Recommended

Bukhara

Titik Nol 185: Tinggal Separuh

Makam Bibi Jawindi yang tinggal separuh (AGUSTINUS WIBOWO) Kota tua Uch sudah ada sejak zaman Iskandar Yang Agung. Uch termasuk kota Muslim pertama di Asia Selatan ketika Islam datang pertama kali bersama pasukan Muhammad bin Qasim dari Arab pada tahun 710 Masehi. Perlahan-lahan Uch menjadi pusat peradaban Islam. Guru Sufi dari berbagai penjuru berdatangan. Sekolah-sekolah tinggi didirikan. Kala itu universitas Uch pastilah salah satu yang terbaik di dunia kuno. Tetapi sekarang yang tertinggal hanyalah puing-puing kejayaan masa lalu. Kaum perempuan berkerudung hanya meratap di depan pintu makam Syed Jalaluddin Munir Sakh Surkh Bukhari (bukan Hazrat Jalaluddin Bukhari – Sang Pengelana Dunia). Mereka terhalang purdah, tirai tak tampak yang memisahkan laki-laki dari kaum perempuan. Bahkan untuk makam Sang Guru pun perempuan tak boleh melihat. Hanya perempuan yang masih keturunan Sang Guru yang boleh masuk dan bersembahyang di sisi makam. Bagi peziarah pria, tak ada masalah sama sekali. Seorang kakek tua berjenggot dan bersurban, berjubah putih panjang dan bersarung, tenggelam dalam bacaan Al Quran. Sang kakek kemudian menaiki undak-undakan di sebelah makam. Mulutnya terus komat-kamit ketika tangannya menggapai peti mati besar berselimut kain merah, di dalam kotak kayu berdinding kaca. Ia kemudian berjongkok. Tangannya terkatup, dijunjung di atas dahi seperti sembahyang orang [...]

May 8, 2015 // 2 Comments

Titik Nol 184: Makam Suci

Chowkidar tak pernah berhenti memutar tasbih (AGUSTINUS WIBOWO) Tempat suci ini adalah kota kuno bertabur makam orang suci. Bangunan dari zaman kaum derwis berjenggot putih diselimuti nuansa mistis. Di sini keajaiban dan mukjizat bertabur. Uch Sharif, kota yang agung, bermandi cahaya mentari dan rembulan. Terperangkap waktu, demikianlah yang saya rasakan ketika menyusuri gang-gang kecil di pasar berdebu Uch Sharif, berkelok-kelok menyesatkan. Segala macam pedagang ada di sini. Mulai dari sirup sharbat, minuman segar faluda, sup lentil, nasi biryani, sampai pengeras suara Made in China. Tetapi di dalam labirin pasar kuno inilah tersembunyi tempat-tempat paling suci di Pakistan. Di antara ratusan orang suci yang pernah berdiam di kota Uch ratusan tahun silam adalah Sayyid Jalaluddin Bukhari, guru Sufi dari abad ke-15 yang termasyhur akan mukjizatnya. Jahanian Jahangasht, atau Pengelana Dunia, demikan julukannya. Sang Baba – orang suci – telah menjelajah muka bumi untuk mempelajari hakikat Islam. Dari tanah leluhurnya di Bukhara, sekarang wilayah Uzbekistan, sang guru sudah ke Mekkah, Medina, Bagdhad, Persia, dan akhirnya menetap di Punjab. Saya teringat Guru Nanak pendiri agama Sikh yang juga berkelana ke seluruh penjuru bumi untuk menemukan kebenaran hakiki. “Baba, dengan kekuatan magisnya bisa memindahkan mihrab dari Delhi ke Uch,” kata chowkidar – juru kunci [...]

May 7, 2015 // 1 Comment

Garis Batas 94: Kembali ke Dunia Normal

Pagi di Turkmenabat (AGUSTINUS WIBOWO) Eksodus. Lima hari di negeri yang penuh keanehan dan keajaiban sudah lebih dari cukup untuk mendorong setiap bintik sel dalam tubuh saya menggelegak, tak sabar lagi untuk kembali ke dunia normal. Ruhnama memang punya gaya gravitasi yang tiada duanya. Para penumpang kereta bak magnet tertarik ke arah saya, orang asing dari negeri seberang yang begitu khusyuk membaca Ruhnama. Ada yang antusias melantunkan lagu kebangsaan Turkmenistan, “Ciptaan agung Sang Turkmenbashi, tanah air, negeri berdaulat, Turkmenistan cahaya dan nyanyian jiwa, berjayalah selama-lamanya…” Saya jadi akrab dengan Kalkali, seorang tentara muda berumur 20 tahun. Dia adalah minoritas etnik Azeri, wajahnya tampan, alisnya tebal, hidungnya mancung, mata lebarnya hitam pekat, dan perawakannya sangat gagah perkasa. Orang-orang Azeri, pemilik negara Azerbaijan di seberang Laut Kaspia sana, adalah salah satu kaum minoritas terbesar di Turkmenistan. Kalkali bukan orang Turkmen biasa, dunianya bukan cuma Ruhnama. Dia sudah pergi ke Kyrgyzstan, Uzbekistan, India, Sri Lanka, sebagai atlet sepak bola nasional. “Saya juga sudah melihat dunia,” katanya bangga. Sekarang Kalkali jadi tentara. Semua pria Turkmen harus menjalani wajib militer selama dua tahun. Tentang kehidupannya sebagai tentara, Kalkali cuma bilang lumayan dan tidak terlalu buruk. Gajinya 5 dolar per bulan. Masih jauh lebih bagus daripada [...]

October 23, 2013 // 1 Comment

#1Pic1Day: Kribo Ala Turkmen | Turkmen Cap (Bukhara, Uzbekistan, 2007)

Turkmen Cap (Bukhara, Uzbekistan, 2007) A man wearing traditional Turkmen ‘telpek’, huge shaggy sheepskin hats of the Turkmen people. The hats are worn year round on top of a skullcap even on the hottest summer days. Kribo Ala Turkmen (Bukhara, Uzbekistan, 2007) Seorang lelaki mengenakan topi tradisional Turkmen, telpek, yang terbuat dari bulu domba. Orang Turkmen mengenakan topi ini sepanjang tahun, bahkan di puncak musim panas yang paling panas sekali pun, karena telpek yang baik membuat pemakainya tetap sejuk di musim panas dan tetap hangat di musim [...]

October 3, 2013 // 1 Comment

#1Pic1Day: Alim Ulama Bukhara | Pious Bukhara (Uzbekistan, 2007)

Pious Bukhara (Uzbekistan, 2007) A religious scholar from Tashkent studying Koran in Mir-e-Arab medressa, the oldest and biggest religious school in Uzbekistan, near the Masjid Kalon of Bukhara. Bukhara is so important in Muslim world as one of its scholars, Imam Bukhori, wrote one of the most correct interpretation of Koran and Hadith. Alim Ulama dari Bukhara (Uzbekistan, 2007) Seorang pelajar agama dari Tashkent mempelajari kitab suci Alquran di Madrasah Mir-e-Arab. Madrasah ini adalah sekolah agama terbesar dan tertua di Uzbekistan, terletak di dekat Masjid Kalon yang menjadi ikon kota tua Bukhara. Bukhara adalah tempat yang penting bagi Dunia Islam, merupakan tempat kelahiran ahli fiqih Imam Bukhari Muslim. [...]

October 2, 2013 // 1 Comment

Garis Batas 59: Hoja Nasrudin

Patung Nasruddin di Bukhara. (AGUSTINUS WIBOWO) “Bulan lebih berfaedah daripada matahari,” kata Hoja Nasruddin suatu hari, “karena di malam hari kita lebih butuh cahaya daripada di waktu siang.” Remang-remang sinar rembulan terpantul di atas riak-riak air kolam Lyabi-Hauz, di tengah kota tua Bukhara. Air kolam ini tak banyak. Di musim yang dingin ini, hanya bebek-bebek saja yang berani berenang sambil terus berkoak-koak, melintasi pantulan bulan purnama yang berubah menjadi sobekan-sobekan cahaya di atas permukaan kolam. Sinar bulan, yang menerangi gelapnya malam, juga membilas wajah sebuah patung perunggu di pinggir kolam, dibawah rindangnya pepohonan. Patung ini, seorang kakek tua yang berwajah lucu, dengan tangan kanan tertangkup di dada dan tangan kiri melambai, duduk dengan gembira di atas seekor keledai yang sedang menyeruduk. Inilah Hoja Nasruddin, sang mullah cerdik dalam legenda hikayat Islami. Sang mullah mengajarkan berbagai kebijaksanaan dengan humor-humornya yang menyindir. Walaupun senantiasa digambarkan bodoh dan lugu, misalnya mengendarai keledai terbalik dengan wajah menghadap pantat, sang mullah selalu punya alasannya sendiri, yang bila bisa mengajak kita menertawakan dunia. Itulah kebijaksanaan seorang Sufi. Belajar tidak melulu dari kitab suci yang berat dan menghafalkan ayat-ayat. Kebijaksanaan Islam bisa ditemukan di balik makna simbolis kebodohan dan kelucuan Nasruddin. Hikayat-hikayat selalu hidup di sini. (AGUSTINUS [...]

September 4, 2013 // 0 Comments

Garis Batas 58: Orang Tajik dari Bukhara

Gadis penenun dari Bukhara. (AGUSTINUS WIBOWO)) Masih ingat Dushanbe, ibu kota Tajikistan, yang berkilau di bawah kebesaran patung Ismail Somoni di tengah Jalan Rudaki? Di sini, di Bukhara, ada makamnya Ismail Samani, atau Somoni menurut ejaan Tajikistan. Orang-orang Bukhara pun bicara Bahasa Tajik. Tetapi yang berkibar di sini adalah bendera Uzbekistan. Di antara kakak-beradik Stan, Uzbekistan dan Tajikistan adalah yang paling dekat kekerabatannya secara kultural dan historis. Susah membedakan mana yang murni kultur Uzbek, mana yang eksklusif punya Tajik. Pria-prianya memakai jubah chapan dan topi doppi yang sama. Perempuannya juga sama-sama suka pakai daster ke mana-mana di siang hari bolong. Baik orang Uzbek maupun Tajik sama-sama mendecakkan lidah di gigi belakang sebagai pengganti kata ‘tidak’. Adat pernikahan, perkabungan, arsitektur rumah, tata krama, semuanya mirip. Bangsa Uzbek dan Tajik sudah lama hidup menetap, memeluk Islam, dan saling berinteraksi satu sama lain selama berabad-abad. Perkawinan antar suku pun sudah berlangsung sejak zaman nenek moyang mereka. Perbedaan yang paling mencolok antara orang Uzbek dan Tajik adalah bahasa. Bahasa Uzbek masih sekeluarga dengan Bahasa Turki, sedangkan Tajik sekeluarga dengan Bahasa Persia di Iran. Raut wajah pun kalau diperhatikan betul-betul, memang sedikit berbeda. Orang Uzbek ada kesan-kesan Mongoloidnya, dengan mata yang agak lebih sipit. Nenek [...]

September 3, 2013 // 1 Comment

Garis Batas 57: Wajah yang Tersembunyi

Peninggalan Islam di Uzbekistan. (AGUSTINUS WIBOWO) Di antara sedikit wajah Islam yang ‘direstui’ oleh pemerintah Uzbekistan, adalah ajaran tassawuf, atau Sufisme, yang dibawa oleh sang guru besar Bahauddin Naqshband Bukhari. Di negara yang mayoritas penduduknya Muslim ini, agama Islam justru menjadi hal yang sangat sensitif. Saya teringat suatu hari di sebuah taksi antar kota, saya asyik membaca buku tentang pergerakan fundamentalis Islam di Lembah Ferghana, ditulis oleh seorang jurnalis dari Pakistan. Kebetulan penumpang yang duduk di sebelah saya adalah polisi, penasaran ingin tahu isi buku yang sejak tadi menyedot perhatian saya. Dia terloncat kaget ketika membaca nama-nama yang ‘tidak baik’, seperti Harakatul Islami Uzbekistan (Gerakan Islam Uzbekistan), Hizbut-Tahir, dan Taleqan Juma Namangani – buronan nomer satu pemerintah Tashkent yang sempat membikin ribut negara-negara Asia Tengah karena gerakan garis keras bawah tanahnya. Dalam sekejap, polisi yang semula akrab itu berubah sikap. Setelah menanyai ini itu, dia diam seribu bahasa sepanjang perjalanan. Mungkin dia sibuk mengira-ngira apakah saya ini kawan atau ancaman nasional. Saya juga ingat betul, di kesempatan lain ketika saya melintas perbatasan Uzbekistan dari Turkmenistan, tas saya digeledah dengan teliti. Kebetulan saya membawa buku-buku pelajaran bahasa Arab dan sejarah Persia. Saya tidak tahu bahwa buku-buku bertulis huruf Arab bisa jadi [...]

September 2, 2013 // 0 Comments

Garis Batas 56: Permata Islami

Bukhara, permata Islami (AGUSTINUS WIBOWO) O Bokhara! Engkau menghias Langit, Ialah Bulan yang cemerlang, O Langit yang perkasa, memeluk BulanMu dengan riang  Demikian Abu Abdullah Rudaki, sang pujangga Persia, menggoreskan bait syahdu tentang keagungan kota suci Bukhara, lebih dari seribu tahun silam. Keagungan kota suci Bukhara terpancar dari Masjid Kalon yang berdiri megah mendominasi pemandangan langit kota kuno ini. Kalon, dalam bahasa Tajik, berarti besar, secara harafiah mendeskripsikan kebesaran tempat suci ini. Takzim menyelimuti sanubari siapa pun yang berziarah ke Bukhara, kota yang paling mulia di seluruh penjuru dataran Asia Tengah. Pintu gerbang Masjid Kalon membentang tinggi, berhadap-hadapan dengan Madrasah Mir-e-Arab, seperti jiplakan cermin tembus pandang. Gerbang utama, berbentuk kotak, bertabur mozaik dekorasi yang dibuat dengan ketelitian tingkat tinggi, bertahtakan huruf-huruf Arab, dan asma Allah dan Muhammad yang disamarkan dalam ornamen-ornamen yang menyelimuti seluruh dinding. Warnanya coklat, menyiratkan kejayaan masa lalu, dan berkilauan diterpa mentari senja. Menara Kalon, hampir 1000 tahun usianya, menjulang setinggi 47 meter, berselimutkan ukir-ukiran dan detail yang indah. Bentuknya sedikit mengerucut, dan dari puncaknya kita bisa melihat keindahan kota kuno Bukhara. Sayangnya, menara ini sementara tidak boleh dinaiki, gara-gara beberapa bulan yang lalu ada turis bule yang terpeleset dari atas. Keindahan Menara Kalon bahkan menggugah hati [...]

August 30, 2013 // 1 Comment

Garis Batas 55: Dua Bait

Tukang sepatu dari Bukhara (AGUSTINUS WIBOWO)             “Lihat, ini Bukhara kita,” kata Suhrat penuh bangga, ketika kami melintasi Masjid Kalon subuh-subuh. Gelap masih membungkus bumi. Masjid kuno berhadapan-hadapan dengan madrasah besar yang tidak kalah uzur sejarahnya. Sunyi, namun tak bisu. Ini bukan kali pertama saya datang ke sini, tetapi tetap saja saya terpekur di bawah keagungan gedung-gedung tua yang menyinarkan keluhuran peradaban Islam dan Persia. Bulan begitu bundar, membilas menara masjid yang tinggi menjulang. Siapa yang tidak tunduk di bawah keagungan Buxoro-i-Sharif, kota Bukhara yang suci. Sudah beberapa hari ini saya menginap di rumah Suhrat, seorang pemuda Tajik dua puluhan tahun dari Bukhara. Rumahnya tepat di tengah kota tua Bukhara, dikelilingi bangunan-bangunan kuno yang semuanya berwarna coklat. Bukhara laksana mesin waktu raksasa, melemparkan semua orang ke sebuah masa kejayaan peradaban Asia Tengah. Shokir, ayah Suhrat, adalah penjual sepatu. Bukan sembarang sepatu, tetapi sepatu tradisional dari kulit, berujung lancip dan berhias sulam-sulaman indah. “Bukhara adalah kota kuno, kota budaya, kota peradaban,” kata Shokir dalam bahasa Tajik, “ini adalah kotanya para seniman, di mana seni menjadi nafas dan detak jantung kehidupan.” Shokir berusia empat puluhan. Garis wajahnya sangat keras, khas orang Tajik. Hidungnya mancung, matanya besar, dan alis matanya tebal [...]

August 29, 2013 // 0 Comments

Garis Batas 54: Bairam, Sinterklas, dan Saddam Hussain

  Salat Ied di Masjid Bukhara Salat Ied di Masjid Bukhara (AGUSTINUS WIBOWO) Apa hubungannya? Ketiganya ada di Bukhara, kota kuno di barat Uzbekistan, pada perayaan Idul Qurban. Siapa yang tak kenal nama Bukhara, kota pusat peradaban Islam di Asia Tengah ini? Nama besar Imam Bukhari dan Ibnu Sino tak pernah lepas dari taburan masjid dan madrasah di kota kuno ini. Tak salah memang jika saya datang ke Bukhara untuk merayakan Idul Kurban.             “Jangan lupa besok, datang ke rumah ya. Besok, bairam,” kata seorang nenek Tajik penjual pakaian tradisional di salah satu bangunan kuno. Bairam, dalam bahasa Tajik dan Uzbek, artinya perayaan. Segala macam perayaan besar bisa disebut bairam. Belakangan ini memang banyak perayaan. Idul Kurban datang hampir bersamaan dengan Tahun Baru. Dalam sekejap harga angkutan naik tak terkira. Saya datang ke Masjid Kalon, masjid besar Bukhara, pagi-pagi buta. Semalaman salju mengguyur kota ini, menyelimuti semua permukaan tanah dengan lapisan putih bersih. Gedung-gedung kuno yang sambung menyambung di seluruh Bukhara seolah menggiring saya ke masa lalu. Berdiri di depan Masjid Kalon yang gagah saya terpukau oleh keagungannya yang terpancar dalam keheningan. Dalam keheningan subuh ini, di bawah rintik-rintik salju, saya membayangkan Imam Bukhari dan Ibnu Sina sedang [...]

August 28, 2013 // 0 Comments

Garis Batas 53: Mafia

Dunia yang langsung mengabur (AGUSTINUS WIBOWO) Saya tertidur lelap dalam sebuah bus malam yang melaju menuju Bukhara. Dan, terbangun dalam ketidakberdayaan, terjebak dalam sebuah taksi yang berhubungan dengan mafia, dan larut dalam kegelapan malam. Dari segala kecerobohan yang pernah saya lakukan, mungkin tak ada yang lebih parah daripada ini. Saya tertidur lelap dalam bus malam yang akan berangkat menuju Navoi, kota kecil di dekat Bukhara. Saya tidak tahu mengapa saya begitu suka tidur di bus. Duduk tegak dalam bus yang pengap, penuh sesak, dan berguncang-guncang, mungkin bukan posisi terbaik untuk tidur. Tetapi bagi saya sama nyamannya dengan tidur di atas kasur empuk dalam istana. Saking nikmatnya, saya merasa air liur pun menetes tanpa sadar. Tas ransel saya taruh di bawah bangku. Tas kamera saya peluk erat-erat. Dan mulut saya terus menganga mengiring lelap, bertengger di wajah saya yang menyandar ke arah jendela kaca yang dingin. Saya tak ingat apa-apa lagi. Bus gelap gulita, hanya suara deru mesin kendaraan kuno ini yang mengisi malam. Saya hanya merasakan beberapa kali penumpang yang duduk di sebelah saya berganti-ganti. Saya duduk di dekat pintu bus, sehingga tempat kosong di samping saya menjadi persinggahan penumpang yang mau turun. Tidur lelap saya terganggu, ketika saya mendengar [...]

August 27, 2013 // 0 Comments

Garis Batas 47: Ziarah Suci

Perjalanan suci ke Turkestan (AGUSTINUS WIBOWO) Permata sejarah Kazakhstan, demikian Turkistan dikenal. Bekas ibukota kesultanan Kazakh di abad ke-16 ini kini menarik ribuan Muslim dari Asia Tengah yang menjadikannya sebagai Mekkah kedua. Matahari menampakkan wajahnya ketika saya turun dari kereta di Stasiun Turkistan. Langit biru kelam, berpadu dengan putihnya hamparan salju yang membungkus bumi, membangkitkan semangat saya di ujung perjalanan Kazakhstan ini. Setelah menitipkan backpack di penitipan bagasi stasiun, saya segera menuju ke makam suci Khoja Ahmad Yasawi, monumen sejarah yang paling dibangga-banggakan negeri Kazakh. Khoja Ahmad Yasawi lahir di Turkistan, hampir seribu tahun yang lalu. Dia belajar Islam di Bukhara dan  kembali ke Turkistan, menyebarkan ajaran sufisme di sini. Makamnya menjadi pusat ziarah penting. Begitu pentingnya makam ini sampai orang setempat percaya, tiga kali berziarah ke Turkistan sama dengan sekali naik haji ke Mekkah. Bangunan megah yang sekarang menaungi pemakaman Yasawi dibangun lebih dari 200 tahun sesudah kematiannya. Adalah Timur si Pincang, atau Timurleng, yang sekarang diadopsi sebagai pahlawan besar Uzbekistan, yang membangun gedung megah di Turkistan ini untuk menghormati sang Khoja. Timur memang terkenal dengan monumen-monumen agungnya yang menyilaukan mata. Lihat kota Samarkand yang bertabur masjid-masjid dan madrasah-madrasah raksasa. Bangunan makam Khoja Yasawi ini hanyalah salah satu contoh [...]

August 19, 2013 // 0 Comments

Garis Batas 5: Istaravshan, Masa Lalu dan Masa Kini

Istaravshan dan sejarah dua ribu lima ratus tahunnya. (AGUSTINUS WIBOWO) Istaravshan baru saja merayakan hari jadinya ke 2500. Wow, usia kota ini sudah dua setengah milenium. Seperti layaknya kota-kota di Asia Tengah, Istaravshan juga berlomba-lomba merayakan angka jadinya yang ribuan tahun, seakan angka milenia itu menjadi tolok ukur tingginya peradaban. Dua ribu lima ratus tahun yang lalu Iskandar Agung dari Makedonia datang menaklukkan negeri ini yang kala itu masih bernama Mug Teppa. Hari penaklukan itu diabadikan sebagai hari jadi Istaravshan. Namun, kedatangan Iskandar Agung yang tersohor tidak serta merta menjadikan kota ini berjaya sepanjang waktu.  Istaravshan timbul tenggelam dalam halaman sejarah, kadang terpuruk, bahkan mati suri selama ratusan tahun. Baru pada abad ke-15 orang Persia datang membawa sinar peradaban baru ke wilayah ini. Masjid dan madrasah bermunculan. Ketika Istaravshan merayakan ‘ulang tahun’-nya yang kedua ribu lima ratus, Tajikistan membangun sebuah gerbang megah di atas bukit gundul Mug Teppa, tempat sang Iskandar Agung pernah berdiri memandangi barisan bukit yang sama gundulnya Istaravshan, yang waktu zaman Rusia diganti namanya menjadi Ura Teppa, memang bukan tandingan Bukhara atau Samarkand. Tetapi umur bangunan-bangunan kuno di sini  termasuk yang tertua di seluruh penjuru Tajikistan, cukup untuk dibanggakan sebagai khasanah peradaban nasional. Namun, kekunoan Istaravshan  tidak [...]

June 6, 2013 // 0 Comments

Garis Batas 4: Sejarah Ribuan Tahun

PUNCAK AINY – Para pekerja di Puncak Ainy membersihkan es yang menutupi jalan. (AGUSTINUS WIBOWO) Di antara semua negara Asia Tengah, bisa dibilang Tajikistan adalah negara yang paling artifisial pembentukannya. Negara ini dipisahkan dari Uzbekistan tahun 1929. Tajikistan dilahirkan dan didefinisikan. Sulit memisahkan antara orang Tajik dan Uzbek. Walaupun secara linguistik, orang Tajik bicara bahasa Persia dan orang Uzbek bicara rumpun bahasa Turki, namun secara kultural kedua etnis ini sudah saling membaur dan mempengaruhi sejak berabad-abad dalam khasanah sejarah Asia Tengah. Bahasa Persia pada masa kejayaan Jalan Sutra adalah bahasa pemerintahan. Raja dan petinggi negara semua berbicara bahasa Persia, yang kemudian disebut bahasa Tajik. Raja Turki (Uzbek) pun berbahasa Tajik. Kota Samarkand dan Bukhara yang berkilauan dalam sejarah dunia mayoritas didiami oleh orang-orang yang berbahasa Tajik. Tetapi kedua kota bersejarah ini bukannya masuk wilayah Tajikistan malah menjadi kebanggaan nasional Uzbekistan. Uzbekistan berpendapat bahwa penduduk Samarkand dan Bukhara sebenarnya secara genetis adalah orang Uzbek, hanya saja berbahasa Tajik. Tajikistan beranggapan bahwa Uzbekistan telah merampas warisan budaya mereka. Apa yang harus terus-menerus diperdebatkan, manakala definisi ‘Uzbek’ dan ‘Tajik’ adalah rekaan dan ciptaan ahli etnografis Soviet dari Moskwa? Semua negara ‘Stan’ satu-persatu bermunculan karena Soviet ingin memecah [...]

June 6, 2013 // 4 Comments

Turkmenabat – Good Bye Turkmenistan

The crowded train journey before the New Year The cheap train ticket price for the 15 hour journey to Turkmenabat (formerly Charjou) placed me in the hard seat wagon of the train. I already expected what the seats to be. As its name, hard seat, the seats were all concrete hard wooden. Just imagine if you have to sit on wooden chairs like in primary school classrooms for 15 hours. After surviving the journey my butt became as flat as the chairs. But that was indeed what you get with 15,000 Manat (60 cents), incredible price considering the distance. Now was close to Navruz, known here as well as Bayram (Festival). All people wanted to go home. The seats and sleepers in this train were all booked some days in advance. Many of the people couldn’t get tickets. The train officers allowed people without ticket to be boarded as well, in a limited quota, after all passengers with ticket boarded. It was a chaos. Those passengers without ticket fought hard to enter the train. None of them wanted to be left in the train station, as current taxi price to Turkmenabat was shocking 300,000 Manat (12$) as prices went up [...]

March 20, 2007 // 2 Comments

Bukhara – Another Incident

My blury photos of Bukhara reflect my blurry mood My days in Uzbekistan seems never be far from incidents. Earlier in Tashkent I lost 400 US$ cash stolen. The other day in Samarkand I broke my camera. Then in Ferghana I experience some night hours in police station. Today, after the surprising climax that I will be thrown to my zero point, I have to experience other incidents at the last legs of this journey. I took a night bus from Tashkent to Bukhara. But I came late. When I arrived in bus station near the Sabir Rahimov Metro Station, the latest to Bukhara had departed. But there was another bus departing to Navoi, 2 hours before Bukhara, and I decided to take this night bus. It was 8 p.m. when I got in. But not until 11 the bus started the engine. I fell asleep since I got seated. Today was an exhausting day, as I was hunting for flight ticket to Malaysia and the fact that I am going home still shocked me. The journey to Navoi takes about 5 hours at night. I couldn’t remember anything, but I notice that people sitting next to me always change. [...]

January 25, 2007 // 1 Comment