Recommended

jurnalisme

Byron Bay, 3 Agustus 2014: Festival Penulis

Bersama Janet Steele, Jono Lineen, Carina Hoanh, dan Bhuchung Sonam “So, where are you from?” tanya Janet Steele membuka panel diskusi “A Guest in Their Country” kepada kami para panelis: seorang pengungsi Tibet yang kini tinggal di Dharamsala, India; seorang Tionghoa Indonesia yang pernah mencari rumah ke negeri China; seorang pengungsi Vietnam yang pernah menjadi manusia perahu dan kini menikah dengan orang Australia dan tinggal di Australia; seorang Kanada-Australia yang kematian adiknya membawanya pergi ke Himalaya dan membuatnya menemukan agama baru—Buddhisme. Pertanyaan “Dari mana kamu?” adalah pertanyaan sederhana yang ternyata membutuhkan jawaban panjang. Bhuchung Sonam menceritakan bagaimana dia meninggalkan Tibet yang pernah menjadi rumahnya, ketika negerinya berada di bawah pendudukan China yang tidak akan pernah diakuinya sebagai tuan untuk negerinya, dan kini tinggal di India yang juga tidak pernah menjadi rumahnya. Bhuchung, dengan penuh kesedihan, mengatakan, dia tidak pernah kehilangan rumah karena memang dia tak punya rumah. Janet Steele, seorang jurnalis kawakan dari Amerika Serikat dan seorang Indonesianis, adalah moderator panel ini. Dia mengawali cuplikan dari buku saya Ground Zero, ketika saya berada di Kashmir di tengah keluarga pengungsi yang menjadikan saya sebagai bagian dari keluarga itu. Para pengungsi Kashmir itu berkata pada saya, “Agustinus, ke mana pun kamu pergi [...]

August 4, 2014 // 10 Comments

Selimut Debu 54: Hidup dalam Sejarah

Kebudayaan konservatif sudah mengakar di Taloqan jauh sebelum Taliban memperkenalkan persepsi mereka yang konservatif tentang Islam. Orang-orang di sini pun sebenarnya tidak suka Taliban. Kenyataannya memang sempat terjadi pertempuran sangat sengit di provinsi-provinsi utara Afghanistan ini melawan pendudukan Taliban. Ini membuktikan, agama bukan satu-satunya hal yang diperhatikan di Afghanistan. Orang-orang di Utara adalah masyarakat minoritas non-Pashtun, sedangkan Taliban adalah Pashtun yang berusaha menerapkan nilai-nilai mereka ke seluruh Afghanistan. Setelah perang panjang selama dua tahun, akhirnya Taloqan berhasil ditundukkan. Tetapi Taliban tidak pernah berhasil memperluas kekuasaannya lebih jauh dari Provinsi Takhar. Ke arah timur dari Takhar, provinsi Badakhshan, sama sekali tidak tersentuh Taliban (atau mungkin mereka juga tidak tertarik, karena sudah sibuk menghadapi perubahan dunia pasca 9-11). Berita tentang fundamentalisme selalu menjadi perhatian masyarakat. Pada Sabtu 22 Juli 2006 yang lalu, ada bom bunuh diri yang meledak di Kandahar, membunuh 10 orang dan mencederai 40 lainnya. Salah satu korbannya adalah jurnalis, juru kamera dari Ariana TV. Para jurnalis di Radio Takharistan membincangkan berita ini dengan penuh kengerian. Kandahar nun jauh di selatan sana—yang mengklaim diri paling religius—adalah dunia yang jauh berbeda dengan Takhar sini, kata mereka. Mereka mengolok-olok pemahaman Taliban yang sempit. Misalnya, Taliban melarang kerah [...]

January 9, 2014 // 0 Comments

Selimut Debu 53: Kota Burqa

Dengan langkah berat, aku melanjutkan perjalanan ke kota berikut. Hanya dua jam perjalanan dari Kunduz, tiba-tiba aku seperti merasa terlempar ke zaman lain. Kota Taloqan adalah ibukota Provinsi Takhar, salah satu provinsi di Afghanistan Utara. Takhar dulunya adalah bagian dari provinsi besar bernama Qataghan, yang kemudian dipecah menjadi Kunduz, Takhar, dan Baghlan. Taloqan juga panas di musim panas, tapi masih lebih sejuk kalau dibandingkan Kunduz. Kota ini berdebu, tapi jalanan beraspal mulus yang menghubungkan kota ini langsung dengan ibukota Kabul tampaknya menjanjikan masa depan yang sangat cerah. Aneh, di kota ini aku merasa seperti berada di Iran. Tidak seperti halnya kota-kota lain di Afghanistan yang pernah kulihat, Taloqan mempunyai papan penunjuk nama jalan dan rambu-rambu yang jelas dan mengkilap. Beberapa papan penunjuk jalan di pusat kota malah berlatar belakang warna-warni bendera Iran, dan bertuliskan “Afghanistan dan Iran”. Beberapa nama jalan berbau Iran, seperti “Ayatollah Komeini St.” Atau “Hafez St.” Juga ada nama pahlawan Afghanistan yang ada di mana-mana di negeri ini, yaitu “Ahmad Shah Massoud St.”  Ahmad Shah Massoud adalah pejuang etnis Tajik yang berasal dari lembah Panjshir, berperang melawan Taliban dan sekarang diangkat sebagai pahlawan nasional (diakui di Afghanistan kecuali oleh kebanyakan orang-orang Pashtun di Selatan, juga oleh para [...]

January 8, 2014 // 1 Comment

Selimut Debu 51: Peninggalan Gerilyawan

Apakah jatuhnya Taliban sudah berarti Afghanistan siap menyongsong era damai? Kering berpuluh tahun tidak bisa dihapus dengan hujan sehari. Perang berpuluh tahun tidak bisa terhapus dengan damai yang cuma sekejap. Kunduz adalah ibukota dari provinsi Kunduz, terletak hanya 60 kilometer dari perbatasan Tajikistan. Perjalanan dari Kabul ke Kunduz melewati gunung-gunung tinggi dan sejuk, tapi Kunduz sangatlah panas. Untuk datang ke sini, bus berjalan menembus gunung melewati Terowongan Salang, yang dibangun tahun 1960-an sebelum perang mencabik-cabik Afghanistan. Terowongan ini sangat panjang dan modern. Bisa dilihat, betapa dulu Afghanistan adalah negara yang begitu kaya dan maju. Udara panas di Kunduz sebanding dengan Kandahar atau Jalalabad, terkenal karena gelombang panas yang sangat parah di puncak musim panas. Ketinggian Kunduz hanya 400 meter di atas permukaan laut, sebuah penurunan drastis dari Terowongan Salang yang mencapai 3.363 meter. Kunduz seperti dasar sebuah mangkuk di Asia Tengah, tidak heran juga panasnya bisa menjadi-jadi seperti ini. Memasuki Kunduz, kita sebenarnya sudah memasuki Asia Tengah. Uzbekistan dan Tajikistan sudah sangat dekat. Tetapi bukannya orang Uzbek dan Tajik yang mendominasi kota ini, justru orang Pashtun yang berasal dari Afghanistan selatan. Aku disambut oleh Rohullah Arman, wartawan Pajhwok yang bertugas di daerah ini. Dengan sepeda motor superbesarnya, Arman segera membawaku [...]

January 6, 2014 // 1 Comment

Selimut Debu 48: Masa Lalu Gemilang

Mungkin masa lalu gemilang itu telah berlalu… Dengan sepeda motornya, Nikzat membawaku ke Tapa Sardar, peninggalan Buddhis di Ghazni. Tapa Sardar terletak sedikit di luar kota, dekat dengan jalan raya utama. Musafir China termasyhur, Hsuan Tsang dari Dinasti Tang mengunjungi situs religius ini pada tahun 644 M. Dari catatan perjalanannya, tertulis bahwa di tempat ini terdapat stupa raksasa di puncak bukit, ditemani dua bangunan yang mempunyai dinding yang diukir indah. Tetapi hampir sama sekali tidak tersisa apa-apa di sini. Seorang lelaki yang bekerja untuk Departemen Kebudayaan Ghazni berkata padaku bahwa Taliban telah menghancurkan segalanya yang ada di sini. “Masa lalu yang gemilang sudah berlalu sama sekali.” Menyedihkan. Afghanistan telah kehilangan ribuan tahun peradaban bersejarah hanya karena perang beberapa puluh tahun. Berabad-abad kejayaan dihapus hanya oleh beberapa tahun kebodohan. Sesungguhnya Tapa Sardar sudah hancur jauh lebih awal daripada itu. Juga karena perang. Sebuah catatan lain dari sejarawan Arab mengatakan, kehancuran pusat peradaban Buddhis di sini sudah dilakukan pada abad ke-8 M oleh serdadu Muslim. Saat itu, Ghazni perlahan berubah fungsi dari pusat peradaban Buddhis menjadi pusat peradaban Islam, dan raja-raja Muslim dari Arab maupun Afghanistan sangat terkenal dalam upaya mereka menghancurkan “berhala-berhala” agama Hindu atau Buddha, mulai dari Afghanistan, Pakistan, hingga [...]

January 1, 2014 // 2 Comments

Selimut Debu 47: Surat Apa?

Untuk memahami masa lalu peradaban Afghanistan yang gemilang, aku pergi ke Ghazni. Ghazni adalah ibukota provinsi dengan nama yang sama, terletak di utara Provinsi Zabul pada jalan raya Lintas Selatan Afghanistan yang menghubungkan Kabul dengan Kandahar. Udara di Ghazni cukup sejuk, apalagi jika dibandingkan dengan Kandahar. Ini karena Ghazni terletak pada ketinggian 2.000 meter di atas permukaan laut. Saat ini Ghazni termasuk daerah yang cukup rawan di Afghanistan, karena serangan Taliban cukup sering terjadi di berbagai wilayah provinsi. Tetapi semua orang meyakinkanku, kota Ghazni sendiri cukup aman untuk dikunjungi. Shehr Ahmad Haider adalah wartawan Pajhwok yang meliput daerah ini. Kantornya adalah ruangan mungil berukuran 3 x 5 meter di sebuah hotel dekat terminal bus menuju Kandahar. Ada dua komputer di ruang kerjanya, dan alat utamanya untuk mendapatkan berita adalah dua telepon genggam dan sebuah telepon rumah. Haider belum pernah bertemu Taliban, walaupun wilayah kerjanya ini sangat berkaitan dengan aktivitas Taliban. Semua wawancara dilakukan per telepon. Tapi dia tidak menganggur. Kenyataannya, dia bisa membuat minimal 5 artikel berita setiap hari, dan harus sibuk bolak-balik memutar nomor telepon dan mondar-mandir ke warung internet (hanya ada satu-satunya di kota ini, dan mematok harga yang cantik, Af 70 atau US$1.40 per jam). Teman dekat [...]

December 31, 2013 // 1 Comment

Selimut Debu 44: Jantung Negeri Bangsa Pashtun

Perang memang telah mengubah banyak hal tentang Kandahar. Tetapi tidak sedikit pula pernak-pernik kehidupan bangsa Pashtun yang tidak berubah. Tidak adil kiranya jika kita menganggap Kandahar hanyalah kota yang penuh kengerian dan kekerasan. Kota ini sesungguhnya adalah kota yang menyenangkan, terlepas dari panasnya musim panas nan ganas. Ya, suhu udara naik setiap hari. Saat aku datang 45 derajat, lalu besoknya 46, lalu 47, lalu 48, dan hari ini 49 derajat Celcius. Kenapa Kandahar sepanas ini? Ada dongeng tentang Baba Farid, seorang pertapa Sufi yang menghukum Kandahar karena penduduknya yang tidak ramah. Dia menyamar sebagai pengemis, meminta makanan di pinggir pasar. Tapi tidak seorang pun yang sudi mengasihaninya. Dia marah karena kelakuan para penduduk. Dia menangkap ikan dari sungai, mengangkatnya tinggi-tinggi ke langit. Matahari perlahan turun mendekat, memanggang ikan itu sampai matang dan bisa dimakan. Bukan cuma ikan yang dipanggang. Seluruh penduduk Kandahar pun menjadi bangkai gosong. Matahari yang mendekat, inilah alasan kenapa panas musim panas Kandahar begitu ganas. Panas beberapa hari ini semakin tidak tertahankan, karena pasokan listrik begitu buruk setelah Taliban menyerang pembangkit listrik di Helmand. Terlepas dari begitu banyak peringatan keamanan, aku memaksakan diri sendirian berkelana melewati gang-gang sempit di pasar kuno Kandahar. Ada empat bazaar utama: Herat [...]

December 26, 2013 // 2 Comments

Selimut Debu 43: Teror di Dalam Jiwa

Kemenangan dari teror adalah ketika ketakutan itu sudah merasuk-rasuk ke dalam jiwa. Kita bahkan tidak tahu lagi, apa sebenarnya yang kita takuti. Lam Li adalah seorang jurnalis Malaysia yang sudah dua bulan ini tinggal di Kandahar, menumpang di rumah seorang sahabatnya. Lam Li malah ingin mendapat pekerjaan di Kandahar. Dia sudah mengajukan surat lamaran ke banyak organisasi, seperti PBB, ANSO, UNAMA, dan sebagainya. Bukan cuma untuk mencari kerja sebenarnya, tapi Lam Li penasaran mengetahui ada apa di balik desas-desus penyelewengan dana miliaran dolar yang dilakukan oleh organisasi-organisasi raksasa di Afghanistan itu, yang tampaknya juga tidak memberi kemajuan berarti pada negeri ini. Begitu banyak surat lamaran yang dia kirim, tapi tidak ada balasan positif sama sekali. Dua bulan berlalu di Kandahar, hanya menunggu dan menunggu. Paspornya sampai dipenuhi stiker perpanjangan visa Afghan. Jangan lupa untuk melihat tulisan besar di bagian “Tempat Penerbitan Visa” yang berupa nama salah satu kota terseram di dunia: “KANDAHAR”. Memperpanjang visa di Kandahar juga berarti mengalami prosedur keamanan yang khas kota ini. Kantor Departemen Luar Negeri terletak tidak jauh dari kantor gubernur, dikelilingi tembok padat yang tinggi. Seperti halnya kantor pemerintah dan organisasi kemanusiaan penting lainnya di kota ini, tidak ada tanda-tanda sama sekali di kantor ini. [...]

December 25, 2013 // 0 Comments

Selimut Debu 42: Zona Perang

Di zona perang, ada sebuah kebijaksanaan yang harus kita ingat: tempat yang paling aman justru adalah tempat yang paling tidak aman. Saat berada di Kandahar, ingatlah jangan nongkrong di dekat polisi atau tentara. Pada tanggal 3 Juli 2006, di sepanjang jalan pusat perbelanjaan utama di Kandahar, yaitu di daerah kota baru (Shahr-e-Nao) di barat Perempatan Syahid (Shahidan Chowk), tiga orang pemotor menembaki jalanan secara acak. Ya, memuntahkan tembakan begitu saja ke berbagai arah, seperti anak kecil yang menembakkan pistol airnya sembarangan. Mereka sebenarnya menarget polisi, tapi penembakan liar ini bisa membunuh siapa saja yang sedang apes berada di jalanan. Untunglah, penembakan acak ini tidak membunuh siapa-siapa, dan para pelaku berhasil diringkus saat itu juga. Sesudah aksi penembakan, tidak perlu juga 10 menit, kehidupan di jalan itu sudah kembali normal. Para fotografer di pinggir jalanan Kandahar yang nongkrong sepanjang hari untuk menunggu pelanggan membuat foto identitas dengan kamera kuno mereka yang sudah berabad usianya, kini sudah kembali lagi melanjutkan pekerjaan mereka, seolah tidak terjadi apa-apa. Pepatah Inggris bilang, rasa ingin tahu bisa membunuh kucing. Di Kandahar, rasa ingin tahu bisa membunuhmu begitu saja. Apalagi kalau yang ingin kau ketahui adalah bom. Ini sudah sering terjadi. Bom meledak. Seketika datanglah pasukan mau [...]

December 24, 2013 // 2 Comments

Selimut Debu 25: Bamiyan, Setelah Tiga Tahun

  Siaran berita Hadi Ghafari di Radio Bamiyan (AGUSTINUS WIBOWO) Tiga tahun. Seiring dengan perputaran roda waktu, dusun kecil di lembah hijau ini pun turut menggeliat. Aku melangkah ke gedung Radio Bamiyan yang tersembunyi di gang kecil di balik jalan utama. Tiga tahun lalu, tidak ada stasiun radio di sini, tapi sekarang dusun kecil ini sudah punya stasiun radio, warung internet, dan segera memiliki stasiun televisi sendiri. Hadi Gafari yang bertanggung jawab sebagai pemimpin Radio Bamiyan ini mengatakan, teknologi sudah mulai terjangkau di sini. Internet mereka bersumber dari satelit yang berukuran besar di halaman belakang, mirip antena parabola, dan biayanya adalah US$ 600 per bulan. Bukan cuma teknologi, pasar Bamiyan pun tampak semakin sibuk. Jauh lebih ramai dibandingkan tiga tahun lalu. Barang yang dijual pun lebih bervariasi, mulai dari buah-buahan, gandum, sampai buku. Masyarakat yang dicekam ketakutan perang meletakkan buku pada prioritas terbawah dalam kebutuhan mereka, apalagi mayoritas warga Afghanistan buta huruf. Tetapi warga Bamiyan sekarang sudah mulai membaca buku! Bukankah ini sebuah kemajuan luar biasa? Begitu pun dalam hal penginapan. Dalam kunjungan pertamaku di Bamiyan, satu-satunya tempat menginap adalah Restoran Mama Najaf, yang harganya mahal, tamu hanya tidur di lantai di atas matras kumal, plus bonus kutu busuk dan [...]

November 29, 2013 // 1 Comment

Selimut Debu 23: Kantor Berita

  Pengalaman duduk di newsroom (AGUSTINUS WIBOWO) Pajhwok Afghan News adalah kantor berita lokal terbesar di Afghanistan. Aku beruntung diperkenalkan oleh seorang teman jurnalis Indonesia kepada direktur dari kantor berita ini. Mulai hari ini, aku pun mencicip pengalaman bekerja di newsroom. Berita yang dihasilkan Pajhwok dimuat secara Online dan diperbarui setiap menit. Mereka mendapat dana dengan berbasis langganan. Untuk berlangganan berita-berita dari Pajhwok, biayanya masih cukup mahal untuk standar kantong warga lokal. Biaya langganan tergantung dari status pelanggan, bisa mencapai US$200 per bulan untuk perusahaan besar, NGO asing, dan kedutaan. Kantor berita ini menyajikan berita dalam tiga bahasa, yaitu Farsi, Pashto, dan Inggris. Direktur Pajhwok adalah seorang pria etnis Pashtun yang kurus dan tinggi bernama Danish Karokhel. Dia memberikan padaku sejumlah buku yang bisa aku baca sebelum  aku berkeliling negara ini. Dia bahkan menjanjikan akan memberikan bantuan dari seluruh penjuru Afghanistan, karena kantor berita ini mempunyai kantor lokal di berbagai kota di Afghanistan. Danish memintaku datang pagi-pagi ke kantor untuk berjumpa dengan fotografernya. Pajhwok hanya punya seorang fotografer di kota ini, sedangkan sejumlah koresponden di luar kota juga mengirimi mereka foto-foto berita. Peralatan yang mereka gunakan hanyalah kamera digital kecil dengan merek Sony. Danish mengatakan aku bisa berdiskusi dengan Wali, [...]

November 27, 2013 // 1 Comment