Recommended

Islamabad

Titik Nol 175: Air Mata yang Tergenang

Kuil Hindu yang terlupakan (AGUSTINUS WIBOWO) Dikisahkan dalam hikayat Brahmana, Dewa Shiva (Syiwa) menangisi kematian istri tercintanya, Sati, yang mengorbankan nyawanya demi kehormatan sang Dewa. Setetes air mata jatuh di Pushkar, satunya lagi di Katas. Yang satu menjadi tempat pemujaan para umat, satunya lagi menjadi genangan air dikelilingi puing-puing kuil tua. Katas, kota kecil di Provinsi Punjab, hanya sekitar 135 kilometer jauhnya dari Islamabad. Tetapi di sini, hiruk pikuknya kota modern itu bagaikan kehidupan di dunia lain. Kotanya sendiri biasa saja, tidak semrawut, tapi tak juga istimewa. Yang membuatnya menarik dikunjungi adalah reruntuhan kuil Hindu kuno di puncak bukit. Adalah sebuah legenda indah yang mengawali sejarah kuil kuno ini. Dikisahkan, Suti, istri Dewa Syiwa, membakar dirinya sendiri untuk membuktikan cintanya kepada Syiwa.  Suti melakukan ini semata-mata untuk melawan ayahandanya yang tidak menghormati Syiwa. Teladan Suti kemudian masih berlanjut di India berabad-abad kemudian, ketika janda-janda Hindu yang baru ditinggal mati suaminya ikut menceburkan diri ke dalam api yang membakar jenazah sang suami. Kata ‘Suti’ kemudian merujuk kepada kegiatan bunuh diri janda Hindu. Bahkan hingga awal abad XX, kebiasaan bakar diri janda Hindu ini masih hidup di Pulau Bali. Danau suci dan kuil agung yang kini tinggal puing-puing (AGUSTINUS WIBOWO) Nama Katas [...]

April 24, 2015 // 0 Comments

Titik Nol 174: Mehfil-E-Naat

Terhanyut dalam histeria spiritual (AGUSTINUS WIBOWO) “Ya Rasulullah….. Ya Habibullah…” suara sendu melantun lambat, suara yang keluar dari hati yang paling dalam, bergetar dan bergema. Ribuan penonton duduk bersila, tenggelam dalam ketakziman, terhipnotis dalam histeria spiritual, terbasuh hatinya dalam puja dan puji bagi Sang Nabi. Naat adalah barisan lantunan memuja kebesaran Nabi Muhammad S.A.W. Di Pakistan, Naat sangat populer bukan hanya sebagai dakwah tetapi juga bagian ibadah. Saya sering mendengarkan alunan Naat diputar di radio lokal, tape recorder, dan pementasan di masjid-masjid. Walaupun punya segala macam unsur musik, mulai dari syair bersajak, irama, komposisi, iringan suara mulut berdentum-dentum layaknya akapela, panggung pementasan, penonton yang histeris, jangan sekali-sekali menyebut naat sebagai musik atau lagu di Pakistan. Barisan kata-kata dalam naat semuanya berisi tentang Nabi, suri tauladannya, puja-puji dan doa baginya. Bagi mereka yang sangat religius, kata ‘musik’ atau ‘lagu’ berkonotasi negatif dan tidak pantas untuk menyebut kesucian lantunan naat. Bahkan orang menyebutnya sebagai naat-e-sharif, naat yang suci. Kawan saya, keluarga Syed dari Islamabad, adalah salah satu keluarga terpandang di kota ini. Bukan hanya karena Syed adalah keturunan langsung Nabi Muhammad, atau karena mereka aktif dalam kegiatan kemanusiaan menolong korban gempa di Kashmir, keluarga Syed Gilani yang satu ini juga dihormati masyakarat [...]

April 23, 2015 // 0 Comments

Titik Nol 173: Tuan Rumah

Rumah mewah bertabur di Islamabad (AGUSTINUS WIBOWO) Konsep mehman begitu mengakar dalam sanubari kehidupan orang Pakistan. Sebagai tamu, saya tidak hanya merasa malu saja, kali ini saya bahkan dirundung perasaan berdosa. Sudah beberapa hari ini saya tinggal di rumah Syed Ijaz Gillani, seorang kawan dekat yang juga sukarelawan selama di Kashmir. Dari namanya, Syed, menunjukkan ia orang yang dihormati karena konon adalah keturunan langsung Nabi Muhammad. Di negara ini, biasanya orang yang mengenal sang Syed langsung menyentuhkan tangan mereka ke sepatunya, lalu menempelkan tangan ke jidat mereka. Kalau bersalaman mereka sampai mencium tangan dan untuk kasus ekstrim sampai mencium kaki. Penghormatan seperti ini adalah cara orang Hindu menghormati kasta pandita. Kultur India ini belum luntur di Republik Islam Pakistan. Selain karena namanya, Syed Ijaz juga orang terpandang. Rumahnya seperti istana kecil di Islamabad. Rumah-rumah di kota yang jarang-jarang penduduknya ini bisa dikatakan hampir semuanya tergolong mewah, sungguh kontras dengan perumahan kumuh di Rawalpindi, saudara kembar kota ini. Ijaz punya bisnis keluarga yang cukup sukses. Selain itu beberapa kerabat dekatnya adalah pemuka agama penting di seluruh Pakistan. Ayah Ijaz yang sudah tua dan sangat taat beragama (AGUSTINUS WIBOWO) Kekayaan Ijaz dan kawan-kawannya membuat saya terperangah. Pernah saya diundang ke rumah Madam [...]

April 22, 2015 // 0 Comments

Titik Nol 172: Bersanding

Bertemu di ruang pengantin (AGUSTINUS WIBOWO) Di hadapan para tamu, dulha dan dulhan – mempelai laki-laki dan perempuan, tak bersanding. Dulha hanya menemani tamu laki-laki dan dulhan duduk bersama tamu perempuan. Pukul lima sore, setelah kelaparan yang menyiksa dalam penantian panjang di balairung pernikahan Shadi Hall yang cuma disangga dengan kue-kue ringan, akhirnya yang kami nantikan datang juga. Dulhan turun dari mobil, melangkah membungkuk dan terseok-seok menuju ke pelaminan. Gerak langkahnya lebih mirip nenek tua daripada seorang pengantin yang menyongsong hidup baru. Gaunnya ungu menyala, tergerai panjang menyeret tanah. Sama sekali tak terlihat wajah cantiknya. Kepala dulhan sepenuhnya terbungkus kain hitam pekat. Entah bagaimana ia masih bisa menerawang jalan dari balik burqa itu. Tangan kanannya yang indah bersolek mehndi dituntun oleh seorang perempuan muda. Tiga puluh menit kemudian, tibalah saatnya dulha untuk bersanding dengan dulhan yang duduk di ruangan perempuan. Tak semua laki-laki yang boleh datang ke tempat khusus wanita ini. Hanya keluarga dekat dulha yang boleh ikut masuk. Saya mendapat tempat istimewa untuk menyaksikan proses bersanding. Dulha tidak bisa seenaknya saja masuk ke ruangan ini. Empat atau lima orang perempuan dari keluarga dulhan menghadang di depan pintu, menghalang-halangi masuknya sang pengantin. Di sinilah permainan dimulai. Para perempuan bercuap-cuap mengusir sang [...]

April 21, 2015 // 0 Comments

Titik Nol 171: Tamu yang Kelaparan

Pengantin tiba di Shadi Hall (AGUSTINUS WIBOWO) Para tamu gelisah dan kelaparan. Tak ada pesta makanan di acara pernikahan ini. Pernikahan di Pakistan adalah serangkaian acara panjang yang melelahkan. Titik awal dari pernikahan adalah magni, acara tunangan. Pasangan pengantin ini umumnya adalah hasil jodoh-jodohan orang tua. Mereka biasanya tak saling kenal sebelum pernikahan. Kalaupun yang sudah saling kenal biasanya adalah pernikahan dengan kerabat sendiri. Pernikahan yang dimulai dengan kenalan, pacaran, perpaduan cinta, atau bahasa kerennya love marriage, bukanlah hal yang dibanggakan di negara konservatif ini. Walaupun demikian, arranged marriage bukannya tanpa masalah. Ada beberapa kasus di mana si anak gadis menolak perjodohan, melarikan diri, dan kemudian dibunuh demi menjaga ‘kehormatan keluarga’. Inilah kasus klise karo kari atau honor killing yang banyak saya baca di surat kabar Pakistan. Melalui magni, pasangan calon pengantin itu terikat komitmen. Hari dan tanggal baik untuk melangsungkan shadi – pernikahan – juga dirundingkan. Pernikahan yang sebenarnya bisa berlangsung enam bulan, atau bahkan lebih, sejak berlangsungnya magni. Mayoun adalah acara awal yang memulai pesta pernikahan. Acara ini sifatnya religius. Sanak keluarga melantunkan ayat-ayat suci Qur’an dan memuji tauladan Nabi. Makanan lezat pun melimpah ruah. Kegagalan dan keberhasilan pesta pernikahan ditentukan oleh kuantitas dan kualitas makanan yang tersaji. [...]

April 20, 2015 // 0 Comments

Titik Nol 170: Mehndi

Calon pengantin yang berbahagia (AGUSTINUS WIBOWO) Berakhir sudah hari-hari saya di Kashmir. Hari ini seorang kawan sukarelawan, Syed Ijaz Gillani, menjanjikan akan membawa saya ke sebuah pesta pernikahan di Islamabad. “Pesta ini pasti akan menarik buat kamu,” katanya, “besok kamu siap jam 8 pagi ya, kita berangkat ke Islamabad sama-sama.” Saya menunggu di Muzaffarabad sedangkan Ijaz akan datang dari dusun Noraseri. Saya punya banyak kawan di Muzaffarabad yang ingin mengucapkan selamat jalan. Ali, pemuda Kashmir berumur 16 tahun misalnya, sudah berniat mengantar saya dengan sepeda motornya untuk menyantap sarapan pagi. Saya menolak, karena Ijaz akan datang jam 8 pagi. “Ah, pasti terlambat,” katanya, “aku orang Pakistan dan aku tahu bagaimana kebiasaan orang Pakistan. Ayolah, pergi sama-sama.” Saya tetap memilih menunggu di rumah kontrakan di Muzaffarabad. Tapi Ali memang benar, Ijaz baru datang jam 1 siang. Itu pun dengan melenggang santai tanpa beban. Jam karet sudah bagian dari darah dan daging. Kami baru tiba di Islamabad pukul 8:15, padahal kata Ijaz acara pernikahan dimulai pukul 8. Tetapi dia santai sekali, sama sekali tidak takut terlambat. Kami masih sempat kembali ke rumahnya, ganti baju, dan mengumpulkan seisi rumahnya untuk berangkat bersama. Yang perempuan diangkut di satu mobil, yang laki-laki di mobil lainnya. [...]

April 17, 2015 // 0 Comments

Titik Nol 151: Terjebak Birokrasi Pakistan (2)

Dari Islamabad… (AGUSTINUS WIBOWO) Perpanjangan visa Pakistan membuat saya merasa seperti bola pingpong yang dilempar dari satu kantor ke kantor lain. Kementrian Dalam Negeri letaknya jauh sekali dari Kantor Paspor. Islamabad adalah kota modern yang didesain oleh orang Eropa tetapi dimanajemen oleh orang Pakistan. Akibatnya adalah perencanaan tata kota yang matang yang berbaur dengan morat-maritnya dunia ketiga. Jalan lurus dan panjang, taman-taman yang teratur rapi, di sebuah kota kosong di mana kantor-kantor pemerintah bertebaran di segala penjuru. Saya dan dr. Zahid menunggu di depan bangunan Visa Section di kompleks Kementrian Dalam Negeri. Ada dua pintu. Yang satu khusus untuk warga Afghan, keturunan Afghan, dan jurnalis – kelompok rawan. Pintu lainnya untuk orang asing, turis, dan NGO. Jam kerja kantor ini dari pukul 11 hingga 12 siang – benar-benar jam kerja yang ideal. Pengumuman yang tertempel di depan pintu mengatakan bahwa pukul 10:45 akan dibagikan nomor urut bagi para pengantre. Tetapi tidak ada antrian di sini. Semua orang bergerombol di depan pintu yang masih tertutup. Kami hanya menantikan detik-detik pintu kayu yang agung itu akan terbuka, sebagai jalan emas menuju visa Pakistan. Bukan Pakistan namanya kalau tidak terlambat. Pukul 11:15, pintu itu baru terbuka. Seorang petugas membawa setumpuk kartu kecil. Bukannya [...]

March 23, 2015 // 6 Comments

Titik Nol 150: Terjebak Birokrasi Pakistan (1)

Sok kenal sok dekat. Dengan berbekal foto bersama kepala inspektur polisi ini saya berharap semua urusan akan berjalan mulus (AGUSTINUS WIBOWO) Mungkin memang takdir saya untuk selalu dipusingkan masalah visa. Saya teringat betapa saya harus beradu mulut untuk mendapatkan visa India di Nepal, bersusah payah dengan setumpuk beban mental untuk mendapat visa Pakistan di India, dan kini, saya akan mengalami serentetan perjuangan panjang dalam semrawutnya birokrasi Pakistan. Salah satu masalah bagi tenaga sukarelawan asing adalah visa. Tak terasa, visa tiga bulan yang diberikan Kedutaan Pakistan akan segera habis dalam beberapa hari ini. Sebelumnya, Rashid dari Danish Muslim Aid selalu berusaha meyakinkan saya, “Jangan kuatir untuk urusan visa. Saya akan membantumu. Semuanya pasti beres, Insya Allah!” Saya pun menaruh harapan besar padanya, apalagi katanya Rashid kenal banyak orang penting di Muzaffarabad. Di Pakistan, semuanya bisa jalan dengan koneksi. Kenal seorang tetangga dari ipar dari sepupu dari nenek dari ayah dari teman dari bibi dari ibu Anda bisa mengantar Anda ke puncak dunia, atau kalau salah orang, ke penjara. Sering kita melihat hubungan kekerabatan yang ruwet dalam film-film Bollywood. Sekarang, semuanya itu menjadi dunia nyata yang sedang saya jalani. Hubungan koneksi yang panjang mengantar saya dan Rashid duduk di hadapan Senior Superintendent [...]

March 20, 2015 // 12 Comments

Titik Nol 144: Kehidupan di Tenda

Mencukur jenggot pagi-pagi (AGUSTINUS WIBOWO) Sudah tiga puluh jam lebih hujan turun tanpa henti. Kalau Jakarta, pasti sudah banjir bandang. Di Kashmir, tanah melorot dari barisan gunung-gunung tinggi. Gemuruh longsor sambung menyambung tiada henti, menciutkan nyali. Pagi yang baru sudah diusung ke Pegunungan Kashmir. Langit masih gelap, dibungkus mendung. Dari barisan tenda yang sepi itu, satu demi satu tirai tersibak. Suara sandal yang diseret-seret memecah keheningan pagi. Laki-laki membawa pot berisi air panas, mengambil wudhu dan menggosok gigi. Anis Sahab duduk di dalam tenda, memegang cermin kecil, mencukur jenggotnya dan menyisakan kumis lebatnya. Aslam Sahab sudah keluar, selimut dan tikarnya sudah rapi. Di pagi yang dingin, berbungkus jaket tebal, para sukarelawan sudah rapi jali. Sedangkan saya, ah, menyentuh air pun tak berani. Hanya menggosok gigi saja, itu pun sehari sekali. Karena kemalasan yang tiada duanya ini, lima hari kemudian, wajah saya jadi hancur diselimuti jerawat gemuk. Kawan-kawan Pakistan ini tidak memakai sikat gigi dan odol untuk menggosok gigi. Cukup dengan potongan batang kayu yang disebut miswaak atau maswak. Panjangnya sekitar 15 cm, diameternya kecil. Disodokkan ke dalam mulut, digosok-gosok. Kelihatannya nyaman sekali, karena potongan kayu itu bisa nyangkut di mulut mereka sepanjang hari. Kalau iseng, digosok-gosok lagi. Pantas saja gigi [...]

March 12, 2015 // 11 Comments

Titik Nol 141: Dari Reruntuhan

Bocah-bocah pengungsi (AGUSTINUS WIBOWO) Mulai hari ini saya punya gelar baru – sukarelawan. Saya sudah berada dalam mobil milik Danish Muslim Aid, sebuah organisasi kemanusiaan, menuju ke Kashmir yang diluluhlantakkan  oleh gempa bumi 8 Oktober 2005. Sudah lama sekali saya ingin ke Kashmir. Saya teringat betapa bulatnya tekad saya untuk menjadi sukarelawan gempa ketika memohon visa Pakistan di New Delhi, lima bulan silam. Tetapi setelah mendapatkan visa, saya malah menyempatkan berkeliling Rajasthan, dan akhirnya mendapat penyakit hepatitis. Mungkin Tuhan mengingatkan saya akan komitmen yang saya buat dahulu. Ada perasaan tertekan dan bersalah, ketika harus menghabiskan hari-hari dengan beristirahat di pegunungan Hunza untuk memulihkan diri dari sakit kuning. Perasaan bersalah akan pengingkaran janji. “Mana Agustinus yang dulu bercita-cita jadi sukarelawan? Mana semangat sosialnya yang menggebu-gebu? Sekarang mengapa malah jadi turis di Hunza?” demikian bunyi e-mail Lam Li yang langsung menampar saya tanpa basa-basi. Hari ini, saya sudah resmi jadi sukarelawan, walaupun terlambat. Seorang kawan di Islamabad menjadi kepala organisasi Danish Muslim Aid (DM-Aid) yang menghimpun dana bantuan dari Denmark. Saya diminta membantu mendokumentasikan kegiatan mereka di lapangan. Saya berada di dalam mobil organisasi bersama Rashid, seorang sukarelawan juga. Rashid masih berumur 25 tahun, tetapi kumis tebalnya membuatnya tampak jauh lebih tua [...]

March 9, 2015 // 0 Comments

Titik Nol 140: Kota Modern

Kota Islamabad yang modern (AGUSTINUS WIBOWO) “Yang istimewa dari Islamabad adalah,” kata Syed Khalid Raza, pemuda Islamabad, “ibu kota ini terletak sepuluh kilometer jauhnya dari Pakistan.” Berada di Islamabad, kita seakan sudah bukan lagi berada di Pakistan. Lupakan hiruk pikuknya Rawalpindi, benteng dan masjid kuno Lahore, gang sempit yang meliuk-liuk di tengah bazaar Anarkali, atau kereta keledai yang hilir mudik di jalanan kota Pakistan. Di sini bukannya tempat jalan bolong-bolong dan genangan air hitam berbau busuk, bukan pula tempat asap hitam kendaraan bermotor mengotori udara. Selamat datang di sebuah kota masa depan Pakistan, di mana gedung tinggi menjulang sepanjang jalan raya yang mulus, lurus dan lebar, di mana mobil mewah berseliweran, dan rakyat Pakistan meletakkan kebanggaannya. Sebelum tahun 1960, Islamabad bukan apa-apa. Ibu kota Pakistan sejak negeri ini terpisah dari India pada tahun 1947 adalah Karachi. Kota Karachi, jauh di ujung  propinsi Sindh di selatan, di tepi Laut Arab, dianggap kurang strategis letaknya. Presiden Ayub Khan kemudian memindahkan ibu kota ke Rawalpindi pada tahun 1958 lalu pindah lagi ke Islamabad dua tahun kemudian. Ibu kota ini sepuluh kilometer jauhnya dari Pakistan, demikian gurauan penghuni Islamabad. Walaupun jaraknya hanya beberapa kilometer dari Rawalpindi – kota terdekat dan dinyatakan sebagai sister city [...]

March 6, 2015 // 0 Comments

Titik Nol 139: Do Nambar

Asyiknya naik bus di Pakistan. Duduk di atap bukan pengalaman untuk dicoba kaum hawa. (AGUSTINUS WIBOWO) Bagi perempuan, bepergian seorang diri di Pakistan tidak selalu mudah. Bukan hanya kendaraan yang penuh sesak, tetapi juga ada tangan-tangan jahil yang mengintai. Di Pakistan, di mana segala sesuatu selalu dipisahkan untuk perempuan dan laki-laki, naik kendaraan umum bisa jadi kesusahan sendiri. Aturan mainnya, perempuan tidak boleh duduk di sebelah laki-laki kalau bukan muhrimnya. Untuk bus dan kereta, masalahnya tidak terlalu besar, karena tempat duduk banyak tersedia. Tetapi untuk angkutan kota lain lagi ceritanya. Angkutan umum yang paling banyak mengarungi rute Rawalpindi – Islamabad adalah colt. Maksimal 14 orang bisa disumpalkan ke dalam mobil kecil ini. Jarang sekali saya melihat penumpang perempuan. Bukan hanya karena perempuan tidak banyak bepergian, tetapi sopir pun sering enggan menyediakan tempat buat wanita. Apa sebab? Biasanya, tempat yang tersedia untuk penumpang perempuan adalah dua bangku di depan di sebelah sopir. Itu kalau jam-jam peak hour juga sudah diduduki laki-laki. Kalau bagian tengah atau belakang, kecuali sopir bisa menemukan empat atau delapan penumpang perempuan sekaligus, maka mengangkut penumpang perempuan berarti harus kehilangan banyak slot untuk penumpang laki-laki, yang lebih banyak. Keadaan sedikit lebih gampang kalau si perempuan bepergian dengan saudara [...]

March 5, 2015 // 2 Comments

Titik Nol 138: Pir Wadhai

Terminal bus Pir Wadhai (AGUSTINUS WIBOWO) Di sini mereka menggantung mimpi, bersama deru mesin bus yang tanpa henti, asap knalpot hitam, selokan bau, debu beterbangan, dan tangisan bocah. Pir Wadhai adalah pembuluh nadi Pakistan, menyambungkan kota-kota di seluruh negeri dengan ibu kota Islamabad yang modern. Terletak di antara kota kembar Islamabad – Rawalpindi, stasiun bus Pir Wadhai adalah tempat interaksi antara saudagar, musafir, pedagang, sopir, kernet, tentara, dan pengungsi. Bermacam mimpi menuntun beragam manusia sampai ke tempat ini. Dan di tempat berdebu dan kumuh inilah tempat mereka menggantung mimpi. Bau busuk tercium dari jauh sebelum saya mencapai Pir Wadhai chowk, pertigaan penuh lobang jalan yang ironisnya malah menjadi tempat perhentian segala macam jenis bus antar kota yang berhenti di Rawalpindi. Menyengat, menusuk hidung, segala jenis sampah basah dan kering menyumbat selokan terbuka dengan air hitam yang tergenang. Debu dan asap hitam membungkus lingkungan manusia yang bertahan hidup. Ada orang makan di pinggir jalan, dikerubungi lalat beterbangan. Tempat ini adalah surga bagi serangga kotor itu, tetapi neraka bagi manusia yang tinggal di sana. Perkampungan kumuh semburat tak beraturan di dekat terminal ramai. Warnanya semua sama – coklat kemerahan, warna bata yang tidak dicat, warna tanah lumpur yang membungkus bumi. Sedikit variasi [...]

March 4, 2015 // 1 Comment

Titik Nol 131: Berjalan Lagi

Mata Hassan masih sembab melepas kepergian kedua anaknya (AGUSTINUS WIBOWO) Saya melihat tetes air menggenangi mata Hassan Shah melepas kepergian anak-anaknya. Saya teringat air mata yang sama mengalir di kedua belah pipi ibunda saya. Sudah sepuluh hari Karimabad terkunci dari dunia luar. Jalan Karakoram Highway, satu-satunya jalan yang menghubungkan Islamabad ke negeri Tiongkok melintasi barisan gunung tinggi Himalaya, tak bisa ditembus. Penyebabnya, badai salju menyebabkan beberapa titik sepanjang jalan ini ditimbun longsor. Batu-batu gunung raksasa bisa begitu saja berpindah tempat dari puncak sana ke badan jalan. Di belahan bumi ini, di tengah musim seperti ini, longsor batu sama lazimnya dengan chapati di pagi hari. Lebih dari sebulan sudah saya terperangkap di Hunza. Semula saya datang dengan tubuh lemah, nafsu makan minim, dan mata kuning mengerikan. Tetapi udara pegunungan surgawi yang berdaya magis dalam sekejap menyembuhkan penyakit saya. Setelah beristirahat sekian lama, rasanya segenap semangat hidup saya sudah kembali lagi, walaupun saya belum yakin kekuatan tubuh ini sudah pulih seperti sedia kala. Lepas dari hepatitis, sekarang saya ditekan rasa berdosa. Dulu semangat saya begitu meluap-luap, ingin segera membaktikan diri ke daerah gempa di Kashmir. Tetapi kini, saya tak lebih dari seorang turis lemah yang menghabiskan hari-hari di pondokan, menonton film India [...]

February 23, 2015 // 1 Comment

Titik Nol (127): Dusun Mati

Desa mati yang ditinggal penduduknya di musim dingin (AGUSTINUS WIBOWO) Dusun Karimabad terperangkap dalam sepi. Salju terus mengguyur, menyelimuti lereng gunung dengan warna putih yang merambah semua sudut. Teras-teras ladang bagaikan lautan salju yang berombak. Saya juga terperangkap di sini. Sekarang hanya ada seutas jalan yang menghubungkan Karimabad dengan dunia luar – Karakoram Highway. Ke utara, ke arah China, perbatasan ditutup total sejak awal Januari. Ke selatan, ke arah kota-kota Pakistan, jalan pun tertutup oleh longsoran batu gunung. Seluruh wilayah Northern Areas sekarang terperangkap dalam dunianya sendiri. Saya sudah ingin cepat-cepat meninggalkan surga di lereng Karakoram ini menuju Kashmir, tempat saya seharusnya bekerja sebagai sukarelawan. Tetapi harga karcis bus ke Rawalpindi sungguh mahal, 821 Rupee. Karenanya, saya langsung mengiyakan tawaran Akhtar, pemuda dari Sost, yang katanya mau berangkat bersama menuju Islamabad dengan kendaraan pribadinya. Tetapi janji orang sini tak boleh dipercaya seratus persen. Akhtar berkata, seminggu lagi kita berangkat. Saya sudah menunggu seminggu penuh, tak ada kabar juga. Komunikasi satu-satunya yang mungkin hanya via telepon. Di musim dingin begini, hanya ada satu warung telepon yang buka di Karimabad. Saya harus naik bukit hanya untuk sekadar menanyakan kapan ia berangkat. Jawabannya, bisa ditebak, “Mister,‘dua’ hari lagi”. Dua hari berikutnya, di bawah [...]

February 17, 2015 // 0 Comments

Titik Nol 119: Pelabuhan Darat

Hunza bukan lagi Shangri-La yang tersembunyi, tak terjamah peradaban manusia. Sejak Karakoram Highway selesai dibangun, desa-desa di pegunungan tinggi ini semakin terbuka bersama kemajuan dunia. Pembangunan jalan raya menembus gunung-gunung pada ketinggian di atas 4000 meter bukanlah hal yang mudah. Pemerintah Pakistan dan China bersama-sama mengerjakan proyek ini, membutuhkan waktu 20 tahun, dan baru selesai pada tahun 1986. Panjangnya 1300 kilometer, menghubungkan Islamabad dengan kota Kashgar di propinsi Xinjiang milik Republik Rakyat China. Medannya sangat berat. Pakistan menyebut jalan raya ini sebagai Keajaiban Dunia Kedelapan. Saya berhasil mengalahkan rasa malas, memaksa diri beranjak meninggalkan Karimabad menuju kota Sost, kota terakhir Pakistan sebelum perbatasan China. Saya dengar karena banyaknya orang China, di kota Sost kita bisa membeli makanan China yang asli citarasanya. Dua tahun lalu, saya sudah pernah sampai di sini. Para pekerja China sedang sibuk membangun dry port – pelabuhan darat, yang akan membangkitkan denyut nadi perekonomian di barisan pegunungan Karakoram. Waktu itu mereka sangat gembira, karena kiriman daging babi dari China baru datang. Bagi para pekerja itu, makanan Pakistan terlalu hambar dan tak sesuai lidah mereka. Di seluruh negeri, daging babi tak tersedia sama sekali dan harus diimpor untuk konsumsi sendiri. Selain itu, para pekerja juga tidak bisa hidup [...]

February 5, 2015 // 15 Comments

Islamabad – Friday Prayers

June 2, 2006 Most mosques are not for women I am staying in a friend’s house, whose father is quite a renowned religious leader in the country. Syed Asmat Gilani had been in Danmark and other parts of Europe in last few years, and his modern teaching of the religion had converted thousands of people to grab Islam. Today is Friday, the most important day in the week for the Muslims. Mr Asmat was invited to give speech in a mosque nearby, and he also invited me to attend the prayers. The speech was delivered in Urdu. Even not all parts of the speech that I understood, I could grab little bit of the teaching. The speech was about the soul of religion (mazhab ki ruh), that is feeling the existance of God in your heart. Religion should be from the heart. There are three phases of the religion, that are shariat (religion), tarekat (spiritual), and hakikat (truth). Somehow the teaching resembles what we learnt in Taoism, that the Truth, what they call here as Hakikat, is to be found in your inner heart. The scene of friday prayers, where hundreds of people inside the mosque, and hundreds more outside, [...]

June 2, 2006 // 0 Comments

Islamabad – Theft

April 11, 2006 Sebuah keluarga terpandang dan religius Saya tinggal di sebuah keluarga di Islamabad. Keluarga ini cukup terpandang dan mempunyai bisnis keluarga yang cukup besar. Secara religius pun sangat dihormati, karena mempunyai nama keluarga Syed, yang berarti keturunan langsung dari Nabi Muhammad. Keluarga Syed Ijaz tinggal di sebuah real estate besar di kawasan orang kaya Islamabad. Islamabad memang dipenuhi oleh orang-orang kaya dengan rumah-rumah raksasa macam istana, macam kompleks Galaxy atau Dharmo di Surabaya. Walaupun modern dan kaya, keluarga Ijaz amatlah sangat religius. Dalam keluarganya, ruang tamu dipisahkan sehelai kelambu, sehingga tamu laki-laki tak bisa melihat penghuni rumah yang perempuan. Hingga beberapa hari tinggal di rumah ini, aku pun tak pernah tahu ada siapa saja perempuan di sana. Yang jelas banyak sekali, namun selain anak-anak dan bari amma, tak satu pun yang pernah aku lihat secara langsung. Aku merasa aman tinggal di rumah ini. Aku disediakan sebuah sofa untuk membaringkan badan. Dan tas ku, yang berisi uang dan paspor, aku biarkan saja tergeletak. Toh dalam tradisi Muslim, jika kita bertamu, kita seharusnya mempercayakan diri kita kepada sang pemilik rumah. Pernah aku ingat seorang tuan rumah Uzbekistan yang marah-marah melihat seorang teman yang diundangnya mengunci pintu kamarnya. Bagi tuan rumah [...]

April 11, 2006 // 0 Comments

Islamabad – Wedding in the Capital (2)

April 9, 2006 Membaca Qur’an di rumah dulha Hari ini hari ketiga pernikahan, setelah mehndi kemarin. Acaranya, yang semula kata Ijaz dimulai pukul 12, ternyata terlambat lagi (seperti biasa di Pakistan) hingga pukul 2. Ijaz, sebagai teman terdekat mempelai pria, mengiringi mempelai pria dalam mobilnya. Arak-arakan mobil panjang berjalan dari Islamabad menuju Rawalpindi. Di dalam mobil ada yang bertanya tentang asalku. Aku jawab Pakistani. Mereka manggut-manggut, “Gilgit ya…”, dengan sok tahunya menambahkan, “memang orang Gilgit wajahnya mirip orang Cina ya…” Sebagaimana acara pernikahan lainnya di Pakistan, di sini juga acara mempelai pria menjemput mempelai wanita, istilahnya dulha menjemput dulen. Namun karena ini di kota, acara bukan lagi di rumah masing-masing mempelai, melainkan di sebuah Wedding Hall di pusat kota Rawalpindi, tepatnya di Liaquat Chowk. Wedding hall, bukanlah seperti halnya gedung pernikahan di Indonesia di mana piring-piring makanan membanjiri setiap perut pengunjung. Di sini, kami, para tamu laki-laki pengiring mempelai ditempatkan di sebuah aula bersama sang mempelai pria, sedangkan tamu-tamu perempuan di ruangan sebelah, yang dipisahkan oleh dinding dengan sebuah pintu. Pemisahan kelamin adalah hukum di Pakistan, dan di tempat ini pun hukum harus berjalan. Tak ada makan dan minum. Yang ada hanya menunggu. Aku sendiri tak tahu untuk apa acara [...]

April 9, 2006 // 0 Comments

Islamabad – A Wedding in the Capital

Dancing to celebrate April 8, 2006 Today was supposed to be my last day in Kashmir. Syed Ijaz Gillani offered me to go together to Islamabad where I could stay in his family house. He said that there would be a wedding ceremony that I probably interested to attend. He said that he would pick me very early in that morning, at 8, to go together to Islamabad. But not until 1 pm that he came. This kind of little bit delay of appointment is quite common in Pakistan. Some of my friends in Muzaffarabad would like to meet me for the last time. They came at 8 in the morning. Ali insisted to take me to his house to have breakfast. I refused as I was worrying Ijaz would came early. Ali, the 16 year old boy, said that he knew his countrymen much better than me. And he was right. Waiting, waiting, and waiting. They look so bored The morning was full of waiting. Those little boys of 16-20 years old were also enjoying the sexy gabshab (conversation). One scene I was so surprised to spot, that one guy had erected tool marked very clear behind his tight [...]

April 8, 2006 // 0 Comments

1 2