebagai penjaga keamanan upacara peringatan [...]

March 27, 2015 // 0 Comments

Titik Nol 154: Rumah Baru, Harapan Baru

Rumah baru, harapan baru (AGUSTINUS WIBOWO) Perjalanan kembali ke Noraseri rasanya seperti pulang ke kampung halaman. Saya mulai merasa bahwa dusun di pegunungan ini adalah suratan takdir saya, tempat saya menemukan orang-orang dan ratusan kisah yang mengubah hati saya. Salah satunya adalah keluarga Basyir Sahab. Dulu saya hanya mengenal Pak Basyir sebagai petugas keamanan kamp kami. Orangnya kurus, berkumis lebat, tetapi senantiasa ramah dengan senyumnya. Selalu berjubah shalwar kamiz ke mana-mana. Kalau perkemahan kami sedang kosong ketika para pekerja sosial turun ke lapangan, Pak Basyir lah yang menjaga keamanan barang-barang kami. Pak Basyir juga membantu memasak, menyediakan perlengkapan, dan membantu kami boyongan. Lebih dari itu, saya tak tahu banyak karena Pak Basyir sendiri tak banyak bicara. Hingga akhirnya saya berkenalan dengan Mubasshar, putra tertua Basyir Sahab yang berumur 22 tahun. Mubasshar berjenggot lebat sehingga kawan-kawannya di Noraseri menjulukinya sebagai Sufi, ahli mistis. Sejak bencana gempa itu, Mubasshar tak pernah mencukur jenggotnya lagi, mungkin sebagai nasar. “Waktu gempa itu aku sedang bekerja di Muzaffarabad,” kata Mubasshar, “dan jalan menuju Noraseri sama sekali terputus.” Muzaffarabad hancur lebur, ribuan orang tewas. Mubasshar lebih kuatir keluarganya yang masih tinggal di lereng pegunungan Noraseri. Tanpa pikir panjang, di tengah alam yang masih sesekali mengamuk dan [...]

March 26, 2015 // 0 Comments

Titik Nol 150: Terjebak Birokrasi Pakistan (1)

Sok kenal sok dekat. Dengan berbekal foto bersama kepala inspektur polisi ini saya berharap semua urusan akan berjalan mulus (AGUSTINUS WIBOWO) Mungkin memang takdir saya untuk selalu dipusingkan masalah visa. Saya teringat betapa saya harus beradu mulut untuk mendapatkan visa India di Nepal, bersusah payah dengan setumpuk beban mental untuk mendapat visa Pakistan di India, dan kini, saya akan mengalami serentetan perjuangan panjang dalam semrawutnya birokrasi Pakistan. Salah satu masalah bagi tenaga sukarelawan asing adalah visa. Tak terasa, visa tiga bulan yang diberikan Kedutaan Pakistan akan segera habis dalam beberapa hari ini. Sebelumnya, Rashid dari Danish Muslim Aid selalu berusaha meyakinkan saya, “Jangan kuatir untuk urusan visa. Saya akan membantumu. Semuanya pasti beres, Insya Allah!” Saya pun menaruh harapan besar padanya, apalagi katanya Rashid kenal banyak orang penting di Muzaffarabad. Di Pakistan, semuanya bisa jalan dengan koneksi. Kenal seorang tetangga dari ipar dari sepupu dari nenek dari ayah dari teman dari bibi dari ibu Anda bisa mengantar Anda ke puncak dunia, atau kalau salah orang, ke penjara. Sering kita melihat hubungan kekerabatan yang ruwet dalam film-film Bollywood. Sekarang, semuanya itu menjadi dunia nyata yang sedang saya jalani. Hubungan koneksi yang panjang mengantar saya dan Rashid duduk di hadapan Senior Superintendent [...]

March 20, 2015 // 12 Comments

Titik Nol 149: Jalan Persahabatan, Gang Martabat

Rumah permanen yang dibangun oleh Sabit Merah Turki (AGUSTINUS WIBOWO) Gempa bumi Kashmir bukan hanya menyisakan penderitaan dan tragedi. Ada pula mukjizat dan harapan baru yang muncul dari tumpukan puing-puing reruntuhan. Sebuah mazar, makam orang suci Muslim, terletak di dekat kawasan Sekretariat. Pada hari terjadi gempa, beberapa umat bersembahyang dalam mazar. Entah apa yang terjadi, orang-orang ini khusyuk dalam ibadah mereka, sama sekali tak merasakan goncangan dashyat yang menghancurkan Kashmir. Betapa terkejutnya ketika mereka meninggalkan mazar, menyaksikan lingkungan Muzaffarabad yang tiba-tiba hancur lebur. Sedangkan mazar ini, bukan hanya masih berdiri, bahkan satu goresan pun tak ada. Kisah mukjizat ini yang kemudian menjadi buah bibir masyarakat Muzaffarabad. Di dekat mazar ada sebuah madrasah. Bocah laki-laki dan perempuan yang masih kecil-kecil bersama belajar membaca Al Qur’an di bawah bimbingan sang ustadz, seorang pria gemuk berjubah, berjenggot, dan berkopiah. Mereka belajar di halaman, karena gedung madrasah sudah retak dalam keadaan parah, sangat berbahaya kalau ada goncangan sedikit saja. “Kami datang untuk ikut merasakan air matamu,” demikian spanduk merah bertebaran di jalan utama Muzaffarabad. Spanduk ini dipasang oleh Insani Yardim Vakfi (IHH), sebuah organisasi kemanusiaan asal Turki yang sudah mengulurkan tangan di pelbagai daerah bencana di seluruh dunia. Di antara negeri-negeri Muslim, hanya Turkilah [...]

March 19, 2015 // 8 Comments

1 2