Recommended

filosofi

Titik Nol 63: Angkasa Raya

Manusia sungguh tak ada artinya di hadapan gunung-gunung perkasa ini. (AGUSTINUS WIBOWO) Babak belur saya sampai di Jomsom, diterpa angin ribut dan badai pasir. Kaki saya sudah tak kuat lagi rasanya. Rambut jadi gimbal seperti Bob Marley di Muktinath. Selapis debu bercampur keringat membungkus tubuh. Ini adalah akhir perjalanan saya di Annapurna. Memang saya belum berhasil mengitari seluruh Sirkuit Annapurna, tetapi saya sudah bulat memutuskan untuk kembali ke Kathmandu esok hari dengan pesawat gunung dari Jomsom menuju Pokhara. Kekhawatiran terutama saya adalah visa India. Tiga minggu lalu saya sudah menyodorkan pengajuan visa ke Kedutaan India, diminta untuk mengambil visa seminggu sesudahnya. Karena sedang berada di Annapurna, sekarang saya sudah terlambat satu minggu untuk pengambilan visa. Masalah visa ini sempat menghantui tidur saya di Muktinath. Saya merengek-rengek di depan petugas visa yang kejam, yang hanya bisa memberi saya visa satu bulan. Saya terjepit di Nepal, negeri mungil yang dipepet satu raksasa besar di utara dan satunya lagi di selatan. Mimpi buruk itu membuat saya memutuskan untuk kembali ke Kathmandu secepatnya. Saya adalah orang yang percaya firasat. Mimpi bisa jadi pertanda alam yang menuntun takdir. Di pegunungan Himalaya ini, banyak penerbangan swasta yang namanya membawa-bawa misteri atap dunia. Sebut saja Yeti Airlines, [...]

August 20, 2014 // 1 Comment

Titik Nol 39: Kremasi

Kremasi (AGUSTINUS WIBOWO) Di hadapan mayat yang melepuh ditelan api, saya jadi sadar, bahwa hidup di dunia ini hanyalah sebuah perjalanan dari debu kembali menjadi debu. Isak tangis mengiringi kepergian lelaki Brahmana tua itu. Raungan, ratapan, air mata membasuhkan aroma kesedihan. Jenazah itu dibilas dalam air Sungai Bagmati yang keruh, bertabur bunga dan sesaji. Alunan mantra Hindu mengiringi. Kayu bakar ditumpuk di tepi sungai, di sebelah selatan jembatan Sungai Bagmati di Kuil Syiwa Pashupatinath. Dalam tradisi kremasi umat Hindhu Nepal, kasta pun berpengaruh. Yang termasuk ningrat, keluarga kerajaan, dan kasta teramat tinggi, dikremasikan di utara jembatan, tempat pembakaran Arya Ghat. Rakyat jelata, di Ram Ghat di selatan. Lelaki di sampingku menjelaskan, pria tua ini adalah seorang petinggi yang sangat dihormati. Meninggalnya pun wajar, penyakit orang tua. Jenazahnya diletakkan di atas tumpukan kayu, setelah dibilas lagi dengan air suci oleh pendeta. Denting lonceng, alunan mantra, dan ratapan pilu mengiringi, ketika api mulai menyulut. Baru pertama kali ini saya melihat pembakaran mayat dari dekat. Tubuh itu meleleh seperti lilin. Jari-jari kaki mulai menyatu, kemudian membulat, kemudian hancur tak berbentuk. Ketika jasad ini mati, semuanya kembali dalam wujud yang sama. Tak peduli apa kastanya, bagaimana kekayaannya, setinggi apa jabatannya, sebanyak apa gelar kesarjanaannya, [...]

June 25, 2014 // 9 Comments

Selimut Debu 72: Nilai Ke-Afghanistan-an

Aku berusaha keras menghindari Bakhtali. Tapi untunglah, kami berjalan dengan kecepatan yang jauh berbeda. Aku merayap lambat menyisir bebatuan, sementara dia melesat kilat seperti anak panah. Dalam kesendirian, aku menikmati pemandangan perbatasan yang begitu menakjubkan ini. Di sebelah kananku Tajikistan, di sebelah kiriku Pakistan, aku ada di tengah Koridor Wakhan yang sempit dan termasyhur itu. Tetapi kesepian ini sungguh menakutkan. Sepi yang sesepi-sepinya, selain suara angin dan debur arus sungai. Tak ada lagi orang lain yang bisa kumintai pertolongan, apalagi karena kedua kakiku semakin sakit karena berjalan terlalu jauh. Aku mulai berjalan pukul 1 sore, dan setelah dua jam berjalan kedua kakiku hampir lumpuh. Aku hanya bisa berjalan, dan terus berjalan, karena tidak ada pilihan lain. Tidak ada desa sama sekali di antara Aorgarch dengan Qala Panjah. Yang kulihat hanya ada tiga orang gembala, dan tidak ada manusia lainnya barang satu pun. Ah, andaikan saja ada jembatan yang menghubungkan jalanan ini dengan jalanan beraspal di seberang sungai sana. Tentu dengan mudah aku menumpang kendaraan bermotor, tanpa harus bersusah-payah seperti ini. Tapi… itu cuma mimpi. Yang di seberang sana, walaupun terlihat dekat, adalah tanah tak tergapai. Negara lain. Dunia lain. Ada garis batas tak tertembus. Setelah empat jam berjalan, langit sore [...]

February 4, 2014 // 3 Comments

Selimut Debu 62: Agama Bukan di Baju

Traktor Juma Khan membawaku, Ghulam Sakhi, dan para penumpang lain hingga ke Qala Panja. Dari semua desa di tanah Wakhan ini, Qala Panja adalah yang paling terkenal. Namanya disebut-sebut dalam berbagai catatan perjalanan berabad silam. Karavan kuda yang membawa barang-barang dagangan dari Konstantinopel hingga ke negeri Tiongkok, pernah lewat di sini. Medan pegunungan Wakhan dan Pamir yang berat memaksa para saudagar mengganti kuda beban dengan keledai atau yak di Panja. Dalam catatan perjalanan yang dibuat Hsuan Tsang, disebutkan bahwa benteng-benteng kuno bertebaran antara Ishkashim hingga Qala Panja dan Yamchum (di seberang sungai, wilayah Tajikistan). Wilayah ini adalah sebuah kerajaan bernama Xiumi (Wakhan) yang beribu kota di Saijiazhen (Ishkashim). Kata Qala dalam nama Qala Panja memang berarti benteng, dan reruntuhan benteng kuno itu masih terlihat. Di sinilah Koridor Wakhan berakhir. Lidah sempit Afghanistan yang dimulai dari Ishkashim digantikan sebuah lidah besar yang dikelilingi Tajikistan, Pakistan, dan Cina. Qala Panja adalah tempat kediaman pemimpin besar Muslim Ismaili di seluruh tanah Wakhan, mulai dari Ishkashim hingga ke Boroghil. Namanya Said Ismail. Gelarnya Shah, yang berarti raja, atau lengkapnya Shah-e-Panja, sang raja dari Panja. Kedudukannya adalah pir, pemimpin komunitas umat Ismaili di seluruh Wakhan. Aku turun dari traktor, bersama Ghulam Sakhi dan Wali Mohammad, [...]

January 21, 2014 // 2 Comments

Aplaus (2012): Agustinus Wibowo, Berubah Bersama Perjalanan

    Agustinus Wibowo (31) : Berubah Bersama Perjalanan Teks oleh Eka D. Rehulina @ekarehulin | Foto Istimewa   BAGINYA perjalanan dan menjadi turis adalah mimpi masa kecil yang telah terwujud. Kisah perjalanannya sangat luar biasa, di negeri-negeri berbahaya di Asia Tengah yang tak pernah terbayangkan para pejalan awam. Selimut Debu dan Garis Batas, dua tulisannya yang telah dibukukan. Menceritakan kisah-kisah perjalanan yang telah ia lalui. Tentu saja, selain tulisan dan foto-fotonya yang kerap terbit di media nasional kita.   What Inspire Us… Sebenarnya rasa takut itu bukan untuk dilawan, tetapi dipahami. Rasa takut itu manusiawi, yang justru jika diolah dengan benar akan menjadi motivasi. Misalnya, kita bekerja keras di hari ini, justru karena rasa takut akan goncangan di hari tua nanti. Nah, ada rasa takut yang rasional, ada rasa takut yang irasional, ada rasa takut yang harus ada, ada rasa takut yang tidak perlu. Perjalanan sendiri adalah proses untuk melepaskan diri dari rasa takut.   Bohong kalau bilang saya tidak takut mati. He-he-he… Itu adalah ketakutan yang sangat manusiawi, dan rasional. Tapi ini kembali lagi kepada bagaimana cara kita menghadapi ketakutan kita sendiri.   Sakit di luar negeri adalah salah satu masalah serius. Saya pernah kena hepatitis waktu berada [...]

November 8, 2012 // 0 Comments

National Geographic Traveler Indonesia (2011): Destinasi Mana pun Istimewa

Agustus 2011 National Geographic Traveler Indonesia Empat Mata: Destinasi Mana pun Istimewa Teks: Vega Probo Terkesima menyimak foto-foto Afghanistan di rubrik Portfolio Majalah National GeographicTraveler edisi kali ini? Kenali lebih dekat sang penulis dan fotografer, Agustinus Wibowo. Berasal dari keluarga yang nyaris tidak pernah berpelesir, pria yang menguasai belasan bahasa dunia ini justru telah melanglang buana. Hampir semua perjalanan dilakukannya seorang diri atau bersama rekan yang ia jumpai di jalan, “Kalau cocok, jalan bareng. Kalau tidak cocok, tinggal berpisah di jalan.” Pengalamannya menjelajahi Afghanistan dan negara-negara Asia Tengah ia tuangkan masing-masing dalam buku Selimut Debu (2010) dan Garis Batas (2011). Dalam dua kesempatan bertatap muka dengan pria ramah ini di Jakarta, beberapa waktu lalu, berlanjut obrolan via dunia maya, tersirat betapa besar semangatnya untuk menjelajah—sebesar pembelajaran berharga yang ia refleksikan pada pembaca bukunya. Kapan dan ke mana pertama kali bepergian jauh? Pertama kali melakukan perjalanan independen ke Mongolia, tahun 2002. Pada hari pertama dan kedua di negara itu saya dirampok. Pengalaman itu mengajarkan saya bahwa sebenarnya tantangan dapat dihadapi. Setidaknya saya tidak lagi takut melakukan perjalanan independen, itulah yang kemudian menciptakan konsep traveling bagi saya. Selama tiga minggu di Mongolia, saya menyaksikan banyak kultur yang “hidup” kembali karena adanya turisme. [...]

August 10, 2011 // 0 Comments