Recommended

Islam

Titik Nol 181: Kota Panas dan Debu

Panas menyelubungi seluruh Multan (AGUSTINUS WIBOWO) Kota ini tersohor karena empat g – garam (panas), gard (debu), garra (pengemis) dan goristan (kuburan). Dua ‘g’ yang pertama sudah cukup membuat saya terkapar di dalam kamar losmen yang pengap. Meninggalkan nyamannya kota Lahore sungguh berat. Saya terpaksa berpisah dengan nikmatnya malam di pasar makanan Anarkali, diskusi politik dan agama dengan kawan-kawan dari Universitas Punjab, musik qawwali di kuburan Sufi, petualangan di lorong sempit dan gelap kota kuno. Visa Pakistan saya sudah hampir habis lagi, dan masih banyak sisi lain negeri ini yang ingin saya tengok. Bagaikan film India ketika saya mengucap salam perpisahan dengan kawan-kawan Lahori. Saya sengaja memilih bus yang berangkat tengah malam dengan perhitungan sampai  Multan tepat ketika pagi dimulai, untuk mengirit biaya penginapan. Tetapi Asad tak sampai hati melihat saya berangkat malam-malam begini. Mahasiswa berbadan kurus itu bersikukuh untuk mengantar saya sampai ke terminal bus, walaupun harus menanggung resiko ditempeleng bapaknya yang pasti akan marah kalau ia pulang terlambat. Ia membantu saya mencegat bus kota. Asad bahkan mau membawakan tas ransel di punggung saya, tetapi saya tak sampai hati menambah bebannya. Hasilnya sungguh tak terduga. Asad malah diomeli penumpang lainnya. “Mengapa kamu tidak bawakan tasnya yang berat itu? Dia [...]

May 4, 2015 // 0 Comments

Titik Nol 180: Heera Mandi (2)

Kota tua Lahore dengan gang-gang kecil yang bak rumah sesat menyimpan banyak kejutan. Salah satunya, Heera Mandi (AGUSTINUS WIBOWO) Saya terjebak di Heera Mandi, kompleks prostitusi terbesar di Pakistan. Kamar ini berukuran cuma 2 x 3 meter. Dindingnya dicat biru. Foto-foto keluarga bergantungan di dinding. Ada pintu menuju dapur di ruangan sebelah. Di belakang saya duduk ada tangga. Melalui tangga inilah Jawad naik dan sudah lima menit tak turun juga. Ibu tua tak banyak bicara. Saya berbasa-basi sedikit, yang dijawab hanya dengan senyuman. Mengapa ibu ini tidur tak menutup pintu rumah? Mungkin karena hawa yang panas, saya mencoba berpikir positif. Jawad turun. Ia minta izin pada ibu itu untuk membawa saya naik. “Ini turis yang ingin melihat-lihat atap rumah,” katanya dalam bahasa Urdu. Kebohongannya mulai terbongkar. “Ini bukan rumahku,” bisiknya, “dan perempuan itu bukan ibuku. Sekarang, ayo kamu naik.” Ia memaksa. Tangga ini mengantar kami ke lantai dua, sebuah ruangan yang sama persis ukurannya dengan yang di bawah tadi. Selain televisi dan foto-foto keluarga di tembok, tak ada apa-apa lagi. Tak ada siapa-siapa. Kami terus naik tangga sampai ke atap rumah. Rumah ini berbentuk kotak sederhana. Atapnya datar. Ada sebuah charpoy di salah satu sudutnya. Charpoy adalah kasur di India [...]

May 1, 2015 // 1 Comment

Titik Nol 179: Heera Mandi (1)

Masjid Badshahi di senja hari (AGUSTINUS WIBOWO) “Larki-marki dekhaun? Mau aku kasih liat koleksi cewek?” seorang pria berjubah shalwar kamiz yang tidak saya kenal berbisik ketika saya menyusuri gang-gang ruwet di kota kuno Lahore. Kemegahan Masjid Badshahi, masjid terbesar dari Dinasti Mughal, adalah kebanggaan Lahore dan Pakistan. Tetapi, bayang-bayang masjid ini menaungi daerah prostitusi paling tersohor di negeri ini, bahkan namanya hingga ke negara-negara tetangga. Siapa yang tak tahu nama Heera Mandi (baca: Hira Mandi)? Ratusan tahun lalu, ratusan gadis penari molek ditambah kaum hijra (penari transeksual) meliuk-liukkan badannya menggoda iman di malam yang gelap. Kini, di kota modern Lahore di bawah kibaran bendera Republik Islam Pakistan, gadis-gadis masih menawarkan hiburan malam, namun tersembunyi di balik tembok tebal. Siang hari, barisan rumah di ruwetnya gang Heera Mandi tak nampak istimewa. Hanya rumah-rumah kuno dari zaman negeri dongeng seribu satu malam. Ada pasar kuno yang ribut, para pria yang semuanya mengenakan ‘seragam’ shalwar kamiz, dan para perempuan yang dibalut purdah hitam pekat. “Tidak mahal,” kata lelaki berkumis itu masih penuh semangat, “hanya 300 Rupee saja.” Di siang hari pun, walaupun tidak semarak malam, transaksi masih terus perjalan. “Mujhe dilcaspi nehin. Saya tidak tertarik,” saya bergegas pergi menuju masjid. Matahari memanggang Lahore [...]

April 30, 2015 // 0 Comments

Titik Nol 177: Simetris

Bendera India dan Pakistan turun bersama-sama (AGUSTINUS WIBOWO) Bukalah peta dunia. Tengoklah bagaimana bumi kita dibagi-bagi menjadi bidang berwarna-warni, dibatasi oleh garis hitam tebal yang dijuduli garis batas negara. Di atas peta garis-garis ini hanya coretan yang membatasi warna bidang negara. Di atas bumi yang sesungguhnya, garis ini memisahkan takdir dan jalan hidup manusia-manusia yang hidup di kedua sisinya. Empat bulan yang lalu, saya memandangi perbatasan ini di India, larut dalam ingar-bingar gelora nasionalisme ribuan pesorak. Setiap sore, perbatasan ini menjadi ajang persaingan semangat kebangsaan ketika bendera kedua negara diturunkan dan pintu gerbang pembatas ditutup rapat. Sekarang, saya berada di perbatasan ini lagi, bersama para pendukung Pakistan. Yang saya rasakan – sepi. Panasnya matahari Punjab membuat debu jalanan lengket di atas kulit yang bersimbah peluh. Saya melangkah dengan bangga dalam balutan shalwar dan kamiz yang sudah lusuh tak pernah dicuci. Pintu gerbang Pakistan berwarna hijau dengan bertahta bulan sabit dan bintang berwarna putih, seperti lambang benderanya. Di seberang batas, nampak orang India melimpah ruah di podium besar di sisi utara dan selatan. Lautan manusia dengan berwarna-warni pakaian membentuk mozaik yang indah, membludak mengisi setiap jengkal ruang.. Bendera India berkibar-kibar di antara kerumunan orang itu. Ada band musik, tentara berseragam, bocah-bocah [...]

April 28, 2015 // 1 Comment

Titik Nol 175: Air Mata yang Tergenang

Kuil Hindu yang terlupakan (AGUSTINUS WIBOWO) Dikisahkan dalam hikayat Brahmana, Dewa Shiva (Syiwa) menangisi kematian istri tercintanya, Sati, yang mengorbankan nyawanya demi kehormatan sang Dewa. Setetes air mata jatuh di Pushkar, satunya lagi di Katas. Yang satu menjadi tempat pemujaan para umat, satunya lagi menjadi genangan air dikelilingi puing-puing kuil tua. Katas, kota kecil di Provinsi Punjab, hanya sekitar 135 kilometer jauhnya dari Islamabad. Tetapi di sini, hiruk pikuknya kota modern itu bagaikan kehidupan di dunia lain. Kotanya sendiri biasa saja, tidak semrawut, tapi tak juga istimewa. Yang membuatnya menarik dikunjungi adalah reruntuhan kuil Hindu kuno di puncak bukit. Adalah sebuah legenda indah yang mengawali sejarah kuil kuno ini. Dikisahkan, Suti, istri Dewa Syiwa, membakar dirinya sendiri untuk membuktikan cintanya kepada Syiwa.  Suti melakukan ini semata-mata untuk melawan ayahandanya yang tidak menghormati Syiwa. Teladan Suti kemudian masih berlanjut di India berabad-abad kemudian, ketika janda-janda Hindu yang baru ditinggal mati suaminya ikut menceburkan diri ke dalam api yang membakar jenazah sang suami. Kata ‘Suti’ kemudian merujuk kepada kegiatan bunuh diri janda Hindu. Bahkan hingga awal abad XX, kebiasaan bakar diri janda Hindu ini masih hidup di Pulau Bali. Danau suci dan kuil agung yang kini tinggal puing-puing (AGUSTINUS WIBOWO) Nama Katas [...]

April 24, 2015 // 0 Comments

Titik Nol 173: Tuan Rumah

Rumah mewah bertabur di Islamabad (AGUSTINUS WIBOWO) Konsep mehman begitu mengakar dalam sanubari kehidupan orang Pakistan. Sebagai tamu, saya tidak hanya merasa malu saja, kali ini saya bahkan dirundung perasaan berdosa. Sudah beberapa hari ini saya tinggal di rumah Syed Ijaz Gillani, seorang kawan dekat yang juga sukarelawan selama di Kashmir. Dari namanya, Syed, menunjukkan ia orang yang dihormati karena konon adalah keturunan langsung Nabi Muhammad. Di negara ini, biasanya orang yang mengenal sang Syed langsung menyentuhkan tangan mereka ke sepatunya, lalu menempelkan tangan ke jidat mereka. Kalau bersalaman mereka sampai mencium tangan dan untuk kasus ekstrim sampai mencium kaki. Penghormatan seperti ini adalah cara orang Hindu menghormati kasta pandita. Kultur India ini belum luntur di Republik Islam Pakistan. Selain karena namanya, Syed Ijaz juga orang terpandang. Rumahnya seperti istana kecil di Islamabad. Rumah-rumah di kota yang jarang-jarang penduduknya ini bisa dikatakan hampir semuanya tergolong mewah, sungguh kontras dengan perumahan kumuh di Rawalpindi, saudara kembar kota ini. Ijaz punya bisnis keluarga yang cukup sukses. Selain itu beberapa kerabat dekatnya adalah pemuka agama penting di seluruh Pakistan. Ayah Ijaz yang sudah tua dan sangat taat beragama (AGUSTINUS WIBOWO) Kekayaan Ijaz dan kawan-kawannya membuat saya terperangah. Pernah saya diundang ke rumah Madam [...]

April 22, 2015 // 0 Comments

Titik Nol 172: Bersanding

Bertemu di ruang pengantin (AGUSTINUS WIBOWO) Di hadapan para tamu, dulha dan dulhan – mempelai laki-laki dan perempuan, tak bersanding. Dulha hanya menemani tamu laki-laki dan dulhan duduk bersama tamu perempuan. Pukul lima sore, setelah kelaparan yang menyiksa dalam penantian panjang di balairung pernikahan Shadi Hall yang cuma disangga dengan kue-kue ringan, akhirnya yang kami nantikan datang juga. Dulhan turun dari mobil, melangkah membungkuk dan terseok-seok menuju ke pelaminan. Gerak langkahnya lebih mirip nenek tua daripada seorang pengantin yang menyongsong hidup baru. Gaunnya ungu menyala, tergerai panjang menyeret tanah. Sama sekali tak terlihat wajah cantiknya. Kepala dulhan sepenuhnya terbungkus kain hitam pekat. Entah bagaimana ia masih bisa menerawang jalan dari balik burqa itu. Tangan kanannya yang indah bersolek mehndi dituntun oleh seorang perempuan muda. Tiga puluh menit kemudian, tibalah saatnya dulha untuk bersanding dengan dulhan yang duduk di ruangan perempuan. Tak semua laki-laki yang boleh datang ke tempat khusus wanita ini. Hanya keluarga dekat dulha yang boleh ikut masuk. Saya mendapat tempat istimewa untuk menyaksikan proses bersanding. Dulha tidak bisa seenaknya saja masuk ke ruangan ini. Empat atau lima orang perempuan dari keluarga dulhan menghadang di depan pintu, menghalang-halangi masuknya sang pengantin. Di sinilah permainan dimulai. Para perempuan bercuap-cuap mengusir sang [...]

April 21, 2015 // 0 Comments

Titik Nol 171: Tamu yang Kelaparan

Pengantin tiba di Shadi Hall (AGUSTINUS WIBOWO) Para tamu gelisah dan kelaparan. Tak ada pesta makanan di acara pernikahan ini. Pernikahan di Pakistan adalah serangkaian acara panjang yang melelahkan. Titik awal dari pernikahan adalah magni, acara tunangan. Pasangan pengantin ini umumnya adalah hasil jodoh-jodohan orang tua. Mereka biasanya tak saling kenal sebelum pernikahan. Kalaupun yang sudah saling kenal biasanya adalah pernikahan dengan kerabat sendiri. Pernikahan yang dimulai dengan kenalan, pacaran, perpaduan cinta, atau bahasa kerennya love marriage, bukanlah hal yang dibanggakan di negara konservatif ini. Walaupun demikian, arranged marriage bukannya tanpa masalah. Ada beberapa kasus di mana si anak gadis menolak perjodohan, melarikan diri, dan kemudian dibunuh demi menjaga ‘kehormatan keluarga’. Inilah kasus klise karo kari atau honor killing yang banyak saya baca di surat kabar Pakistan. Melalui magni, pasangan calon pengantin itu terikat komitmen. Hari dan tanggal baik untuk melangsungkan shadi – pernikahan – juga dirundingkan. Pernikahan yang sebenarnya bisa berlangsung enam bulan, atau bahkan lebih, sejak berlangsungnya magni. Mayoun adalah acara awal yang memulai pesta pernikahan. Acara ini sifatnya religius. Sanak keluarga melantunkan ayat-ayat suci Qur’an dan memuji tauladan Nabi. Makanan lezat pun melimpah ruah. Kegagalan dan keberhasilan pesta pernikahan ditentukan oleh kuantitas dan kualitas makanan yang tersaji. [...]

April 20, 2015 // 0 Comments

Titik Nol 170: Mehndi

Calon pengantin yang berbahagia (AGUSTINUS WIBOWO) Berakhir sudah hari-hari saya di Kashmir. Hari ini seorang kawan sukarelawan, Syed Ijaz Gillani, menjanjikan akan membawa saya ke sebuah pesta pernikahan di Islamabad. “Pesta ini pasti akan menarik buat kamu,” katanya, “besok kamu siap jam 8 pagi ya, kita berangkat ke Islamabad sama-sama.” Saya menunggu di Muzaffarabad sedangkan Ijaz akan datang dari dusun Noraseri. Saya punya banyak kawan di Muzaffarabad yang ingin mengucapkan selamat jalan. Ali, pemuda Kashmir berumur 16 tahun misalnya, sudah berniat mengantar saya dengan sepeda motornya untuk menyantap sarapan pagi. Saya menolak, karena Ijaz akan datang jam 8 pagi. “Ah, pasti terlambat,” katanya, “aku orang Pakistan dan aku tahu bagaimana kebiasaan orang Pakistan. Ayolah, pergi sama-sama.” Saya tetap memilih menunggu di rumah kontrakan di Muzaffarabad. Tapi Ali memang benar, Ijaz baru datang jam 1 siang. Itu pun dengan melenggang santai tanpa beban. Jam karet sudah bagian dari darah dan daging. Kami baru tiba di Islamabad pukul 8:15, padahal kata Ijaz acara pernikahan dimulai pukul 8. Tetapi dia santai sekali, sama sekali tidak takut terlambat. Kami masih sempat kembali ke rumahnya, ganti baju, dan mengumpulkan seisi rumahnya untuk berangkat bersama. Yang perempuan diangkut di satu mobil, yang laki-laki di mobil lainnya. [...]

April 17, 2015 // 0 Comments

Titik Nol 168: Negeri Para Petarung (4)

Ali Zaman dan Gul Zaman (AGUSTINUS WIBOWO) Tongkat, bedil, dan pedang adalah bagian tak terpisahkan dari kehidupan orang Kandar. Seorang tetua Kandar mengajari saya tentang filosofi budaya bertarung mereka. “Tidak benar orang Kandar suka bertarung,” sangkal Behsar, pemuda dari desa Kandar Tengah. Saya masih berdebat dengannya, membenturkan data-data yang berhasil saya kumpulkan dengan sanggahan-sanggahannya. Saya bertanya tentang di mana helipad tempat pembajakan helikopter itu terjadi. Behsar menunjuk ke atas. Dia keceplosan. Jawabannya membuktikan bahwa peristiwa itu memang terjadi. Semuanya jadi berbalik arah. Dari defensif, ia kini terang-terangan membanggakan kebiasaan berkelahi. “Apa salahnya? Kami memang bukan orang yang lemah! Tetapi kami sangat bersahabat dengan orang luar!” Lalu mengapa orang-orang Noraseri punya begitu banyak kisah konyol dan seram tentang kebiasaan antik orang Kandar? Mengapa semua orang di lereng bawah gunung sana takut akan keganasan orang Kandar? “Karena orang Noraseri-mu itu tidak berpendidikan!” Dari seorang Behsar yang lemah lembut dengan bahasa Inggris yang fasih karena pendidikan yang tinggi, kini ia berubah menjadi Behsar yang benar-benar orang Kandar. Farman sebenarnya sudah mulai kesal dengan saya. Dia sudah tidak ingin untuk membawa saya ke tempat yang lebih tinggi lagi. “Saya masih belum melihat Kandar,” sanggah saya, “ayolah, bawalah saya ke atas lagi. Setidaknya sampai melihat [...]

April 15, 2015 // 0 Comments

Titik Nol 163: Barat dan Baran

Menanti datangnya barat (AGUSTINUS WIBOWO) Vicky terbilang rajin mengunjungi kamp sukarelawan kami, sudah menjadi kawan akrab kami hampir setiap hari. Kemarin, di bawah guyuran hujan gerimis, Vicky datang menyampaikan undangan pernikahan seorang kerabatnya. Sudah beberapa hari pegunungan Kashmir dilanda sapuan hujan lebat dan gemuruh tanah longsor. Tetapi hari ini matahari terik bersinar. Gunung-gunung Kashmir mulai berdandan dengan selimut hijau. Musim semi telah tiba, diawali hujan yang memunculkan kembali segarnya rumput dan pohon. Langit biru cerah. Benar-benar hari yang indah untuk melangsungkan pernikahan. Bersama beberapa kawan sukarelawan, kami menuju ke tempat perhelatan pernikahan. Vicky dan beberapa sepupunya yang masih kecil-kecil sibuk menata kursi di tanah lapang yang dipenuhi bongkah batu. Seperti layaknya daerah pasca gempa, lokasi acara pernikahan kali ini pun tak jauh dari puing-puing dan tenda. Lihat saja dapurnya. Tungku api dinyalakan di atas puing-puing batu. Entah rumah siapa yang pernah ambruk di sini. Dua tongkat kayu menyokong selapis atap seng, melindungi masakan yang baru matang. Di dapur terbuka ini semua orang sibuk. Dua juru masak membikin nasi biryani di panci berukuran raksasa. Di Kashmir, nasi adalah menu wajib untuk acara besar seperti pernikahan, perkabungan, tahlilan, dan sebagainya. Panci satunya untuk memasak daging sapi, diiris kecil-kecil dan diaduk dalam adonan [...]

April 8, 2015 // 0 Comments

Titik Nol 160: Akhir Sebuah Perkabungan

Mahfil, menutup masa perkabungan meninggalnya Haji Sahab (AGUSTINUS WIBOWO) Saya masih ingat nuansa pilu pada acara perkabungan di bawah rintik hujan itu. Almarhum Haji Sahab meninggalkan berbagai kenangan di sanubari penduduk Noraseri. Tak lama lagi masa berkabung empat puluh hari ini akan berlalu. Sekali lagi saya menginap di rumah almarhum Pak Haji yang didiami janda dan putra-putrinya. Kali ini saya datang setelah menerima undangan peringatan chehlum, empat puluh hari, kepergian almarhum. Rumah Haji Sahab kali ini jauh lebih meriah daripada biasanya. Semua sanak saudara dan kerabat berdatangan untuk memperingati hari terpenting dalam rentetan acara perkabungan ini. “Ini kawan saya,” kata Hafizah dengan ramah, memperkenalkan seorang wanita. ‘Teman’ yang dimaksud ternyata saudara iparnya. Kemudian ada lagi ‘kawan’ yang lain, yang ternyata bibinya. Ada puluhan ‘kawan’, datang dari segenap penjuru Kashmir dan Punjab untuk memanjatkan doa untuk almarhum. Bocah-bocah berlarian ke sana ke mari, loncat ke sini, loncat ke sana. Terkadang suara tangis menambah semrawutnya suasana rumah ini. Chehlum, bagi Bu Haji, adalah sebuah kesempatan bahagia yang cukup langka. Tidak sering sanak saudara bisa berkumpul seperti ini. Bu Haji cukup sibuk, setiap ada tamu yang datang beliau menemani para tamu memanjatkan doa bagi almarhum Haji Sahab. Tetapi beliau masih sangat bersemangat dengan [...]

April 3, 2015 // 0 Comments

Titik Nol 159: Hindko

Samera dan bayinya (AGUSTINUS WIBOWO) Cahaya remang-remang bohlam mungil mengaburkan raut wajah para penghuni rumah. Tetapi tawa riang tak pernah berhenti membawa kesegaran di sini. Yang saya ingat dari Samera, kakak Hafizah yang berusia 25 tahun ini, adalah seorang wanita berkulit gelap yang menangisi kepergian ayahnya, almarhum Haji Sahab. Di bawah rintik hujan, suara Samera meraung memilukan. Liang kubur ayahnya baru saja ditutup ketika ia menginjakkan kaki di tanah Noraseri yang becek. “Mengapa tidak ada foto Bapak?” kata Samera kecewa, memencet-mencet tombol kamera digital saya. Saya memang tidak mengambil foto jenazah Pak Haji karena takut melanggar norma masyarakat setempat. “Saya tidak sempat melihat wajah Bapak untuk terakhir kalinya, tetapi kamu malah tidak memotretnya,” keluh Samera lagi, air matanya menetes membasahi pipi. Tetapi Samera hari ini, tiga minggu lebih setelah kepergian ayahandanya, sudah berubah menjadi perempuan yang ceria. Ia tertawa lepas ketika melemparkan bayinya yang baru enam bulan tinggi-tinggi, dan kemudian memeluk si bayi erat-erat. Bayi laki-laki itu sama sekali tidak menjerit atau menangis. “Anakku ini bocah pemberani,” katanya sambil mengusap-usapkan kepalanya di atas kepala si bayi. Bayi itu hanya tersenyum kecil. Samera kemudian mengangkat bayinya tinggi-tinggi, memutar makhluk malang itu seperti kincir angin. Si bayi tertawa lepas. Samera lebih bangga [...]

April 2, 2015 // 0 Comments

Titik Nol 158: Keluarga Haji Sahab

Keluarga Haji Sahab (AGUSTINUS WIBOWO) Masih ingat Pak Haji, atau Haji Sahab, yang meninggal di hari kedatangan saya di Noraseri? Rumah duka itu kini sudah mulai menampakkan keceriaan di tengah masa perkabungan. Terlahir sebagai Sayyid Karim Haider Shah Kazmi, almarhum Pak Haji pernah tinggal selama 38 tahun di Saudi Arabia. Ia bekerja, menetap, dan menikah di sana. Istrinya orang Arab. Selama di tanah suci, Karim Haider sudah menunaikan ibadah haji tujuh kali. Karena itu begitu pulang, ia dikenal oleh penduduk kampung Noraseri sebagai Haji Sahab. Orang desa menyebut keluarga ini sebagai Arabwallah, orang Arab. Pak Haji punya delapan anak. “Sebenarnya waktu itu kami sudah punya satu anak laki-laki,” kata Bu Haji, “tetapi Haji Sahab ingin satu putra lagi. Tetapi Allah berkehendak lain. Anak-anak berikutnya, sampai anak kedelapan, semua perempuan.” Bu Haji, atau Bari Amma (nenek besar) berusia lima puluhan, berkulit gelap seperti orang dari propinsi Baluchistan di selatan sana. Raut mukanya tenang, tak banyak bicara. Pakaiannya adalah shalwar kamiz sederhana dengan dupata yang berfungsi sebagai kerudung sekaligus penutup dada. Saya sempat tak percaya bahwa Bari Amma ini orang asing. Ketika baru datang dari tanah Arab dulu, bahasa Urdunya katanya tak jauh berbeda dengan bahasa Urdu saya yang amburadul, tetapi sekarang [...]

April 1, 2015 // 0 Comments

Titik Nol 157: Majlis di Noraseri

Majlis di atap rumah (AGUSTINUS WIBOWO) Ternyata bukan hanya di Muzaffarabad saja Chehlum diperingati. Bahkan di desa terpencil Noraseri, di atap rumah yang hampir ambruk, di hadapan gunung agung Nanga Parbat, orang-orang dengan takzim mendengar ceramah suri tauladan Imam Hussain. Farman Shah, seorang penduduk desa terpandang, mengundang saya untuk mengikuti peringatan Chehlum yang diadakan di rumahnya, tepat pukul 1 siang. Seorang lelaki bernama Tajjamal khusus diutus untuk menemani saya yang masih di Muzaffarabad. Pria ini berkumis, berjenggot, dan bercambang lebat. Sebenarnya masih muda, tetapi karena rambut-rambut di wajahnya, jadi kelihatan tua sekali. Perjalanan ke Noraseri dengan angkutan umum ternyata tidak mudah. Kami berdua sempat ganti kendaraan tiga kali. Yang pertama saya harus berdiri bergelantungan di luar mobil Suzuki, dengan kedua tangan memegang erat-erat tiang besi supaya tidak jatuh. Ini sebenarnya sudah lazim kalau berjalan-jalan di Pakistan. Tetapi jalanan Kashmir bergunung-gunung, berlubang dan bergerunjal. Berapa kali saya terlompat, belum lagi wajah saya diraupi debu jalan. Sungguh tidak nyaman. Saya bertanya kepada Tajjamal tentang Aliwallah yang merayakan Ashura dan Chehlum. “Hai. Saya juga Aliwallah, karena saya juga cinta Ali. Bukan hanya orang Syiah saja yang Aliwallah. Semua orang yang mencintai Ali, termasuk Sunni, juga disebut Aliwallah.” Tajjamal, sebagaimana kebanyakan orang Sunni di [...]

March 31, 2015 // 0 Comments

Titik Nol (156): Mandi Darah

Zanjir terayun (AGUSTINUS WIBOWO) Darah segar mengaliri punggung bocah-bocah kecil belasan tahun ini. Beberapa tetes terciprat ke wajah dan pakaian saya. Semua orang hanyut dalam nuansa perkabungan, peringatan empat puluh hari wafatnya Imam Hussain dalam perang Karbala. Sepuluh Muharram tahun 61 Hijriyah, atau 680 Masehi, Hussain bin Ali bin Abi Thalib, cucu Nabi Muhammad S.A.W, gugur dalam pertempuran di perang Karbala melawan khalifah Yazid. Lebih dari 1300 tahun berselang, umat Syiah di Pakistan memperingati peristiwa itu dengan bermandi darah. Saya didampingi seorang pria tua berjenggot lebat yang mengaku sebagai petugas lapangan acara peringatan Chehlum hari ini. Pak tua bukan hanya memberi tahu saya harus ke mana dan meliput apa, malah masih membantu saya memanjat tembok dan pagar untuk mendapatkan angle yang bagus untuk liputan prosesi akbar ini. Pelataran masjid Syiah Muzaffarabad dipenuhi oleh pria yang berbaris bersaf-saf, berhadap-hadapan. Mereka semua bertelanjang dada atau berkaus kutang putih. Bersamaan, mereka mengayunkan lengan kanan tinggi-tinggi, kemudian dilecutkan ke dada masing-masing dengan keras. Plak..! Kemudian lengan kiri diangkat, dipukulkan dengan kencang ke dada. Plak…! Berulang-ulang, bertalu-talu. Gemuruh pukulan serempak di dada ratusan orang berhamoni bak musik pengiring. Kadang lembut dan lambat, kadang cepat dan penuh histeria. Orang-orang ini seakan tersihir dalam maatam, memukuli dada [...]

March 30, 2015 // 2 Comments

Titik Nol 155: Para Pengikut Ali

Mengikatkan bendera (AGUSTINUS WIBOWO) Suasana kesedihan menggelayut di Muzaffarabad. Para pria serempak memukuli dadanya. Anak-anak menyambitkan pisau tajam. Darah di mana-mana. Empat puluh hari yang lalu, 10 Muharram, adalah hari yang paling sedih sepanjang tahun. Ratusan orang berkumpul di lapangan, menangis bersama-sama, memukuli diri, dan menyambitkan rantai pisau sambil meratap. Darah segar mengalir, tetapi sama sekali tidak menghalangi jalannya upacara. Bulan Muharram adalah bulan penuh kesedihan. Warna hitam bertabur di seluruh pelosok kota. Lengang, karena tidak ada yang menyalakan musik lagu-lagu Hollywood. Yang terdengar sekarang adalah lantunan irama maatam, tangan yang menepuk dada berirama sebagai lambang berkambung, dan lagu-lagu yang mengalir melankolis, meratapi kematian Hussain dan kejamnya perang Qarbala. Hari ini, 20 Safar, adalah berakhirnya masa perkabungan yang empat puluh hari itu. Orang Pakistan menyebutnya sebagai Hari Chehlum, dari bahasa Farsi yang artinya ‘hari ke-40’. Bagi umat Syiah, memperingati Chehlum hampir sama pentingnya dengan memperingati Ashura. Walaupun mayoritas penduduk Pakistan menganut sekte Sunni, Chehlum juga diperingati sebagai hari libur nasional. Saya mengunjungi sebuah masjid umat Syiah di pusat kota Muzaffarabad, tidak jauh dari bazaar utama. “Kamu Muslim?” tanya Hamdani, seorang pria tiga puluhan mengenakan shalwar kamiz hitam-hitam, warna perkabungan. Hamdani mengaku sebagai penjaga keamanan upacara peringatan [...]

March 27, 2015 // 0 Comments

Titik Nol 154: Rumah Baru, Harapan Baru

Rumah baru, harapan baru (AGUSTINUS WIBOWO) Perjalanan kembali ke Noraseri rasanya seperti pulang ke kampung halaman. Saya mulai merasa bahwa dusun di pegunungan ini adalah suratan takdir saya, tempat saya menemukan orang-orang dan ratusan kisah yang mengubah hati saya. Salah satunya adalah keluarga Basyir Sahab. Dulu saya hanya mengenal Pak Basyir sebagai petugas keamanan kamp kami. Orangnya kurus, berkumis lebat, tetapi senantiasa ramah dengan senyumnya. Selalu berjubah shalwar kamiz ke mana-mana. Kalau perkemahan kami sedang kosong ketika para pekerja sosial turun ke lapangan, Pak Basyir lah yang menjaga keamanan barang-barang kami. Pak Basyir juga membantu memasak, menyediakan perlengkapan, dan membantu kami boyongan. Lebih dari itu, saya tak tahu banyak karena Pak Basyir sendiri tak banyak bicara. Hingga akhirnya saya berkenalan dengan Mubasshar, putra tertua Basyir Sahab yang berumur 22 tahun. Mubasshar berjenggot lebat sehingga kawan-kawannya di Noraseri menjulukinya sebagai Sufi, ahli mistis. Sejak bencana gempa itu, Mubasshar tak pernah mencukur jenggotnya lagi, mungkin sebagai nasar. “Waktu gempa itu aku sedang bekerja di Muzaffarabad,” kata Mubasshar, “dan jalan menuju Noraseri sama sekali terputus.” Muzaffarabad hancur lebur, ribuan orang tewas. Mubasshar lebih kuatir keluarganya yang masih tinggal di lereng pegunungan Noraseri. Tanpa pikir panjang, di tengah alam yang masih sesekali mengamuk dan [...]

March 26, 2015 // 0 Comments

Titik Nol 150: Terjebak Birokrasi Pakistan (1)

Sok kenal sok dekat. Dengan berbekal foto bersama kepala inspektur polisi ini saya berharap semua urusan akan berjalan mulus (AGUSTINUS WIBOWO) Mungkin memang takdir saya untuk selalu dipusingkan masalah visa. Saya teringat betapa saya harus beradu mulut untuk mendapatkan visa India di Nepal, bersusah payah dengan setumpuk beban mental untuk mendapat visa Pakistan di India, dan kini, saya akan mengalami serentetan perjuangan panjang dalam semrawutnya birokrasi Pakistan. Salah satu masalah bagi tenaga sukarelawan asing adalah visa. Tak terasa, visa tiga bulan yang diberikan Kedutaan Pakistan akan segera habis dalam beberapa hari ini. Sebelumnya, Rashid dari Danish Muslim Aid selalu berusaha meyakinkan saya, “Jangan kuatir untuk urusan visa. Saya akan membantumu. Semuanya pasti beres, Insya Allah!” Saya pun menaruh harapan besar padanya, apalagi katanya Rashid kenal banyak orang penting di Muzaffarabad. Di Pakistan, semuanya bisa jalan dengan koneksi. Kenal seorang tetangga dari ipar dari sepupu dari nenek dari ayah dari teman dari bibi dari ibu Anda bisa mengantar Anda ke puncak dunia, atau kalau salah orang, ke penjara. Sering kita melihat hubungan kekerabatan yang ruwet dalam film-film Bollywood. Sekarang, semuanya itu menjadi dunia nyata yang sedang saya jalani. Hubungan koneksi yang panjang mengantar saya dan Rashid duduk di hadapan Senior Superintendent [...]

March 20, 2015 // 12 Comments

Titik Nol 149: Jalan Persahabatan, Gang Martabat

Rumah permanen yang dibangun oleh Sabit Merah Turki (AGUSTINUS WIBOWO) Gempa bumi Kashmir bukan hanya menyisakan penderitaan dan tragedi. Ada pula mukjizat dan harapan baru yang muncul dari tumpukan puing-puing reruntuhan. Sebuah mazar, makam orang suci Muslim, terletak di dekat kawasan Sekretariat. Pada hari terjadi gempa, beberapa umat bersembahyang dalam mazar. Entah apa yang terjadi, orang-orang ini khusyuk dalam ibadah mereka, sama sekali tak merasakan goncangan dashyat yang menghancurkan Kashmir. Betapa terkejutnya ketika mereka meninggalkan mazar, menyaksikan lingkungan Muzaffarabad yang tiba-tiba hancur lebur. Sedangkan mazar ini, bukan hanya masih berdiri, bahkan satu goresan pun tak ada. Kisah mukjizat ini yang kemudian menjadi buah bibir masyarakat Muzaffarabad. Di dekat mazar ada sebuah madrasah. Bocah laki-laki dan perempuan yang masih kecil-kecil bersama belajar membaca Al Qur’an di bawah bimbingan sang ustadz, seorang pria gemuk berjubah, berjenggot, dan berkopiah. Mereka belajar di halaman, karena gedung madrasah sudah retak dalam keadaan parah, sangat berbahaya kalau ada goncangan sedikit saja. “Kami datang untuk ikut merasakan air matamu,” demikian spanduk merah bertebaran di jalan utama Muzaffarabad. Spanduk ini dipasang oleh Insani Yardim Vakfi (IHH), sebuah organisasi kemanusiaan asal Turki yang sudah mengulurkan tangan di pelbagai daerah bencana di seluruh dunia. Di antara negeri-negeri Muslim, hanya Turkilah [...]

March 19, 2015 // 8 Comments

1 2 3 4 10