Recommended

Herat

Selimut Debu 90: Pasti Ketemu

Kerusakan yang dialami truk Kalandar kali ini teramat parah. Sekarang, giliranku untuk berjuang sendirian. “Tak ada harapan,” kata Kalandar, ”Maaf, kami tak bisa membawamu lebih jauh lagi. Malam ini kami pun terpaksa tidur di sini. Kamu cari kendaraan lain saja. Kamu sebaiknya berhenti sampai Garmao, bukan di Kamenj. Kalau tidak ada kendaraan, berhenti saja di desa berikut.” Aku melangkah gontai menuruni bukit. Hati kosong. Bagaimana kalau mesti terjebak di jalan pegunungan ini? Tak ada listrik yang menerangi kegelapan malam, tak tahu harus melangkah ke mana. Bagaimana kalau desa berikut penduduknya tak ramah? Bagaimana kalau diserang perampok atau serigala di tengah jalan? Bagaimana kalau terpaksa tidur di jalan? Dinginnya malam pegunungan sungguh tak terbayang, apalagi aku tak punya cukup baju hangat. Setengah jam berjalan, tiba-tiba sebuah Falang Coach melintas. Berlalu begitu saja. Lalu sepeda motor, juga tak menghiraukanku yang berjalan sendirian. Aku terus berjalan menuruni bukit. Aku melihat bayangan mobil berhenti di tepi sungai di bawah sana. Ah, pertanda baik. Sekarang waktu salat Magrib, dan orang Afghanistan tidak akan mau terlambat barang semenit pun untuk mendirikan salat. Aku bergegas ke arah mobil yang sekitar setengah kilometer di bawah. Semoga mereka belum berangkat. “Tolong… aku orang asing,” aku merengek memelas di hadapan [...]

February 28, 2014 // 3 Comments

Selimut Debu 89: Kebakaran

Kalandar adalah jenis orang yang kucari-cari sejak tiga hari terakhir—sopir truk. Dia sedang sibuk memperbaiki truknya yang rusak. Truk miliknya itu adalah jagoan,  Kamaz, truk berbodi hijau buatan Rusia yang terkenal ketangguhannya di medan berat, sangat cocok untuk jalanan Afghanistan yang bergerunjal di lintasan pegunungan. Entah sudah berapa puluh tahun umur kendaraan ini. “Jangan khawatir,” katanya, ”kamu boleh menumpang.” Ia hanya meminta ongkos seratus Afghani untuk membawaku sampai ke Kamenj. Bukan basa-basi, semoga. Sejam berikutnya, aku sudah duduk di badan truk di samping sopir dan rekan-rekannya. Ini adalah tempat kehormatan karena para penumpang lain harus duduk di bak terbuka bersama tumpukan barang yang berkarung-karung. Kalandar orang Tajik. Ia membawa tiga awak. Yang satu mekanik, dalam bahasa Dari disebut masteri, tetapi semua orang di sini memanggilnya dengan lafal Misteri. Namanya sudah tenggelam oleh profesinya. Masteri kami adalah orang Tajik, bertubuh tambun dan berjenggot kriwil-kriwil. Kalau mobil rusak di jalan, ia bertanggung jawab memperbaiki karena dia yang paling mengerti soal mesin. Dua awak lainnya adalah kenek, asisten sopir. Kenek bertugas mengangkut atau menurunkan barang, membantu sopir dan mekanik kalau ada kerusakan, memasak makanan, menunjukkan jalan waktu menyeberang sungai atau mendaki tebing terjal, dan segala pekerjaan tetek-bengek lainnya. Umumnya mereka masih muda dan [...]

February 27, 2014 // 1 Comment

Selimut Debu 88: Belajar Membaca

”Lima ratus Afghani!” kata sopir beserban yang baru saja datang dengan truk barangnya. Ia datang dari Herat menuju Cheghcheran di timur. Semula aku bersorak gembira ketika akhirnya debu mengepul dari arah barat dan truk besar ini singgah di restoran Kakek Iqbal. Itu harga yang terlalu mahal. Kakek Iqbal ikut marah. ”Jangan zalim! Dia ini tamu di negara kita. Mana boleh kamu menarik ongkos begitu mahal dengan truk bobrokmu itu?” “Truk ini sudah penuh,” sanggahnya, ”Tidak ada lagi tempat buat penumpang. Lihat sendiri, ada dua perempuan yang duduk di badan mobil. Kalau mau sih orang asing ini bisa duduk di bagian truk terbuka dengan barang-barang.” Aku tak keberatan. Kakek Iqbal membantu menawar sampai 150 Afghani. Sudah dua hari aku menunggu kendaraan lewat di Chisht, yang kuinginkan sekarang cuma cepat-cepat meninggalkan desa ini dan melanjutkan perjalanan. ”Kalau begitu, besok pagi kau harus siap jam delapan. Kita berangkat,” kata sopir. Sopir ini membawa konvoi tiga truk. Semuanya penuh barang yang berkarung-karung. Bersama konvoi ini sudah ada belasan orang yang ikut menumpang ke arah barat. Di jalur tengah Afghanistan, di mana tak ada jalan raya dan angkutan umum sangat mahal, truk adalah satu-satunya pilihan bagi kebanyakan orang. Malam hari, Kakek Iqbal menikmati panen. Dengan [...]

February 26, 2014 // 1 Comment

Selimut Debu 87: Petualangan Legendaris

Sekitar lima ratus tahun lalu, perjalanan yang kulalui ini adalah petualangan akbar dan legendaris dari seorang raja besar. Raja Babur adalah pendiri Dinasti Moghul, yang meninggalkan bangunan megah di Taj Mahal di India. Babur berasal dari daerah yang sekarang wilayah Uzbekistan, dikejar-kejar dan mau dibunuh sehingga lari ke Afghanistan. Di negeri ini, petualangannya dimulai dari Herat, tempat ia mencari perlindungan pada Sultan Baiqara. Herat kala itu sudah menjadi pusat peradaban, seperti halnya Bukhara dan Samarqand. Masjid agungnya bersinar, perdagangannya maju, dan militernya kuat. Tetapi Babur tak betah tinggal di kalangan keluarga istana yang penuh intrik politik. Bersama para pengikutnya yang setia, ia berangkat menuju ke Kabul. Ia tak memilih jalan lewat Kandahar yang lebih mudah. Ia justru memilih jalur Lintas Tengah Afghanistan, menembus pegunungan Ghor dan Bamiyan. Tapi ini malah menjadi perjalanan yang paling mematikan dalam hidup Babur. Aku pun akan melalui lintasan yang kira-kira sama dengan yang diambil Raja Babur. Abad milenium tentunya jauh berbeda dari abad pertengahan. Namun satu fakta yang tidak berubah, jalan ini tetap sulit dilewati, diperuntukkan hanya bagi mereka yang punya keteguhan baja dan tahan banting. Seorang kakek tua dengan sekarung gembolan di pundak, mirip Sinterklas, duduk di sampingku di dalam bus berkarat. Jenggotnya pun [...]

February 25, 2014 // 4 Comments

Selimut Debu 86: Hari Massoud

Orang mengingatkanku untuk selalu berhati-hati dengan perbatasan Iran dengan Afghanistan, karena pemeriksaan bisa sangat panjang. Ya, Iran selalu khawatir dengan tetangganya yang lucu ini, yang selalu dicurigai sebagai pemasok opium dan pengungsi. Tapi tidak demikian dengan sebaliknya bukan? Aku rasa, karena aku menyeberang dari Iran ke Afghanistan, seharusnya semua berjalan lancar. Benar saja. Semua lancar. Malah terlalu lancar. Aku tidak pernah melihat imigrasi perbatasan yang selonggar imigrasi Afghanistan ini. Aku sudah menyodorkan pasporku tepat di halaman visa, sehingga si petugas Afghan tinggal mengecap. Petugas itu langsung mengecap, tanpa menghabiskan sedetik pun untuk melihat visa itu, melihat halaman depannya, atau bahkan untuk melihat wajahku. Tanpa registrasi, tanpa wawancara, tanpa rewel. Proses imigrasi hanya memakan waktu 3 detik. Ini adalah proses yang paling cepat dan efisien yang kualami. Dan berita gembira lainnya, tidak ada pula pemeriksaan barang di bea cukai. Datang dari Iran, kita semua dianggap sebagai makhluk tak berdosa. Meninggalkan gerbang perbatasan Islam Qala, aku seperti masuk ke mesin waktu lagi, meloncati dimensi waktu dan mundur ke masa lalu, dari modernitas kembali ke realita negeri berselimut debu. Debu, dalam artian harfiah, lekat dengan kehidupan penduduk Herat. Di bagian timur kota ini, hingga ke perbatasan Iran, terbentang gurun pasir luas. Selama 120 [...]

February 24, 2014 // 0 Comments

Selimut Debu 82: Beringas

Eksodus. Orang-orang Afghan ini seperti kesetanan, begitu buru-buru hendak meninggalkan negerinya sendiri, menuju Iran di balik gerbang sana. Aku tercekat melihat barisan panjang ini. Barisan pria-pria berjubah shalwar qamiz menenteng barang bawaan berkarung-karung. Mereka marah, berteriak penuh emosi, seakan semakin keras berteriak dan semakin garang kepalan tangannya akan semakin cepat mereka sampai ke pos pemeriksaan paspor. Aku melangkah gontai masuk ke barisan. Melihat bahwa panjang barisan ini sudah lima puluh meter dan nyaris tak bergerak maju, entah sampai kapan kami akan menginjakkan kaki di Iran. Matahari panas menyengat. Keringat mengucur deras. Orang-orang mengomel karena tidak efisiennya pos imigrasi Afghan. Sebenarnya kalau bukan karena lusinan polisi Afghan berseragam hijau abu-abu yang berkeliling dengan pentungan, pasti sudah sejak tadi para pelintas batas ini akan menyerbu loket imigrasi dengan beringas. Tiba-tiba ada tangan besar mencengkeramku keluar dari barisan. ”Khareji! Orang asing!” Polisi menggeretku ke arah polisi yang menjaga pintu kantor imigrasi. Sebagai orang asing, ternyata ada fasilitas yang boleh kunikmati dan harus kusyukuri: aku bisa langsung memotong antrean panjang warga Afghan. Untuk menyeberang ke Iran, warga Afghan harus melewati banyak pemeriksaan. Barang mereka digeledah dengan teliti. Opium termasuk komoditi yang sering diselundupkan lewat perbatasan ini. Tak heran, dengan lebih dari seribu orang pelintas [...]

February 18, 2014 // 2 Comments

Selimut Debu 81: Visa Iran

Besok adalah hari kemerdekaan Indonesia, dan dari Herat sini kedutaan Indonesia yang paling dekat adalah di Teheran. Aku sungguh ingin melewatkan Agustusan tahun ini dengan teman-teman sebangsa. Mungkin karena hidup terlalu lama di jalan membuat rasa kebangsaanku sekarang jadi menggebu-gebu. Teheran terletak di Iran. Itu sudah negara lain. Menurut informasi terbaru, Iran sudah memberikan fasilitas bebas visa untuk WNI yang berkunjung kurang dari dua minggu. Tapi kedutaan dan konsulat Iran memberikan informasi yang saling berlawanan tentang hal ini. Konsulat Iran di Peshawar, Pakistan mengatakan bahwa fasilitas bebas visa berlaku untuk semua perbatasan darat. Sedangkan kedutaan di Tashkent juga setuju, namun katanya cuma untuk satu minggu. Sedangkan kedutaan Iran di Jakarta tidak pasti tentang perbatasan darat dan menganjurkan aku untuk terbang ke Iran. Sedangkan kedutaan Iran di Kabul mengatakan aku memerlukan visa untuk berkunjung ke Iran dalam keadaan apa pun. Semakin bertanya, justru aku semakin pusing. Konsulat Iran di Herat sudah penuh dengan ratusan pemohon visa yang berbaris mengular sampai 200 meter, bahkan pada pukul 8 ketika aku datang. Katanya orang Afghan sudah mulai mengantre sejak pukul 4, padahal konsulat baru buka pukul 7. Sepertinya tidak ada kesempatan untukku jika aku mengantre sekarang. Bisa sampai di Teheran besok? Lupakan saja! Untunglah [...]

February 17, 2014 // 2 Comments

Selimut Debu 80: Malaria?

Aku masih belum sepenuhnya sadar ketika terduduk dalam Falang Coach tua menuju Herat. Aku masih seperti orang mabuk yang separuh memejamkan mata. Pengalaman traumatis dengan bachabazi masih menghantui pikiran. Begitu Falang Coach ini menggetarkan mesinnya, sudah tak mungkin lagi aku tidur. Delapan belas penumpang dijejalkan ke dalam mobil butut ini. Bangkunya rendah, tak mungkin menyandarkan kepala ke belakang. Ke samping kiri tak mungkin, ada penumpang. Ke jendela di kanan tak mungkin, karena tepat setinggi pipiku teronggok sebatang besi panjang melintang. Ditambah lagi dua buah paku berujung bundar di dinding mobil, tingginya pas dengan pelipis. Siapa sih yang pasang paku di tempat seperti ini? Kepalaku sampai benjol dan berdenyut karena empat kali ditempeleng besi, dua kali ditabok paku. Pegunungan tandus, jalan bergerunjal, dan bukit pasir, sudah menjadi rutinitas dalam monotonnya perjalanan di barat laut Afghanistan. Penderitaan ditambah lagi dengan pos pemeriksaan yang tidak ada habisnya. Setiap satu jam perjalanan, mobil kami dihentikan polisi. Semua penumpang disuruh turun, diperiksa bawaannya, diraba-raba badannya, sama sekali tidak asyik. Aku ragu apakah pos-pos ini efektif. Di satu pos, polisi begitu sibuk memeriksa plat nomor mobil dengan obeng, takut kalau ada opium yang disembunyikan di baliknya. Tetapi setelah itu ia kehabisan energi untuk memeriksa tumpukan karung [...]

February 14, 2014 // 0 Comments

Kabul – Welcome to Ariana Flight

The boarding room of Kabul International Airport. Everybody is ready to fly … The first encounter with Ariana – the Afghan national carrier – is not always thrilling. It might be a unique experience from the Afghan land. In last several months I have been working as a consultant for UN. This, more or less, has changed my preference in traveling. Probably I got spoiled already with those amenities, facilities, and luxuries. Today, the first day of me turning back to be a backpacker again, I feel a sudden shock. Usually I prefer to take overland trip, but this time, on my way going to Iran for a short holiday to change the routine in Kabul, I chose to fly Ariana. The Kabul – Herat’s 1000 kilometer distance can be reached through three different routes. The northern route, through Mazar-e-Sharif, takes at least four days, killing unpaved road full of dust of the desert Dasht-e-Laila at the end of its leg. I have experienced this in 2006 and am not so keen to try again. The second option is the Central Route, through Bamiyan, Ghour, and Heart provinces. Most of the roads are unpaved, hitchhiking is required, and in my [...]

June 9, 2008 // 3 Comments

Herat – Massoud Day

Everybody is talking about Massoud “Massoud is our hero. He is, of course, Musliman!” – a Herati man Five years ago, just two days before the September 11 incident, the Afghan great leader, Ahmad Shah Massoud, was murdered. It was suicide bombers posing as a journalist and a photographer pretended to interview Massoud and then blasted themselves. Since then, the security officers in Afghanistan became very touchy with cameras. All TV stations in Afghanistan during these days played documentaries about Massoud, mostly made by French filmmakers. It was interesting to see how the image of Massoud among Afghan different ethnics. Massoud was a Tajik, and for the Tajiks he was a great hero. The Uzbeks in a Maimana restaurant in Herat were also enthusiastic when follwing documentary programs about life of the great hero in TV. Some of them even cried exactly on the part when Massoud was murdered and Massoud’s brother was recounting the tragedy. For the Pashtuns, some of them liked and some disliked Massoud. Almost all of Hazara didn’t like him. Massoud once had did slaughtering action on this Mongoloid minority. Being Muslim is vital sign of goodness How about people in Herat? Herat is located at [...]

September 9, 2006 // 0 Comments

Herat – Back to Afghanistan Again

From Mashhad … After being 3 weeks in Iran, virtually doing nothing, now I am back into my life, traveling around, in Afghanistan again. I started quite early from a neighbourhood near the Holy Shrine of Imam Reza in Mashhad. When I was asking for direction for taking the bus, I was helped by a man from Tehran who was doing business in Jakarta and Bandung. He praised Jakarta to be a modern city and Bandung to be interesting traditional town (?). I took the direct bus from Mashhad to Herat. It was 60,000 Real. I was warned by my friend not to take the international bus, despite of the cheap price, due to the massive check from the Iranian officials toward the Afghans. It was the case coming to Iran from Afghanistan, as Iran worried about smuggling of drugs from their cute neighbor. I thought it should not be the case for the opposite way, as Afghanistan usually doesnt worry of anything coming to their country, and as today was Friday, there should be not many people lingering around the border. It was indeed a straightforward process. The luxurious Volvo AC bus only had 10 passengers, all Afghans but [...]

September 8, 2006 // 4 Comments

Tehran – Indonesian National Day

The border to Iran The Afghan-Iran border is a busy but very strict border, both on Afghan and Iranian side. The border is about 120 km away from Herat, can be reached by bus, Falancoach, or Volvo. I was in rush to go to Iran right after getting the Iranian visa, and I took the luxurious Volvo to go to Islam Qala, the border. The Afghans had to queue very long outside the immigration office. There were hundreds of people crossing the border, but they still had to pass many checks before being able to go to the ‘outside world’. I also queued. The people grumbled about how hot the weather was. Suddenly a soldier grabbed me from the queue, and put me directly to the gate. “Khareji! (foreigner!)” he said to his colleagues. In fact foreigners didnt need to queue together with the Afghan nationals outside the immigration hall. They were queuing for a slip for luggage search. I was not given the slip and was asked to go directly to the passport stamp window. “Get to line! Get to line!” screamed the Afghan border crossers when I went directly to the gate to get my passport stamped. They [...]

August 17, 2006 // 2 Comments

Herat – Iranian Visa

Iranian visa applicants “Come again at 11” – Visa officer Tomorrow is the national day of Indonesia, and from here, Herat, the closest Indonesian embassy is in Tehran. I do really wish to spend this year’s national day in an embassy with fellow Indonesians. Somehow the feeling of nationality arouses tremendously after long period of traveling, and “Agustusan” – our national day which is on August 17, doesn’t only mean Indonesian food party with fellow countrymen. I miss the ceremony, something I used to condemn as nationalism propaganda when I was in high school. Anyway, I have to be in the Indonesian embassy at this national day. Tehran is in Iran, it’s another country. According to the recent news, Iran is a visa free country for Indonesian passport holders for 2 weeks. But Iranian embassies and consulates say different things about it. The consulate in Peshawar said that the visa free agreement was valid for all land borders, the embassy in Tashkent (thanks to Indonesian embassy in Uzbekistan for the enquiry) agreed about it, but they said it would be only for a week. Iran embassy in Jakarta (thanks to Maria Asten for successfully enquiring the always-seem-to-be-busy phone numbers) was [...]

August 16, 2006 // 3 Comments

Herat – The Journey to Herat

Traveling in Afghanistan is painful. I felt almost died when arrived here. “You got malaria” – a man from Maimana As everywhere in Afghanistan, long distance journey from Maimana starts as early as 4. I was completely exhausted after the long bus journey from Mazhar the day before, and it was a terrifying night in Massoud’s guest room that I couldn’t rest properly. I was not ready at all to do this 2-day-journey to Heart, but Massoud, probably disappointed of not being able to get me, rushed me out of his house as early as 3:30. I walked like a drunk. The only vehicle going to Herat was only Falancoach type, a minibus where passengers are stuffed like tinned sardine and there is no way to stretch the body for relaxing. I know the journey would be very painful. The cars to Herat depart from Darvaza-e-Herat (Herat Gate) quite out of the town. They were ready at 4 but the cars got full at 5. When I arrived I immediately chose a window seat and sleep, after paying the fare of 1000 Af (20$) – quite uncommon as in Afghansitan usually fare is paid after the ride. Later to my [...]

August 15, 2006 // 0 Comments