Recommended

bus

Titik Nol 198: Karachi

Mausoleum Mohammad Ali Jinnah, Bapa Pendiri Pakistan, adalah lanmark Karachi (AGUSTINUS WIBOWO) Karachi, inilah kota terbesar di Pakistan. Inilah salah satu urutan atas kota terbesar di muka bumi. Di sinilah belasan juta manusia Pakistan tumpah ruah, segala macam etnis dan agama campur aduk. Di sinilah segala kebanggaan bangsa, gemilang sejarah, bercampur dengan bau busuk gunung sampah dan sungai tercemar. Perjalanan dengan bus melintasi gurun pasir membawa saya kembali dari dunia Thar ke alam Pakistan. Begitu meninggalkan Umerkot, bus tak henti memutar acara khotbah pengajian dan lantunan syair maatam yang membawa suasana kesedihan Ashura. Penumpang bus, kebanyakan perempuan Hindu dengan sari dan kalung hidung ukuran besar, sama sekali tidak ada yang protes. Karachi, walaupun sudah bukan ibu kota Pakistan lagi, masih memegang kendali sebagai pusat perekonomian negeri ini. Kota pelabuhan ini masih menjadi hub perdagangan internasional dan gerbang utama masuknya komoditi ke seluruh Pakistan. Siapa yang tak terkesima oleh ukuran kota yang sudah masuk kategori megapolitan ini? Siapa yang tak takjub melihat modernitas arsitektur kuburan Muhammad Ali Jinnah – sang Bapak Pendiri Pakistan, sang Quaid-e-Azam (Pemimpin Yang Agung)? Di mana lagi di Pakistan kita bisa melihat hiruk pikuk orang seramai di kota ini, dengan luas sebesar ini, dengan gedung tinggi dan [...]

May 27, 2015 // 3 Comments

Titik Nol 196: Perjuangan Hidup

Di balik tirai benang-benang sulaman, penuh dengan harapan (AGUSTINUS WIBOWO) Mereka memang hidup dari bulir-bulir pasir dan setetes air yang masam lagi pahit. Tetapi mereka pun punya mimpi dan cita-cita. Jamal adalah seorang guru di desa Muslim Ramsar. Muridnya ada 15 orang. Semua kerabatnya sendiri. Gajinya dari pemerintah Pakistan. Kecil sekali. Itu pun sering terlambat. Untuk menambah penghasilan, Jamal membuka toko, satu-satunya toko di desanya. Barangnya semua dari Umerkot. “Sekarang zaman sudah modern,” katanya, “saya tinggal telepon saja ke Umerkot dan barang diantar ke sini keesokan harinya dengan bus padang pasir.” Anda mungkin heran, bagaimana di gurun kering kerontang yang listrik dan air pun tak ada, malah ada telepon. Teknologi telepon nirkabel memang sebuah mukjizat yang tahu-tahu diturunkan kepada masyarakat di gurun pedalaman. Telepon made in China yang dipegang Jamal menyambungkan seluruh penduduk desa ke dunia luar. Gagang telepon ada di rumah Jamal, sedangkan mesin telepon ditinggal di Umerkot. Gagah sekali Jamal dengan gagang telepon itu, seperti punya telepon genggam saja. Gagang telepon yang satu ini, ramai-ramai dipakai penduduk desa sebagai telepon umum, dan Jamal pun dapat sumber pemasukan baru. Toko modern (AGUSTINUS WIBOWO) Di desa Ramsar Hindu juga ada toko kelontong yang persis sama, dengan persediaan barang remeh-temeh yang [...]

May 25, 2015 // 0 Comments

Titik Nol 193: Tharparkar

Pulang, kembali ke tengah kepulan debu di gurun Thar (AGUSTINUS WIBOWO) “Thar dan hatiku adalah dua nama untuk gurun yang sama,” demikian tulis Mazhar-ul-Islam, pujangga Urdu ternama. Di atas atlas bumi, gurun pasir Thar tak lebih dari seonggok wilayah kerontang yang kosong, terbentang lebih dari 400.000 kilometer persegi, melintas perbatasan India dan Pakistan. Namanya membawa aroma kekeringan dan kegerahan. Namun kegarangannya juga membawa puja dan puji. Di padang gurun inilah, budaya Rajashtan, Sindhi, dan Gujarati bersatu padu, menghasilkan warna-warni membara di tengah muramnya gurun. Di gurun luas di propinsi Sindh ini, lebih dari 800 desa dengan sejuta jiwa manusia berjuang untuk mempertahankan hidup. Inilah gurun pasir yang kepadatan penduduknya tertinggi di dunia. Distrik Tharparkar adalah salah satu tempat terpencil dan terlupakan di negeri ini. Umerkot, kota Hindu yang menjadi ibu kota distrik ini, dulunya terisolasi dari dunia luar. Beberapa tahun silam, orang asing dilarang masuk ke sini tanpa izin khusus. Itu pun masih menjadi target pengawasan dinas intelijen Pakistan. Alasannya, daerah ini terbilang sangat sensitif, tempat tinggalnya minoritas Hindu dan dekat perbatasan dengan musuh bebuyutan India, ditambah lagi situasi keamanan provinsi Sindh yang terus bergejolak. Saya beruntung mengenal organisasi Sami Samaj Sujag Sangat yang memberikan bantuan kemanusiaan dan memberdayakan suku-suku [...]

May 20, 2015 // 0 Comments

Titik Nol 181: Kota Panas dan Debu

Panas menyelubungi seluruh Multan (AGUSTINUS WIBOWO) Kota ini tersohor karena empat g – garam (panas), gard (debu), garra (pengemis) dan goristan (kuburan). Dua ‘g’ yang pertama sudah cukup membuat saya terkapar di dalam kamar losmen yang pengap. Meninggalkan nyamannya kota Lahore sungguh berat. Saya terpaksa berpisah dengan nikmatnya malam di pasar makanan Anarkali, diskusi politik dan agama dengan kawan-kawan dari Universitas Punjab, musik qawwali di kuburan Sufi, petualangan di lorong sempit dan gelap kota kuno. Visa Pakistan saya sudah hampir habis lagi, dan masih banyak sisi lain negeri ini yang ingin saya tengok. Bagaikan film India ketika saya mengucap salam perpisahan dengan kawan-kawan Lahori. Saya sengaja memilih bus yang berangkat tengah malam dengan perhitungan sampai  Multan tepat ketika pagi dimulai, untuk mengirit biaya penginapan. Tetapi Asad tak sampai hati melihat saya berangkat malam-malam begini. Mahasiswa berbadan kurus itu bersikukuh untuk mengantar saya sampai ke terminal bus, walaupun harus menanggung resiko ditempeleng bapaknya yang pasti akan marah kalau ia pulang terlambat. Ia membantu saya mencegat bus kota. Asad bahkan mau membawakan tas ransel di punggung saya, tetapi saya tak sampai hati menambah bebannya. Hasilnya sungguh tak terduga. Asad malah diomeli penumpang lainnya. “Mengapa kamu tidak bawakan tasnya yang berat itu? Dia [...]

May 4, 2015 // 0 Comments

Titik Nol 151: Terjebak Birokrasi Pakistan (2)

Dari Islamabad… (AGUSTINUS WIBOWO) Perpanjangan visa Pakistan membuat saya merasa seperti bola pingpong yang dilempar dari satu kantor ke kantor lain. Kementrian Dalam Negeri letaknya jauh sekali dari Kantor Paspor. Islamabad adalah kota modern yang didesain oleh orang Eropa tetapi dimanajemen oleh orang Pakistan. Akibatnya adalah perencanaan tata kota yang matang yang berbaur dengan morat-maritnya dunia ketiga. Jalan lurus dan panjang, taman-taman yang teratur rapi, di sebuah kota kosong di mana kantor-kantor pemerintah bertebaran di segala penjuru. Saya dan dr. Zahid menunggu di depan bangunan Visa Section di kompleks Kementrian Dalam Negeri. Ada dua pintu. Yang satu khusus untuk warga Afghan, keturunan Afghan, dan jurnalis – kelompok rawan. Pintu lainnya untuk orang asing, turis, dan NGO. Jam kerja kantor ini dari pukul 11 hingga 12 siang – benar-benar jam kerja yang ideal. Pengumuman yang tertempel di depan pintu mengatakan bahwa pukul 10:45 akan dibagikan nomor urut bagi para pengantre. Tetapi tidak ada antrian di sini. Semua orang bergerombol di depan pintu yang masih tertutup. Kami hanya menantikan detik-detik pintu kayu yang agung itu akan terbuka, sebagai jalan emas menuju visa Pakistan. Bukan Pakistan namanya kalau tidak terlambat. Pukul 11:15, pintu itu baru terbuka. Seorang petugas membawa setumpuk kartu kecil. Bukannya [...]

March 23, 2015 // 6 Comments

Titik Nol 139: Do Nambar

Asyiknya naik bus di Pakistan. Duduk di atap bukan pengalaman untuk dicoba kaum hawa. (AGUSTINUS WIBOWO) Bagi perempuan, bepergian seorang diri di Pakistan tidak selalu mudah. Bukan hanya kendaraan yang penuh sesak, tetapi juga ada tangan-tangan jahil yang mengintai. Di Pakistan, di mana segala sesuatu selalu dipisahkan untuk perempuan dan laki-laki, naik kendaraan umum bisa jadi kesusahan sendiri. Aturan mainnya, perempuan tidak boleh duduk di sebelah laki-laki kalau bukan muhrimnya. Untuk bus dan kereta, masalahnya tidak terlalu besar, karena tempat duduk banyak tersedia. Tetapi untuk angkutan kota lain lagi ceritanya. Angkutan umum yang paling banyak mengarungi rute Rawalpindi – Islamabad adalah colt. Maksimal 14 orang bisa disumpalkan ke dalam mobil kecil ini. Jarang sekali saya melihat penumpang perempuan. Bukan hanya karena perempuan tidak banyak bepergian, tetapi sopir pun sering enggan menyediakan tempat buat wanita. Apa sebab? Biasanya, tempat yang tersedia untuk penumpang perempuan adalah dua bangku di depan di sebelah sopir. Itu kalau jam-jam peak hour juga sudah diduduki laki-laki. Kalau bagian tengah atau belakang, kecuali sopir bisa menemukan empat atau delapan penumpang perempuan sekaligus, maka mengangkut penumpang perempuan berarti harus kehilangan banyak slot untuk penumpang laki-laki, yang lebih banyak. Keadaan sedikit lebih gampang kalau si perempuan bepergian dengan saudara [...]

March 5, 2015 // 2 Comments

Titik Nol 115: Mencari Identitas

  Sudahkah saya seperti orang Pakistan? (AGUSTINUS WIBOWO) “Bhai jan, aku sudah seperti orang Pakistan? Bagus tidak?” tanya pria Inggris ini kepada sopir rickshaw, memamerkan pakaian shalwar kamiz yang baru saja didapat dari tukang jahit seharga 1.000 Rupee. Bukan hanya sopir rickshaw, tapi semua orang Pakistan yang dijumpai – tukang jual pisang, penjaga losmen, toko obat, sopir taksi, kondektur bus,… Namanya Al Malik, warga negara Inggris keturunan Pakistan. Umurnya tiga puluhan, tetapi masih belum menikah. Tubuhnya tambun, wajahnya ditumbuhi kumis dan jenggot pendek, tajam-tajam seperti duri. Pandangannya menghunus tajam dari matanya yang berwarna coklat indah itu. Saya pertama kali berjumpa dengannya dalam pertunjukan malam Sufi, di mana ia terpesona oleh suasan mistis yang menghanyutkan. Juga meriahnya musik qawwali yang membuatnya merasa telah mencapai tujuan perjalanannya. Dalam sebulan terakhir, Al telah  mengunjungi empat negara Muslim – Turki, Suriah, Iran, dan sekarang Pakistan. “Suriah, aha, negara itu sangat bebas. Tehran sangat modern. Tetapi justru di sini, di Pakistan, aku menemukan apa yang aku cari. Kesenian Islam modern yang inovatif!” katanya dalam bahasa Inggris dengan logat Britania yang kental. Al, menurut pengakuannya sendiri, adalah pengamat seni. Ia mengunjungi negeri-negeri Muslim untuk mencari kesenian Islam kontemporer, modern, yang bakal digemari penikmat seni Eropa. Kemarin [...]

January 30, 2015 // 10 Comments

Titik Nol 112: Gerbang Kemerdekaan

Bus bersejarah itu pun tiba di wilayah India (AGUSTINUS WIBOWO) “Pakistan memang diciptakan untuk membuat jarak antara kita dan mereka, memecah belah persaudaraan kita. Tak perlu kita teruskan lagi [permusuhan ini].” Demikian sebuah koran India menurunkan artikel di rubrik opini. Kedua negara tetangga ini sudah berseteru sejak kelahirannya. Pakistan tercipta dari British India tahun 1947 ketika umat Muslim India minta diberi negara sendiri. Pakistan berarti ‘Negeri yang Murni’, cita-cita luhurnya adalah negara umat Muslim yang berdiri di atas kesucian dan kemurnian Islam. Tetapi, pertikaian dan perselisishan selalu mewarnai sejarah kedua negara, menyebarkan benci yang merayap sampai ke sanubari rakyat jelata. Ingat kasus bom di New Delhi yang serta merta membuat orang India langsung menunjuk hidung Pakistan sebagai kambing hitam? Ingat betapa susahnya orang India mendapat visa Pakistan dan juga sebaliknya? Orang India menggunakan kata Pakistan sebagai umpatan yang paling kasar – “Chalo Pakistan!”, artinya “Enyahlah ke Pakistan”. Mengapa Pakistan selalu digambarkan sebagai tempat bak neraka yang penuh kesengsaraan? Mengapa imej Pakistan di India hanya hitam dan kelabu? India dan Pakistan punya garis perbatasan sekitar 3000 kilometer, tetapi hanya satu perbatasan resmi yang dibuka. Perbatasan Wagah teramat sepi, kecuali di sore hari ketika upacara penurunan bendera berlangsung. Tak banyak orang yang [...]

January 27, 2015 // 4 Comments

Titik Nol 95: Skeptis

Biro pemesanan tiket, bisa mempermudah perjalanan, tetapi tak jarang pula malah menambah masalah. (AGUSTINUS WIBOWO) Indiakah yang mengubah saya? Satu setengah bulan di negara ini membuat saya semakin susah mempercayai orang. Hati saya selalu dipenuhi curiga yang berawal dari kehati-hatian yang berlebihan. Ini adalah sebuah kisah yang sangat biasa bagi backpacker yang berpetualang di India. Kisah sama yang diulang-ulang oleh ribuan orang – gangguan para calo, teknik tipu-tipu bus dan rickshaw, pedagang kaki lima yang agresif, orang-orang yang mata duitan. Ini adalah pengalaman sehari-hari yang menjadi kenangan betapa kerasnya mental yang diperlukan untuk bertahan hidup di India. Saya mem-booking karcis bus menuju Bikaner, berangkat malam dari Jaisalmer dan sampai di kota di utara Rajashthan menjelang subuh. Sebuah teknik kuno untuk menekan pengeluaran akomodasi, dengan risiko mengorbankan stamina yang diperas habis-habisan di kendaraan. Tetapi, stamina saya sudah habis bahkan sebelum naik bus. Bagaimana tidak, kalau untuk naik bus saja saya masih harus berjuang menghadapi orang-orang rakus yang mengincar setiap keping uang di dompet. Berbekal tiket dari Hanuman Travels di Lapangan Hanumar di kota benteng Jaisalmer, saya langsung meluncur ke biro travel itu tepat pukul 8 malam. “Wah… tidak bisa ini,” kata pria yang duduk di kursi di pinggir jalan, “bus yang [...]

October 3, 2014 // 0 Comments

Titik Nol 74: Istirahat

Jaipur, kota merah jambu. (AGUSTINUS WIBOWO) Setumpuk masalah visa dan bencana bom di New Delhi membuat saya lelah. Saya ingin istirahat, menenangkan pikiran. Rajasthan adalah pilihannya. “Kamu yakin mau ke Rajasthan untuk menenangkan diri?” tanya Lam Li “kamu mesti ingat, India sama sekali bukan tempat untuk bersantai. Nanti jadinya malah kamu yang stress.” Lam Li, si petualang cewek dari Malaysia, baru saja datang kemarin dari Varanasi dan tak sengaja menginap di losmen yang sama dengan saya. Sejak hari pertama datang ia muntah-muntah hebat. Obatnya cuma Coca Cola campur garam dan sebatang rokok. Hari ini wajahnya masih pucat. Keputusan saya sudah bulat. Saya berangkat ke Jaipur di Rajasthan juga untuk mengejar perayaan hari raya Diwali – festival cahaya, perayaan terbesar bagi umat Hindu di India. Diwali adalah perayaan kemenangan terang melawan kegelapan, pencerahan mengatasi kebodohan, dan kebaikan mengalahkan kejahatan. Apalagi Diwali tahun ini hampir berbarengan dengan Idul Fitri, pasti sangat meriah. “Ya sudah, berangkatlah dulu,” kata Lam Li, “besok aku menyusul. Hari ini aku masih sakit. Kalau sudah dapat penginapan murah di sana, bagi tahu ya.” Saya dan Lam Li rasanya sudah menjadi teman perjalanan yang cocok. Kami tak selalu harus bersama ke mana-mana. Tetapi kami saling bantu dalam memberi informasi. [...]

September 4, 2014 // 0 Comments

Titik Nol 73: Bom

Ledakan dahsyat di Paharganj meluluhlantakkan pasar yang selalu ramai ini. (AGUSTINUS WIBOWO) New Delhi berguncang. Bom meledak nyaris berbarengan di berbagai penjuru kota. Keramaian pasar Paharganj yang dibanjiri ribuan orang berbelanja menjelang hari raya Diwali dan Idul Fitri tiba-tiba terkoyak oleh aliran darah. Paharganj, distrik kumuh di dekat stasiun kereta api New Delhi, adalah salah satu pusat perbelanjaan murah di ibu kota.. Toko pakaian grosir berbaris sepanjang jalan sempit. Losmen murah, wisma, toko buku, warung internet dan telepon, melengkapi keriuhan pasar ini, membuat tempat ini menjadi pilihan utama backpacker miskin.. Jalan bolong-bolong, sapi yang melenggang santai, bajaj butut dan mobil tua meraung-raung menyumpahi kemacetan di jalan kecil. Belum lagi orang-orang yang memenuhi jalan mencari barang-barang murah. Paharganj adalah sebuah dunia tersendiri. Hari ini, 29 Oktober 2005, dua hari menjelang hari raya Diwali – hari besar terpenting umat Hindu – dan empat hari menjelang Idul Fitri, kesibukan di Paharganj menjadi-jadi. Ribuan orang, umat Muslim dan Hindu, datang memborong barang belanjaan untuk persiapan perayaan. Saking penuhnya, jalan pun susah. Sore hari, pukul 5:40, kerumunan manusia ini semakin semburat. Ledakan bom dahsyat melemparkan kengerian dan histeria. Darah mengalir di mana-mana. Begitu mendengar berita ini, saya yang semula sedang berbuka bersama di Kedutaan Besar [...]

September 3, 2014 // 0 Comments

Titik Nol 69: Paharganj

Masala Dosa. (AGUSTINUS WIBOWO) Saya teringat secuplik tulisan fiksi karya Salman Rushdie berjudul Midnight Children yang mengisahkan pemecahan Pakistan dan India. Ada satu episode yang mengisahkan tentang orang yang terbiasa dengan ‘mata kota’, hidup dalam kota besar bergelimang harta, tak melihat lagi kemelaratan dan penderitaan rakyat papa di pelupuk mata. Pemilik ‘mata kota’ tak lagi melihat penderita kusta yang terkapar atau penderita kanker yang harus berjalan di atas bola. Tulisan itu membuat saya tersindir, mampukah saya melihat India dari kaca mata yang lebih tepat? Kalau Jakarta punya Jalan Jaksa, maka New Delhi juga punya Paharganj, pusatnya turis kere mancanegara. Di sinilah saya menginap, di sebuah losmen murah di dalam gang kecil, di dekat pasar yang hiruk pikuk oleh pedagang baju murah, sapi, klakson rickshaw, bau pesing orang kencing sembarangan, para pekerja dari Nepal, sampai ke sedapnya masakan China, segarnya teh susu di pagi hari, dan renyahnya masala dosa untuk sarapan pagi. Losmen tempat saya tinggal, Hotel Bajrang, cuma 100 Rupee per malam. Kamar yang saya dapatkan dindingnya tipis sekali. Kalau pagi saya terbangun karena ributnya suara orang yang menggaruk-garuk tenggorokan, mengeluarkan dahak yang tersangkut, kemudian meludahkannya bertubi-tubi. Kalau malam saya tak bisa tidur karena berisiknya sepasang kekasih yang memadu kasih [...]

August 28, 2014 // 1 Comment

Titik Nol 17: Patah Semangat

Semakin dekat ke Lhasa, jalan mulai beraspal.(AGUSTINUS WIBOWO) Sembilan puluh jam berlalu sejak saya berangkat dari kota Ngari. Hujan rintik-rintik turun di Lhasa. Ransel saya, yang disimpan di bagasi, terbungkus lumpur lengket setebal satu sentimeter. Kaki saya lemas, ditekuk sepanjang jalan. Yang paling parah, motivasi saya turut hancur. Sembilan puluh jam yang terbuang di atas bus sempit dan pengap sudah menggerogoti semangat berpetualang saya.. Perjalanan di Tibet tak mudah. Saya sungguh takut menghadapi lintasan yang selanjutnya membentang di hadapan saya – Lhasa, Shigatse, Gyantse, sampai ke Nepal. Masihkah saya punya cukup keberanian untuk menyelundup tanpa permit, main kucing-kucingan dengan tentara dan polisi, menumpang truk sepanjang jalan sampai ke batas akhir perjuangan? Tubuh saya yang remuk redam sudah tak ingin lagi bermain gila-gilaan. Mendung tebal yang menyelimuti kota Lhasa seakan mewakili isi hati. Banakshol Hotel adalah salah satu penginapan paling legendaris di Lhasa. Petualang asing dan dalam negeri menginap di losmen bergaya arsitektur Tibet. Nuansa backpacker ghetto ala Khao San Road (Bangkok) atau Phan Ngum Lao (Saigon) yang jarang dijumpai di tempat lain di negeri China, hidup di sini. Saya menginap di sebuah dormitory bersama Man Fai si turis Hong Kong dan seorang turis lain asal Inggris yang hendak berangkat ke [...]

May 23, 2014 // 0 Comments

Titik Nol 16: Kebangsaan

Bus mogok di tengah padang luas.(AGUSTINUS WIBOWO) Di dalam kesepian ini, saya malah merasakan kerinduan yang teramat dalam pada kampung halaman. Sudah dua jam kami berhenti untuk sarapan di Coqen. Ada yang aneh. Biasanya bus tak suka berhenti lama-lama. Untuk makan cuma tiga puluh menit, untuk buang air berombongan di pinggir jalan di tengah padang rumput luas, tak lebih dari tiga menit. Laki-laki dan perempuan pun sampai bersamaan melaksanakan hajat, karena bus kami yang merayap lambat di jalan selalu ‘tak punya waktu’ untuk berhenti. Meninggalkan Coqen, bus bukan merambat lagi, tetapi merangkak. Empat puluh menit perjalanan, kami baru menempuh tujuh kilometer. Setelah itu, bus berhenti sama sekali. Rusak. As roda patah. Perjalanan tak mungkin lagi dilanjutkan. Semua penumpang terdampar di padang rumput. Sekarang, tak seorang pun tahu kapan kami bisa sampai ke Lhasa. “Lhasa? Jangan mimpi. Bisa jalan lagi saja sudah hebat,” kata seorang penumpang berpakaian tentara sinis. Satu jam berlalu. Semula saya senang karena dengan terdampar di sini, monotonnya perjalanan di atas bus bisa sedikit terhapuskan. Semboyan perusahaan bus Tibetan Antelope, “Meiyou Lutou de Laoku, Zhiyou Zaijia de Xiangshou – Tak Ada Susahnya Perjalanan, Cuma Ada Nikmatnya Rumah Tinggal”, yang tertulis besar-besar di badan bus adalah ironi. Sudah lima [...]

May 22, 2014 // 3 Comments

Titik Nol 15: Balik Haluan

Peliharalah persatuan bangsa, lawanlah perpecahan bangsa. (AGUSTINUS WIBOWO) Peruntungan saya mungkin memang tidak terlalu baik. Sampai pukul lima sore, di bawah bayang-bayang wajah tergores Gunung Kailash matahari masih panas menyengat, saya memutusukan untuk balik haluan. Kembali ke Darchen, lalu Ngari, kemudian dari sana baru cari bus ke Lhasa. Sudah seharian saya menunggu ke Barga, tak ada satu pun kendaraan yang lewat dari arah mana pun. Man Fai, si turis Hong Kong, sudah menampakkan wajah pasrah. Dahinya mengilap, kumis tipisnya tak karuan. Senyumnya sangat aneh. Tanda-tanda backpacker putus asa. Saya pun tak jauh beda sebenarnya. Sekali lagi, debu mengepul di kejauhan. Ini kendaraan ketiga yang datang dari arah Burang di selatan menuju ke Darchen atau Ngari di utara. Sebenarnya bukan tujuan kami, tetapi nampaknya cuma ini pilihan kami satu-satunya. “Saya sudah tidak mau menginap lagi di sini,” kata Man Fai, “saya harus cepat-cepat ke Lhasa. Waktu saya sudah tinggal sedikit. Tidak tahu lagi kalau menunggu di sini kapan akan ada kendaraan menuju ke Lhasa. Hao nan shuo…. Susah dikata…” Sama sepertinya, saya pun tak punya waktu banyak dengan visa China saya yang tinggal hanya dua minggu lagi. Walaupun bus ini bukan yang kami tunggu, tetapi melihat sebuah kendaraan sebesar ini terhenti [...]

May 21, 2014 // 4 Comments

Titik Nol 9: Darchen

Sebagai dusun peziarah dan turis, Darchen dipenuhi hotel dan restoran. (AGUSTINUS WIBOWO) Cemas masih menggerayangi ketika mobil mulai oleng diterpa air sungai yang menderas. Kami tepat di tengah-tengah. Dua puluh meter ke belakang, dua puluh meter ke depan, untuk bisa keluar dari kubangan menyeramkan ini. Sopir memilih mundur. Para penumpang sudah menjerit marah bercampur ketakutan. Beberapa lelaki Tibet turun, ikut mendorong mobil yang tertambat. Tepat sepuluh menit berkubang, mobil kami akhirnya berhasil mencapai tepian. Para penumpang mendengus kesal. Barang bawaan mereka yang ditaruh bagasi belakang semua jadi hitam bercampur lumpur. Ibu polisi Tibet itu lebih sedih lagi, sekarung beras yang dibawanya juga jadi beras lumpur. “Itulah pengabdian,” katanya sambil menghela nafas panjang, ketika kami melanjutkan perjalanan. Saya tersentuh oleh pengabdian polisi senior ini. Gajinya cuma 2500 Yuan. Di Tibet, di tempat yang terpencil dengan semua harga barang melambung tinggi, gaji itu sama sekali tidak ada apa-apanya. Naik bus seperti ini sepuluh kali saja sudah habis. Untuk makan tiga orang aja selama satu bulan juga tidak cukup. Belum lagi untuk tabungan, biaya hidup anak dan keluarganya. Tetapi bu polisi tetap tegas menjalankan tugas, menegakkan hukum di pelosok terjauh Republik Rakyat China, tak peduli dengan rengekan orang asing yang melakukan perjalanan-perjalanan ilegal. [...]

May 13, 2014 // 0 Comments

Titik Nol 8: Polisi

Kota Ngari di ujung barat Tibet dihuni oleh mayoritas penduduk etnis Han dari pedalaman China. (AGUSTINUS WIBOWO) Sungguh tak enak rasanya menjadi pencuri. Saya yang masuk tanpa izin sama sekali ke daerah terlarang ini, sekarang malah duduk satu mobil bersama polisi China. Terminal bus kota Ngari, seperti sebelumnya, sepi. Tempat ini jauh dari mana-mana. Jangankan ke Beijing yang dipisahkan ribuan kilometer di balik puncak gunung salju dan padang gurun luas, dari sini ke Lhasa pun butuh perjalanan berhari-hari melintasi medan yang berat. Pintu keluar Ngari yang paling dekat adalah propinsi Xinjiang di utara, itu pun dua hari perjalanan melewati Parit Kematian. Tetapi terlepas dari keterpencilannya, Ngari justru paling dekat dengan ‘Pusat Dunia’. Sekitar tiga ratus kilometer di selatan Ngari, Gunung Kailash yang dimuliakan umat berbagai agama berdiri dengan gagah. Ke sanalah tujuan saya berikutnya. Harga angkutan di Tibet terbilang mahal. Untuk jarak Ngari sampai Kailash, harga karcisnya 230 Yuan. Kalau orang asing lebih mahal lagi, 300 Yuan. Untunglah saya masih bisa menyamar sebagai orang Tiongkok. Tetapi Seum dan Kim dengan bahasa kemampuan bahasa Mandarin yang pas-pasan, terpaksa membayar lebih. Kami bertiga duduk berimpitan di baris paling belakang. Sejatinya jip ini cuma muat tujuh penumpang, tetapi semua dijejalkan sampai sepuluh. Bagasi [...]

May 12, 2014 // 1 Comment

Titik Nol 3: Parit Kematian

Rumah makan Sichuan di tengah gunung gersang. (AGUSTINUS WIBOWO Bus tergoncang hebat melintasi barisan gunung gersang kelabu. Jalan berkelok-kelok di atas bebatuan. Sungguh alam yang keras tanpa ampun di luar sana. Hanya mereka yang tangguh sajalah yang boleh bertahan di alam seperti ini. Tak disangka, bus ini sungguh luar biasa. Sejak pagi kami suah melintasi tiga gunung pada ketinggian rata-rata 4500 meter. Mulai dari Kudi, Chiragsaldi, dan sekarang Mazar. Karena terhenti selama empat jam tadi pagi, kami baru sampai di puncak Mazar pukul tiga sore. Perut saya sudah keroncongan dan mata berkunang-kunang. Di tempat setinggi ini, oksigen sangat tipis, membuat kita mudah terserang sebuah gejala yang disebut altitude sickness atau penyakit ketinggian. Kepala berat, aliran darah melambat, mual dan muntah. Lebih parah lagi sampai pembuluh darah pecah. Orang yang tak terbiasa tempat tinggi atau yang staminanya buruk mudah sekali terserang gejala ini. Waktu turun di sebuah dusun selepas Mazar, baru 250 kilometer dari Kargilik, kaki saya sudah lemas dan pandangan mulai kabur. Di kanan gunung batu. Di kiri pun gunung batu. Gersang. Angin berhembus kencang, menderu seram, membawa bulir-bulir debu berputar-putar. Kami sekarang berada di ketinggian 3780 meter. Ternyata ada pula manusia yang bisa hidup di tempat seperti ini. Beberapa [...]

May 5, 2014 // 3 Comments

Selimut Debu 3: Nyanyian Bisu

Perempuan Tajik dari Tashkurgan, China (desa terakhir sebelum Khunjerab Pass), punya kebiasaan memakai topi di bawah kerudung. (AGUSTINUS WIBOWO) Gunung-gunung itu bisu, tapi mereka seakan bernyanyi begitu merdu. Perjalanan dari Kashgar menuju Pakistan bisa ditempuh dalam waktu dua hari dengan menggunakan bus internasional. Karakoram Highway, yang diklaim oleh Pakistan sebagai keajaiban dunia kedelapan, dianggap sebagai mahakarya bikinan manusia. Jalan raya yang menghubungkan Kashgar dengan Islamabad itu menembus gunung-gunung tinggi mencapai ketinggian lebih dari 5.000 m di atas permukaan laut. Banyak orang yang mengatakan, Karakoram adalah jalan perbatasan yang paling indah di dunia. Perbatasan China-Pakistan terletak di Khunjerab Pass. Ada sebuah patok yang menandai batas itu, di puncak sebuah bukit yang berangin kencang. Di sisi China, tergambar lambang negara China dan tulisan nama negara. Demikian juga di sisi Pakistan. Nampaknya wabah SARS di China cukup menyeramkan bagi Pakistan yang tidak mempunyai fasilitas kesehatan semodern China. Karena itu mereka sangat berhati-hati, bisa juga dibilang berlebihan, terhadap semua pendatang dari China. Perbatasan China-Pakistan baru saja dibuka dua hari lalu, dan aku termasuk salah seorang turis asing pertama yang menyeberang dari China menuju Pakistan. Dalam bus yang aku tumpangi ini, hanya akulah satu-satunya orang asing. Sebagian besar penumpang adalah para pekerja China yang hendak [...]

October 30, 2013 // 0 Comments

Garis Batas 53: Mafia

Dunia yang langsung mengabur (AGUSTINUS WIBOWO) Saya tertidur lelap dalam sebuah bus malam yang melaju menuju Bukhara. Dan, terbangun dalam ketidakberdayaan, terjebak dalam sebuah taksi yang berhubungan dengan mafia, dan larut dalam kegelapan malam. Dari segala kecerobohan yang pernah saya lakukan, mungkin tak ada yang lebih parah daripada ini. Saya tertidur lelap dalam bus malam yang akan berangkat menuju Navoi, kota kecil di dekat Bukhara. Saya tidak tahu mengapa saya begitu suka tidur di bus. Duduk tegak dalam bus yang pengap, penuh sesak, dan berguncang-guncang, mungkin bukan posisi terbaik untuk tidur. Tetapi bagi saya sama nyamannya dengan tidur di atas kasur empuk dalam istana. Saking nikmatnya, saya merasa air liur pun menetes tanpa sadar. Tas ransel saya taruh di bawah bangku. Tas kamera saya peluk erat-erat. Dan mulut saya terus menganga mengiring lelap, bertengger di wajah saya yang menyandar ke arah jendela kaca yang dingin. Saya tak ingat apa-apa lagi. Bus gelap gulita, hanya suara deru mesin kendaraan kuno ini yang mengisi malam. Saya hanya merasakan beberapa kali penumpang yang duduk di sebelah saya berganti-ganti. Saya duduk di dekat pintu bus, sehingga tempat kosong di samping saya menjadi persinggahan penumpang yang mau turun. Tidur lelap saya terganggu, ketika saya mendengar [...]

August 27, 2013 // 0 Comments

1 2