Recommended

ekonomi

Selimut Debu 22: Kabul, Pandangan Pertama

  Para pengunjung Safi Landmark, pusat perbelanjaan termegah di Kabul hari ini. (AGUSTINUS WIBOWO) Tiga tahun berselang… Mimpi berpendar bersama realita, Aku berubah, Afghanistan pun berubah.   Apakah ini sungguh Afghanistan? Aku tak henti bertanya ketika memandang kota Kabul. Setelah melintasi Khyber Pass yang sama seperti tiga tahun lalu, aku kembali datang ke kota ini, ke negeri ini, berbekal sedikit pengetahuan bahasa Farsi demi mendengarkan cerita-cerita langsung dari mulut Afghanistan. Dan begitu asingnya dia sekarang. Kota yang sama, ibukota negeri perang yang selalu membayangi imajinasiku selama bertahun-tahun ini, kini hampir tak kukenali lagi. Kabul hari ini, di hadapanku, adalah kehidupan mewah, pesta foya-foya, kekayaan yang melimpah. Namun semua itu tersembunyi di balik tembok padat yang kumuh dan kusam. Aku tinggal bersama seorang teman dari Indonesia, yang bekerja pada sebuah perusahaan IT di Kabul dengan beberapa warga asing. Teman-teman sekerjanya sesungguhnya adalah orang Afghan yang kini telah menjadi warga sebuah negara Skandinavia. Afghanistan saat ini membuka lebar-lebar pintu investasinya, mengundang diaspora Afghan yang tinggal di berbagai negeri untuk membaktikan diri pada tanah air. Setelah perang berkepanjangan, banyak warga Afghanistan yang mengungsi ke luar negeri dan menjadi warga negara lain. Mereka sekarang boleh bekerja dan tinggal di Afghanistan seberapa lama pun mereka [...]

November 26, 2013 // 0 Comments

Garis Batas 85: Bukan Emas Tulen

Melewatkan kebosanan di taman. (AGUSTINUS WIBOWO) Abad emas menyelimuti seluruh penjuru negeri Turkmenistan. Patung-patung emas berdiri menyambut datangnya era baru, lengkap dengan slogan, semboyan, motto, dan berbagai ragam jargon. Altyn Asyr, Abad Emas, apa pun namanya, kini menjadi salah satu frase yang paling banyak disebut-sebut di negeri ini. Bicara soal Abad Emas, Marat sama sekali tidak antusias. Marat yang penduduk asli Ashgabat malah bosan dengan hidupnya yang biasa-biasa saja dan terus datar tanpa perubahan. Umurnya baru dua puluhan, tetapi wajahnya sudah nampak tua sekali. Mungkin karena kebosanan luar biasa setiap hari kerut-kerut baru muncul di wajahnya.  “Turkmenistan ini sama sekali bukan tempat untuk bekerja,” keluhnya, “tidak ada uang di sini.” Pekerjaannya sebagai tukang cuci mobil. Sekali mencuci mobil, pendapatannya berkisar antara 30.000 hingga 40.000 Manat. Tidak terlalu kecil sebenarnya, cukup untuk membeli selembar tiket pesawat terbang domestik atau setengah piring nasi plov di pasar. Tetapi masalahnya tak banyak mobil yang bisa dicuci di ibukota kecil ini. Apalagi sudah berapa hari ini hujan turun terus. Tuhan telah memberikan layanan cuci mobil gratis kepada para pemilik mobil, tetapi Marat berteriak kehilangan sumber pemasukan. “Masih jauh lebih baik Uzbekistan. Orang-orang di sana lebih cerdas dan pintar, tahu bagaimana caranya mencari uang,” keluhnya lagi. [...]

October 10, 2013 // 1 Comment

Garis Batas 80: Turkmenistan Menyambut Anda

Pintu gerbang Kota Cinta Ashgabat (AGUSTINUS WIBOWO) Kota terakhir Iran sebelum memasuki Turkmenistan adalah Guchan di utara Mashhad. Serpihan Iran yang satu ini memang bukan kemegahan macam Tehran Di kota ini gubuk-gubuk tersebar semrawut di kaki-kaki gunung berdebu. Iran, negara kaya raya ini, ternyata punya juga daerah yang morat-maritnya mirip Pakistan. Perbatasan Turkmenistan di desa Bajgiran masih 75 kilometer lagi. Bajgiran sudah seperti dunia lain. Padang-padang hijau menghampari kurva mulus bukit-bukit, membuat saya seakan sudah berada di Asia Tengah lagi. Kalau bukan tulisan-tulisan huruf Arab bahasa Persia, serta perempuan-perempuan yang dibungkus chador hitam, mungkin saya sudah lupa kalau saya masih di Iran. Penukar uang gelap berebutan menjajakan uang Turkmen. Semua membawa kresek hitam besar-besar, yang isinya hanya duit. Sebegitu tidak berharganya kah uang Turkmenistan sampai dibungkus kresek seperti dagangan kismis? Mata uang Turkmenistan namanya Manat. Nilai tukar resmi pemerintah Turkmenistan, 1 dolar = 5.500 Manat. Tetapi harga pasar gelap 25.000 Manat, hampir lima kali lipat. Tanda-tanda negara dengan perekonomian tidak sehat. Walaupun duitnya kecil, pecahan terbesar uang Turkmen hanya 10.000 Manat, yang kira-kira 3.600 Rupiah saja. Saya hanya menukar 100.000 Rial (kira-kira 100.000 Rupiah) dan langsung mendapat sekresek uang Manat pecahan 5000-an. Rasanya benar-benar seperti beli sekantung kismis. Di setiap [...]

October 3, 2013 // 3 Comments

Garis Batas 71: Cermin Gulshan, Cermin Halmiyon (3)

Pasar ‘internasional’ (AGUSTINUS WIBOWO) Garis perbatasan internasional yang melintang ke sana ke mari di Lembah Ferghana menciptakan kantung-kantung suku minoritas di mana-mana. Salah satu contohnya adalah Halmiyon. Desa orang Uzbek yang hanya sepuluh langkah kaki dari Uzbekistan kini merupakan bagian wilayah Distrik Osh, Kyrgyzstan. Anak-anak sekolah di Halmiyon berusaha keras belajar bahasa Kirghiz, menghafal hikayat kepahlawanan Manas, mengenal pernik-pernik adat bangsa nomaden, dan yang paling penting dari semua itu, menyamakan detak jantung dan deru nafas dengan saudara setanah air nun jauh di Bishkek sana.  Republik-republik baru bermunculan di atas peta Asia Tengah menyusul buyarnya Uni Soviet. Mulai dari Turkmenistan, Uzbekistan, Tajikistan, Kyrgyzstan, hingga Kazakhstan. Semuanya adalah negara-negara yang didirikan atas dasar ras dan etnik. Turkmenistan punyanya orang Turkmen, Uzbekistan untuk Uzbek, Tajikistan negeri bangsa Tajik, demikian pula Kyrgyzstan dan Kazakhstan bagi orang Kirghiz dan Kazakh. Kini kelimanya berdiri tegak sebagai negara-negara merdeka dan berdaulat penuh. Siapa lagi yang dulu membuat kelima negara etnik ini kalau bukan sang induk semang Soviet. Bahkan definisi suku-suku, mana yang disebut orang Uzbek, mana yang namanya Tajik, mana si Kirghiz dan si Kazakh, juga buatan Soviet.  Ketika Soviet bubar, negara-negara buatan ini berdiri di atas setumpuk masalah. Tidak perlu bicara soal ekonomi yang carut-marut ketika [...]

September 20, 2013 // 8 Comments

Garis Batas 50: Bukan Negara Normal

Tashkent, ibu kota Uzbekistan  (AGUSTINUS WIBOWO) Baru saja sampai di Uzbekistan, saya sudah dipusingkan dengan masalah yang tidak pernah saya bayangkan sebelumnya. Staf KBRI Tashkent siap dengan setumpuk wejangan bagaimana harus melewatkan hari-hari di negara Uzbek ini. Tashkent, dalam bahasa Uzbek disebut Toshkent, berarti ‘kota batu’. Tapi jangan mencari batu di sini. Kota ini sudah tidak hidup di zaman batu dan perjalanan waktu sudah menggiringnya menjadi kota modern dan kosmopolitan di Asia Tengah. Gadis-gadis Rusia berpakaian trendi mengibaskan rambut pirangnya, menyusuri barisan gedung-gedung tinggi yang megah dan rapi. Di musim dingin ini, Tashkent tetap menawarkan kehangatan, kedinamisan sebuah kota maju, plus keindahan gadis-gadis yang menyegarkan mata pria Indonesia mana pun. Kalau mereka dibawa ke Indonesia, semua pasti jadi bintang sinetron. Tidak jauh dari pusat kota ada hotel bintang empat yang cukup membuat orang Indonesia bangga. Siapa sangka kita punya hotel mewah di sini? Hotel Bumi, demikian namanya. Dua tahun lalu hotel ini punya hubungan dekat dengan Bakrie Group. Menjulang tinggi mengundang kekaguman, hotel yang dikenal punya hobi berganti-ganti nama ini, menjadi landmark di sini. Nama aslinya Hotel Tata, dibangun oleh India. Tidak ada orang Tashkent yang tidak kenal nama ini. Tahun ini namanya Le Meridien, tahun depan entah mau ganti [...]

August 22, 2013 // 0 Comments

Garis Batas 43: Lima Belas Tahun Merdeka

Culture Shock? (AGUSTINUS WIBOWO) Kazakhstan memang masih muda. Pertengahan Desember ini, selain semaraknya persiapan Tahun Baru dan Natal, negeri ini juga sibuk merayakan 15 tahun hari jadinya. Memang tak salah kalau perayaan kali ini lebih meriah daripada biasanya. Di antara negara-negara baru Asia Tengah, Kazakhstan telah menunjukkan taringnya sebagai negeri yang paling makmur, memanjakan penduduknya dengan pendapatan per kapita yang menakjubkan, dan kini sedang melenggang ke arah kapitalisme ala negeri-negeri Barat.  Terlepas dari meroketnya harga-harga karena pendapatan penduduk yang terus meningkat, tak semua orang di Almaty menikmati berkah kemakmuran itu. Kapitalisme justru membuat jurang antara kaya dan miskin, yang hampir tidak pernah ada sebelumnya ketika Kazakhstan masih berada di bawah merahnya komunisme Uni Soviet. Ibu kos saya, Nenek Lyubova, sudah rindu sekali akan apel Almaty yang terkenal itu. Sekarang, jangankan untuk membeli apel, untuk menghidangkan makanan seadanya di atas meja makan pun Lyubova sudah tak mampu. Semua menjadi mahal. Karena orang-orang di tengah kota sana menjadi kaya dan semakin kaya. Saya yang sudah mulai terbiasa dengan biaya hidup Almaty, dan belajar banyak dari cara hidup hemat Nenek Lyubova, mulai bisa memenuhi kebutuhan perut sehari-hari dari belanja di Zelyonii Bazaar, pasar sayur. Di sini harganya jauh lebih miring daripada di Silkway [...]

August 13, 2013 // 0 Comments

Garis Batas 28: Kawan Lama dari Toktogul

Depresi Kyrgyzstan (AGUSTINUS WIBOWO) Dari Karakul saya melanjutkan perjalanan ke Toktogul. Sebuah memori indah mengantar saya ke sana. Dua tahun silam, saya terdampar di kota ini, berkenalan dengan dua orang sukarelawan Amerika, Rosa dan Jason, yang mengajar bahasa Inggris. Gelar mereka keren – Peace Corps. Lewat mereka saya berkenalan dengan seorang guru bahasa Inggris di desa itu. Inilah awal persahabatan saya dengan Satina Eje, atau Mbak Satina, guru desa yang tak pernah padam semangatnya. Betapa manis kenangan bersama wanita paruh baya yang ramah dan terus berceloteh tanpa henti tentang kehidupan di Kyrgyzstan. Ia menghabiskan waktu bersama putra satu-satunya, Maksat, yang sudah hampir lulus sekolah, di rumah kayunya di sebuah apartemen kuno di sebuah gang kecil di Toktogul. Rumah Satina seperti mesin waktu. Ada dinding kayu berbalut shyrdak – permadani sulam-sulaman khas Kyrgyzstan. Ada hiasan dinding bergambar Mekkah dan bertulis huruf Arab. Satina tidak tahu kalau tulisan itu berbunyi “Allah” dan “Muhammad”. Ada telepon yang masih menggunakan papan putar yang mengeluarkan bunyi gredek-gredek tiap kali nomornya diputar. Ada pula televisi hitam putih yang tabungnya super cembung. Ada koleksi foto-foto keluarga hitam putih ketika suami Satina masih hidup. Bagi Satina, semua ini adalah barang biasa. Bagi saya, setiap pernik rumah Satina adalah serpihan [...]

July 23, 2013 // 0 Comments

Garis Batas 27: Depresi (2)

Guldora (AGUSTINUS WIBOWO) Rumah Gulasaira remang-remang. Dindingnya mengelupas tak sedap dipandang. Bau busuk memenuhi seluruh penjuru ruangan. Tetapi, di sini saya justru merasakan kehangantan cinta kasih sebuah keluarga. Eldiyar, bocah 5 tahun itu, memang nakal. Bukan hanya menggoda bayi Gulsaira yang masih sangat kecil sampai menangis, Eldiyar juga memasukkan remah-remah roti yang menjadi makanan pokok keluarga itu ke dalam cangkir tehnya, kemudian menyiramkan teh hijau tanpa gula ke tumpukan remah-remah roti, potongan coklat, dan permen-permen kadaluarsa yang menjadi menu makan malam keluarga. Si bocah itu baru menangis tanpa henti ketika Guldora, si kakak yang berumur 16 tahun, mencubitnya dengan gemas. Saya sempat bingung, bagaimana mungkin Guldora bisa mempunyai adik yang umurnya terpaut begitu jauh? Eldiyar ternyata memang bukan adik kandungnya. Gulsaira memungut bayi kecil Eldiyar yang dibuang di depan pintu rumah mereka. Gulsaira tidak tahu siapa kedua orang tua Eldiyar, atau mungkin saja dia tahu tetapi merahasiakannya. Hati Gulsaira tak tahan ketika si bayi kecil menangis kelaparan. Gulsaira memang miskin, tetapi tidak hatinya. Kemudian, di tengah susahnya kehidupan di negara baru Kyrgyzstan, Gulsaira memutuskan untuk mengasuh bayi itu, mencintainya seperti anaknya sendiri. Kini Eldiyar sudah tumbuh menjadi bocah yang lincah dan nakal. Tahukah ia akan masa lalunya? “Eldiyar masih kecil. [...]

July 22, 2013 // 3 Comments

Garis Batas 26: Depresi (1)

Gulsaira (AGUSTINUS WIBOWO) Saya tak sengaja singgah di Karakol. Sebuah ketidaksengajaan yang membuka mata saya terhadap beratnya hidup di sebuah negara bernama Kyrgyzstan. Semula saya berencana pergi ke Toktogul dengan bus dari Osh. Toktogul terletak di tengah-tengah antara Osh dengan Bishkek, ibu kota Kyrgyzstan. Perjalanan jauh sekali, lewat gunung-gunung. Bus sudah berangkat pagi-pagi buta dari Osh, dan saya tidak punya pilihan selain berganti-ganti bus untuk sampai ke Toktogul. Pertama-tama saya harus naik bus dulu ke Jalalabad, dua jam perjalanan, dilanjutkan ke kota bernama Tashkomur, 90 kilometer jauhnya. Tashomur terkenal karena pembangkit listriknya, namun sekarang keadaan di kota ini semakin memburuk seiring dengan ambruknya perekonomian Kyrgyzstan setelah kemerdekaan. Saya sampai di pinggiran Tashkomur ketika hari sudah mulai gelap. Toktogul masih kurang 100 kilometer lagi, dan saya berharap-harap cemas untuk bisa sampai di kota itu sebelum malam. Cukup lama juga saya menunggu bus yang menuju ke utara. Tiba-tiba ada angkot dengan papan nama berhuruf Rusia “Toktogul”. Saya langsung meloncat ke dalam bus itu dan membayar tiket 100 Som. Sekitar dua jam perjalanan, angkot yang semula padat itu langsung kosong. Ini masih kota Karaköl dan saya sudah disuruh turun. “Toktogul?” saya bertanya. “Nyet. Eta Karakol. Bukan, ini Karaköl,” kata si supir dalam bahasa [...]

July 19, 2013 // 1 Comment

Mazar-i-Sharif – Keluarga Naqeebullah

Donor, projects, humanitarian, NGOs, UN, etc are the vocabulary of today’s Afghanistan Seperti malam sebelumnya, malam ini saya bermalam di rumah Naqeeb. Saya belum pernah bertemu Naqeeb sebelumnya. Saya mengenalnya melalui perantaraan seorang kawan Indonesia. Tetapi walaupun demikian, keluarga Naqeeb ramah menyambut saya. “Rumah ini adalah rumahmu,” demikian kata Naqeeb berulang-ulang. Naqeeb masih muda, tetapi kumis dan jenggotnya membuatnya nampak jauh lebih tua. Sekujur tubuhnya pun ditumbuhi bulu. Saya sempat berpikir dia berumur tiga puluhan. Ternyata dia bahkan masih lebih muda daripada saya. Naqeeb bekerja sebagai petugas keamanan di sebuah NGO asing. Ke mana-mana ia selalu membawa radio HT. Dia harus terus mendengar kabar dari kantornya dan memantau situasi keamanan. Naqeeb sedang dapat tugas shift malam. Setiap sore pukul 6 ia berangkat ke kantor dan baru pulang keesokan paginya pukul 7. Sebagai satpam tentunya ia berjaga hampir sepanjang malam. Cuma tidur dua sampai empat jam sehyari sudah cukup baginya. Walaupun ia tuan rumah, saya jarang bertemu dengannya karena waktu kerjanya. Tetapi masih ada anggota keluarganya yang lain. Rumah Naqeeb cukup besar, ditinggali oleh banyak orang. Ada ayahnya yang sudah tua tetapi masih bekerja, abang-abangnya, dan hampir selusin keponakan. Hampir semua orang dewasa di rumah ini adalah pekerja sosial. Selain Naqeeb [...]

March 18, 2008 // 0 Comments

Mazar-i-Sharif – Ata Muhammad dan NATO

Busy atmosphere of the holy shrine before the New Year. “Berada di Rawza pada saat upacara janda bala? Itu terlalu berbahaya!” kata Naqeeb. Sebuah gambar di buku tua An Historical Guide to Afghanistan tulisan Nancy Hatch Dupree, diterbitkan tahun 1977, selalu membuat saya terbayang akan nuansa penuh fantasi di Mazar. Gambar itu adalah perayaan Naoruz di kota ini. Latar belakangnya adalah bangunan megah mausoleum Hazrat Ali. Ada ratusan orang di halaman, bersorak-sorai menyambut sebuah bendera besar bangkit dari tanah. Bendera itu adalah ‘janda’ yang dipercaya mempunyai kekuatan magis. “Keamanan sekarang sudah tidak baik,” kata Naqeeb, “kalau kamu ingin melihat janda, kita lihat di televisi. Nanti kalau keramaian sudah mereda, kita berangkat bersama-sama.” Naqeeb bukan jurnalis. Dia bekerja sebagai satpam di sebuah organisasi internasional. Naqeeb tak punya hasrat untuk mengejar semua peristiwa. Apalagi baginya perayaan janda bala ini bukan sesuatu yang istimewa. Dari ke tahun sama saja, dan sudah disiarkan di televisi. Kerumunan ribuan orang yang ingin melihat pengibaran bendera mukjizat itu dikhawatirkan akan mengundang penjahat, aksi teror, dan sebagainya. Akhirnya saya terpaksa mencari cara lain, menghubungi jurnalis Pajhwok Afghan News di kota ini, yang mungkin bisa membantu saya. Zabiullah Ehsas, umurnya masih 24 tahun, tetapi sudah memegang kantor wilayah Pajhwok [...]

March 18, 2008 // 0 Comments

1 2