Recommended

China

Titik Nol (127): Dusun Mati

Desa mati yang ditinggal penduduknya di musim dingin (AGUSTINUS WIBOWO) Dusun Karimabad terperangkap dalam sepi. Salju terus mengguyur, menyelimuti lereng gunung dengan warna putih yang merambah semua sudut. Teras-teras ladang bagaikan lautan salju yang berombak. Saya juga terperangkap di sini. Sekarang hanya ada seutas jalan yang menghubungkan Karimabad dengan dunia luar – Karakoram Highway. Ke utara, ke arah China, perbatasan ditutup total sejak awal Januari. Ke selatan, ke arah kota-kota Pakistan, jalan pun tertutup oleh longsoran batu gunung. Seluruh wilayah Northern Areas sekarang terperangkap dalam dunianya sendiri. Saya sudah ingin cepat-cepat meninggalkan surga di lereng Karakoram ini menuju Kashmir, tempat saya seharusnya bekerja sebagai sukarelawan. Tetapi harga karcis bus ke Rawalpindi sungguh mahal, 821 Rupee. Karenanya, saya langsung mengiyakan tawaran Akhtar, pemuda dari Sost, yang katanya mau berangkat bersama menuju Islamabad dengan kendaraan pribadinya. Tetapi janji orang sini tak boleh dipercaya seratus persen. Akhtar berkata, seminggu lagi kita berangkat. Saya sudah menunggu seminggu penuh, tak ada kabar juga. Komunikasi satu-satunya yang mungkin hanya via telepon. Di musim dingin begini, hanya ada satu warung telepon yang buka di Karimabad. Saya harus naik bukit hanya untuk sekadar menanyakan kapan ia berangkat. Jawabannya, bisa ditebak, “Mister,‘dua’ hari lagi”. Dua hari berikutnya, di bawah [...]

February 17, 2015 // 0 Comments

Titik Nol 120: Seutas Jalan di Bibir Jurang

Pernahkah Anda mendengar tentang sebuah lembah yang dirundung kegelapan – tanpa mentari  – selama berbulan-bulan? Saya tertarik anjuran Wahid untuk belajar lebih banyak tentang kehidupan orang Tajik di chapursan. Seorang pemilik kios kecil di kota perbatasan Sost menambahkan, “Engkau harus ke Chapursan, mengalami siksaan hidup kedinginan tanpa sinar matahari!” Saya memberanikan diri pergi ke Chapursan, sebuah lembah yang tersembunyi di balik barisan gunung, di tengah musim dingin Hunza yang menggigit. Gilakah saya? Noorkhan tertawa tergelak-gelak. Pria kurus 30 tahun berkumis tipis ini tubuhnya dibalut selimut tebal. Musim dingin membuat orang Hunza jalan ke mana-mana dengan selimut terlingkar di pundak. “Chapursan dingin sekali,” katanya, “dan tidak banyak orang yang senekad kamu pergi ke sana di musim begini.” Jalan sempit di tepi jurang (AGUSTINUS WIBOWO) Tawa Noorkhan membuat saya sedikit ragu. Afiyatabad dan Sost yang berkelimpahan sinar matahari seperti ini saja masih dingin bukan kepalang. Kalau lepas sarung tangan beberapa menit saja, telapak tangan sudah membiru. Apalagi di lembah yang terjepit gunung, 60 kilometer jauhnya dari sini itu, seperti apa dinginnya? “Saya sebenarnya juga pendatang ke Chapursan,” lanjutnya, “saya memang lahir di Chapursan, tetapi tinggal di Karachi.” Bahasa Inggrisnya fasih, gerak-gerik tubuhnya menunjukkan tingkat pendidikannya yang tinggi. Noorkhan adalah orang penting di [...]

February 6, 2015 // 0 Comments

Titik Nol 119: Pelabuhan Darat

Hunza bukan lagi Shangri-La yang tersembunyi, tak terjamah peradaban manusia. Sejak Karakoram Highway selesai dibangun, desa-desa di pegunungan tinggi ini semakin terbuka bersama kemajuan dunia. Pembangunan jalan raya menembus gunung-gunung pada ketinggian di atas 4000 meter bukanlah hal yang mudah. Pemerintah Pakistan dan China bersama-sama mengerjakan proyek ini, membutuhkan waktu 20 tahun, dan baru selesai pada tahun 1986. Panjangnya 1300 kilometer, menghubungkan Islamabad dengan kota Kashgar di propinsi Xinjiang milik Republik Rakyat China. Medannya sangat berat. Pakistan menyebut jalan raya ini sebagai Keajaiban Dunia Kedelapan. Saya berhasil mengalahkan rasa malas, memaksa diri beranjak meninggalkan Karimabad menuju kota Sost, kota terakhir Pakistan sebelum perbatasan China. Saya dengar karena banyaknya orang China, di kota Sost kita bisa membeli makanan China yang asli citarasanya. Dua tahun lalu, saya sudah pernah sampai di sini. Para pekerja China sedang sibuk membangun dry port – pelabuhan darat, yang akan membangkitkan denyut nadi perekonomian di barisan pegunungan Karakoram. Waktu itu mereka sangat gembira, karena kiriman daging babi dari China baru datang. Bagi para pekerja itu, makanan Pakistan terlalu hambar dan tak sesuai lidah mereka. Di seluruh negeri, daging babi tak tersedia sama sekali dan harus diimpor untuk konsumsi sendiri. Selain itu, para pekerja juga tidak bisa hidup [...]

February 5, 2015 // 15 Comments

Titik Nol 116: Karakoram Highway

Kakek tua Haider (AGUSTINUS WIBOWO) Di bawah gunung bertudung salju setinggi 7.790 meter, Desa Karimabad diam dalam keheningan. Di sini waktu mengalir lambat-lambat, ditelan keagungan puncak-puncak raksasa. Di bawah sana terhampar Lembah Hunza—terletak di utara Pakistan, diapit tiga gunung besar: Himalaya, Karakoram, dan Pamir. Jalan raya Karakoram Highway berkelok di pinggang gunung, menghubungkan Islamabad—ibu kota Pakistan—dengan kota kuno Kashgar di negeri Tiongkok. “Perjalanan yang benar-benar menyakitkan,” keluh Al, “Saya memang sudah tua. Perjalanan seperti ini sudah bukan untuk umurku lagi.” Saya dan Al baru saja menempuh perjalanan panjang sampai ke dusun Karimabad di jantung Lembah Hunza. Tujuh jam perjalanan Lahore–Rawalpindi plus 22 jam dengan bus menyusuri Karakoram Highway, dan masih ditambah lagi dua jam perjalanan sampai ke Karimabad. Jalannya berkelak-kelok, naik turun, bolong-bolong. Namanya juga jalan gunung. Gunung-gunung di bagian utara Pakistan mengisolasi wilayah pedesaan di seluruh provinsi Northern Areas (NA) di dataran tinggi ini. Ajaib, di liukan tajam punggung bukit, di tepi jurang dengan air sungai yang menggelegak, bisa dibangun jalan raya beraspal yang menghubungkan Pakistan-China, menghidupkan kembali perdagangan Jalur Sutra, dan menyembulkan dusun-dusun Hunza ke atas peta. Namun, bagi Al, itu adalah siksaan. Tak pernah ia semenderita ini. “Masa tak ada pesawat terbang ke Gilgit?” ia mengeluh lagi. [...]

February 2, 2015 // 5 Comments

Titik Nol 115: Mencari Identitas

  Sudahkah saya seperti orang Pakistan? (AGUSTINUS WIBOWO) “Bhai jan, aku sudah seperti orang Pakistan? Bagus tidak?” tanya pria Inggris ini kepada sopir rickshaw, memamerkan pakaian shalwar kamiz yang baru saja didapat dari tukang jahit seharga 1.000 Rupee. Bukan hanya sopir rickshaw, tapi semua orang Pakistan yang dijumpai – tukang jual pisang, penjaga losmen, toko obat, sopir taksi, kondektur bus,… Namanya Al Malik, warga negara Inggris keturunan Pakistan. Umurnya tiga puluhan, tetapi masih belum menikah. Tubuhnya tambun, wajahnya ditumbuhi kumis dan jenggot pendek, tajam-tajam seperti duri. Pandangannya menghunus tajam dari matanya yang berwarna coklat indah itu. Saya pertama kali berjumpa dengannya dalam pertunjukan malam Sufi, di mana ia terpesona oleh suasan mistis yang menghanyutkan. Juga meriahnya musik qawwali yang membuatnya merasa telah mencapai tujuan perjalanannya. Dalam sebulan terakhir, Al telah  mengunjungi empat negara Muslim – Turki, Suriah, Iran, dan sekarang Pakistan. “Suriah, aha, negara itu sangat bebas. Tehran sangat modern. Tetapi justru di sini, di Pakistan, aku menemukan apa yang aku cari. Kesenian Islam modern yang inovatif!” katanya dalam bahasa Inggris dengan logat Britania yang kental. Al, menurut pengakuannya sendiri, adalah pengamat seni. Ia mengunjungi negeri-negeri Muslim untuk mencari kesenian Islam kontemporer, modern, yang bakal digemari penikmat seni Eropa. Kemarin [...]

January 30, 2015 // 10 Comments

Daru 21 Agustus 2014: Wantok

Di pelabuhan Daru, para nelayan pun mengelompok sesuai daerah asal dan bahasa masing-masing (AGUSTINUS WIBOWO) Daru, dikenal sebagai “ibukota ikan kakap” adalah pulau berbentuk seperti anak ayam. Di bagian timur adalah mulut lancipnya, berupa pelabuhan yang selalu penuh perahu dari desa-desa sepanjang daratan utama dan daerah Sungai Fly, yang menyuapi Daru dengan beragam jenis ikan, sagu, udang sayuran. Di sini pula terletak toko-toko besar dan hotel, yang semuanya dimiliki orang dari China Daratan, menjual beras, berbagai makanan instan dan kalengan, bumbu, pakaian. Menyusuri jalan utama ini dari timur ke barat, kita akan melintasi bandara, dan dari sana kita akan berbelok ke selatan, menuju “anus” Daru: tempat sampah-sampah dibuang, pelabuhan yang sudah mati dengan kapal-kapal berkarat, juga daerah corner—permukiman penduduk pendatang yang dipercaya sebagai tempat tinggalnya para raskol. Salah satu supermarket di dekat pelabuhan adalah milik sebuah keluarga China. Keluarga besar bermarga Yan dari Fujian, satu kampung halaman dengan leluhur saya. Hampir semua barang di supermarket ini adalah produk impor. Kasir dan pegawai adalah orang lokal, sedangkan para orang China duduk di atas kursi tinggi di belakang kasir. “Apa yang kalian lihat dari ketinggian sana?” saya bertanya dalam bahasa Mandarin. “Di negara ini terlalu banyak pencuri,” kata lelaki muda itu. “Setiap [...]

January 16, 2015 // 20 Comments

Titik Nol 87: Hidup Menurut Buku Panduan

Sarapan pagi pun saya membaca Lonely Planet. (AGUSTINUS WIBOWO) Mengapa hidup kita harus selalu dituntun oleh buku panduan? Tidakkah kita memiliki hasrat lebih besar untuk melakukan pengembaraan, menemukan rahasia alam yang tak terduga? Terilhami dari perang omelet di Jodhpur, saya jadi berpikir sejauh mana buku panduan macam Lonely Planet sudah memengaruhi cara orang menjelajah dunia. Coba perhatikan, berapa banyak turis yang berkeliaran di India yang yang tidak membawa-bawa buku suci tebal berjudul Lonely Planet, atau buku panduan wisata lainnya? Semua orang membawa buku yang sama, pergi ke tempat yang sama seperti yang ditulis dalam buku, menginap di hotel-hotel yang sama, sampai makan omelet pun di tempat yang sama. Turis-turis ini hanya melakukan perjalanan napak tilas seperti yang dituntunkan oleh buku. Bahkan beberapa edisi terbaru Lonely Planet sudah mencantumkan rute pilihan penulis. Apa jadinya? ‘Petualang’ atau bahasa kerennya traveler zaman sekarang, sudah jauh berbeda dengan para pengelana dunia pada zaman dahulu, bahkan tak bisa dibandingkan dengan para hippie yang menapaki hippie trail dari Istanbul sampai Kathmandu pada era 70-an. Perjalanan backpacker zaman sekarang terlalu terikat dengan petuah dan petunjuk Lonely Planet. Semua pergi ke tempat yang sama, semua mencicip makanan di restoran yang sama, dan menyelami pengalaman perjalanan yang sama. Apa [...]

September 23, 2014 // 0 Comments

Titik Nol 86: Perang Omlet (2)

Direkomendasikan oleh Lonely Planet. (AGUSTINUS WIBOWO) Kios omelet di depan pintu gerbang jam kota Jodhpur memang nampak biasa dari kejauhan. Yang tidak biasa adalah persaingan sengit di antara mereka gara-gara sebuah buku panduan turis berjudul Lonely Planet. “Terletak di pintu gerbang utara menara jam kota Jodhpur, kios omelet ini memang tampak seperti kios biasa. Tetapi konon mereka berhasil menjual 1.000 telur per hari dan penjualnya sudah berkecimpung dalam bisnis ini selama 30 tahun.” Demikian Lonely Planet India menulis tentang toko omelet ini di bagian “Tempat Makan” di kota Jodhpur. Sebuah paragraf yang bahkan saya lirik pun tidak, tetapi gara-gara mendengar kisah persaingan seru kios-kios omelet di sekitar jam kota, saya pun tertarik membaca. Sebait paragraf sederhana ini, ditambah lagi informasi tentang pedasnya omelet dan harganya yang murah, ternyata berarti luar biasa bagi bapak tua pemilik warung. Kepalanya sedikit botak, kaca matanya tebal, dan dengan bangga ia berkata, “saya sudah bekerja 33 tahun!” Seperti di warung sebelah, pemilik warung ini juga lebih sibuk menunjukkan testimoni kejayaannya daripada menyajikan omeletnya. Saya disuguhi dua lembar fotokopian ukuran besar dari halaman Lonely Planet yang menyebut tokonya, dilaminating pula. Ini adalah kebanggaannya yang paling besar. Paragraf itu di-highlight, bagian ‘wajib baca’ untuk semua turis yang [...]

September 22, 2014 // 2 Comments

Titik Nol 85: Perang Omlet

Buku testimonial adalah senjata ampuh warung-warung omelet untuk menarik pelanggan. (AGUSTINUS WIBOWO) Siapa yang tak kenal Lonely Planet? Tampaknya hampir semua backpacker yang berkeliaran di India berpegang teguh pada buku tebal yang sudah menjadi seperti kitab suci ini. Tetapi  siapa sangka Lonely Planet juga sudah mempengaruhi pasar di India? Jodhpur, kota biru Rajasthan, adalah salah satu magnet turis India. Kota ini dibanjiri oleh wisatawan dari berbagai kelas, mulai dari penghuni hotel bintang lima di puri kuno sampai backpacker kere penghuni losmen murah. Dari Pushkar yang masih ramai dan mahal, saya datang bersama Lam Li, menyusuri gang kota Jodhpur yang menyesatkan untuk mencari penginapan yang sesuai dengan cekaknya kantong kami. Kami mengunjungi lebih dari empat losmen. Setiap kali kami datang melihat losmen, yang pertama kali diperlihatkan kepada kami bukan kamar, melainkan kitab tebal berisi testimoni para tamu yang pernah menginap di sini. Guest Book, buku tamu, adalah alat promosi ampuh untuk menarik pelanggan. Yang namanya tercantum dalam kitab suci Lonely Planet dengan bangga menulis di plakat, “We are in Lonely Planet.” Yang tidak pun tetap optimistis, seraya berkata, “Kami masih baru, jadi masih belum terdaftar di Lonely Planet. Tapi jangan khawatir dengan pelayanan kami!” Sebegitu pentingnyakah terdaftar di Lonely Planet? Mungkin, [...]

September 19, 2014 // 0 Comments

Titik Nol 57: Kawan Lama

Batu bertahtakan mantra-mantra Budhisme. (AGUSTINUS WIBOWO) Di balik lekukan gunung-gunung tinggi ini selalu ada kejutan. Gunung salju raksasa menyembul di antara awan di langit biru. Pada ketinggian lebih dari 3000 meter, alam berganti drastis. Kuil dan pagoda Budhisme Tibet, di hadapan hamparan batu mani dengan mantra suci, semakin menebarkan nuansa mistis. Semakin ke atas, habitat orang Hindu semakin berkurang. Penduduk di sini kebanyakan orang etnis Tibet, menganut agama Budha aliran Tantrisme. Kenangan tentang perjalanan di Tibet terulang lagi di sini. Bedanya, saya tak perlu kejar-kejaran dengan polisi. Sebenarnya yang tinggal di daerah ini bukan orang Tibet, karena istilah etnik Tibet lebih dikhususkan pada mereka yang melarikan diri dari negeri China. Penduduk distrik Manang adalah etnis Manangi, atau disebut Manangapa, atau Nyeshang. Secara fisik, kultur, dan agama, memang sangat mirip dengan orang Tibet. Orang Manangi terkenal mahir berdagang. Walaupun habitat mereka jauh di gunung tinggi, tetapi jaringan perdagangan orang Manangi merambah hingga Kathmandu, bahkan sampai ke Malaysia dan Singapura. Selain Manangi, di tanah tinggi ini juga ada orang Tamang, Rai dan Limbu. Perawakan mereka seperti orang Asia Timur, pendek, bermata sipit, hidung pesek. Tetapi jangan ditanya soal ketangguhan. Seperti halnya orang Gurung, suku-suku ini adalah pemasok tentara Gurkha. Penduduk desa tradisional [...]

August 12, 2014 // 0 Comments

Titik Nol 35: Mata Buddha

Biksu Tibet mengitari Boudha. (AGUSTINUS WIBOWO) Sepasang mata menatap penuh misteri. Harum asap dupa bertebaran. Kabut masih baru menyelimuti Kathmandu. Dingin. Penuh misteri. Tetapi orang-orang sudah larut dalam doa dan ibadah. Bersama legenda yang mengiringi lahirnya kota kuno Kathmandu, adalah Swayambhunath di puncak bukit tinggi yang membayangi seluruh kota. Alkisah, seluruh lembah Kathmandu adalah danau. Danau ini tiba-tiba mengering airnya, bersamaan dengan sinar yang muncul dari Swayambhunath. Swayambhu, dalam bahasa Nepal, artinya ‘muncul sendiri’. Tak ada yang tahu pasti berapa usia kuil ini. Ada yang mengatakan tempat ini menjadi suci sejak lebih dari 2000 tahun lalu ketika Raja Asoka datang berkunjung. Letaknya di puncak bukit tinggi, yang menurut ahli geologis dulunya adalah pulau di tengah danau. Stupa raksasa Swayambhu sudah ada di abad ke-5, berwarna kuning cerah. Bentuknya bulat besar. Puncaknya adalah pagoda dengan empat sisi, terbuat dari emas. Setiap sisinya tergambar sepasang mata yang menatap garang. Mata Buddha, memandang ke semua arah mata angin, menunjukkan bahwa Tuhan yang maha mengetahui ada di mana-mana. Di atas pasang mata, adalah mata ketiga yang melukiskan kebijaksanaan nurani. Di bawah mata, garis melingkar-lingkar seperti hidung, adalah angka ‘1’ (ek) dalam huruf Nepal, melambangkan persatuan segala makhluk. Tak ada telinga, karena konon Buddha tak [...]

June 19, 2014 // 1 Comment

Titik Nol 32: Thamel

Thamel meriah menyambut Hari Turisme Dunia. (AGUSTINUS WIBOWO) Saya datang ke Nepal dirundung kegalauan. Kamera saya, tumpuan harapan saya satu-satunya untuk mengabadikan perjalanan ini, rusak. Masih bisa memotret, tetapi tidak lagi bekerja sempurna. Tak biasanya, kali ini saya tak menumpang bus murah dari perbatasan Kodari menuju ibu kota, tetapi nekad membayar taksi yang harganya lebih mahal tiga kali lipat. Hati saya gundah gara-gara kamera rusak. Tujuan saya hanya ingin cepat-cepat sampai di Kathmandu. Pemandangan sejak dari Tibet berubah drastis. Klakson bus bertalu-talu, bagaikan nada yang mengisi aliran lalu lintas di jalanan sempit berkelok-kelok, di tepi bukit hijau dan hamparan sawah. Pemandangan di sini sungguh mirip di Jawa, sawah, bukit, rumput, pohon, semuanya hijau. Jalan yang sempit dan bolong-bolong, gubuk di pinggir jalan, dan semrawutnya lalu lintas, benar-benar mirip. Tetapi yang membedakan, di sini banyak pos pemeriksaan polisi. Keamanan Nepal terus memburuk sejak gerilyawan Maois semakin menunjukkan pengaruhnya. Setiap mobil yang melintas harus berhenti, para penumpangnya menunjukkan dokumen, dan berjalan kaki melintasi pos. Orang asing boleh tetap tinggal di mobil, karena yang diincar polisi adalah gerilyawan Maois yang menyelundup. Begitu sampai di Kathmandu, saya langsung menuju Thamel, pusat berkumpulnya backpacker, setara dengan Jalan Jaksa di Jakarta atau Khaosan di Bangkok. Setelah [...]

June 16, 2014 // 0 Comments

Titik Nol 31: Perbatasan

Kota perbatasan Zhangmu, kemegahan di bukit terpencil. (AGUSTINUS WIBOWO) Di atas peta dunia, perbatasan hanyalah garis hitam yang memisahkan dua negara yang dibubuhi warna berbeda. Di alam nyata, perbatasan adalah garis tak kasat mata yang menentukan takdir manusia. Kami sampai di dekat Zhangmu cukup pagi. Untuk menghindari kecurigaan polisi, beberapa meter sebelum masuk kota, Ding meminta saya turun, berjalan kaki, melewati pos polisi, dan nanti berjumpa lagi di dalam kota. Sebabnya, truk sama sekali tak boleh membawa penumpang. Sopir yang tertangkap didenda mahal. Kota perbatasan Zhangmu adalah murni kota China. Semua bangunan di sini baru, kotak-kotak, berlantai tinggi. Toko berbaris, tiang listrik dan kabel semrawut di pinggir jalan. Banyak truk di sini. Ada yang punya orang Tibet, orang Sichuan, juga truk Nepal yang warna-warni berhias huruf-huruf Dewanagari. Jalannya hanya satu, semakin ke perbatasan Nepal semakin turun, berkelak-kelok mengikuti pinggang gunung. Penunjuk arah di sini tak perlu menyebut arah mata angin, cukup dengan ‘naik’ dan ‘turun’ saja. Sempit, hanya cukup untuk dua kendaraan saja di tikungan yang semuanya berbahaya. Sebagian besar kendaraan di sini adalah truk barang. Seperti kota perbatasan pada umumnya, Zhangmu hidup dari perdagangan internasional dengan negeri tetangga. Kebanyakan orang yang terlihat di sini adalah etnis Han. Dialek Sichuan [...]

June 12, 2014 // 6 Comments

Titik Nol 30: Nyaman di Nyalam

Dari pegunungan salju Himalaya…. (AGUSTINUS WIBOWO) Jalan raya Friendship Highway yang menghubungkan negeri China dengan Nepal beraspal mulus, walaupun masih ada perbaikan jalan di sana-sini. Ukuran keberhasilan negeri ini adalah pembangunan di mana-mana, merambah semua sudut negeri, meningkatkan kesejahteraan dan memperadabkan penduduknya. Bahkan gunung dan padang di kaki Himalaya pun kini sudah terjamah listrik dan jalan raya. Di padang rumput yang menghampar itu, air sungai bergemericik. Bocah-bocah bertelanjang, berlarian di tepi sungai, menceburkan diri dalam airnya yang segar. Tak ada malu, tak ada sungkan. Mereka hidup dalam surga mereka yang tak terjamah. Sementara kami, di dalam truk Dongfeng yang penuh sesak, dihantui kecemasan menuju Nyalam. Baru saja saya memberitahu Ding bahwa sejatinya saya orang asing. Di Nyalam, ada pos pemeriksaan besar. Orang asing yang tanpa permit akan kena hukuman. Sopir truk yang nekad memberi tumpangan pada orang asing juga akan didenda. “Jangan kuatir,” kata Ding menghibur, “kamu adalah mahasiswa Tsinghua. Langit pasti akan menolongmu.” Langit senja kemerahan, membilas puncak salju Himalaya yang berbaris di hadapan. Salju putih berubah menjadi kuning kemerahan, cantik sekali. Ding sering menghentikan mobilnya hanya untuk memberi kesempatan untuk memotret. “Mobil ini adalah punyamu, tak perlu berterima kasih. Justru saya merasa sangat terhormat mengangkut seorang anak Tsinghua.” [...]

June 11, 2014 // 1 Comment

Titik Nol 29: Truk Dongfeng

Naik truk Dongfeng keliling negeri. (AGUSTINUS WIBOWO) Saya meninggalkan rumah Donchuk dengan hati yang teramat gundah. Saya ingin segera meninggalkan kota ini, bergegas menutup segala kenangan tentang Tibet. Namun di akhir perjalanan ini, masih ada kisah manis yang mengakhiri. Tak mudah mencari tumpangan kendaraan di Tibet menuju Nepal. Walaupun judulnya Friendship Highway yang menjadi urat nadi perdagangan dengan Nepal, tetapi lalu lintas sepi. Negara tetangga di selatan juga miskin, sementara biaya transportasi yang mahal melintasi gunung-gunung raksasa di Tibet tak terlalu menarik minat para pedagang. Saya menunggu di pertigaan. Di sini sudah banyak orang menunggu. Ada keluarga Tibet dengan barang bawaan berkarung-karung. Ada pria-pria bertopik koboi, mencari tumpangan menuju Shigatse. Ada pula banyak pengemis perempuan berwajah lusuh yang masing-masing menggendong bayi, sama lusuhnya. Yang mau ke Nepal pun bukan hanya saya seorang. Masih ada seorang gadis China yang cantik berkepang, berkaus hitam ketat dan bertopi koboi. “Kami sudah menunggu sejak kemarin di sini,” kata gadis Hebei yang mungil dan lincah itu, “Tak ada kendaraan juga. Sebenarnya kita bisa menyewa mobil sampai ke perbatasan di Zhangmu, harganya kalau tidak salah seribu Yuan.” Seribu Yuan, mahal sekali! Di dompet saya sekarang cuma tersisa 250 Yuan. Dalam bahasa Mandarin, 250 disebut erbaiwu. Kata [...]

June 10, 2014 // 3 Comments

Titik Nol 28: Air Mata

Anak-anak keluarga Donchuk. (AGUSTINUS WIBOWO) Saya tak pernah menyesal seperti ini. Gara-gara kenaifan saya, air mata mengalir deras di pipi Donchuk. Saya menginap di rumah Donchuk di desa Shegar, di tepi Jalan Raya Persahabatan yang menghubungkan Tibet dengan Nepal. Rumah ini dipinggir jalan raya, terletak di lantai dua, bahannya dari kayu. Di dalam rumah, ada panggung di sekeliling tungku. Semua dari kayu, warnanya gelap. Ibu Donchuk sudah tua, tetapi tangannya masih kuat menumbuk teh mentega. Adik Donchuk sekolah di Tianjin, bisa berbahasa Mandarin dengan lancar. Pendidikan di Tibet memang terbelakang bila dibandingkan dengan provinsi-provinsi di belahan timur China, tetapi ada dispensasi khusus kepada putra-putri suku minoritas sehingga mereka berkesempatan mengenyam pendidikan tinggi di kota yang lebih modern. Kami berbincang banyak hal. Adik Donchuk ini suka sekali daratan China, lagu-lagu Mandarin, dan orang-orangnya. Anak Donchuk masih kecil-kecil. Satu laki-laki, satu perempuan. Orang Tibet tidak diwajibkan mengikuti ‘aturan satu anak’ seperti mayoritas etnik Han. Kedua anak Donchuk lincah, berlari ke sana ke mari, bergaya di depan kamera sambil melompat-lompat. Ada seorang perempuan pula di rumah itu. Masih muda, dari tadi kerjaannya hanya memintal benang atau membantu ibu Donchuk menyiapkan makan malam. Nampaknya ia masih berhubungan saudara dengan keluarga ini, walaupun katanya statusnya [...]

June 9, 2014 // 7 Comments

Titik Nol 27: Berbalut Khata

Puncak Everest dibalut awan.(AGUSTINUS WIBOWO) Cuaca di pegunungan berubah cepat. Yang tadinya langit biru dan gumpalan mungil, kini sudah menjadi mendung tebal menggelayut. Saya tak melihat apa-apa, hanya putih kelabu yang dingin. “Shushu,” kata Donchuk, tukang sepeda motor yang mengantar saya sampai ke Everest Base Camp ini, “Masuk dulu. Qomolangma memang tergantung nasib. Banyak orang yang sampai sini juga tak lihat apa-apa. Moga-moga besok cuaca bagus.” Saya kembali ke tenda. Yang tinggal di sini adalah kawan Donchuk dan istrinya. Keduanya berkulit hitam, kasar, terbakar matahari. Si suami mengenakan jaket hijau ala jiefangjun – Tentara Pembebasan, model pakaian China yang cukup populer di Tibet. Istrinya berwajah datar, dengan rambut panjang dikepang dan dililitkan melingkari kepala. Mereka tak bisa bahasa Mandarin dan saya tak bisa bahasa Tibet. Perbincangan kami lebih banyak tak sambungnya. Walaupun demikian, saya merasakan kehangatan sebuah keluarga sederhana Tibet. Si istri menyiapkan teh mentega – minuman utama orang Tibet. Cara membuatnya khusus. Air teh yang sudah bersih dari daun ditumbuk bersama dengan mentega, garam, dan susu. Tumbukannya juga tak biasa, kurus dan panjang, terbuat dari kayu. Teh susu mentega ini bisa pula jadi makanan, disiramkan ke bubuk jewawut tsampa, yang hasilnya kemudian menjadi bubur mirip makanan bayi. Tsampa asalah [...]

June 6, 2014 // 3 Comments

Titik Nol 26: Everest Base Camp

Pemandangan menuju Everest. (AGUSTINUS WIBOWO) Siapa yang tak kenal Everest, puncak tertinggi di muka bumi? Gunung agung itu kini terpampang di hadapan mata. Saya berencana menuju Nepal hari ini. Uang Renminbi saya sudah tak banyak, tak bisa bertahan lama di Tibet yang serba mahal ini. Lagi pula, visa China saya juga sudah mepet. Di Shegar, mencari kendaraan ke Tingri atau perbatasan Nepal tak mudah, apalagi karena saya sekarang bersama dua orang bule Israel. Setiap kali saya berhasil menyetop truk, begitu sopirnya lihat ada bule, langsung kabur. Kami sudah menunggu dari pagi sampai siang. “Shushu….Shushu… mau ke Zhufeng?” seorang pria Tibet berkulit hitam dan keras menyapa. Shushu, dalam bahasa Mandarin, artinya paman. Apakah saya sudah setua itu? Lelaki ini umurnya sudah empat puluh tahunan, dan seperti biasanya orang Tibet memanggil orang China, tak peduli tua muda, dengan sebutan shushu (paman) dan ayi (bibi). Zhufeng, dalam bahasa Mandarin, berarti Puncak Permata. Nama ini adalah singkatan dari Zhumulangma Feng, terjemahan dari nama Tibet Qomolangma, yang artinya Dewi Ibunda Alam Semesta. Orang kebanyakan lebih mengenal tempat ini dengan nama Everest, sebuah nama yang melekat pada puncak tertinggi di dunia ini sejak tahun 1865. Sir George Everest adalah pemimpin Great Trigonometrical Survey yang pada masa [...]

June 5, 2014 // 0 Comments

Titik Nol 25: Runyam

Perempuan Tibet pun tangguh menjadi kuli bangunan. (AGUSTINUS WIBOWO) Bicara soal politik di Tibet bisa berakhir runyam. Jangan sembarangan berdiskusi tentang Dalai Lama, kontroversi Panchen Lama, kehidupan beragama, dan hal-hal sensitif lainnya kalau tidak ingin terlibat dalam kesulitan. Menjadi orang asing di Tibet memang tidak mudah, apalagi kalau kita masuk ilegal dan tidak mengikuti peraturan pemerintah Tiongkok yang membatasi semua gerak-gerik di daerah ‘terlarang’ ini. Selain permit yang harganya menggila, orang asing juga tidak diizinkan naik kendaraan umum, apalagi menumpang truk di jalan. Yang diperbolehkan cuma jip turis, khusus disewa dari biro tur yang harganya tentu saja melangit. Saya, sebagai backpacker miskin, berusaha mencari jalan belakang – menyamar sebagai orang China. Beruntung karena masih berwajah Asia dan cukup fasih berbahasa Mandarin, saya masih bisa ‘lewat’. Membeli tiket bus menuju Shegar di kaki Everest misalnya, saya sama sekali tak mengalami kesulitan. Beda halnya dengan seorang backpacker bule dari Kanada yang sudah bolak-balik terminal selama tiga hari terus gagal juga mendapat karcis. Saya membantunya membelikan karcis, tetapi loket penjual sudah curiga dan tetap tak mau memberi tiket. Ia sudah menyetop truk, tetapi tak satu pun yang mau berhenti. Sungguh memusingkan. Sebenarnya bukan karena sopir tak mau uang, tetapi karena mengangkut orang asing [...]

June 4, 2014 // 0 Comments

Titik Nol 24: Pagoda Selaksa Buddha

Kuil Selaksa Budha. (AGUSTINUS WIBOWO) Kota Gyantse, kota terbesar ketiga di Tibet, terletak di tenggara kota Shigatse. Dulunya kota ini adalah perbatasan Tibet, tempat para pejuang Tibet bertempur melawan Inggris di bawah komando Younghusband. Benteng dzong di atas bukit mendominasi pemandangan kota tua ini, melenggak-lenggok di atas bukit terjal, mengingatkan kita akan kejayaan Tibet masa lalu. Namun sekarang Gyantse menjadi kota kecil yang tenang, perlahan-lahan dirambah modernitas yang berhembus dari Tiongkok. Dulu, Gyantse adalah persimpangan penting jalur perdagangan antara Lhasa dengan Ladakh, Nepal, India, Sikkim, dan Bhutan. Karavan unta dari Ladakh, Nepal, dan Tibet melintas di kota ini, membawa emas, garam, wol, bulu, gula, tembakau, teh, katun, dan sebagainya. Buku-buku yang saya baca menyebutkan bahwa Gyantse adalah kota Tibet yang paling kecil pengaruh China-nya. Tetapi mungkin buku-buku itu sudah terlalu kadaluwarsa. Gyantse pun sudah dipenuhi gedung-gedung tinggi, pertokoan baru, dan orang Han dari Sichuan di mana-mana. Orang China hidup di kota baru, sedangkan kota lama di sekitar kuil Pelkor Chode masih didominasi rumah batu penduduk asli. Daerah kota orang Tibet tertata rapi di sepanjang jalan lebar. Beberapa dari mereka membuka usaha toko yang menjual baju adat dan perlengkapan sembahyang. Beberapa pria nampak sibuk memintal benang wol. Kota ini terkenal dengan [...]

June 3, 2014 // 0 Comments

1 2 3 4 6