Recommended

Hazarajat

Selimut Debu 104: Antara Kepercayaan dan Realita

Tidak semua orang Hazara mendukung tradisi menceburkan diri ke danau untuk memperoleh kesembuhan. ”Orang-orang bodoh ini,” kata Anwar, seorang pengunjung Hazara dari Bamiyan, ”mereka benar-benar percaya bahwa danau ini dibuat dengan mukjizat Imam Ali.” Anwar, seperti halnya mayoritas orang Hazara, juga pemeluk Syiah. Tetapi ia pernah belajar ilmu agama di Iran, dan ia lebih logis. ”Sebenarnya, memercayakan kesembuhan dari danau dan mukjizat tempat suci, sama sekali bukan ajaran Islam. Kita seharusnya hanya mengandalkan pertolongan Tuhan. Tetapi penduduk sini tak berpendidikan, mereka memegang teguh tradisi secara membabi buta dan percaya bahwa tradisi itu adalah agama.” Danau ini bukan hanya menjadi tempat ziarah, tetapi juga menjadi tempat piknik penting. Yang berkunjung mulai dari penduduk, kaum ekspatriat, pekerja sosial, sampai tentara Selandia Baru di bawah komando ISAF yang tak segan-segan berpiknik membawa senjata mesin dalam posisi siaga, potret sana, potret sini, dengan latar pengunjung Afghan yang mengarungi danau dengan perahu kayuh. Kendaraan umum pun banyak, hampir setiap hari berangkat dari pasar Bamiyan. Kali ini aku datang dengan berjalan kaki menyusuri gunung cadas, melintasi satu per satu keenam danau yang diciptakan oleh mukjizat Ali. Aku tak berani membayangkan perjalanan seperti ini tiga tahun lalu, ketika daerah sekitar danau ini masih dipenuhi ranjau. Kala itu, [...]

March 20, 2014 // 4 Comments

Selimut Debu 103: Danau Mukjizat

Alkisah, keenam danau yang terletak di antara Yakawlang dengan kota Bamiyan tercipta berkat mukjizat Hazrat Ali, sepupu sekaligus menantu Nabi Muhammad, yang makamnya menjadi ziarah penting di Mazar-e-Sharif. Ia diagungkan umat Syiah Afghanistan sebagai figur mistik dengan segala kekuatan magis yang tiada bandingan, menciptakan berbagai keajaiban di muka bumi. Konon, Lembah Bamiyan dikuasai Barbar, raja zalim yang suka menyiksa dan membunuh rakyatnya. Hazrat Ali datang untuk memberi pelajaran pada Barbar, menyamar sebagai budak. Barbar memerintahkan budak ini membendung aliran sungai yang mengamuk sekaligus membunuh naga yang senantiasa memangsa penduduk Bamiyan. Dengan kekuatan sihirnya, dalam sekejap enam bendungan raksasa tiba-tiba berdiri di tengah kepungan gunung cadas. Itulah keenam danau Band-e-Amir yang kini menghidupi seluruh Lembah Bamiyan. Ali pun melayang menuju pegunungan lainnya, menemui naga raksasa yang bersembunyi di Lembah Ajdahar. Dengan sekali sabet menggunakan pedang sakti bernama Zulfiqar, ibu naga dan anaknya langsung mati, membatu, dan mengeluarkan air mineral yang dipercaya sebagai tangisan mereka. Barbar tercekat dengan kekuatan Ali, langsung memeluk agama Islam, diikuti oleh segenap penduduk Lembah Bamiyan. Bagi para peziarah Syiah Hazara yang mengunjungi Band-e-Amir, kisah naga, mukjizat danau, dan Hazrat Ali bukan legenda kosong. Seperti halnya di makam suci Ali di Mazar, mereka rela menempuh perjalanan berat dan [...]

March 19, 2014 // 5 Comments

Selimut Debu 102: Lalmi

Tidak semua daerah di Afghanistan seberuntung Yakawlang. Walaupun sebagian besar penduduk negeri ini hidup dari pertanian, Afghanistan bukanlah negara agraris yang makmur. Sekitar 75 persen dari wilayah Afghanistan adalah pegunungan, terbentang dari batas utara hingga ke selatan negeri. Sisanya adalah gurun pasir luas. Dari lahan yang ada, tak banyak pula yang ideal untuk diolah menjadi lahan pertanian. Air langka, cuaca ekstrem. Karena musim dingin sama sekali tak mungkin bercocok tanam, dalam satu tahun hanya sekali musim panen, padahal lebih dari 25 juta penduduk Afghan butuh gandum dan beras setiap hari. Panen sering gagal, apalagi ketika kekeringan melanda, hujan tak turun, tanah retak, ladang gandum ”hangus”, kambing kurus kering, bayi-bayi mati kelaparan. Ghor, salah satu provinsi termiksin di Afghanistan, sering dihantam kekeringan. Di sini, air adalah masalah utama. Tak jarang perempuan desa harus berjalan berjam-jam melintasi padang tandus untuk mencari air. Gandum yang seharusnya tumbuh sepinggang, di sini tumbuhnya sering kali tak sampai selutut, berpencaran, lunglai. Bulirnya teramat kecil, tak layak dikonsumsi. Namun kenyataan bahwa orang masih bisa bertahan hidup dalam kondisi alam yang tak bersahabat ini patut mengundang decak kagum. Siapa sangka, gunung-gunung gundul yang dilapisi debu ini ternyata masih bisa menyokong hidup. Di sini, tak ada irigasi, tak ada [...]

March 18, 2014 // 0 Comments

Selimut Debu 101: Yakawlang

Sejak berangkat dari Herat, uangku cuma tiga puluh dolar. Sekarang tinggal separuh, entah apakah sanggup mencapai Kabul dengan dompet setipis ini. Belum lagi makan, tiga hari saja kalau setiap hari tinggal di kedai seperti ini uang pasti tak cukup. Dalam kondisi begini, pengeluaran harus dihitung cermat, setiap sen begitu berarti. Tapi aku percaya, Khoda negahdar, Allah Maha Pelindung. Daripada stres, aku menggelar matras di sudut warung. Tidur. Belum lagi aku terlelap, bocah pegawai di warung ini berteriak. ”Bangun! Bangun! Ada kendaraan mau ke Yakawlang! Cepat! Mereka berangkat sekarang juga!” Aku terlompat. Di depan warung ada Falang Coach. Di dalamnya ada dua lelaki, beberapa perempuan dan anak-anak. Mereka semua Hazara. Perempuannya tidak memakai burqa, tetapi menutup wajah mereka dengan kerudung warna-warni. “Cepat naik! Cepat!” kata lelaki gemuk beserban. Matanya memicing, jenggotnya kriwil-kriwil. Wajahnya tampak bersahabat. ”Sebentar lagi hujan! Kalau kita tidak bisa melewati gunung itu, kita tak bisa sampai di Yakawlang.” Angkutan ini tidak gratis, tetapi juga tidak mahal. Rombongan keluarga ini adalah peziarah Syiah yang hendak bersembahyang di danau suci dekat Yakawlang. Aku diangkut, karena setidaknya bisa sedikit membantu mereka meringankan ongkos sewa mobil. Dari Panjao menuju Yakawlang, jalanan sempit dengan batu-batu besar. Itu pun harus mendaki. Tak heran sopir [...]

March 17, 2014 // 1 Comment

Selimut Debu 100: Lagi-Lagi, Cheragh

Aku bermalam di sebuah kedai teh gelap dan luas di Lal. Dalam hitungan beberapa menit saja, aku sudah melahap habis nasi palao dan kari kentang yang disediakan, saking laparnya. Malam hari gelap gulita, lolongan anjing membahana memecah kesunyian. Semakin dekat dengan pegunungan Hazarajat, udara semakin dingin. Aku meringkuk di bawah selimut apak yang disediakan pemilik warung. Ketika pagi menyingsing, aku kembali terbayang betapa beratnya perjalanan ini. Petualangan kemarin sungguh tak mengenakkan. Juga hari-hari sebelumnya ketika aku harus tertambat di berbagai desa sunyi menunggu kendaraan. Aku melangkah gontai menuju jalan. Kembali duduk di emperan menunggu mobil melintas. ”Salam! Kamu masih di sini?” Tiba-tiba Cheragh menepuk pundakku. Ia tertawa seperti tanpa dosa, tampak sekali suasana hatinya sedang ceria. ”Ayo, ikut sarapan bersama kami. Kami tinggal di warung seberang.” Sebenarnya aku tak terlalu menaruh banyak harapan lagi dengan orang-orang Hazara ini. Aku duduk di sudut. Semua sopir, mekanik, dan kenek Hazara duduk bersila sepanjang dastarkhon. Mereka bersiap menyantap roti nan panjang ditemani krim susu kemasan dan teh hijau manis. “Kamu mau ke Bamiyan?” tanya Cheragh, ”Kami bisa mengangkutmu sampai ke Panjao.” Kali ini ia menawarkan. Aku sebenarnya sudah malas dengan mereka. Tetapi di tempat seperti ini sering kali kita tak punya pilihan. “Kami [...]

March 14, 2014 // 0 Comments

Selimut Debu 99: Siapa Lagi yang Bisa Dipercaya?

“Jangan khawatir. Kita naik angkot saja sampai ke Daulatyar. Gratis. Nanti dari Daulatyar banyak truk. Kamu bisa menumpang dengan mudah,” kata Khaliq menghiburku, ketika kami sama-sama ketinggalan kendaraan. Khaliq tidak punya angkot. Ia juga penumpang, sama sepertiku. Sopir angkot—tentu saja—tetap menarik ongkos. Ia tidak membawaku ke Daulatyar, tapi ke dusunnya di Shinia. Ia tak punya truk, jadi tak mungkin menjanjikan angkutan sampai ke Bamiyan. Dan di desa ini tak ada truk yang lewat, cuma keledai. Shinia bukan tempat yang baik untuk mencari kendaraan. Di sini hanya ada satu jalan berdebu sempit. Kios-kios dari tanah liat berbaris dalam sepi. Kotak-kotak susu dari Pakistan sudah dibungkus debu. Demikian pula radio ringsek dari Cina dan botol sampo dari Iran. Tak ada pembeli. Penjual hanya melewatkan hari. Rombongan kambing dan keledai bergantian melintas mengisi kekosongan hari. Khaliq bersungguh-sungguh mengundangku ke rumahnya untuk makan siang. Aku ogah-ogahan mengikutinya, takut tertinggal kendaraan. Sudah dua jam menunggu, tak ada satu pun yang lewat. Bagaimana kalau waktu menikmati makanan justru ada kendaraan lewat? Bagaimana kalau ketinggalan satu kendaraan saja berarti harus menginap tiga hari di dusun terpencil ini? Baru saja aku melangkah mengikuti Khaliq ke timur, dari kejauhan mengepul debu yang diterbangkan oleh hewan berat. ”Kamaz!!!” aku bersorak. [...]

March 13, 2014 // 5 Comments