Recommended

ekonomi

Papua Nugini (2) Ketika Era Prasejarah Bertemu Globalisasi : Satu Bahasa

Draft artikel menengai Papua Nugini untuk majalah Traveler 旅行家, China. “PNG itu bukan singkatan Papua New Guinea,” seorang kawan ekspatriat memberitahu saya, “itu singkatan Promise Not Guaranteed.” Di sini, tiket pesawat bukan jaminan bisa terbang. Sudah banyak calon penumpang pesawat yang memiliki tiket, sesampainya di bandara diberitahu bahwa pesawat sudah penuh dan tidak ada tempat bagi mereka. Karena itu, kawan itu menganjurkan saya pergi seawal mungkin ke bandara. Saya bersyukur dengan anjuran itu. Bukannya terlambat, pesawat justru terbang satu jam lebih awal dari jadwal. Kata pramugari, itu karena semua dari dua puluhan penumpang sudah tiba di bandara. Sembilan puluh menit kemudian, pesawat kami mendarat di Daru, sebuah pulau noktah kecil di bagian paling selatan provinsi perbatasan Western Province. Dulu kota-pulau ini pernah menjadi pusat pemerintahan provinsi, sebelum kemudian dipindah ke Kiunga di utara sana. Bandara Daru mirip lapangan bola yang dikelilingi pagar kawat. Di balik pagar itu, orang-orang berderet menonton pesawat. Dari balik kawat pagar kawat, saya juga menonton para penumpang yang berbaris di atas tarmak menuju pesawat yang akan lepas landas kembali ke Port Moresby. Dua penumpang yang terakhir naik tiba-tiba turun lagi. Saya dengar dari petugas bandara, mereka tidak diizinkan terbang karena pesawat telah kelebihan muatan kargo. Entah [...]

February 8, 2016 // 3 Comments

China dan Jalur Sutra Baru

China mempromosikan mimpi besar untuk membangun Jalur Sutra modern demi kemakmuran bersama. Apakah mimpi ini bisa terwujud, atau sekadar menjadi slogan utopia semata? Laporan untuk Visiting Program for Young Sinologist di Beijing, riset saya mengenai usulan China untuk membangun Jalur Sutra Baru. Jalur Sutra Abad Milenium Hampir 22 abad silam, Kaisar Han mengutus Zhang Qian mendatangi kerajaan Dayuan di Asia Tengah demi membentuk aliansi militer. Perjalanan ini kemudian melahirkan rute perdagangan legendaris Jalur Sutra. Berselang dua milenium, China sekali lagi mengajak negara-negara di sekelilingnya untuk bergabung dalam aliansi multinasional yang dijuluki Jalur Sutra Baru. Dalam kunjungan kenegaraan di Kazakhstan pada 7 September 2013, Presiden Xi Jinping mengusulkan pembangunan Sabuk Ekonomi Jalur Sutra (Silk Road Economic Belt). Berselang tiga minggu kemudian, di hadapan parlemen Indonesia di Jakarta, Xi mengemukakan konsep Jalur Sutra Maritim Abad ke-21 (21st Century Maritime Silk Road). Kedua konsep ini, yang digabungkan menjadi inisiatif Satu Sabuk dan Satu Jalur (OBOR), adalah desain akbar untuk menghubungkan negeri-negeri yang dilintasi rute perdagangan bersejarah itu, mulai dari Asia Tengah hingga Eropa dan Afrika, mulai dari Asia Tenggara hingga Jazirah Arab. Menurut data ADB, kebutuhan pendanaan pembangunan infrastruktur di Asia mencapai US$ 800 miliar setiap tahunnya. Sebagai negara dengan cadangan devisa terbesar [...]

October 5, 2015 // 3 Comments

Beijing 7 Juli 2015: China dan Jalur Sutra

Sebuah catatan dari Visiting Program for Young Sinologists, 7-24 Juli 2015 Ibn Battuta pernah menyusuri Jalur Sutra Laut dari Arab sampai ke Quanzhou di China Orang sering mengaitkan Jalur Sutra dengan peradaban China. Pemerintah China di abad ke-21 ini juga menggalakkan pembangunan “Jalur Sutra Baru”. Tetapi, menurut pakar sejarah Prof. Ge Jianxiong dari Universitas Fudan, dalam sejarahnya China justru lebih banyak mengabaikan Jalur Sutra. Istilah “Jalur Sutra” sendiri tidak pernah ditemukan dalam catatan sejarah China. Istilah ini pertama kali digunakan oleh ahli geografi Jerman pada akhir abad ke-19, Ferdinand von Richtofen, yang menyebut jalur perdagangan sepanjang 6.000 kilometer dari China sampai ke negeri Romawi itu sebagai “Seidenstraße” atau “Jalan Sutra”. Dalam bahasa Indonesia, kita menyebutnya sebagai “jalur” bukan “jalan”, karena lintasan ini bukan hanya berupa satu jalan melainkan beratus lintasan yang bercabang-cabang. Selain itu, lintasan bukan berupa jalan besar, tetapi kebanyakan berwujud hanya jalan setapak bagi karavan. Setelah orang Barat dan Jepang banyak meneliti sejarah Dunhuang dan daerah-daerah di China Barat yang dilintasi Jalur Sutra, barulah China mulai menaruh perhatian pada Jalur Sutra. Mengapa demikian? Prof. Ge Jianxiong dalam presentasinya kepada kami pada pertemuan Sinologis Muda di Beijing ini menjawab dengan tegas, “Karena di mata China, Jalur Sutra itu tidak [...]

September 29, 2015 // 3 Comments

Titik Nol 197: Menanti Mimpi Menjadi Nyata

Kekra, kendaraan di gurun pasir, akhirnya datang selelah sekian lama dinanti-nantikan (AGUSTINUS WIBOWO) Subuh. Adzan mengalun merdu dari masjid mungil bertembok lempung di dusun Ramsar, di pedalaman gurun Thar. Lantunan lembut mengawali pagi yang masih gelap gulita. Tak perlu pengeras suara, tak perlu teriak-teriak. Alunan adzan ini menyejukkan kalbu. Sang imam adalah pria tinggi bertubuh kurus dan berkumis lebat, berjubah dan bersarung. Umatnya tak banyak. Orang masih sibuk memikirkan perut yang keroncongan dan kerongkongan yang kekeringan. Sebuah hari baru pun bermula lagi di Ramsar. Nenek-nenek tua memulai kegiatan setiap pagi, mengaduk-aduk ampas gandum dengan air. Bocah-bocah menggembalakan sapi dan kambing ke tengah jungle. Ibu-ibu membikin roti chapati. Jamal bersiap mandi. Ritual mandi Jamal sangat sederhana. Airnya cuma dua timba kecil. Itu sudah termasuk mewah. Jamal suka mandi tiap hari, tetapi karena sekarang air sedang langka, biasanya cuma dua hari sekali. Anak-anaknya malas mandi. Semua kumal dan kotor, karena tiap hari cuma bermandi debu dan pasir. Sehabis mandi, roda kehidupan desa ini kembali bergulir ke monotonnya padang gersang. Angin menerbangkan debu-debu, mengisi sudut-sudut kerongkongan. Masih pasang-pasang kaki yang sama, masih tak beralas, menggesek pasir-pasir lembut, menyusuri jalan panjang mencari air. Masih kambing-kambing yang sama, mengembik meratap, mencari serpihan biji-bijian yang tersisa [...]

May 26, 2015 // 0 Comments

Titik Nol 196: Perjuangan Hidup

Di balik tirai benang-benang sulaman, penuh dengan harapan (AGUSTINUS WIBOWO) Mereka memang hidup dari bulir-bulir pasir dan setetes air yang masam lagi pahit. Tetapi mereka pun punya mimpi dan cita-cita. Jamal adalah seorang guru di desa Muslim Ramsar. Muridnya ada 15 orang. Semua kerabatnya sendiri. Gajinya dari pemerintah Pakistan. Kecil sekali. Itu pun sering terlambat. Untuk menambah penghasilan, Jamal membuka toko, satu-satunya toko di desanya. Barangnya semua dari Umerkot. “Sekarang zaman sudah modern,” katanya, “saya tinggal telepon saja ke Umerkot dan barang diantar ke sini keesokan harinya dengan bus padang pasir.” Anda mungkin heran, bagaimana di gurun kering kerontang yang listrik dan air pun tak ada, malah ada telepon. Teknologi telepon nirkabel memang sebuah mukjizat yang tahu-tahu diturunkan kepada masyarakat di gurun pedalaman. Telepon made in China yang dipegang Jamal menyambungkan seluruh penduduk desa ke dunia luar. Gagang telepon ada di rumah Jamal, sedangkan mesin telepon ditinggal di Umerkot. Gagah sekali Jamal dengan gagang telepon itu, seperti punya telepon genggam saja. Gagang telepon yang satu ini, ramai-ramai dipakai penduduk desa sebagai telepon umum, dan Jamal pun dapat sumber pemasukan baru. Toko modern (AGUSTINUS WIBOWO) Di desa Ramsar Hindu juga ada toko kelontong yang persis sama, dengan persediaan barang remeh-temeh yang [...]

May 25, 2015 // 0 Comments

Titik Nol 162: Rindu Rumah

Pathika yang masih bernafas di tengah kehancuran (AGUSTINUS WIBOWO) Kehangatan keluarga-keluarga Noraseri terkadang membuat saya tersiksa. Ada kerinduan yang menggebu di dalam hati – kerinduan akan rumah, kampung halaman, ayah bunda dan keluarga. Sudah lebih dari satu bulan saya tinggal di desa ini. Saya masih ingat betul, betapa garangnya hujan di Kashmir kala itu, diikuti gemuruh longsor yang sambung-menyambung, dan gelap gulita di setiap malam. Di bawah kelip lampu petromaks, saya menyantap nasi biryani dan kari tanpa sendok, berkenalan dengan belasan kawan baru yang nama-namanya hampir mustahil untuk diingat semua. Tetapi sekarang, ketika gunung-gunung menjulang di seluruh penjuru itu berbalut permadani rerumputan hijau, saya merasa sudah menjadi bagian dari kampung ini. Saya mulai tahu gosip-gosip yang beredar. Penduduk desa pun selalu memanggil nama saya. Medan gunung yang berat, naik turun tebing, meloncati batu besar, sekarang sudah menjadi keseharian saya. Dulu saya hanya tahu Pak Basyir cuma penjaga tenda, tetapi sekarang saya tahu bahwa Bu Basyir sering menangis di malam hari hanya karena merindukan saya. Ketika saya ‘turun gunung’ untuk berinternet, Afaq, Danish, Ilham, dan para pemuda desa lainnya selalu menanyakan keberadaan saya. Pak Dokter yang penuh candaan konyol ternyata menyimpan kisah sedih di sudut rumahnya. Demikian pula keluarga Pak Haji yang [...]

April 7, 2015 // 0 Comments

Titik Nol 138: Pir Wadhai

Terminal bus Pir Wadhai (AGUSTINUS WIBOWO) Di sini mereka menggantung mimpi, bersama deru mesin bus yang tanpa henti, asap knalpot hitam, selokan bau, debu beterbangan, dan tangisan bocah. Pir Wadhai adalah pembuluh nadi Pakistan, menyambungkan kota-kota di seluruh negeri dengan ibu kota Islamabad yang modern. Terletak di antara kota kembar Islamabad – Rawalpindi, stasiun bus Pir Wadhai adalah tempat interaksi antara saudagar, musafir, pedagang, sopir, kernet, tentara, dan pengungsi. Bermacam mimpi menuntun beragam manusia sampai ke tempat ini. Dan di tempat berdebu dan kumuh inilah tempat mereka menggantung mimpi. Bau busuk tercium dari jauh sebelum saya mencapai Pir Wadhai chowk, pertigaan penuh lobang jalan yang ironisnya malah menjadi tempat perhentian segala macam jenis bus antar kota yang berhenti di Rawalpindi. Menyengat, menusuk hidung, segala jenis sampah basah dan kering menyumbat selokan terbuka dengan air hitam yang tergenang. Debu dan asap hitam membungkus lingkungan manusia yang bertahan hidup. Ada orang makan di pinggir jalan, dikerubungi lalat beterbangan. Tempat ini adalah surga bagi serangga kotor itu, tetapi neraka bagi manusia yang tinggal di sana. Perkampungan kumuh semburat tak beraturan di dekat terminal ramai. Warnanya semua sama – coklat kemerahan, warna bata yang tidak dicat, warna tanah lumpur yang membungkus bumi. Sedikit variasi [...]

March 4, 2015 // 1 Comment

Titik Nol 119: Pelabuhan Darat

Hunza bukan lagi Shangri-La yang tersembunyi, tak terjamah peradaban manusia. Sejak Karakoram Highway selesai dibangun, desa-desa di pegunungan tinggi ini semakin terbuka bersama kemajuan dunia. Pembangunan jalan raya menembus gunung-gunung pada ketinggian di atas 4000 meter bukanlah hal yang mudah. Pemerintah Pakistan dan China bersama-sama mengerjakan proyek ini, membutuhkan waktu 20 tahun, dan baru selesai pada tahun 1986. Panjangnya 1300 kilometer, menghubungkan Islamabad dengan kota Kashgar di propinsi Xinjiang milik Republik Rakyat China. Medannya sangat berat. Pakistan menyebut jalan raya ini sebagai Keajaiban Dunia Kedelapan. Saya berhasil mengalahkan rasa malas, memaksa diri beranjak meninggalkan Karimabad menuju kota Sost, kota terakhir Pakistan sebelum perbatasan China. Saya dengar karena banyaknya orang China, di kota Sost kita bisa membeli makanan China yang asli citarasanya. Dua tahun lalu, saya sudah pernah sampai di sini. Para pekerja China sedang sibuk membangun dry port – pelabuhan darat, yang akan membangkitkan denyut nadi perekonomian di barisan pegunungan Karakoram. Waktu itu mereka sangat gembira, karena kiriman daging babi dari China baru datang. Bagi para pekerja itu, makanan Pakistan terlalu hambar dan tak sesuai lidah mereka. Di seluruh negeri, daging babi tak tersedia sama sekali dan harus diimpor untuk konsumsi sendiri. Selain itu, para pekerja juga tidak bisa hidup [...]

February 5, 2015 // 15 Comments

Titik Nol 113: Qawwali

Musik qawwali, mistis dan menghanyutkan (AGUSTINUS WIBOWO) Hanya beberapa jengkal dari perbatasan India, denyut jantung kehidupan Pakistan langsung bervibrasi kuat. Ada dunia lain di balik garis perbatasan itu. Dalam sekejap, India yang penuh warna, pertapa Hindu miskin yang berkeliaran, orang yang tidur di atas trotoar, serta peziarah Sikh dengan surbannya yang khas, tinggal kenangan. Kota Lahore yang terhampar di hadapan terasa gersang. Debu beterbangan. Para pria mengenakan pakaian yang sama semua – celana kombor shalwar dan jubah kamiz yang panjangnya sampai ke lutut dengan belahan di kedua tepinya. Warna shalwar dan kamiz biasanya sama, memberikan aksen monoton. Perempuan hampir tidak nampak sama sekali. Kalaupun terlihat di jalan, hanya satu atau dua, mengenakan cadar hitam pekat dan hanya menyisakan sepasang mata saja. Selamat datang di Republik Islam Pakistan. Tubuh saya lemah karena penyakit yang saya derita. Nafsu makan saya sudah mulai normal, tetapi sekarang saya harus berhati-hati memilih makanan. Kalau di Amritsar kemarin saya masih bisa menenggak sup China yang lezat dan bergizi, di Pakistan saya kesulitan kesulitan mencari makanan. Semuanya berminyak. Gara-gara penyakit kuning ini, saya selalu mual kalau melihat minyak. Akhirnya, saya terpaksa duduk di restoran mewah bernama Pizza Hut, di pinggir jalan utama Mall Road. Restoran ini terletak [...]

January 28, 2015 // 5 Comments

Tais 27 Agustus 2014: Rumah di Sini dan Rumah di Sana (1)

Seorang warga Papua Nugini dengan baju TNI-AD, yang dibeli dari Merauke (AGUSTINUS WIBOWO) 17 Agustus 2003, Sisi Wainetti dan kakak sepupunya Paulus Waibon pertama kali menyeberang perbatasan dari Morehead di Papua Nugini menuju Merauke, Indonesia. Mereka berangkat dari desa penuh semangat. Mereka dengar kabar, pada hari itu akan dirayakan kemerdekaan negara baru: West Papua. Entah mereka dapat informasi dari mana. Yang jelas, mereka sangat terkejut karena yang mereka temukan hanyalah perayaan kemerdekaan Republik Indonesia. Nyanyian dan tari-tarian, tabuhan gendang kundu (di Indonesia disebut “tifa”), topi dari bulu kasuari, dan kibaran bendera merah putih di mana-mana di lapangan kantor Pemerintah Daerah Merauke. Orang-orang berbagai warna kulit berjoget tradisional maupun bergoyang dangdut dengan ceria. Tebersit kekecewaan di benak Sisi. Kenapa tak ada bendera Papua? Impian kemerdekaannya kandas seketika. Ketika dia mendengar kabar kemerdekaan West Papua itu, hatinya sempat berpikir: Tidak ada yang lebih bagus daripada ini! Merdekanya West Papua, dalam bayangannya adalah tentang berakhirnya garis batas antara Morehead dengan Merauke yang memisahkan mereka; semua orang Papua di sisi timur dan barat perbatasan akan bersatu dalam negeri yang baru. Perbatasan negeri baru mereka nanti adalah di Sorong. Sisi meyakini, andaikan negara Papua itu terbentuk, maka mereka akan terpisah dari Nugini—bagian utara Papua Nugini [...]

January 27, 2015 // 4 Comments

Ber 25 Agustus 2014: Rindu Terpisah Garis Batas

Australia, dengan rumah-rumahnya yang berkilau, terlihat di seberang sana (AGUSTINUS WIBOWO) Jarak sebuah takdir bisa jadi hanya delapan kilometer. Itu jarak yang memisahkan Ber dari Boigu, memisahkan Papua Nugini dari Australia, memisahkan salah satu negeri termiskin di dunia dari salah satu negeri terkaya di dunia. Boigu adalah daerah yang sama sekali tak tersentuh bagi saya. Hanya penduduk dari desa-desa pesisir Papua Nugini ini yang berhak menyeberang ke sana, dengan surat izin khusus dari kepala desa. Mengenai Boigu, saya cuma bisa menyusun mozaik imajinasi dari serpihan deskripsi warga Ber. Boigu adalah sebuah desa modern, ada toko dan bandara. Rumah-rumah di sana juga sama seperti di sini, rumah panggung, tetapi dari bahan permanen dan lebih mengkilap. Di Boigu, orang asli yang hitam bercampur dengan pendatang yang putih. Dulu orang asli Boigu sama juga dengan orang Papua Nugini, sama hitam sama keriting, dan masih berkerabat dengan orang-orang di sini. Tetapi sudah berpuluh-puluh tahun di bawah Australia, penampilan mereka sekarang sangat berbeda. Mereka memakai baju panjang kombor gaya pantai, kaos berwarna cerah mencolok. Mereka terlihat gembira, tetapi mereka juga mudah terlihat marah dan garang. Itu karena ukuran badan mereka terlalu besar. Ya, makanan mereka terlalu baik dan terlalu melimpah. Mereka tidak bekerja, mereka dapat [...]

January 22, 2015 // 19 Comments

Ber 24 Agustus 2014: Lambatkan Langkahmu

Hanya ada rumah gubuk bertebaran jarang-jarang di Ber (AGUSTINUS WIBOWO) Saya membuka mata. Sinar matahari menyeruak lewat tembok dari bilah-bilah bambu dan anyaman dedaunan. Saya menyibak kelambu, keluar dari ranjang, menemukan lensa kamera saya hanya bisa mengambil foto-foto kabur seperti tertutup embun tebal. Pasti karena kedinginan dan air laut kemarin. Pandangan mata saya kini sama kaburnya dengan lensa itu. Saya tidak tahu ini rumah gubuk ini milik siapa. Saya menuruni tangga di luar pintu, berjalan mencari Sisi dan Marcella, yang ternyata tidur di balai-balai rumah lain seratus meter jauhnya di seberang hamparan rumput tinggi. “Sisi, jam berapa kita berangkat ke Buzi?” kata saya. “Tidak bisa. Kami harus pergi menyeberang dulu ke Boigu untuk belanja,” katanya santai. Boigu adalah pulau milik Australia yang terletak tepat di seberang laut dari Ber, sekitar 5 kilometer jauhnya. “Kenapa kalian tidak cepat berangkat?” “Kau lupa ya? Ini hari Minggu. Hari untuk Tuhan. Tidak ada orang bepergian di hari ini.” Sisi mengucapkan itu ketika saya sibuk mencuci lensa kamera saya dengan air sabun sembari menggumamkan keluhan apakah kamera saya akan bisa berfungsi normal. Melihat kegelisahan saya, Sisi berkata, “Jangan buru-buru, lambatkan langkahmu. Percayakan semua masalahmu pada Tuhan. Olgetta bai orait.” Semua akan baik-baik saja. Sisi adalah [...]

January 21, 2015 // 13 Comments

Daru 22 Agustus 2014: Mengapa Harus Ada Batas di Antara Kita?

Seorang guru bahasa Inggris di Daru High School bertanya pada saya tentang Indonesia. Dia ingin memastikan kabar yang dia dengar: “Orang-orang putih” (maksudnya orang Asia termasuk Jawa) di Indonesia membutuhkan tengkorak manusia untuk membangun gedung tinggi dan jembatan; tumbal itu bikin mereka “orang putih” semakin kaya dan semakin sukses dibanding orang hitam. Di Daru, dia bilang, tahun kemarin beredar kabar bahwa orang Indonesia banyak menyelinap ke Papua Nugini untuk membunuhi orang sini, lalu diambil kepalanya buat membangun rumah dan jembatan di Merauke sana, dan membuang begitu saja mayat tanpa kepala itu ke hutan atau pulau. Saya syok. “Dan kau percaya itu?” “Semua orang heboh. Sampai tak berani keluar rumah, khawatir dibunuh orang Indonesia,” katanya. Bahkan orangtua menasihati anak yang nakal atau keluar malam dengan: “Awas nanti ada Indonesia.” Ini rumor zaman batu yang beredar di abad milenium, dan herannya, orang percaya. Sangat percaya. Indonesia menjadi nama horor, bagai hantu yang bisa datang sekonyong-konyong mencabut nyawa. Indonesia menjadi nama untuk menakuti anak yang nakal (AGUSTINUS WIBOWO) Warga Daru sempat ketakutan mendengar rumor tentang pemburu kepala manusia dari Indonesia (AGUSTINUS WIBOWO) Rumor ini membuat saya sedikit bimbang ketika memenuhi undangan Mekha dan guru-guru lainnya untuk berbicara di depan murid-murid kelas XI di [...]

January 19, 2015 // 29 Comments

Daru 21 Agustus 2014: Wantok

Di pelabuhan Daru, para nelayan pun mengelompok sesuai daerah asal dan bahasa masing-masing (AGUSTINUS WIBOWO) Daru, dikenal sebagai “ibukota ikan kakap” adalah pulau berbentuk seperti anak ayam. Di bagian timur adalah mulut lancipnya, berupa pelabuhan yang selalu penuh perahu dari desa-desa sepanjang daratan utama dan daerah Sungai Fly, yang menyuapi Daru dengan beragam jenis ikan, sagu, udang sayuran. Di sini pula terletak toko-toko besar dan hotel, yang semuanya dimiliki orang dari China Daratan, menjual beras, berbagai makanan instan dan kalengan, bumbu, pakaian. Menyusuri jalan utama ini dari timur ke barat, kita akan melintasi bandara, dan dari sana kita akan berbelok ke selatan, menuju “anus” Daru: tempat sampah-sampah dibuang, pelabuhan yang sudah mati dengan kapal-kapal berkarat, juga daerah corner—permukiman penduduk pendatang yang dipercaya sebagai tempat tinggalnya para raskol. Salah satu supermarket di dekat pelabuhan adalah milik sebuah keluarga China. Keluarga besar bermarga Yan dari Fujian, satu kampung halaman dengan leluhur saya. Hampir semua barang di supermarket ini adalah produk impor. Kasir dan pegawai adalah orang lokal, sedangkan para orang China duduk di atas kursi tinggi di belakang kasir. “Apa yang kalian lihat dari ketinggian sana?” saya bertanya dalam bahasa Mandarin. “Di negara ini terlalu banyak pencuri,” kata lelaki muda itu. “Setiap [...]

January 16, 2015 // 20 Comments

Port Moresby 18 Agustus 2014: Bertualang di Kota Para Raskol

Daerah pelabuhan Port Moresby, berkontras dengan perkampungan kumuh di atas air yang ada tepat di belakangnya. (AGUSTINUS WIBOWO) Port Moresby adalah kota pertama yang membuatku merasa bahkan naik bus pun adalah petualangan besar. Dengan kriminalitasnya yang sangat tinggi, bertahun-tahun ini Port Moresby selalu masuk daftar kota paling tidak layak huni di dunia—tahun 2003 bahkan nomor 1 dari 130 kota dunia menurut majalah The Economist. Dua minggu di kota ini, saya belum pernah melihat orang asing yang berjalan kaki di jalanan Port Moresby, sendirian atau ditemani, kecuali seorang lelaki kulit putih paruh baya di daerah Town dekat pelabuhan yang tidak membawa satu tas pun. Saya juga tidak pernah bertemu dengan turis asing lain. Bagi para orang asing, satu-satunya alat transportasi adalah mobil pribadi. Kebanyakan mereka bahkan tidak berani naik taksi, khawatir perampokan atau penodongan atau penculikan oleh sopir taksi. Para ekspatriat selalu bepergian dengan mobil. Mereka bahkan punya SOP: tidak berkendara setelah pukul delapan malam. Santi, seorang Indonesia pekerja supermarket Indonesia yang sudah tinggal di sini selama empat tahun, mengatakan, kalau terpaksa harus keluar malam, jangan pernah berhenti di tengah perjalanan. “Kalau ada yang menghadang di jalan, tabrak saja dulu, urusan lain belakangan.” Terkadang mobil dilempari batu atau dihentikan orang di [...]

August 19, 2014 // 15 Comments

Titik Nol 31: Perbatasan

Kota perbatasan Zhangmu, kemegahan di bukit terpencil. (AGUSTINUS WIBOWO) Di atas peta dunia, perbatasan hanyalah garis hitam yang memisahkan dua negara yang dibubuhi warna berbeda. Di alam nyata, perbatasan adalah garis tak kasat mata yang menentukan takdir manusia. Kami sampai di dekat Zhangmu cukup pagi. Untuk menghindari kecurigaan polisi, beberapa meter sebelum masuk kota, Ding meminta saya turun, berjalan kaki, melewati pos polisi, dan nanti berjumpa lagi di dalam kota. Sebabnya, truk sama sekali tak boleh membawa penumpang. Sopir yang tertangkap didenda mahal. Kota perbatasan Zhangmu adalah murni kota China. Semua bangunan di sini baru, kotak-kotak, berlantai tinggi. Toko berbaris, tiang listrik dan kabel semrawut di pinggir jalan. Banyak truk di sini. Ada yang punya orang Tibet, orang Sichuan, juga truk Nepal yang warna-warni berhias huruf-huruf Dewanagari. Jalannya hanya satu, semakin ke perbatasan Nepal semakin turun, berkelak-kelok mengikuti pinggang gunung. Penunjuk arah di sini tak perlu menyebut arah mata angin, cukup dengan ‘naik’ dan ‘turun’ saja. Sempit, hanya cukup untuk dua kendaraan saja di tikungan yang semuanya berbahaya. Sebagian besar kendaraan di sini adalah truk barang. Seperti kota perbatasan pada umumnya, Zhangmu hidup dari perdagangan internasional dengan negeri tetangga. Kebanyakan orang yang terlihat di sini adalah etnis Han. Dialek Sichuan [...]

June 12, 2014 // 6 Comments

Titik Nol 20: Perayaan Akbar

Pengibaran bendera Republik Rakyat China di depan Potala. (AGUSTINUS WIBOWO) Bendera merah dengan lima bintang emas berkibar di seluruh penjuru Lhasa. Provinsi ini sedang bersolek merayakan empat puluh tahun berdirinya Tibet Autonomous Region (T.A.R), empat puluh tahun yang merombak total wajah dan kehidupannya. Di hadapan Istana Potala, bendera besar berwarna merah berkibar gagah. Lagu kebangsaan China, “Bangkitlah…. orang-orang yang tak hendak menjadi budak ….” membahana. Barisan tentara berseragam hijau memainkan terompet, seruling, genderang. Yang lainnya melakukan gladiresik, menyambut upacara perayaan akbar yang akan berlangsung di lapangan di depan Potala. Pada tahun 1951, utusan pemerintahan Tibet di bawah Dalai Lama menandatangani perjanjian dengan pemerintah komunis di Beijing. Tibet, walaupun punya pemerintahan sendiri, tak pernah diakui oleh negara mana pun sebagai negeri berdaulat. Salah satu poin perjanjian itu adalah menyatakan Tibet adalah bagian dari Republik Rakyat China dengan otonomi. Peristiwa bersejarah itu dirayakan sebagai terbebasnya Tibet, kembali ke pangkuan ibu pertiwi. Tahun-tahun berikutnya, kedudukan Dalai Lama sebagai pemimpin spiritual sekaligus dewa di hati orang Tibet, secara perlahan namun pasti, mulai tergeser, hingga pada akhirnya sang pemimpin melarikan diri ke India tahun 1959. Tanggal 1 September 1965, berdirilah Daerah Otonomi Tibet (T.A.R) dengan wilayah yang jauh lebih kecil daripada teritorial Tibet di bawah [...]

May 28, 2014 // 1 Comment

Titik Nol 6: Kerajaan yang Hilang

Pagi hari di Ngari, ketika gunung-gunung salju bersinar kemerahan dibilas mentari. (AGUSTINUS WIBOWO) Mashang, segera, dalam konsep sopir truk Uyghur ini ekuivalen dengan menunggu delapan jam. Truk merek Dongfeng – asli buatan China – baru berangkat meninggalkan Rutog menjelang malam setelah penantian dari siang tadi. Saya duduk berdesakan di bangku sempit sebelah sopir. Saya tak sendiri. Ada Ilya, seorang pesepeda dari Italia. Tibet memang surga bagi para pesepeda. Banyak yang datang jauh-jauh dari Eropa, menempuh perjalanan dengan sepeda melintasi Rusia dan Asia Tengah, masuk Tibet hingga ke Nepal dan India, atau berbelok ke Vietnam dan Asia Tenggara. Di mana-mana saya melihat pesepeda. Bukan hanya orang asing, pemuda-pemudi China pun sudah menempuh perjalanan keliling negara mereka yang luar biasa luasnya, hanya dengan sepeda. Lima tahun lalu, kegiatan menjelajah masih belum terlalu populer di kalangan generasi muda China. Anak muda yang saya temui di universitas semua sibuk belajar untuk meraih beasiswa ke luar negeri. Cita-cita mereka – melihat dunia luar. Waktu itu dengan paspor China sungguh sulit bisa ke luar negeri. Negara-negara lain tak mau memberi visa. Semuanya penuh perjuangan. Sekarang, ketika perekonomian sudah mulai maju, bocah-bocah dari kelas menengah sudah mengenal gaya hidup backpacking. Belajar giat, tetap. Tetapi waktu liburan juga [...]

May 8, 2014 // 1 Comment

Selimut Debu 54: Hidup dalam Sejarah

Kebudayaan konservatif sudah mengakar di Taloqan jauh sebelum Taliban memperkenalkan persepsi mereka yang konservatif tentang Islam. Orang-orang di sini pun sebenarnya tidak suka Taliban. Kenyataannya memang sempat terjadi pertempuran sangat sengit di provinsi-provinsi utara Afghanistan ini melawan pendudukan Taliban. Ini membuktikan, agama bukan satu-satunya hal yang diperhatikan di Afghanistan. Orang-orang di Utara adalah masyarakat minoritas non-Pashtun, sedangkan Taliban adalah Pashtun yang berusaha menerapkan nilai-nilai mereka ke seluruh Afghanistan. Setelah perang panjang selama dua tahun, akhirnya Taloqan berhasil ditundukkan. Tetapi Taliban tidak pernah berhasil memperluas kekuasaannya lebih jauh dari Provinsi Takhar. Ke arah timur dari Takhar, provinsi Badakhshan, sama sekali tidak tersentuh Taliban (atau mungkin mereka juga tidak tertarik, karena sudah sibuk menghadapi perubahan dunia pasca 9-11). Berita tentang fundamentalisme selalu menjadi perhatian masyarakat. Pada Sabtu 22 Juli 2006 yang lalu, ada bom bunuh diri yang meledak di Kandahar, membunuh 10 orang dan mencederai 40 lainnya. Salah satu korbannya adalah jurnalis, juru kamera dari Ariana TV. Para jurnalis di Radio Takharistan membincangkan berita ini dengan penuh kengerian. Kandahar nun jauh di selatan sana—yang mengklaim diri paling religius—adalah dunia yang jauh berbeda dengan Takhar sini, kata mereka. Mereka mengolok-olok pemahaman Taliban yang sempit. Misalnya, Taliban melarang kerah [...]

January 9, 2014 // 0 Comments

Selimut Debu 44: Jantung Negeri Bangsa Pashtun

Perang memang telah mengubah banyak hal tentang Kandahar. Tetapi tidak sedikit pula pernak-pernik kehidupan bangsa Pashtun yang tidak berubah. Tidak adil kiranya jika kita menganggap Kandahar hanyalah kota yang penuh kengerian dan kekerasan. Kota ini sesungguhnya adalah kota yang menyenangkan, terlepas dari panasnya musim panas nan ganas. Ya, suhu udara naik setiap hari. Saat aku datang 45 derajat, lalu besoknya 46, lalu 47, lalu 48, dan hari ini 49 derajat Celcius. Kenapa Kandahar sepanas ini? Ada dongeng tentang Baba Farid, seorang pertapa Sufi yang menghukum Kandahar karena penduduknya yang tidak ramah. Dia menyamar sebagai pengemis, meminta makanan di pinggir pasar. Tapi tidak seorang pun yang sudi mengasihaninya. Dia marah karena kelakuan para penduduk. Dia menangkap ikan dari sungai, mengangkatnya tinggi-tinggi ke langit. Matahari perlahan turun mendekat, memanggang ikan itu sampai matang dan bisa dimakan. Bukan cuma ikan yang dipanggang. Seluruh penduduk Kandahar pun menjadi bangkai gosong. Matahari yang mendekat, inilah alasan kenapa panas musim panas Kandahar begitu ganas. Panas beberapa hari ini semakin tidak tertahankan, karena pasokan listrik begitu buruk setelah Taliban menyerang pembangkit listrik di Helmand. Terlepas dari begitu banyak peringatan keamanan, aku memaksakan diri sendirian berkelana melewati gang-gang sempit di pasar kuno Kandahar. Ada empat bazaar utama: Herat [...]

December 26, 2013 // 2 Comments

1 2