Recommended

Buddha

Titik Nol 22: Shigatse

Kuil Tashilhunpo (AGUSTINUS WIBOWO) Shigatse, kota terbesar kedua di Tibet, menggeliat dalam modernisasi. Toko-toko orang China bermunculan, sementara para biksu masih larut dalam lautan mantra dan sutra. Kota baru Shigatse bisa dibilang cukup rapi. Toko, apotek, restoran, rumah sakit, hotel, diskotek, kelap-kelip lampu neon bertulis huruf China, semua ada di sini. Bahkan teknik restoran menarik pembeli yang lagi populer di pedalaman China sudah sampai ke sini. Restoran baru bernama “Bu Haochi – Tidak Enak” malah berhasil menarik banyak pelanggan yang penasaran. Warung Sichuan mendominasi pusat kota. Restoran makanan Tibet tergusur ke pinggiran. Sementara sisi lain kota Shigatse, di kompleks perumahan orang Tibet di dekat kuil agung Tashinlhunpo sungguh kumuh. Walaupun jalan sudah beraspal mulus, trotoar nyaman dinaungi rindangnya pohon, berjalan di sini perlu kehati-hatian tingkat tinggi. Kotoran manusia bertebaran di trotoar.  Orang Tibet,  dari anak-anak sampai kakek nenek, laki-laki maupun perempuan, seenak hati tanpa sungkan berhajat di pinggir keramaian. Tashilhunpo adalah salah satu kuil terbesar dan terpenting umat Budha Tibet, khususnya bagi sekte Topi Kuning aliran Gelugpa. Di sinilah dulunya Panchen Lama, pemimpin spiritual Tibet terpenting kedua setelah Dalai Lama, bertahta. Karenanya, dalam Revolusi Kebudayaan ketika tempat-tempat ibadah dan pemujaan di seluruh Tiongkok mengalami kerusakan parah, sebagian besar patung kuno [...]

May 30, 2014 // 1 Comment

Titik Nol 21: Debat

Para biksu berdebat sengit di Kuil Sera. (AGUSTINUS WIBOWO) Kuil Sera, salah satu dari tiga universitas Budhisme penting di Tibet, terletak lima kilometer di  utara pusat kota Lhasa. Sempat ditutup selama Revolusi Kebudayaan, kini dibuka kembali dan menjadi tontonan para turis yang menyaksikan debat keagamaan setiap hari. Seperti halnya kuil-kuil penting lainnya di Lhasa, Kuil Sera pun menarik karcis dari pengunjung. Orang asing dan orang China membayar 50 Yuan, penduduk Tibet 1 Yuan. Tidak bisa ditawar. Untuk ukuran kantong saya, uang itu termasuk besar. Berat sekali rasanya mengeluarkan uang sebanyak itu untuk tiket masuk tempat ibadah. Saya tak pernah setuju kalau tempat ibadah menarik karcis dengan memaksa. Daripada mendukung materialisasi agama, saya memilih beribadah mengelilingi kuil suci ini. Dalam agama Budha Tibet, mengelilingi tempat suci juga termasuk ibadah. Seperti kora mengitari Kailash dan Manasarovar, atau lingkhor mengitari Potala dan Chokpuri di Lhasa, kuil-kuil suci pun punya lintasan untuk dikelilingi. Di sekitar Kuil Sera, orang Tibet dengan khusyuk melaksanakan ibadah mengelilingi kuil. Mereka mendaki batu-batu cadas, dengan mulut berkomat-kamit dan tangan terus memutar roda sembahyang. Ada barisan silinder emas bertulis mantra suci, setiap kali memutarnya, pahala semakin bertambah. Batu-batu besar di lereng tebing pun dilukis gambar dewa. Ada Yama, Dewa Kematian [...]

May 29, 2014 // 1 Comment

Titik Nol 19: Biksu Muda

Biksu muda dari Qinghai di depan Istana Potala. (AGUSTINUS WIBOWO) “Tashidelek!” dua orang biksu muda menghentikan saya yang sedang berjalan di jalan raya Lhasa. “Budha memberkati.” Mereka membungkuk. Saya ikut membungkuk, membenturkan kepala kami sebagai tanda salam yang paling terhormat. Jalanan kota Lhasa tak pernah sepi. Bendera warna-warni menghias sepanjang jalan, merayakan 40 tahun berdirinya Daerah Otonomi Tibet. Empat puluh tahun ini, sudah begitu banyak perubahan di atap dunia ini. Mobil hilir mudik di jalan utama yang lapang dan beraspal mulus. Toko-toko berbaris, menunjukkan ekonomi yang sedang berkembang. Restoran Sichuan menebarkan aroma masakan Tiongkok yang menggoda. Orang-orang berpakaian trendi, bersepatu hak tinggi atau bersemir hitam mengkilat, berjalan di ruas jalan yang sama dengan para biksu, pria berjubah bulu, atau perempuan berpakaian tradisional. Lhasa adalah percampuran berbagai unsur kehidupan. Para lama atau biksu hilir mudik di jalanan yang kelap-kelip oleh lampu neon modern, sibuk berbicara dengan telepon genggam mode terbaru. Ada pula yang menikmati jalan-jalan sore di kota, membeli yangrouchuan – sate kambing, dari sebuah warung Sichuan. Para biksu muda di ibu kota ini cukup berduit juga rupanya. Selain membaca sutra dan mantra di dalam kuil, mereka pun keluar merambah kesenangan duniawi di kota ramai. “Tashidelek,” dua biksu berambut pendek nyaris [...]

May 27, 2014 // 6 Comments

Titik Nol 18: Modernisasi

Panji-panji perayaan berdirinya Tibet Autonomous Region di bawah pemerintahan Republik Rakyat China menghiasi jalan utama Lhasa. (AGUSTINUS WIBOWO) Kota Lhasa bukan lagi ujung dunia yang misterius. Tibet bukan lagi atap dunia yang tak terjamah. Shangrila ini tidak lagi hidup dalam dunianya sendiri. Istana Potala, bekas tempat kedudukan Dalai Lama, menjulang tinggi di puncak bukit, terletak di pusat kota Lhasa. Siapa yang tak kenal landmark Tibet ini? Bangunan belasan lantai dengan seribu kamar lebih ini sudah ada sejak zaman ratusan tahun silam. Megah, menjulang gagah. Saya pernah menonton dokumentasi tentang Tibet tahun 1930-an. Kala itu, Potala sudah berdiri menjulang, dikerumuni oleh orang-orang Tibet dengan pakaian yang rumit dan berat. Kereta kuda dan keledai di mana-mana. Hulubalang kerajaan berjubah panjang, bersanggul, memakai topi seperti mangkuk. Gambaran Lhasa itu benar-benar mistis, sebuah dunia yang terkurung dalam kosmologinya sendiri. Lhasa disebut sebagai Forbidden City – kota terlarang yang tak terjamah dunia luar. Tibet, tak pernah diakui sebagai negara merdeka, tetapi pernah punya sistem pemerintahan sendiri. Theokrasi, atau pemerintahan agama, membuat rakyat Tibet larut dalam pemujaan tanpa henti. Rakyat tak lagi memikirkan pembangunan material, kesenangan duniawi. Yang semakin besar adalah kuil-kuil dengan patung emas raksasa, istana Potala yang menggurita, serta sekelompok kecil keluarga yang mendominasi [...]

May 26, 2014 // 6 Comments

Titik Nol 14: Altar Mao Zedong

Mao Zedong dipuja bersama dewa-dewi Budha di altar sebuah rumah di pedalaman Tibet. (AGUSTINUS WIBOWO) Potret pemimpin Partai Komunis China itu kini bersanding di altar, di samping gambar Boddhisatva Avalokiteshvara, Sang Dewi Kwan Im. Sesajian, lilin, bunga, dan lampu mentega menghiasi sudut rumah yang paling terhormat ini. Apakah Mao sudah menjadi dewa bagi orang Tibet? Dari Darchen ke arah selatan kendaraan sangat jarang. Tak banyak yang melintas dari sini ke arah Lhasa kecuali turis. Sehari mungkin hanya ada satu kendaraan, malah kadang tiga hari pun tak ada sama sekali. “Untung-untunganlah, lihat nasib,” kata Xiao Wang, pemilik warung Sichuan di Darchen. Saya pun mencoba peruntungan saya hari ini, berangkat dengan kaki yang masih pincang ke arah jalan umum tiga kilometer di selatan Darchen, mencegat truk yang lewat, naik bak terbuka, diaduk-aduk bersama kambing di atas jalan yang bergerunjal.. Seorang biksu, yang sama-sama menumpang truk itu bersama kawanan kambing, hanya memandang tanpa ekspresi. Suara motor truk berderu kencang, menenggelamkan semua bunyi di bak terbuka. Saya harus berteriak-teriak untuk bicara dengan biksu itu, yang kemudian dibalas dengan pandangan penuh tanda tanya karena tak mengerti bahasa Mandarin. Truk bergoyang hebat, menggoncang semua yang ada di atas bak terbuka seperti gempa bumi skala dahsyat. Kawanan [...]

May 20, 2014 // 3 Comments

Titik Nol 13: Danau Suci

Danau Suci Manasarovar. (AGUSTINUS WIBOWO) Saya tercebur ke dalam sungai dari mata air Kailash. Sungai ini dalam dan arusnya kencang. Tubuh saya terseret terbawa arus. Tangan pemuda itu dengan cekatan menangkap saya yang terjatuh dari batu. Basah kuyup saya menaiki batu-batuan ini. Tangan kanan saya dituntunnya. Sekali lagi saya terpeleset, nyaris hanyut. Tetapi bocah gembala ini tak hilang keseimbangannya. Saya begitu berterima kasih ketika berhasil mencapai tepi sungai. Saya tak bisa membayangkan apa yang terjadi jika hanyut sampai ke sungai besar di seberang sana. Kamera saya rusak. Paspor saya basah kuyup. Sekujur tubuh saya menggigil kedinginan. Tetapi saya harus maju. “Darchen masih jauh,” kata bocah itu dengan bahasa Mandarin yang terbata-bata. Ia menunjukkan peta Kailash dari buku pelajarannya. “Di sini sekarang kamu berada,” katanya menunjuk sebuah titik di sebelah barat lingkaran kora. Masih dua puluh kilometer lagi ke Darchen, dan hari sudah mulai beranjak senja. Dengan perasaan hancur lebur, saya menyeret kaki saya yang sudah mulai lumpuh untuk terus maju. Tiga jam perjalanan yang dilewatkan dengan meringis kesakitan. Saya bersorak gembira ketika sampai di sebuah desa. Ada tiang penuh dengan bendera doa. “Bukan. Ini bukan Darchen!” kata seorang turis Korea yang saya jumpai. Darchen masih 13 kilometer lagi jauhnya. Ini [...]

May 19, 2014 // 4 Comments

Titik Nol 12: Terbawa Arus

Meninggalkan rambut ayah bunda di Shiwa Tal (AGUSTINUS WIBOWO) Mantra suci Om Mani Padmi Hom masih terus bergema di hati saya, ketika kami memulai perjalanan kora keliling Kailash di hari kedua. Orang Tibet sungguh tangguh. Mereka menyelesaikan satu putaran kora, lintasan 52 kilometer ini hanya dalam waktu sehari. Berangkat subuh, sampai di Drera Phuk pagi hari, dan sekarang sudah menyalip saya yang terengah-engah kehabisan nafas, dan akan sampai kembali di Darchen malam nanti.. Dari arah berlawanan, juga datang rombongan peziarah yang bukan berjalan, tetapi merayap. Bagi mereka yang berteguh asa membaktikan diri sepenuhnya dalam ziarah ini, berkeliling Gunung Dewa dilakukan dengan merayap. ‘Merayap’, dalam artinya yang paling harafiah. Kedua lutut ditempelkan ke tanah, kedua tangan di samping badan menyeret perlahan-lahan ke depan, hingga sekujur tubuh tertarik dan tertelungkup di atas bumi. Kedua tangan diseret lagi, tubuh perlahan-lahan diangkat, berdiri, maju selangkah, komat-kamit membaca doa dengan mengatupkan telapak tangan, kemudian tengkurap lagi di tanah. Demikian seterusnya, sejauh puluhan kilometer melewati jalan datar, bongkahan batu, hingga sungai dingin di atap dunia ini. Tangan mereka boleh dilindungi sarung tangan dan sandal. Tubuhnya boleh dibalut karet tebal. Sakit perut boleh ditahan dengan obat. Tetapi semangat pengorbanan, melintasi tiga minggu penuh derita, sungguh tak tergantikan. [...]

May 16, 2014 // 5 Comments

Titik Nol 11: Om Mani Padme Hum

Wajah utara Kailash dilihat dari Drira Puk. (AGUSTINUS WIBOWO) Batu warna-warni berjajar. Di atasnya bertahta mantra suci Budha, “Om Mani Padme Hum”. Burung elang bertengger gagah di atas batu. Gunung suci Kailash menampakkan wajahnya yang tersembunyi di balik awan. “Perjalanan kora adalah penyucian jiwa,” kata si gadis China, Yan Fang, mengutip sebuah buku yang ia baca tentang kultur Tibet. Dan dalam perjalanan penyucian jiwa itu, orang harus menghadapi lika-liku, cobaan, hingga akhirnya sampai pada pencerahan. Padang rumput yang membentang dan langit biru yang menangkup, semua khusyuk dalam keheningan gunung-gunung. Sebuah hening yang malah membuat hati bergemuruh. Melihat mantra Om Mani Padme Hom tertulis dalam huruf Tibet di atas batu mani, hati saya bergidik. Mantra itu seperti bergema dalam hati saya. Perlahan, tapi tak pernah berhenti. Dari sebuah bukit, saya memandang ke arah padang rumput yang luas itu. Dua buah danau raksasa bersebelahan. Yang kiri berwarna biru, yang kanan berwarna hitam. “Yang kiri itu Danau Suci,” kata Yan Fang, “airnya adalah air suci. Orang Tibet juga ke sana, mengitari danau sampai belasan kali. Yang kanan adalah Danau Setan. Itu danau yang penuh angkara murka. Menyentuh airnya pun membawa petaka.” Danau Suci, dalam tradisi Hindu disebut Manasarovar, milik Dewa Brahma. Orang Tibet [...]

May 15, 2014 // 5 Comments

Titik Nol 10: Kora

Kailash menjulang di balik kibaran bendera doa. (AGUSTINUS WIBOWO) Orang Hindu menyebutnya Kailash. Orang Tibet menyebutnya Permata Agung. Dalam  bahasa Mandarin namanya Shenshan, Gunung Dewa. Menjulang pada ketinggian 6638 meter, bertudung langit malam yang cerah. Ribuan bintang bertabut di angkasa raya. Langit menangkup ke seluruh batas cakrawala. Lolongan anjing bersahut-sahutan. Bulan bulat purnama. Keheningan malam membungkus Darchen. “Kamu harus banyak istirahat,” kata Xiao Wang, pria Sichuan pemilik warung, “keliling Gunung Dewa bukan perjalanan mudah. Kalau dalam perjalanan nanti lelah, jangan dipaksa. Di atas sana oksigen sangat tipis.” Xiao Wang kemudian menceritakan tentang peziarah India yang bertubuh tambun dan mati di puncak sana. Tetapi karena ia Hindu, penduduk Tibet tak mengizinkan mayatnya dibakar di sini. Jenazah pria malang itu dibawa pulang lagi ke negaranya, melalui perjalanan panjang melintasi barisan gunung suci. “Malangkah pria itu? Sama sekali tidak,” lanjut Xiao Wang, “bagi mereka yang percaya, mati di tempat sesuci ini adalah berkah yang tiada terkira.” Sejak China mengibarkan benderanya di Tibet, Dalai Lama mengungsi, hubungan China-India terus memburuk, kesempatan bagi orang Hindu India untuk sekadar melihat wajah Kailash – tempat paling suci dalam agama mereka – sangat tipis. Hanya mereka yang teramat sangat beruntung yang bisa memperoleh visa datang ke sini. Kailash [...]

May 14, 2014 // 2 Comments

Titik Nol 9: Darchen

Sebagai dusun peziarah dan turis, Darchen dipenuhi hotel dan restoran. (AGUSTINUS WIBOWO) Cemas masih menggerayangi ketika mobil mulai oleng diterpa air sungai yang menderas. Kami tepat di tengah-tengah. Dua puluh meter ke belakang, dua puluh meter ke depan, untuk bisa keluar dari kubangan menyeramkan ini. Sopir memilih mundur. Para penumpang sudah menjerit marah bercampur ketakutan. Beberapa lelaki Tibet turun, ikut mendorong mobil yang tertambat. Tepat sepuluh menit berkubang, mobil kami akhirnya berhasil mencapai tepian. Para penumpang mendengus kesal. Barang bawaan mereka yang ditaruh bagasi belakang semua jadi hitam bercampur lumpur. Ibu polisi Tibet itu lebih sedih lagi, sekarung beras yang dibawanya juga jadi beras lumpur. “Itulah pengabdian,” katanya sambil menghela nafas panjang, ketika kami melanjutkan perjalanan. Saya tersentuh oleh pengabdian polisi senior ini. Gajinya cuma 2500 Yuan. Di Tibet, di tempat yang terpencil dengan semua harga barang melambung tinggi, gaji itu sama sekali tidak ada apa-apanya. Naik bus seperti ini sepuluh kali saja sudah habis. Untuk makan tiga orang aja selama satu bulan juga tidak cukup. Belum lagi untuk tabungan, biaya hidup anak dan keluarganya. Tetapi bu polisi tetap tegas menjalankan tugas, menegakkan hukum di pelosok terjauh Republik Rakyat China, tak peduli dengan rengekan orang asing yang melakukan perjalanan-perjalanan ilegal. [...]

May 13, 2014 // 0 Comments

Titik Nol 5: Meja Biliar

Kota modern di tengah gunung (AGUSTINUS WIBOWO) Kalau ada daftar tempat-tempat di ujung dunia yang paling aneh, Rutog pastilah salah satu nominasi. Kota baru yang muncul di tengah kumpulan gunung, sepetak jalan aspal lurus yang mulai dari kepulan debu dan berakhir pada kepulan debu, polisi yang berkeliaran, serta penduduk yang sehari-hari hanya bermain biliar dari pagi hingga malam. Para pesepeda Perancis baru saja berangkat menuju kota Rutog – pemukiman orang Tibet pertama dari arah Pegunungan Kunlun – sepuluh kilometer di selatan Danau Pangong yang masih dibungkus kesunyian ketika matahari pagi sudah memancarkan sinarnya ke sudut-sudut gunung. Jarak sepuluh kilo mestinya tak telalu jauh, bisa jalan kaki. Tetapi karena ini di atap dunia, pada ketinggian 4000 meter lebih, di mana oksigen tipis dan kepala selalu terasa berat, menggendong ransel pun saya hampir tak kuat lagi. Saya duduk di pinggir jalan, di atas ransel, menunggu mobil atau truk yang bisa ditumpangi. Wajah saya sekarang sama dekilnya dengan tas ransel – berbalut debu. Rambut kusut dan kasar. Kulit penuh daki. Pakaian pun jadi hitam. Danau Pangong adalah ironi, di mana danau luas berair jernih dan dingin membentang, di pinggirnya ada perkampungan gubug kumuh dan toilet tanpa air yang dikerubungi lalat hijau sebesar ujung [...]

May 7, 2014 // 4 Comments

Titik Nol 4: Surga Burung

Danau Pangong (AGUSTINUS WIBOWO) Pegunungan Kunlun membelah dunia. Di utara, Xinjiang dibungkus debu yang beterbangan dari gurun Taklamakan. Kering dan panas. Begitu melewati puncak Satsum La, dunia berubah menjadi padang rumput hijau menghampar di kelilingi gunung salju, ditangkupi langit biru. Tibet adalah sebuah dunia lain. Di sini banyak kisah tentang kehidupan di puncak bumi, di tanah yang dipeluk langit dan mega. Ada Parit Kematian yang menghantar maut, ada gunung tak berpenghuni dengan desingan angin lembah, dan sekarang, saya tiba di sebuah danau yang terhampar laksana lukisan surgawi. Danau Pangong, atau Pangong-Tso, bukan sembarang danau. Terletak pada ketinggian 4300 meter di atas permukaan laut, panjangnya sekitar 150 kilometer, lebar rata-ratanya cuma empat sampai lima kilometer. Pada bagian tersempit lebarnya cuma lima meter saja. Dengan bentuknya yang mirip lidah panjang, danau ini terbentang dari pegunungan Tibet sampai ke Kashmir. Sekitar 100 kilometer danau ini masuk wilayah China, sisanya lagi di seberang perbatasan India. Yang membuat danau ini tak biasa adalah di sisi China airnya tawar dan segar, sedangkan di sisi India berubah menjadi air asin. Hanya saya dan Deng Hui yang turun di tepi danau ini. Kernet bus Tibetan Antelope menurunkan tas ransel kami berdua dari bagasi. Dua hari perjalanan dengan bus [...]

May 6, 2014 // 0 Comments

Selimut Debu 34: Para Penjinak Ranjau

Menyisir ladang ranjau secara manual. (AGUSTINUS WIBOWO) Setiap hari mereka bergelut di garis batas antara hidup dan mati. Tapi mereka tetap berusaha menikmati rutinitas berbahaya ini. Wais semula memang tidak mengizinkanku memotret para pembersih ranjau. Tetapi akhirnya dia membolehkan, asalkan para “model” sudah memakai jaket dan helm sesuai yang diwajibkan organisasi. Kalau tidak, pelanggaran keamanan ini bisa diketahui atasan, dan mereka semua akan dapat masalah. Tidak ada yang dapat menjamin pulang dengan selamat kalau mengerjakan pekerjaan ini. Bahkan anjing yang mempunyai penciuman sensitif pun sering kali menjadi korban. Saat menemukan ada logam yang dipendam di lokasi, para anjing seharusnya duduk satu meter jauhnya dari benda yang dicurigai itu. Tapi kenyataannya, cukup banyak anjing yang tergoda untuk menggali “barang menarik” itu. Kejadian berikutnya bisa ditebak: si anjing meledak berkeping-keping ke angkasa, lalu ke tanah (deskripsi yang disebut oleh Jamil dan Sabur sebagai “pemandangan luar biasa” atau “pemandangan cantik”). Jam kerja para penjinak ranjau sebenarnya dipengaruhi oleh cara kerja anjing. Anjing adalah binatang rewel, mereka hanya bekerja pada temperatur tertentu. Para petugas penjinak ranjau harus memulai pekerjaan mereka pagi-pagi sekali, yaitu sekitar setengah enam ketika langit baru saja terang, dan mengakhiri kerja mereka sebelum hari mulai panas, sekitar pukul 11:00. Lain dari [...]

December 12, 2013 // 4 Comments

Selimut Debu 33: Ranjau, Hidup dan Mati

Tim penjinak ranjau menggunakan anjing yang sudah terlatih untuk melacak ranjau. (AGUSTINUS WIBOWO) Sabur ternyata adalah pintu gerbangku untuk mengenal kehidupan para pembersih ranjau. Semula aku kurang bersimpati dengannya, gara-gara kebenciannya terhadap orang-orang Hazara hanya karena mereka Syiah. Sabur juga mencurigakan, karena topik pembicaraannya tidak jauh-jauh dari jijig (yang merupakan tiruan bunyi dari orang berhubungan seksual, kemungkinan dari pengaruh bahasa Rusia). Dia bilang, dia tidak pernah berhubungan seksual dengan bocah lelaki, tapi dia tahu bahwa Vaseline berguna dalam urusan itu. Humor-humor berbau homoseksual sangat populer di kalangan lelaki Afghan, bahkan mereka masih tetap menjentikkan untaian bulir tasbih saat bergurau tentang seks. Sehabis berbanjir peluh dari perjalanan ke Kakrak, Sabur membawaku ke tempat tinggalnya. Semula aku khawatir apabila humor-humor homoseksualnya bukan sekadar humor. Ternyata Sabur tinggal di asrama bersama para pembersih ranjau. Dia adalah sopir untuk organisasi Mine Dog Center (MDC). Sabur mempersilakan aku duduk, membuatkan jus mangga untukku. Bukan dengan mesin, harap dicatat. Dia cukup meremas mangga dengan kedua tangannya sampai buah malang itu melunak. Melihat ekspresi wajahku yang ngeri melihat cairan mangga itu merembes dari kulitnya melewati jari-jari Sabur hingga masuk ke cangkir, Jamil, teman Sabur yang orang Pashtun, menyiapkan segelas susu untukku. “Ya,” katanya, “besok kamu harus datang [...]

December 11, 2013 // 3 Comments

Selimut Debu 32: Legenda Masa Lalu

Ahmad Sabur di Kakrak (AGUSTINUS WIBOWO) Lembah ini bersimbah air mata. Ada sebuah legenda indah namun tragis tentang Bamiyan. Konon, di lembah Bamiyan pernah bertahta raja Jalaluddin. Raja memaksa putrinya menikah dengan seorang pangeran tampan dari Ghazni. Tapi hati sang putri bukanlah pada lelaki itu. Dia tidak rela dipaksa menikah oleh ayahnya. Dalam hatinya tumbuhlah dendam pada sang ayah. Pada saat itu, kabar mengenai keganasan bangsa Mongol sudah tersiar ke negeri-negeri tetangga. Pasukan Jenghis Khan membabi buta menerjang ke negeri-negeri Muslim, menghancurkan semua peradaban, membakar habis kota-kota, memerkosa dan membantai penduduk yang malang. Tidak lama lagi, pasukan Mongol itu akan tiba di negeri Bamiyan. Tebersit dalam benak sang putri, inilah saat  terbaik untuk menghukum ayahnya. Apabila kekuatan seorang wanita tidak sanggup menghukum lelaki jahanam itu, batinnya, bagaimana kalau dengan menggunakan tenaga para lelaki Mongol yang tidak pernah kenal belas kasihan? Hanya dengan kata-kata, sang putri yakin ayahnya akan hancur. Dia membocorkan rahasia benteng kerajaan ayahnya pada pasukan Mongol. Tidak perlu lama, tanpa bertele-tele, pasukan Mongol berhasil menundukkan benteng Jalaluddin berkat informasi rahasia dari sang putri. Jenghiz Khan terkenal sebagai kaisar berhati dingin. Di kebanyakan negeri yang dikalahkannya, semua makhluk dibantai habis. Lolongan ratapan berkumandang dari seluruh penjuru benteng itu. Pria, [...]

December 10, 2013 // 1 Comment

Selimut Debu 31: Perjalanan Hazara

Foto raksasa pahlawan Hazara dalam perang Mujahiddin menghiasi langit Bamiyan. (AGUSTINUS WIBOWO) “Indonesia? Aku tahu Indonesia! Jawa, Bali, Roti!” seru lelaki Hazara di pondok kayu bobrok di pinggir pasar utama Bamiyan ini begitu aku menyebut asal negaraku. Ramazan mengejutkan aku dalam dua hal. Pertama, dia adalah lelaki yang berasal dari pedalaman Afghanistan di tengah pegunungan tinggi yang cukup terpencil. Tidak banyak orang Afghan yang benar-benar tahu apa atau siapa itu Indonesia. Sejumlah orang Afghan yang kutemui malah mengira Indonesia itu adalah kota kecil di dekat London. Atau negara pecahan Uni Soviet. Atau negara mungil lagi miskin di pedalaman Afrika. Kejutan kedua, Ramazan bahkan tahu tentang Roti, sebuah pulau kecil nun jauh di pelosok kepulauan Indonesia, yang tentunya banyak orang Indonesia sendiri pun tidak tahu pasti di mana itu letaknya. Ramazan ternyata bukan cuma tahu tentang Roti. Dia pernah tinggal di sana. Bukan sebagai pengunjung short time sepertiku di Afghanistan sekarang ini, Ramazan tinggal di Roti sampai 14 bulan dari tahun 2001 sampai 2002. Selain Roti, ternyata Ramazan pernah tinggal di Jakarta dan Bali. Ini bukan jalan-jalan piknik suka-suka. Perjalanan Ramazan adalah menembus gunung dan bukit-bukit berdebu, bersembunyi dari terjangan peluru dan kemelut perang, lalu menyelundup dari negeri yang satu ke [...]

December 9, 2013 // 8 Comments

Selimut Debu 27: Hati-hati dengan Vaseline

  Para pekerja tim pembersih ranjau bekerja di bawah terik matahari (AGUSTINUS WIBOWO) Mereka adalah para pekerja yang setiap harinya bergaul dengan maut. Maut justru begitu dekat di tempat sesejuk dan sedamai ini. Beberapa minggu lalu, kata pembersih ranjau, ada seorang penduduk yang rumahnya dekat dengan patung Buddha, terpaksa kakinya harus diamputasi karena menginjak ranjau yang terletak di antara patung Buddha Kecil dan patung Buddha Besar. Baru setelah kejadian itu, diketahui bahwa daerah sekitar patung Buddha beranjau. Bukan sekadar beranjau, tapi heavily mined. Ranjaunya super banyak! Dan ini pun hanya diketahui baru-baru ini saja. Segera, tim pembersih ranjau diberangkatkan ke sini dua minggu lalu, dan rencananya mereka akan bertugas di sini selama dua atau tiga bulan. Satu tim lain mengatakan, mereka mungkin akan meninggalkan Bamiyan besok, karena ada daerah lain yang juga beranjau di daerah utara ibukota Kabul, pembersihannya jauh lebih mendesak sehingga upaya pembersihan di Bamiyan harus dihentikan sementara. Manajemen yang kacau ini sangat lazim di negeri yang masih bergoyang seperti Afghanistan. Sedangkan daerah yang di puncak bukit patung Buddha, tempat dulu aku bermain perang-perangan dan mengumpulkan suvenir sisa perang, adalah daerah yang teramat-sangat-super-duper bahaya. Sekarang para pengunjung sudah tidak boleh ke sana. Semua orang cuma boleh mengikuti satu-satunya [...]

December 3, 2013 // 4 Comments

Selimut Debu 26: Buddha Bertabur Ranjau

  Yang tersisa dari peradaban kuno Buddhisme itu adalah rongga raksasa dan gua-gua kosong. (AGUSTINUS WIBOWO) Mengunjungi Bamiyan bagaikan menyusuri lekuk-lekuk memori. Tiga tahun lalu, berdiri di hadapan patung-patung Buddha puncak peradaban ribuan tahun yang berubah menjadi tumpukan batu hanya dalam semalam, hatiku menangis. Hari ini, tumpukan-tumpukan batu di rongga gunung itu masih seperti dulu. Berbongkah-bongkah, tak beraturan, menjadi saksi kebodohan perang. Sepi, kosong, sementara angin berhembus sepoi-sepoi mengayun-ayunkan rerumputan di lembah hijau. Kesunyian yang berlebihan ini membuatku merinding. Sunyi sesunyi-sunyinya, karena anak-anak masih bersekolah dan para lelaki bekerja di ladang. Tidak ada orang lain di sini, dan aku satu-satunya “turis”. Kesunyian itu sesungguhnya tidaklah total. Semakin aku berjalan mendekat ke arah rongga Buddha raksasa, semakin terlihat banyak pekerja yang sedang sibuk. Para pekerja itu ada dua macam. Yang pertama adalah para pekerja berhelm kuning, seperti para pegawai konstruksi, sibuk hilir mudik di antara patung Buddha Besar (tingginya 55 meter) dan lebih jauh ke arah patung Buddha Kecil (tingginya 38 meter). Kedua gua Buddha raksasa itu (yang saking besarnya aku harus mendongak melihat atapnya) kini sudah dipagari, dan para turis diwajibkan membayar tiket. Aku sendiri kurang tahu soal tiket itu, karena sejauh ini tidak ada staf yang menagih tiket, kantor [...]

December 2, 2013 // 2 Comments

Selimut Debu 25: Bamiyan, Setelah Tiga Tahun

  Siaran berita Hadi Ghafari di Radio Bamiyan (AGUSTINUS WIBOWO) Tiga tahun. Seiring dengan perputaran roda waktu, dusun kecil di lembah hijau ini pun turut menggeliat. Aku melangkah ke gedung Radio Bamiyan yang tersembunyi di gang kecil di balik jalan utama. Tiga tahun lalu, tidak ada stasiun radio di sini, tapi sekarang dusun kecil ini sudah punya stasiun radio, warung internet, dan segera memiliki stasiun televisi sendiri. Hadi Gafari yang bertanggung jawab sebagai pemimpin Radio Bamiyan ini mengatakan, teknologi sudah mulai terjangkau di sini. Internet mereka bersumber dari satelit yang berukuran besar di halaman belakang, mirip antena parabola, dan biayanya adalah US$ 600 per bulan. Bukan cuma teknologi, pasar Bamiyan pun tampak semakin sibuk. Jauh lebih ramai dibandingkan tiga tahun lalu. Barang yang dijual pun lebih bervariasi, mulai dari buah-buahan, gandum, sampai buku. Masyarakat yang dicekam ketakutan perang meletakkan buku pada prioritas terbawah dalam kebutuhan mereka, apalagi mayoritas warga Afghanistan buta huruf. Tetapi warga Bamiyan sekarang sudah mulai membaca buku! Bukankah ini sebuah kemajuan luar biasa? Begitu pun dalam hal penginapan. Dalam kunjungan pertamaku di Bamiyan, satu-satunya tempat menginap adalah Restoran Mama Najaf, yang harganya mahal, tamu hanya tidur di lantai di atas matras kumal, plus bonus kutu busuk dan [...]

November 29, 2013 // 1 Comment

Selimut Debu 16: Inisiasi

Bocah-bocah dari negeri perang (AGUSTINUS WIBOWO) Mulai hari ini, kami resmi menjadi war tourists. Para turis sinting yang tergila-gila dengan eksotisme kehancuran, pertumpahan darah, dan memorabilia perang. Kami mendaki bukit terjal yang menjadi tempat berdirinya patung-patung Buddha. Ada jalan setapak berpasir yang cukup curam, membuatku terpeleset berkali-kali. Tetapi Adam adalah pencinta alam liar, dia pernah mendaki gunung dan mengelilingi Annapurna di deretan pegunungan Himalaya di Nepal, medan seperti ini justru yang dia cari. Apa lagi yang lebih menantang daripada mendaki gunung di negeri perang, yang kita pun tidak tahu mana yang ada ranjau, mana yang aman? Di puncak bukit, bertaburan rongsokan artileri dan tank. Tetapi kengerian ini seakan dilunakkan oleh lembah hijau Bamiyan yang menghampar, menantang tegarnya pegunungan gersang dan cadas. Aku memungut sebuah peluru, dari ratusan yang bertabur begitu saja di tanah. Ukurannya besar-besar, lengkap dengan selongsongnya. “Ambil lagi yang banyak,” Adam tertawa girang. ”Untuk kenang-kenangan dari Afghanistan.” Aku menyimpan peluru itu hati-hati dalam saku, diiring sebuah pertanyaan pragmatis: bagaimana cara menyelundupkan butir peluru sisa perang Afghan dengan aman sampai ke rumah? Kami berdua menyusuri tebing-tebing di sekitar reruntuhan patung Buddha. Kami melupakan pesan orang-orang bijak: jangan sembarangan melangkah di Afghanistan karena ranjau bertebaran di mana-mana. Ah, siapa yang [...]

November 18, 2013 // 4 Comments

1 2 3