Recommended

ibukota

Papua Nugini (1) Ketika Era Prasejarah Bertemu Globalisasi : Bahaya di Ibukota

Draft artikel menengai Papua Nugini untuk majalah Traveler 旅行家, China.   Papua Nugini sering digambarkan sebagai negeri primitif yang dihuni suku-suku terisolasi dari zaman prasejarah. Nama negeri itu senantiasa membangkitkan imajinasi tentang taman liar yang dipenuhi burung-burung surga, sebuah dunia lain yang begitu jauh dari dunia kita. Hanya beberapa puluh tahun lalu, di negeri ini memang masih banyak lelaki dengan labu penutup penis dan perempuan bertelanjang dada, atau suku-suku pemuja arwah, penyihir, bahkan pemburu kepala manusia di pedalaman hutan rimba. Kini globalisasi telah merambah, kehidupan Papua Nugini sudah se-“normal” dunia kita. Walaupun, harus diakui, belum sepenuhnya begitu. Bahaya di Ibukota Dilihat dari angkasa, Port Moresby bagai barisan perbukitan hijau bergulung-gulung di tepi laut, ditebari rumah-rumah penduduk membentuk mozaik warna-warni. Perbukitan itu berhadapan langsung dengan biru kristal Lautan Teduh yang membentang luas tak berbatas. Sulit memercayai kota secantik ini termasuk kota paling tidak layak huni di dunia. Di antara kota-kota tak layak huni lainnya, ada Lagos dengan kekacauan konfliknya, Bogota dengan mafia narkotikanya, Karachi dengan kriminalitas dan terorismenya. Tapi tidak ada kota lain di dunia yang serupa Port Moresby. Metropolitan Pasifik Selatan ini justru sekilas kelihatan ceria. Jalanannya bersih dan hijau bagai taman, dihiasi monumen merayakan burung surga dan mural warna-warni. [...]

February 5, 2016 // 6 Comments

Titik Nol 140: Kota Modern

Kota Islamabad yang modern (AGUSTINUS WIBOWO) “Yang istimewa dari Islamabad adalah,” kata Syed Khalid Raza, pemuda Islamabad, “ibu kota ini terletak sepuluh kilometer jauhnya dari Pakistan.” Berada di Islamabad, kita seakan sudah bukan lagi berada di Pakistan. Lupakan hiruk pikuknya Rawalpindi, benteng dan masjid kuno Lahore, gang sempit yang meliuk-liuk di tengah bazaar Anarkali, atau kereta keledai yang hilir mudik di jalanan kota Pakistan. Di sini bukannya tempat jalan bolong-bolong dan genangan air hitam berbau busuk, bukan pula tempat asap hitam kendaraan bermotor mengotori udara. Selamat datang di sebuah kota masa depan Pakistan, di mana gedung tinggi menjulang sepanjang jalan raya yang mulus, lurus dan lebar, di mana mobil mewah berseliweran, dan rakyat Pakistan meletakkan kebanggaannya. Sebelum tahun 1960, Islamabad bukan apa-apa. Ibu kota Pakistan sejak negeri ini terpisah dari India pada tahun 1947 adalah Karachi. Kota Karachi, jauh di ujung  propinsi Sindh di selatan, di tepi Laut Arab, dianggap kurang strategis letaknya. Presiden Ayub Khan kemudian memindahkan ibu kota ke Rawalpindi pada tahun 1958 lalu pindah lagi ke Islamabad dua tahun kemudian. Ibu kota ini sepuluh kilometer jauhnya dari Pakistan, demikian gurauan penghuni Islamabad. Walaupun jaraknya hanya beberapa kilometer dari Rawalpindi – kota terdekat dan dinyatakan sebagai sister city [...]

March 6, 2015 // 0 Comments

Garis Batas 61: Pancaran Sinar Lazuardi

Reruntuhan Masjid Bibi Khanym (AGUSTINUS WIBOWO) Ratusan tahun lalu, kota ini pernah menjadi pusat dunia. Di sinilah segala macam bangunan raksasa, mercu suar peradaban dunia, berdiri dengan segala keanggunannya. Puing-puing reruntuhan Masjid Bibi Khanym, yang pada zamannya pernah menjadi bangunan tertinggi di dunia, dibangun oleh sang Raja Amir Timur sebagai lambang cintanya untuk permaisuri tersayang dari negeri Tiongkok, masih menggambarkan kebesaran dan kejayaan negeri ini. Belum lagi barisan kuburan indah di kota makam bernama Shakhr-i-Zinda, yang diperuntukkan bagi Sang Raja Hidup yang membawa cahaya Islam ke tengah padang Asia Tengah. Bait-bait puisi mengalir bak air bah, di bawah kegagahan gedung-gedung kuno. Bintang, planet, galaksi ditemukan dari teropong panjang milik Ulughbek. Barisan karavan para saudagar tak pernah berhenti singgah di kota yang semakin hiruk pikuk oleh berbagai aktivitas perdagangan. Sinar lazuardi tak pernah berhenti memancar dari keagungan Samarkand. Samarkand memang tak pernah mati. Samarkand sekarang adalah ibu kota Samarkand Viloyati atau Provinsi Samarkand, kota terbesar kedua di Uzbekistan dengan jumlah penduduk hampir setengah juta jiwa. Musim panasnya menyengat, musim dinginnya bermandi salju. Tetapi nama Samarkand, yang senantiasa hidup dalam angan mimpi dan fantasi, adalah sebuah Samarkand yang dipenuhi alunan musik padang pasir, membahana memuja kemajuan peradaban. Zaman terus berputar. Gedung-gedung raksasa [...]

September 6, 2013 // 1 Comment

Garis Batas 40: Kazakhstan Memanggil

Stasiun kereta api Karaganda (AGUSTINUS WIBOWO) Negeri luas ini sedang bergelimang kemakmuran. Penghasilan luar biasa dari produksi minyak ratusan ribu barel per hari membuat apa yang dulu tak mungkin sekarang menjadi mungkin. Sebuah ibu kota baru dibangun di tengah padang kosong. Ribuan orang asing berdatangan, mencoba mencicipi kue yang ditawarkan Kazakhstan.  Saya termasuk dalam ratusan orang yang berdesak-desakan masuk ke gerbong kereta api di stasiun Almaty II sore itu, ketika langit biru bersih akhirnya menghiasi angkasa setelah hampir seminggu kota ini dirundung mendung dan siraman salju. Tujuan saya adalah Astana, ibu kota baru Kazakhstan, sebuah kemewahan yang dibangun di tengah padang kosong. Perjalanan selama 20 jam dari Almaty menyajikan pemandangan yang membosankan. Yang tampak dari jendela hanyalah tanah datar, padang rumput yang membentang tanpa batas. Di musim dingin ini, sejauh mata memandang, yang terlihat hanya warna putih dan kelabu. Padang luas itu berubah menjadi lapisan salju tebal. Cerahnya Almaty kemarin telah berubah menjadi mendung yang muram hari ini. Saya duduk satu kompartemen dengan dua orang pria dari China dan seorang wanita Kazakh. Kedua pria China ini etnis Mongolia, dan salah satunya malah sudah punya paspor Kazakhstan.             “Sekarang bikin paspor Kazakhstan sangat mudah,” kata Ye Shunde, pria 40 [...]

August 8, 2013 // 1 Comment

Garis Batas 24: Cita Rasa Osh

Restoran Laghman Uyghur (AGUSTINUS WIBOWO) Osh, kota terbesar kedua di Kyrgyzstan, adalah sebuah kejutan luar biasa setelah mengalami beratnya hidup di GBAO-nya Tajikistan. Kota ini, walaupun dikelilingi gunung-gunung, suhunya sangat hangat. Osh adalah kota dalam definisi yang sebenarnya, dengan hiruk pikuk manusia dan segala kesibukannya. Bukan kota-kota di GBAO macam Khorog dan Murghab yang hanya menyimpan kisah sedih pegunungan terpencil. Arus mobil dan bus kota berseliweran tanpa henti. Jalanan pasar penuh sesak oleh orang-orang yang berbelanja. Gedung-gedung tinggi berbentuk balok berbaris sepanjang jalan. Penduduk Osh adalah percampuran berbagai suku bangsa. Ada orang Kyrgyz yang berwajah Mongoloid. Ada orang Uzbek yang berwajah keturki-turkian. Ada gadis-gadis Korea yang berpakaian modis. Banyak juga orang Rusia dan Tatar yang berkulit putih pucat. Dering ringtone telepon seluler seakan tak pernah putus di tengah riuh rendahnya pasar kota Osh. Tetapi kejutan yang paling menggembirakan setelah meninggalkan GBAO adalah, saya tidak akan pernah kelaparan di Osh. Dalam bahasa Tajik, Osh memang berarti makanan. Apakah memang ada hubungan antara kata ini dengan melimpahnya makanan lezat di Osh? Duduk di atas dipan, sambil menghirup panasnya secangkir teh hitam dan menyaksikan mengalirnya sang waktu adalah kebiasaan kakek-kakek Uzbek dan Kyrgyz melewatkan hari mereka di Osh. Sambusa, pastel kecil berbentuk segitiga [...]

July 17, 2013 // 0 Comments