Recommended

impian

Selimut Debu 40: Afghan Tourism

Pariwisata ala Afghan (AGUSTINUS WIBOWO) Nama “Afghanistan” dan kata “turisme” sepertinya memang bukan pasangan serasi. Yang satu tentang kemelut perang, yang satu tentang piknik suka-suka. Tapi toh kedua kata itu bertemu di papan gedung tua Afghan Tourism Office (ATO) di pinggiran rongsokan bangkai pesawat di jalan menuju bandara (peringatan seram buat siapa pun yang mau terbang dari bandara ini!). Hasilnya adalah sebuah pengalaman turisme yang khas Afghanistan. Hari kedua mengurus surat di Kementerian Informasi dan Kebudayaan ternyata berlangsung mulus-lus. Wakil Menteri kebetulan ada di kantornya. Dia mewawancaraiku, menanyakan tentang apa yang kulakukan di Kabul, di mana aku tinggal, kemudian menandatangani suratku, dan memintaku pergi langsung ke kantor ATO. Masalahnya, tidak banyak sopir taksi yang sungguh tahu di mana itu kantor dinas pariwisata negeri Afghan. “Memangnya ada kantor seperti itu?” beberapa dari mereka bertanya. “Turis atau teroris?” tanya yang lain. Kedua kata serapan bahasa asing ini memang masih sulit diucapkan oleh lidah Afghan, tapi memang bisa saja turis menyambi jadi teroris, atau teroris menyamar jadi turis. Aku memilih naik kendaraan umum, yang harganya cukup murah, 10 afghani. Bus berhenti tepat di bandara, yang ternyata masih cukup jauh dari kantor ATO. Kantor yang dimaksud adalah bangunan tua, suram, gelap tanpa lampu, bolong-bolong [...]

December 20, 2013 // 1 Comment

Selimut Debu 39: Impian Menuju Wakhan

Awal perjalanan menuju Koridor Wakhan (AGUSTINUS WIBOWO) Live must go on. Perjalanan ini harus dilanjutkan, terlepas dari insiden hilangnya duitku di Bamiyan yang telah cukup untuk memperlambat langkahku dan membuatku membatalkan semua rencana yang pernah kubuat. Berkat membaca buku yang dipinjami Maulana di KBRI, aku jadi ingin menjelajahi Afghanistan, sampai ke sudut-sudut terjauhnya, terutama “lidah panjang” yang menjulur di sudut timur laut Afghanistan, yang memisahkan Pakistan dari Tajikistan. Koridor Wakhan masih merupakan daerah yang liar, tidak tereksplorasi, daerah terpencil di negeri terpencil Afghanistan. Daerah ini juga sensitif, menjadi batas banyak negara. Koridor Wakhan juga terisolasi total dari dunia luar di musim dingin (bahkan di awal musim semi dan akhir musim gugur) karena kondisi alamnya yang ganas, dan bahkan kelihatannya terkunci waktu, terlupakan sejarah. Mungkin udara yang ada di sana masih sama dengan udara ratusan tahun lalu. Tidak ada listrik, bahkan tidak ada generator dan baterai. Apalah artinya listrik bagi kaum penggembala nomaden Mongoloid yang mendiami padang Asia Tengah di abad ke-13? Realita itu masih tetap sama di Koridor Wakhan, hingga hari ini. Aku sudah mengumpulkan sejumlah informasi dari internet mengenai cara pergi ke sana. Pertama-tama yang kubutuhkan adalah selembar surat izin, yang diberikan oleh pejabat di Ishkashim, kota terdekat dari [...]

December 19, 2013 // 2 Comments

Selimut Debu 1: Sebuah Kisah Cinta

Impian tentang lembah hijau di negeri perang (AGUSTINUS WIBOWO) Sayup-sayup dia berbisik memanggil dan menyapa, dengan suara yang lemah, lembut, namun dalam, dari balik cadar birunya. Sebuah suara yang menggetarkan hati siapa pun yang mendengarnya. Aku tahu pasti, ada sepasang mata besar yang indah yang tersembunyi di balik sana, menatap tajam penuh pengharapan. Ada seraut wajah putih berhiaskan dandanan cantik, terselubung dalam cadar biru yang kelam. Dan aku berbisik padanya,“Izinkanlah aku menyingkap cadarmu …” Kisah cintaku dengannya di tengah kengerian perang sebenarnya dimulai dari sebuah mimpi. Tentang sepasang mata. Tentang ekspresi misterius di balik cadar pekat. Tentang suara lembut di lembah hijau yang dikelilingi kegersangan padang membentang. Mimpi itulah yang membawaku berjalan ribuan kilometer, untuk menemukan rahasianya, menikmati kecantikan wajahnya, ikut merasakan air matanya yang mengalir di kedua belah pipinya. Saat itu aku masih seorang pelajar di sebuah universitas ternama di kota Beijing. Kengerian baru melanda seluruh negeri. Penyakit misterius merebak, orang-orang meninggal begitu saja. Setiap hari televisi sibuk menyiarkan, berapa kasus tertular, berapa kasus tewas. Kita bahkan tak berani menghirup udara, karena virus-virus penyebar penyakit berbahaya itu bisa saja tiba-tiba hinggap di tubuh, membunuh tanpa ba-bi-bu. Siapa yang tidak takut mati? Virus yang tak sampai sepersejuta meter itu membuat [...]

October 28, 2013 // 8 Comments

Garis Batas 82: Utopistan

Dua dunia (AGUSTINUS WIBOWO) Mendung bergelayut di langit Ashgabat. Hujan turun rintik-rintik. Perumahan kuno tempat saya tinggal sudah menjadi lautan lumpur. Tempat ini tepat berada di belakang gedung-gedung marmer pencakar langit yang dibangun oleh Turkmenbashi, dengan cita rasa yang penuh tanda tanya. Hanya menyeberang gang ke jalan utama, meninggalkan kumuhnya rumah-rumah kuno, saya sudah kembali ke dunia Turkmenistan yang dibangun oleh Turkmenbashi. Dalam bahasa Turkmen, Turkmenbashi artinya ‘Pemimpin orang Turkmen’. Mirip-mirip gelar Kemal Ataturk, sang pembaharu Turki, yang artinya ‘Bapa orang Turki’. Di negeri ini, itulah nama yang tidak boleh kita lupakan, karena dialah seluruh roh dan jiwa Turkmenistan, pembawa pencerahan dan pembaharuan ke seluruh penjuru negeri dan dunia. Wajah Saparmurat Turkmenbashi, presiden agung yang baru saja meninggal, menghiasi setiap sudut jalan Ashgabat. Gedung-gedung kementrian selalu punya patung emasnya. Siluet wajahnya mengawali setiap slogan dan pesan pemerintah. Semua saluran televisi juga pasti memasang gambar sang Bapa Agung. Belum cukup. Desa, kota, pelabuhan, jalan, bandara, semuanya diganti dengan nama beliau, nama orang tua beliau, juga konsep-konsep agung beliau. Kota pelabuhan Krasnodovsk di pinggir Laut Kaspia sekarang bernama Turkmenbashi. Kota perbatasan Charjou sekarang berjudul Turkmenabat. Kota kecil Kerki sudah menjadi Atamurat, nama ayah Turkmenbashi. Ibundanya, Gurbansoltan Eje, sekarang [...]

October 7, 2013 // 4 Comments