Recommended

frustrasi

Selimut Debu 52: Pulang

“Suatu saat, kamu harus kembali ke titik awal. Dan saat itu, kamu akan berpikir bagaimana caranya untuk kembali ke tempat sebelumnya, untuk melanjutkan perjalananmu ….” Demikian Lam Li, sahabat Malaysiaku itu pernah berkata padaku saat kami berdua berada di Kandahar. Kami berdua telah berkelana begitu panjang. Aku memulai perjalananku hampir setahun lalu dari Beijing. Lam Li lebih lama lagi, dari Malaysia jalan darat melintasi Asia Tenggara, Tibet, Nepal, India, Pakistan, sekarang di Afghanistan, dan terus dia akan menuju Eropa. Setelah berbulan-bulan melakukan perjalanan, sangatlah umum para pejalan mulai mengalami “mimpi buruk”. Apakah “mimpi buruk” para pejalan? Itu adalah terpaksa pulang. Ke titik asal. Ke rumah. Lam Li sering mengalami mimpi seperti ini. Di dalam mimpinya itu, tiba-tiba dia sudah kembali ke rumah. Dan di rumah itu, dia sibuk berpikir, bagaimana caranya kembali ke titik terakhir perjalanannya, kembali melanjutkan perjalanan yang telah terpotong. Seperti nubuat, ini pun terjadi pada diriku. Perjalananku dimulai pada 28 Juli 2005. Jadi, hanya seminggu lagi maka genap setahun sudah aku hidup di jalanan. Dari metropolis Beijing yang sibuk, aku sudah melewati jalan yang teramat panjang, melintasi dataran China yang luas hingga k tanah bangsa Uyghur di barat, lalu mendaki pegunungan Atap Dunia hingga masuk ke Tibet, [...]

January 7, 2014 // 4 Comments

Selimut Debu 38: Latif Si Pencuri Ulung

Belajar dari kebijaksanaan keledai (AGUSTINUS WIBOWO) Di tengah padang sunyi, kami meneruskan penantian. Satu mobil lain melintas, dilanjutkan yang lain, dilanjutkan yang lain lagi. Tampaknya sedang ada acara pernikahan di Bamiyan. Tetapi semua penuh diisi penumpang perempuan. Tentu saja mereka tak mungkin mengangkut dokter Kabul yang laki-laki ini. Adat melarang perempuan dan laki-laki yang bukan muhrim untuk duduk bersebelahan. Baru dengan mobil kelima, setelah setengah jam menunggu sang dokter kawan kami akhirnya bisa berangkat balik ke Bamiyan. Dari sini ke Bamiyan butuh waktu satu jam. Pergi pulang paling cepat dua jam. Belum lagi masih harus mencari sopir dan kendaraan, bisa-bisa habis waktu sepanjang hari. Semangatku semakin redup. Aku mengeluarkan buku yang teronggok di dalam tasku. Judulnya Afghan Caravan. Karavan Afghanistan. Negeri ini adalah perlintasan karavan para musafir, melintasi gunung dan padang. Perjalanan adalah jiwa sejarah negeri ini, semua termaktub dalam buku kompilasi berisi kumpulan kisah-kisah legendaris dari Afghanistan, mulai dari dongeng, humor, sampai resep masakan. Satu cerita yang tepat sekali kubaca di tengah kegelisahan ini adalah kumpulan petualangan lucu Latif si Pencuri Ulung. Sungguh bodoh orang yang menangisi kesialan dan tak mau belajar dari pengalaman. Demikian ajaran Latif si Pencuri Ulung yang begitu menohokku saat ini. Seperti halnya kisah-kisah Mullah [...]

December 18, 2013 // 1 Comment

Selimut Debu 37: Kesialan Mendatangkan Kesialan

Meninggalkan Bamiyan dalam kemelut (AGUSTINUS WIBOWO) “Jadi kamu pikir kami ini orang jahat?” Raut muka lelaki Hazara yang menginap di sini tiba-tiba berubah jadi serius. Mata sipitnya memicing. “Ayatullah orang jahat? Aku jahat? Dia jahat? Atau dia jahat?” Ia mengarahkan jari telunjuknya pada semua orang yang duduk di ruangan ini, berurutan dari Ayatullah sampai ke Qurban. Ayatullah dan teman-temannya memulai pagi ini dengan mengolok-olokku, lagi-lagi membuat lelucon bodoh mengenai jijig. Aku sama sekali tidak bernafsu dengan humor porno saat ini. Ayatullah menuang teh hijau ke dalam cawan-cawan, menghirup asap teh yang harum dalam-dalam. Tak-tak-tak-tak. Tangannya terus memutar tasbih. Mereka melanjutkan ritual menertawakan orang Tajik yang bermental pencuri. Aku menyanggah. “Orang Tajik itu tidak jahat. Mereka malah menawariku ongkos pulang.” Aku tidak berniat membandingkan dengan orang-orang Hazara di hadapanku yang tidak berusaha membantu apa-apa tapi sibuk menertawakanku ini. Tapi kalimatku tadi sudah membuat seorang dari mereka terluka, marah. Lelaki yang duduk di samping Ayatullah itu tidak terima, ia menyergapku dengan sederet kalimat pedas bernada rasis. Ayatullah tertawa terkekeh. “Kamu tidak perlu khawatir. Bukankah masih ada seratus dolar di dompetmu?” Aku tidak punya uang sebanyak itu. Hanya ada selembar lima dolar dan beberapa uang receh Afghani. Ongkos paling murah ke Kabul 300 [...]

December 17, 2013 // 0 Comments

Selimut Debu 36: Kegelapan Sempurna

Andaikan aku punya uang sebanyak ini. (AGUSTINUS WIBOWO) Di tengah kekalutan dan kegelapan sempurna seperti ini, langkahku terhenti oleh tentara yang mencurigaiku sebagai teroris. Keamanan di Bamiyan termasuk sangat bagus, tapi malam-malam begini jalan sunyi senyap. Siapa pula orang yang berkeliaran di jalanan pada saat seperti ini? Malam adalah waktu untuk meringkuk di rumah. Seperti sejak zaman invasi Soviet, jam malam masih berlaku di Bamiyan. Setelah matahari terbenam, jangan berada di mana-mana selain di dalam rumah. Tentara itu, yang kulihat hanya bayang-bayang gelap mengeluarkan suara, mulai menanyaiku ini dan itu. Aku cuma ingin segera pergi dari hadapannya. Aku berada dalam kondisi mental di mana ratusan kata-kata mengalir begitu saja dari mulutku. Semua dalam bahasa Inggris. Tanpa logika. Bahkan aku pun tak tahu bicara apa. ”I have no money… you know, someone stole my money. I don’t know how to survive… I don’t know what to do… I have to return to Kabul, but how can I go there? I… I… You know what you are doing? You just add my problem. I am afraid, I am angry, how can I survive in Afghanistan? Help me… help me… Sir, let me go. I go… I now…” Tentara itu mungkin terkejut mendengar [...]

December 16, 2013 // 1 Comment

Selimut Debu 35: Mendadak Miskin

Mendadak miskin di tempat segersang ini (AGUSTINUS WIBOWO) Aku terpaksa harus meninggalkan Bamiyan tanpa uang sepeser pun. Semula aku sudah bersiap untuk melanjutkan perjalanan. Di benakku sudah terbayang petualangan dahsyat Afghanistan yang menanti. Danau-danau biru magis laksana kristal di Band-e-Amir. Jalanan berdebu menuju pedalaman Bamiyan. Atau menumpang truk melintasi daerah-daerah peninggalan sejarah dan peradaban kuno. Aku begitu bersemangat. Sampai di titik ini. Ketika sebuah insiden menjungkirbalikkan semua perasaan, menghablurkan semua harapan. Kemarin, tepat sebelum tidur, aku menghitung semua uangku. Aku menaruh uangku bersama paspor di dalam sebuah amplop, kuletakkan dalam saku beritsleting di rompiku. Uang dan paspor itu selalu terbungkus amplop, dan aku punya kebiasaan selalu menghitung uang yang tersisa selang dua hari sekali. Aku menginap di kantor LSM milik Akbar Danish. Sekitar pukul 7 malam, di ruangan ini ada aku bersama Ayatullah, seorang lelaki tua yang menjadi guru agama dan punya program siaran keagamaan di Radio Bamiyan. Seperti halnya diriku, Ayatullah juga tamu yang menginap di kantor ini. Masih ada dua lelaki Hazara lain, dan seorang pembantu lelaki. Aku sedang mendengarkan lagu dangdut dari MP3 ketika berusaha mengeluarkan uang dari amplop untuk dihitung. Yang meloncat pertama adalah paspor. Kemudian aku menunggu keluarnya uang afghani pecahan besar. Kejutan! Tidak ada [...]

December 13, 2013 // 1 Comment