Recommended

culture shock

Titik Nol 164: Terbungkus

Membaca doa setelah akad nikah (AGUSTINUS WIBOWO) Imam berkomat-kamit membaca doa. Pengantin pria menundukkan kepalanya, tegang sekali. Para pria mengelilingi sebuah lingkaran di dalam rumah darurat. Rintik-rintik hujan dan deru angin menembus melalui lobang pintu dan jendela. Di sinilah akad nikah berlangsung. Saya terbayang pernikahan Kashmir yang pernah saya baca. Ratusan orang menari-nari di jalan, dengan tetabuhan musik dan senandung lagu-lagu, menembus keheningan barisan gunung-gunung yang menggapai langit. Makanan melimpah ruah. Orang-orang berpesta pora. Tetapi di sini, enam bulan lalu gempa dahsyat telah menghancurkan semuanya. Bukan hanya rumah yang hancur, tetapi juga keluarga, manusia, hewan ternak, harta benda, mimpi dan cita-cita. Semua dirundung kesedihan karena kehilangan sanak saudara. Banyak desa yang musnah, sisanya lagi tinggal sebagian saja penduduknya. Longsor menghanyutkan rumah-rumah. Manusia bangkit dari puing-puing reruntuhan. Tetapi hidup masih harus terus berjalan bukan? Setelah sekian bulan berlalu, pelan-pelan hidup mulai bangkit dari kehancuran. Setelah melewati Ramadan, Idul Fitri, hingga empat puluh hari perkabungan Muharram, pasangan-pasangan berbahagia pun dinikahkan, menempuh hidup baru yang berawal dari bongkahan kehancuran. Lupakan pesta perkawinan Kashmir yang mewah dan berwarna-warni. Sekarang, kita kembali ke reruntuhan, barisan tenda, dan rumah darurat yang masih belum jadi. Di sinilah akad nikah dilangsungkan. Dalam keheningan dan [...]

April 9, 2015 // 0 Comments

Titik Nol 113: Qawwali

Musik qawwali, mistis dan menghanyutkan (AGUSTINUS WIBOWO) Hanya beberapa jengkal dari perbatasan India, denyut jantung kehidupan Pakistan langsung bervibrasi kuat. Ada dunia lain di balik garis perbatasan itu. Dalam sekejap, India yang penuh warna, pertapa Hindu miskin yang berkeliaran, orang yang tidur di atas trotoar, serta peziarah Sikh dengan surbannya yang khas, tinggal kenangan. Kota Lahore yang terhampar di hadapan terasa gersang. Debu beterbangan. Para pria mengenakan pakaian yang sama semua – celana kombor shalwar dan jubah kamiz yang panjangnya sampai ke lutut dengan belahan di kedua tepinya. Warna shalwar dan kamiz biasanya sama, memberikan aksen monoton. Perempuan hampir tidak nampak sama sekali. Kalaupun terlihat di jalan, hanya satu atau dua, mengenakan cadar hitam pekat dan hanya menyisakan sepasang mata saja. Selamat datang di Republik Islam Pakistan. Tubuh saya lemah karena penyakit yang saya derita. Nafsu makan saya sudah mulai normal, tetapi sekarang saya harus berhati-hati memilih makanan. Kalau di Amritsar kemarin saya masih bisa menenggak sup China yang lezat dan bergizi, di Pakistan saya kesulitan kesulitan mencari makanan. Semuanya berminyak. Gara-gara penyakit kuning ini, saya selalu mual kalau melihat minyak. Akhirnya, saya terpaksa duduk di restoran mewah bernama Pizza Hut, di pinggir jalan utama Mall Road. Restoran ini terletak [...]

January 28, 2015 // 5 Comments

Titik Nol 111: Negeri Berjuta Warna

Negeri berjuta warna (AGUSTINUS WIBOWO) Hindustan, negeri Bharat yang jaya, meninggalkan berbagai kenangan. Berjuta warna satu per satu diputar kembali dalam memori saya, ketika matahari mulai perlahan-lahan terbenam menerbakan semarak senja di kota Amritsar. Ini adalah senja terakhir yang saya lihat di negeri ini. Saya datang ke India dengan secarik mimpi. Mimpi yang saya dapatkan dari beberapa film Bollywood yang pernah saya tonton. Gadis cantik berpakaian bak putri raja tinggal di rumah seperti istana, mengejar cintanya pada pangeran tampan, yang kemudian menari bersama diiringi ratusan orang yang entah muncul dari mana. Mimpi Hindustan yang saya bawa adalah mimpi tentang kehidupan gemerlap, semua orang kaya, punya mobil mewah, punya lusinan pembantu, sopir berseragam, kepala rumah tangga yang cerdas, dan helikopter di atap rumah. Tetapi, secuil Hindustan tempat saya menginjakkan kaki pertama kali adalah stasiun kota Gorakhpur, di mana pengemis bocah merintih tanpa henti, sapi berkeliaran di dalam peron, dan orang yang tidur di lantai tanpa alas. Selanjutnya adalah New Delhi yang penuh dekan tukang tipu di pasar, teriakan “Hallo! Hallo!”, bau pesing, jalan bolong-bolong, losmen tempat pasangan manusia mengumbar nafsu birahi, penderita kusta dan tumor terbaring tak berdaya di pinggir jalan yang hiruk pikuk oleh pejalan lalu-lalang namun tak satu pun [...]

January 26, 2015 // 2 Comments

Titik Nol 96: Dunia Tikus

Tikus-tikus suci dari kuil Karni Mata (AGUSTINUS WIBOWO) India, negeri raksasa dengan semilyar penduduk, beratus bahasa, lusinan agama yang memuja berlaksa dewa. Segala macam budaya, pemikiran, keajaiban berpadu, berbenturan, melebur menjadi satu. Dan salah satu hasilnya – kuil pemujaan tikus. Alkisah hidup seorang suci atau dewi bernama Shri Karni Mata, Sang Bunda Karni, berasal dari kasta Charan. Karni Mata melakukan banyak mukjizat dan dipercaya sebagai titisan Dewi Durga, Sang Dewi Perang. Suatu hari, seorang bocah kerabatnya meninggal dunia. Karni Mata langsung bertemu dengan Yama, Dewa Kematian, untuk memintanya menghidupkan kembali nyawa anak yang malang itu. Yama menolak karena roh bocah itu sudah menitis. Karni Mata naik pitam. Ia bersumpah bahwa untuk seterusnya roh kasta Charan akan menitis sebagai tikus dan lepas dari campur tangan Yama. Itulah asal muasal 20.000-an ekor tikus hitam yang berlarian ke sana ke mari di chua mandir, kuil tikus. Kuil Karni Mata di desa padang pasir Deshnok, 20 kilometer di selatan kota Bikaner di tepi barat Rajasthan. Dari luar mandir (kuil) ini nampak biasa saja. Tetapi di balik pintu gerbang tinggi berwarna emas itu, ada pemujaan yang tiada duanya di dunia – pemujaan tikus. “Ini bukan tikus biasa,” kata penjaga kuil, “ribuan kaba (tikus) yang ada [...]

January 5, 2015 // 13 Comments

Titik Nol 69: Paharganj

Masala Dosa. (AGUSTINUS WIBOWO) Saya teringat secuplik tulisan fiksi karya Salman Rushdie berjudul Midnight Children yang mengisahkan pemecahan Pakistan dan India. Ada satu episode yang mengisahkan tentang orang yang terbiasa dengan ‘mata kota’, hidup dalam kota besar bergelimang harta, tak melihat lagi kemelaratan dan penderitaan rakyat papa di pelupuk mata. Pemilik ‘mata kota’ tak lagi melihat penderita kusta yang terkapar atau penderita kanker yang harus berjalan di atas bola. Tulisan itu membuat saya tersindir, mampukah saya melihat India dari kaca mata yang lebih tepat? Kalau Jakarta punya Jalan Jaksa, maka New Delhi juga punya Paharganj, pusatnya turis kere mancanegara. Di sinilah saya menginap, di sebuah losmen murah di dalam gang kecil, di dekat pasar yang hiruk pikuk oleh pedagang baju murah, sapi, klakson rickshaw, bau pesing orang kencing sembarangan, para pekerja dari Nepal, sampai ke sedapnya masakan China, segarnya teh susu di pagi hari, dan renyahnya masala dosa untuk sarapan pagi. Losmen tempat saya tinggal, Hotel Bajrang, cuma 100 Rupee per malam. Kamar yang saya dapatkan dindingnya tipis sekali. Kalau pagi saya terbangun karena ributnya suara orang yang menggaruk-garuk tenggorokan, mengeluarkan dahak yang tersangkut, kemudian meludahkannya bertubi-tubi. Kalau malam saya tak bisa tidur karena berisiknya sepasang kekasih yang memadu kasih [...]

August 28, 2014 // 1 Comment

Titik Nol 68: Akhir Kisah Kamera yang Rusak

Masjid Juma New Delhi – senangnya bisa memotret dengan leluasa lagi. (AGUSTINUS WIBOWO) Sudah lebih dari dua bulan yang lalu kamera digital saya tiba-tiba rusak, persis ketika saya menyeberang perbatasan dari Tibet menuju Nepal. Kamera ini masih bisa dipakai sebenarnya, tetapi setiap kali memotret satu gambar harus dimatikan dulu, dinyalakan lagi, baru bisa dipakai untuk memotret gambar berikutnya. Saya harus bertahan sekian lama dengan kerusakan kamera ini karena di Nepal tidak ada tempat reparasi khusus. India, sebuah negara besar dan modern, adalah satu-satunya tempat terdekat di mana saya bisa memperbaiki kamera. Saya menaruh harapan yang begitu besar ketika tiba di negara ini. Tetapi ternyata perjuangan saya masih terlalu panjang. Tidak ada hal yang mudah di sini. “Kami harus mengganti motherboard kamera. Biayanya 14.000 Rupee, 450 dollar,” kata teknisi di pusat reparasi ini. Ia bahkan tidak melirik kamera saya sama sekali. Mungkin teknisi gemuk ini termasuk level teknisi dewa yang langsung tahu semuanya tanpa perlu diagnosa. “Tidak mungkin,” bantah saya, “tidak mungkin separah itu. Kamera saya masih bisa memotret. Cuma tidak praktis saja.” “Kalau begitu, kameranya saya periksa dulu.” Teknisi itu membawa pergi kamera saya ke sebuah kamar rahasia di belakang. Saya sama sekali tidak tahu apa yang ia kerjakan di [...]

August 27, 2014 // 0 Comments

Titik Nol 67: Culture Shock

Selamat datang di New Delhi. (AGUSTINUS WIBOWO) Saya baru saja sampai di New Delhi dan amat terkejut dengan culture shock India. Walaupun sudah beberapa bulan saya berpetualang, tetapi gelar saya masih newbie alias pendatang baru di negara ini. Tak semua orang bisa langsung suka dengan sisi India yang tahu-tahu ditamparkan ke wajah.. Sopir bajaj autorickshaw ini cerewet sekali. Kepalanya yang dibalut surban merah terus bergoyang-goyang selama ia bicara. Mulutnya terbungkus jenggot putih yang menjuntai. Saya hanya ingin menumpang kendaraan untuk menuju ke KBRI, tetapi ia sudah mulai bercerita tentang adat India. Salah satu adat orang India yang langsung saya kenali, bicara tanpa henti dengan kepala miring ke kiri ke kanan berayun-ayun. “Bhai – saudara, saya bawa kamu ke Channakyapuri, tetapi sebelumnya, kita mampir dulu ke toko barang kerajinan. Di sana nanti kamu melihat-lihat barang ya. Sepuluh menit saja. Tak usah lama-lama. Kamu tak perlu beli. Nanti saya dapat komisi dari pemilik toko. Habis itu saya antar kamu ke kedutaan.” Saya hanya ingin naik bajaj dengan harga murah. “Bhai, sekarang adalah musim wisata di India. Turis-turis suka sekali dengan barang kerajinan kami. Ada warna-warni.” Terserah. Saya hanya ingin sampai ke kedutaan. “Bhai, nanti kalau pemilik toko memberi komisi, kamu tidak usah [...]

August 26, 2014 // 0 Comments

Titik Nol (66): Lumbini

Pagoda Mongolia di Lumbini. (AGUSTINUS WIBOWO) Setelah mendapatkan visa India, saya langsung menggeret Nefransjah – seorang kawan backpacker Indonesia, untuk bersama-sama berangkat menuju negeri Hindustan. Perbatasan India dan Nepal yang paling sering dilintasi adalah Sunauli, terletak tiga kilometer di selatan kota Bhairawa yang panas dan kering. Debu langsung memenuhi kerongkongan, begitu kami meloncat dari bus. Lurus ke selatan adalah India. Belok ke kanan adalah Lumbini – tempat kelahiran Budha. Saya menganjurkan untuk singgah dulu ke Lumbini, bermalam di kota suci itu, dan melanjutkan ke India esok hari. Langit sudah mulai gelap, kendaraan pun tak banyak. Masuk ke negeri yang sama sekali asing di tengah kegelapan malam tentunya bukan hal yang menyenangkan. Jalan berdebu ke arah Lumbini sunyi senyap, tak ada kendaraan ke arah desa kecil itu. Hanya turis dan peziarah Budha yang ke sana. Sebagian besar kendaraan umum dan truk barang hanya menuju ke India, negara tetangga raksasa yang menawarkan gelimang kemakmuran. Bulan purnama bersinar, menerangi malam yang berdebu. Saya, Nef, dan seorang backpacker Israel terguncang-guncang di bak truk melintasi jalan batu menuju Lumbini. Lumbini sungguh berbeda dengan kota Nepal kebanyakan. Biksu Budha dari berbagai negara ada di sini. Selamat datang di India. Orang Nepal dan India bebas keluar masuk [...]

August 25, 2014 // 0 Comments

Byron Bay, July 31, 2014: A Nanny State?

“Australia is a country only for old people,” says Celine, a 22-year-old Indonesian student sitting next to me in a Qantas flight to Sydney. Celine lives in a suburb of Melbourne, and has been there for four years majoring food technology. “After 5 pm all shops are closed and the towns are deserted. There is absolutely no fun.” I am on my way to Gold Coast, to attend Byron Bay Writers Festival tomorrow; while Celine is heading to Melbourne and she will have some hours of transit in Sydney. Celine grumbles as she has no choice but to take this Qantas flight. She usually takes the Indonesian carrier, Garuda, which offers the only direct flight from Jakarta to Melbourne. But Garuda tickets are sold out, and only Qantas is available for her. But as I am a first timer to Qantas, I am very excited with this flight. In fact, I am first timer to any Western airlines. And I have to admit, I am shocked to see that all passengers were greeted by an overweight stewardess with thick lips wearing glossy lipsticks, whose age I bet around half a century. “Welcome, Sir,” she says with a friendly smile. In [...]

August 1, 2014 // 26 Comments

Titik Nol 46: Laporan Kehilangan

Ruang kerja kantor polisi Hanuman Dhoka. (AGUSTINUS WIBOWO) “Sudahlah,” Lam Li menghibur saya yang masih bersedih gara-gara dompet yang tercopet, “Yang lalu biarlah berlalu. Percayalah, sekali kejadian buruk, serentetan keberuntungan akan menantimu. Bukan begitu?” Lam Li menoleh ke arah dua pandita Rusia. Yang satu sibuk dengan butir-butir rudraksha dan satunya lagi baru saja memasak bubur warna-warni untuk sesaji. “Tidak, bukan begitu,” kata pria bule berjubah itu, “Dalam ajaran Budha, kalau kamu mengalami kejadian buruk, itu tandanya karma burukmu berkurang. Kejadian buruk masih bisa terjadi lagi, imbalan karma dari apa yang sudah kamu perbuat. Percayalah, semuanya itu ada yang mengatur, karma adalah timbangan yang paling adil.” Setelah semalam suntuk saya tak bisa tidur gara-gara kecopetan, hari ini pun saya masih belum tenang. Dengan berbekal fotokopi paspor dan foto diri yang memalukan – mata mengantuk dan sembab, rambut acak-acakan, karena baru dipotret dua jam lalu ketika saya masih syok dengan kejadian kemarin, saya menggeret Lam Li dan Qingqing ke kantor polisi di sebelah lapangan Hanuman Dhoka. Kantor polisi ini tak pernah sepi. Selain polisi yang bersliweran ke sana ke mari, banyak pula pengunjung. Selain saya, ada pula turis yang melapor dompet hilang, paspor hilang, kamera hilang, dan sebagainya. Musim festival begini memang [...]

July 4, 2014 // 1 Comment

Garis Batas 43: Lima Belas Tahun Merdeka

Culture Shock? (AGUSTINUS WIBOWO) Kazakhstan memang masih muda. Pertengahan Desember ini, selain semaraknya persiapan Tahun Baru dan Natal, negeri ini juga sibuk merayakan 15 tahun hari jadinya. Memang tak salah kalau perayaan kali ini lebih meriah daripada biasanya. Di antara negara-negara baru Asia Tengah, Kazakhstan telah menunjukkan taringnya sebagai negeri yang paling makmur, memanjakan penduduknya dengan pendapatan per kapita yang menakjubkan, dan kini sedang melenggang ke arah kapitalisme ala negeri-negeri Barat.  Terlepas dari meroketnya harga-harga karena pendapatan penduduk yang terus meningkat, tak semua orang di Almaty menikmati berkah kemakmuran itu. Kapitalisme justru membuat jurang antara kaya dan miskin, yang hampir tidak pernah ada sebelumnya ketika Kazakhstan masih berada di bawah merahnya komunisme Uni Soviet. Ibu kos saya, Nenek Lyubova, sudah rindu sekali akan apel Almaty yang terkenal itu. Sekarang, jangankan untuk membeli apel, untuk menghidangkan makanan seadanya di atas meja makan pun Lyubova sudah tak mampu. Semua menjadi mahal. Karena orang-orang di tengah kota sana menjadi kaya dan semakin kaya. Saya yang sudah mulai terbiasa dengan biaya hidup Almaty, dan belajar banyak dari cara hidup hemat Nenek Lyubova, mulai bisa memenuhi kebutuhan perut sehari-hari dari belanja di Zelyonii Bazaar, pasar sayur. Di sini harganya jauh lebih miring daripada di Silkway [...]

August 13, 2013 // 0 Comments

Ishkashim – Peeping into Afghanistan

Afghanistan, seen from Tajikistan It is just separated by a river. But the live over there is a world away. Khorog and Ishkashim are connected by a stretch of a 106 km long asphalted road. It is a 3 hour journey with public jeep, but cost as much as 20 Somoni ($6). Despite of lack of money that people earn, everything in Tajikistan is very expensive as the country produces almost nothing remarkable but water and electricity. The road to Ishkashim as along the Panj river, with Afghanistan Badakhshan province at the other side. The river itself had not strong stream (as the temperature is already quite low at this moment) and was not wide at all. Afghanistan is just less than 20 m from here, but the life there is a world away. While we are traversing smooth road of Tajikistan with a jeep, the road over there is complete dirt road and you may observe Afghan travellers wandering the world on donkeys. When women passengers in our jeep in Tajikistan side sit aside the other male passengers, talk and sing freely during the journey, an Afghan woman completely covered by blue veil, wears long loose trousers, and passes [...]

October 20, 2006 // 1 Comment

Noraseri – Living on Faith

In deeply religious Pakistan, it is important to pay attention to their culture and religion so not to offend them March 25, 2006 Islamic Republic of Pakistan, a country which was founded to house the Muslims of India and to establish a country following the way suggested by the religion, was among the most famous countries in Muslim world. From a discussion with a Pakistani scholar, it was stated that the founding of Pakistan was not only to guarantee the freedom of religion (as people were also free to pray in India), but also to guarantee the life in God’s preferred path. What was the meaning of the name of Pakistan? Formally, Pakistan means land of pure. Some other people claimed that the name of the country referred to the essence of Pakistan: Punjab, Afghan, Kashmir, Sindhi, and Balluchistan (Bangladesh, the ex East Pakistan, didn’t find its place in the name of the country). Another man in Muzaffarabad told me that the meaning of Pakistan was Laillahaillallah, the holy kalimah of Muslims, which means there is no god but Allah. No matter what, the name of the country had already inferred the hope of being the ones preferred by God. [...]

March 25, 2006 // 0 Comments

Lahore – Welcome to Pakistan

Regale Internet Inn 150 Rs/dorm Indian border guard across the Pakistan borderline. Being sick for so many days has given me the chance to read lots of books recently. Just read Salman Rushdie’s “Shame” about the ridiculous stories of Pakistan history, from uprising and downing of its political leaders, from the ridiculous political manouvers, and also the stories about the founding of the “Land of Pure” and it failures. The other good book I got is VS Naipaul’s “Among the Believers”. This book is about Islam in Iran, Pakistan, Malaysia, and Indonesia. I have read the Indonesian part, and felt that the critics was quite well-said, even some parts I dont quite agree. The Pakistan part is quite interesting, how these Indian Muslims created this “Land of Pure” and how they tried to be the most purified Muslim on earth. But the struggle is full of failures, and Pakistan was a country of experiments. And today, I successfully crossed to Pakistan. The crossing was straightforward on both sides, except the Indian officers said that I should have crossed the border a day earlier as my visa expired today. But they let me pass anyway. There was no luggage check on [...]

December 13, 2005 // 0 Comments