Recommended

Kailash

Titik Nol 60: High Camp

Menuju puncak. (AGUSTINUS WIBOWO) Perjuangan kami hampir mencapai titik kulminasi. Di ketinggian ini, langit sudah begitu dekat. Kami sudah nyaris sejajar dengan puncak-puncak salju di seberang sana. Tetapi justru di tempat ini, kaki semakin berat dan semangat menggebu-gebu tertekan oleh udara berat. Thorung Pedi adalah desa tertinggi di Sirkuit Annapurna. Ketinggiannya 4450 meter, hanya dua jam perjalanan dari Letdar melalui jalan batu yang berlekuk-lekuk. Tanaman tak nampak sama sekali. Gunung batu yang kami lewati hanya satu warna – muram kelabu. Senada dengan warna batu yang kelabu itu adalah rumah-rumah di Thorung Pedi. Rumah batu ala Tibet. Sunyi. Ada satu penginapan di sini, cukup terkenal karena merupakan tempat menginap rombongan turis. Karena tak banyak saingannya, ditambah lagi posisinya yang susah, harga menginap, makanan, dan air bersih di sini sangat mahal. Sebiji apel harganya 15 Rupee, sedangkan di bawah sana nyaris gratis. “Dari Indonesia?” tanya pemilik penginapan, orang Tibet yang pandai cakap Melayu, “Kemarin juga ada orang Indonesia menginap di sini. Hari ini sudah berangkat ke atas dia, naik kuda.” Hah? Pasti si Nef. Terkenal sekali kawan kita yang satu ini, di mana-mana meninggalkan jejak. Tetapi setahu saya ia hanya berangkat berjalan kaki dari Manang. “Kasihan sekali dia,” kata pria Tibet bertubuh [...]

August 15, 2014 // 1 Comment

Titik Nol 49: Sirkuit Annapurna

Menuju puncak salju di atas sana. (AGUSTINUS WIBOWO) Bagi sebagian besar turis asing, Nepal berarti gunung. Negeri ini memang mungil kalau dilihat secara horizontal. Dilihat dari sudut vertikal, Nepal berada dalam jajaran atas negara tertinggi di dunia. Annapurna adalah serangkaian puncak Himalaya terletak di bagian barat Nepal. Annapurna I, puncak tertingginya mencapai 8.000 meter, dikelilingi saudara-saudaranya yang di atas 7.000 meter, senantiasa diselimuti salju dan memancarkan keagungan yang menjadi magnet datangnya turis ke negeri ini. Semula saya kurang begitu tertarik dengan kegiatan turisme seperti mendaki gunung. Melihat distrik Thamel di Kathmandu yang dipenuhi perusahaan wisata menawarkan jasa porter dan pemandu, saya langsung muak. Saya tak pernah tahu, bahwa trekking berkeliling gunung pun bisa dilakukan secara independen tanpa harus memakai jasa biro tur. Lam Li, si gadis Malaysia yang sudah berangkat dulu ke Annapurna, meyakinkan saya, “Keliling Annapurna pasti menarik sekali. Di sana, satu kali putaran, kamu bisa berjumpa delapan macam suku sekaligus, hidup di desa-desa yang masih asli.” Saya sangat tertarik dengan keragamam suku dan budaya, tetapi saya masih belum yakin saya bisa melakukan perjalanan seperti ini. Saya tak pernah punya pengalaman naik gunung. Sekali naik, mengelilingi gunung suci Kailash di Tibet nyaris celaka. Kepercayaan diri saya bertambah ketika berjumpa [...]

July 31, 2014 // 0 Comments

Titik Nol 27: Berbalut Khata

Puncak Everest dibalut awan.(AGUSTINUS WIBOWO) Cuaca di pegunungan berubah cepat. Yang tadinya langit biru dan gumpalan mungil, kini sudah menjadi mendung tebal menggelayut. Saya tak melihat apa-apa, hanya putih kelabu yang dingin. “Shushu,” kata Donchuk, tukang sepeda motor yang mengantar saya sampai ke Everest Base Camp ini, “Masuk dulu. Qomolangma memang tergantung nasib. Banyak orang yang sampai sini juga tak lihat apa-apa. Moga-moga besok cuaca bagus.” Saya kembali ke tenda. Yang tinggal di sini adalah kawan Donchuk dan istrinya. Keduanya berkulit hitam, kasar, terbakar matahari. Si suami mengenakan jaket hijau ala jiefangjun – Tentara Pembebasan, model pakaian China yang cukup populer di Tibet. Istrinya berwajah datar, dengan rambut panjang dikepang dan dililitkan melingkari kepala. Mereka tak bisa bahasa Mandarin dan saya tak bisa bahasa Tibet. Perbincangan kami lebih banyak tak sambungnya. Walaupun demikian, saya merasakan kehangatan sebuah keluarga sederhana Tibet. Si istri menyiapkan teh mentega – minuman utama orang Tibet. Cara membuatnya khusus. Air teh yang sudah bersih dari daun ditumbuk bersama dengan mentega, garam, dan susu. Tumbukannya juga tak biasa, kurus dan panjang, terbuat dari kayu. Teh susu mentega ini bisa pula jadi makanan, disiramkan ke bubuk jewawut tsampa, yang hasilnya kemudian menjadi bubur mirip makanan bayi. Tsampa asalah [...]

June 6, 2014 // 3 Comments

Titik Nol 17: Patah Semangat

Semakin dekat ke Lhasa, jalan mulai beraspal.(AGUSTINUS WIBOWO) Sembilan puluh jam berlalu sejak saya berangkat dari kota Ngari. Hujan rintik-rintik turun di Lhasa. Ransel saya, yang disimpan di bagasi, terbungkus lumpur lengket setebal satu sentimeter. Kaki saya lemas, ditekuk sepanjang jalan. Yang paling parah, motivasi saya turut hancur. Sembilan puluh jam yang terbuang di atas bus sempit dan pengap sudah menggerogoti semangat berpetualang saya.. Perjalanan di Tibet tak mudah. Saya sungguh takut menghadapi lintasan yang selanjutnya membentang di hadapan saya – Lhasa, Shigatse, Gyantse, sampai ke Nepal. Masihkah saya punya cukup keberanian untuk menyelundup tanpa permit, main kucing-kucingan dengan tentara dan polisi, menumpang truk sepanjang jalan sampai ke batas akhir perjuangan? Tubuh saya yang remuk redam sudah tak ingin lagi bermain gila-gilaan. Mendung tebal yang menyelimuti kota Lhasa seakan mewakili isi hati. Banakshol Hotel adalah salah satu penginapan paling legendaris di Lhasa. Petualang asing dan dalam negeri menginap di losmen bergaya arsitektur Tibet. Nuansa backpacker ghetto ala Khao San Road (Bangkok) atau Phan Ngum Lao (Saigon) yang jarang dijumpai di tempat lain di negeri China, hidup di sini. Saya menginap di sebuah dormitory bersama Man Fai si turis Hong Kong dan seorang turis lain asal Inggris yang hendak berangkat ke [...]

May 23, 2014 // 0 Comments

Titik Nol 15: Balik Haluan

Peliharalah persatuan bangsa, lawanlah perpecahan bangsa. (AGUSTINUS WIBOWO) Peruntungan saya mungkin memang tidak terlalu baik. Sampai pukul lima sore, di bawah bayang-bayang wajah tergores Gunung Kailash matahari masih panas menyengat, saya memutusukan untuk balik haluan. Kembali ke Darchen, lalu Ngari, kemudian dari sana baru cari bus ke Lhasa. Sudah seharian saya menunggu ke Barga, tak ada satu pun kendaraan yang lewat dari arah mana pun. Man Fai, si turis Hong Kong, sudah menampakkan wajah pasrah. Dahinya mengilap, kumis tipisnya tak karuan. Senyumnya sangat aneh. Tanda-tanda backpacker putus asa. Saya pun tak jauh beda sebenarnya. Sekali lagi, debu mengepul di kejauhan. Ini kendaraan ketiga yang datang dari arah Burang di selatan menuju ke Darchen atau Ngari di utara. Sebenarnya bukan tujuan kami, tetapi nampaknya cuma ini pilihan kami satu-satunya. “Saya sudah tidak mau menginap lagi di sini,” kata Man Fai, “saya harus cepat-cepat ke Lhasa. Waktu saya sudah tinggal sedikit. Tidak tahu lagi kalau menunggu di sini kapan akan ada kendaraan menuju ke Lhasa. Hao nan shuo…. Susah dikata…” Sama sepertinya, saya pun tak punya waktu banyak dengan visa China saya yang tinggal hanya dua minggu lagi. Walaupun bus ini bukan yang kami tunggu, tetapi melihat sebuah kendaraan sebesar ini terhenti [...]

May 21, 2014 // 4 Comments

Titik Nol 13: Danau Suci

Danau Suci Manasarovar. (AGUSTINUS WIBOWO) Saya tercebur ke dalam sungai dari mata air Kailash. Sungai ini dalam dan arusnya kencang. Tubuh saya terseret terbawa arus. Tangan pemuda itu dengan cekatan menangkap saya yang terjatuh dari batu. Basah kuyup saya menaiki batu-batuan ini. Tangan kanan saya dituntunnya. Sekali lagi saya terpeleset, nyaris hanyut. Tetapi bocah gembala ini tak hilang keseimbangannya. Saya begitu berterima kasih ketika berhasil mencapai tepi sungai. Saya tak bisa membayangkan apa yang terjadi jika hanyut sampai ke sungai besar di seberang sana. Kamera saya rusak. Paspor saya basah kuyup. Sekujur tubuh saya menggigil kedinginan. Tetapi saya harus maju. “Darchen masih jauh,” kata bocah itu dengan bahasa Mandarin yang terbata-bata. Ia menunjukkan peta Kailash dari buku pelajarannya. “Di sini sekarang kamu berada,” katanya menunjuk sebuah titik di sebelah barat lingkaran kora. Masih dua puluh kilometer lagi ke Darchen, dan hari sudah mulai beranjak senja. Dengan perasaan hancur lebur, saya menyeret kaki saya yang sudah mulai lumpuh untuk terus maju. Tiga jam perjalanan yang dilewatkan dengan meringis kesakitan. Saya bersorak gembira ketika sampai di sebuah desa. Ada tiang penuh dengan bendera doa. “Bukan. Ini bukan Darchen!” kata seorang turis Korea yang saya jumpai. Darchen masih 13 kilometer lagi jauhnya. Ini [...]

May 19, 2014 // 4 Comments

Titik Nol 12: Terbawa Arus

Meninggalkan rambut ayah bunda di Shiwa Tal (AGUSTINUS WIBOWO) Mantra suci Om Mani Padmi Hom masih terus bergema di hati saya, ketika kami memulai perjalanan kora keliling Kailash di hari kedua. Orang Tibet sungguh tangguh. Mereka menyelesaikan satu putaran kora, lintasan 52 kilometer ini hanya dalam waktu sehari. Berangkat subuh, sampai di Drera Phuk pagi hari, dan sekarang sudah menyalip saya yang terengah-engah kehabisan nafas, dan akan sampai kembali di Darchen malam nanti.. Dari arah berlawanan, juga datang rombongan peziarah yang bukan berjalan, tetapi merayap. Bagi mereka yang berteguh asa membaktikan diri sepenuhnya dalam ziarah ini, berkeliling Gunung Dewa dilakukan dengan merayap. ‘Merayap’, dalam artinya yang paling harafiah. Kedua lutut ditempelkan ke tanah, kedua tangan di samping badan menyeret perlahan-lahan ke depan, hingga sekujur tubuh tertarik dan tertelungkup di atas bumi. Kedua tangan diseret lagi, tubuh perlahan-lahan diangkat, berdiri, maju selangkah, komat-kamit membaca doa dengan mengatupkan telapak tangan, kemudian tengkurap lagi di tanah. Demikian seterusnya, sejauh puluhan kilometer melewati jalan datar, bongkahan batu, hingga sungai dingin di atap dunia ini. Tangan mereka boleh dilindungi sarung tangan dan sandal. Tubuhnya boleh dibalut karet tebal. Sakit perut boleh ditahan dengan obat. Tetapi semangat pengorbanan, melintasi tiga minggu penuh derita, sungguh tak tergantikan. [...]

May 16, 2014 // 5 Comments

Titik Nol 11: Om Mani Padme Hum

Wajah utara Kailash dilihat dari Drira Puk. (AGUSTINUS WIBOWO) Batu warna-warni berjajar. Di atasnya bertahta mantra suci Budha, “Om Mani Padme Hum”. Burung elang bertengger gagah di atas batu. Gunung suci Kailash menampakkan wajahnya yang tersembunyi di balik awan. “Perjalanan kora adalah penyucian jiwa,” kata si gadis China, Yan Fang, mengutip sebuah buku yang ia baca tentang kultur Tibet. Dan dalam perjalanan penyucian jiwa itu, orang harus menghadapi lika-liku, cobaan, hingga akhirnya sampai pada pencerahan. Padang rumput yang membentang dan langit biru yang menangkup, semua khusyuk dalam keheningan gunung-gunung. Sebuah hening yang malah membuat hati bergemuruh. Melihat mantra Om Mani Padme Hom tertulis dalam huruf Tibet di atas batu mani, hati saya bergidik. Mantra itu seperti bergema dalam hati saya. Perlahan, tapi tak pernah berhenti. Dari sebuah bukit, saya memandang ke arah padang rumput yang luas itu. Dua buah danau raksasa bersebelahan. Yang kiri berwarna biru, yang kanan berwarna hitam. “Yang kiri itu Danau Suci,” kata Yan Fang, “airnya adalah air suci. Orang Tibet juga ke sana, mengitari danau sampai belasan kali. Yang kanan adalah Danau Setan. Itu danau yang penuh angkara murka. Menyentuh airnya pun membawa petaka.” Danau Suci, dalam tradisi Hindu disebut Manasarovar, milik Dewa Brahma. Orang Tibet [...]

May 15, 2014 // 5 Comments

Titik Nol 10: Kora

Kailash menjulang di balik kibaran bendera doa. (AGUSTINUS WIBOWO) Orang Hindu menyebutnya Kailash. Orang Tibet menyebutnya Permata Agung. Dalam  bahasa Mandarin namanya Shenshan, Gunung Dewa. Menjulang pada ketinggian 6638 meter, bertudung langit malam yang cerah. Ribuan bintang bertabut di angkasa raya. Langit menangkup ke seluruh batas cakrawala. Lolongan anjing bersahut-sahutan. Bulan bulat purnama. Keheningan malam membungkus Darchen. “Kamu harus banyak istirahat,” kata Xiao Wang, pria Sichuan pemilik warung, “keliling Gunung Dewa bukan perjalanan mudah. Kalau dalam perjalanan nanti lelah, jangan dipaksa. Di atas sana oksigen sangat tipis.” Xiao Wang kemudian menceritakan tentang peziarah India yang bertubuh tambun dan mati di puncak sana. Tetapi karena ia Hindu, penduduk Tibet tak mengizinkan mayatnya dibakar di sini. Jenazah pria malang itu dibawa pulang lagi ke negaranya, melalui perjalanan panjang melintasi barisan gunung suci. “Malangkah pria itu? Sama sekali tidak,” lanjut Xiao Wang, “bagi mereka yang percaya, mati di tempat sesuci ini adalah berkah yang tiada terkira.” Sejak China mengibarkan benderanya di Tibet, Dalai Lama mengungsi, hubungan China-India terus memburuk, kesempatan bagi orang Hindu India untuk sekadar melihat wajah Kailash – tempat paling suci dalam agama mereka – sangat tipis. Hanya mereka yang teramat sangat beruntung yang bisa memperoleh visa datang ke sini. Kailash [...]

May 14, 2014 // 2 Comments

Titik Nol 9: Darchen

Sebagai dusun peziarah dan turis, Darchen dipenuhi hotel dan restoran. (AGUSTINUS WIBOWO) Cemas masih menggerayangi ketika mobil mulai oleng diterpa air sungai yang menderas. Kami tepat di tengah-tengah. Dua puluh meter ke belakang, dua puluh meter ke depan, untuk bisa keluar dari kubangan menyeramkan ini. Sopir memilih mundur. Para penumpang sudah menjerit marah bercampur ketakutan. Beberapa lelaki Tibet turun, ikut mendorong mobil yang tertambat. Tepat sepuluh menit berkubang, mobil kami akhirnya berhasil mencapai tepian. Para penumpang mendengus kesal. Barang bawaan mereka yang ditaruh bagasi belakang semua jadi hitam bercampur lumpur. Ibu polisi Tibet itu lebih sedih lagi, sekarung beras yang dibawanya juga jadi beras lumpur. “Itulah pengabdian,” katanya sambil menghela nafas panjang, ketika kami melanjutkan perjalanan. Saya tersentuh oleh pengabdian polisi senior ini. Gajinya cuma 2500 Yuan. Di Tibet, di tempat yang terpencil dengan semua harga barang melambung tinggi, gaji itu sama sekali tidak ada apa-apanya. Naik bus seperti ini sepuluh kali saja sudah habis. Untuk makan tiga orang aja selama satu bulan juga tidak cukup. Belum lagi untuk tabungan, biaya hidup anak dan keluarganya. Tetapi bu polisi tetap tegas menjalankan tugas, menegakkan hukum di pelosok terjauh Republik Rakyat China, tak peduli dengan rengekan orang asing yang melakukan perjalanan-perjalanan ilegal. [...]

May 13, 2014 // 0 Comments

Titik Nol 8: Polisi

Kota Ngari di ujung barat Tibet dihuni oleh mayoritas penduduk etnis Han dari pedalaman China. (AGUSTINUS WIBOWO) Sungguh tak enak rasanya menjadi pencuri. Saya yang masuk tanpa izin sama sekali ke daerah terlarang ini, sekarang malah duduk satu mobil bersama polisi China. Terminal bus kota Ngari, seperti sebelumnya, sepi. Tempat ini jauh dari mana-mana. Jangankan ke Beijing yang dipisahkan ribuan kilometer di balik puncak gunung salju dan padang gurun luas, dari sini ke Lhasa pun butuh perjalanan berhari-hari melintasi medan yang berat. Pintu keluar Ngari yang paling dekat adalah propinsi Xinjiang di utara, itu pun dua hari perjalanan melewati Parit Kematian. Tetapi terlepas dari keterpencilannya, Ngari justru paling dekat dengan ‘Pusat Dunia’. Sekitar tiga ratus kilometer di selatan Ngari, Gunung Kailash yang dimuliakan umat berbagai agama berdiri dengan gagah. Ke sanalah tujuan saya berikutnya. Harga angkutan di Tibet terbilang mahal. Untuk jarak Ngari sampai Kailash, harga karcisnya 230 Yuan. Kalau orang asing lebih mahal lagi, 300 Yuan. Untunglah saya masih bisa menyamar sebagai orang Tiongkok. Tetapi Seum dan Kim dengan bahasa kemampuan bahasa Mandarin yang pas-pasan, terpaksa membayar lebih. Kami bertiga duduk berimpitan di baris paling belakang. Sejatinya jip ini cuma muat tujuh penumpang, tetapi semua dijejalkan sampai sepuluh. Bagasi [...]

May 12, 2014 // 1 Comment

Titik Nol 6: Kerajaan yang Hilang

Pagi hari di Ngari, ketika gunung-gunung salju bersinar kemerahan dibilas mentari. (AGUSTINUS WIBOWO) Mashang, segera, dalam konsep sopir truk Uyghur ini ekuivalen dengan menunggu delapan jam. Truk merek Dongfeng – asli buatan China – baru berangkat meninggalkan Rutog menjelang malam setelah penantian dari siang tadi. Saya duduk berdesakan di bangku sempit sebelah sopir. Saya tak sendiri. Ada Ilya, seorang pesepeda dari Italia. Tibet memang surga bagi para pesepeda. Banyak yang datang jauh-jauh dari Eropa, menempuh perjalanan dengan sepeda melintasi Rusia dan Asia Tengah, masuk Tibet hingga ke Nepal dan India, atau berbelok ke Vietnam dan Asia Tenggara. Di mana-mana saya melihat pesepeda. Bukan hanya orang asing, pemuda-pemudi China pun sudah menempuh perjalanan keliling negara mereka yang luar biasa luasnya, hanya dengan sepeda. Lima tahun lalu, kegiatan menjelajah masih belum terlalu populer di kalangan generasi muda China. Anak muda yang saya temui di universitas semua sibuk belajar untuk meraih beasiswa ke luar negeri. Cita-cita mereka – melihat dunia luar. Waktu itu dengan paspor China sungguh sulit bisa ke luar negeri. Negara-negara lain tak mau memberi visa. Semuanya penuh perjuangan. Sekarang, ketika perekonomian sudah mulai maju, bocah-bocah dari kelas menengah sudah mengenal gaya hidup backpacking. Belajar giat, tetap. Tetapi waktu liburan juga [...]

May 8, 2014 // 1 Comment

#1Pic1Day: Pemujaan Mao | Mao Worship (Tibet, 2005)

Mao Worship (Tibet, 2005) Inside house of a Tibetan family nearby Kailash, pictures of Mao Zedong are placed together with Buddhist statues and symbols at the worshipping altar. Pemujaan Mao (Tibet, 2005) Foto-foto Mao Zedong diletakkan bersama dengan patung-patung Buddha dan simbol-simbol Buddhis di altar pemujaan di sebuah rumah keluarga Tibet di dekat Kailash.       [...]

November 29, 2013 // 1 Comment

#1Pic1Day: Kuil Keramat | Sacred Temple (Tibet, 2005)

Sacred Temple (Tibet, 2005) The ancient Chiu Gompa is located next to the Manasarovar Lake, the holy lake of gods. There are two giant lakes in front of the Kailash, one is Manasarovar (place of gods), and the other is Rakshastal (place of demons). Kuil Keramat (Tibet, 2005) Kuil kuno Chiu Gompa terletak di sebelah Danau Manasarovar, yang dianggap sebagai danau para dewa. Ada dua danau raksasa di hadapan Gunung Kailash, yaitu Manasarovar (tempat para dewa) dan Rakshastal (tempat para setan).     [...]

November 28, 2013 // 3 Comments

#1Pic1Day: Terlahir Kembali | A New Person (Tibet, 2005)

A New Person (Tibet, 2005) Pilgrimage to Kailash is a manifestation of Buddhist journey of life. After the whole journey, everybody is not the same anymore, a new person is reborn. But physically, everything is just the same. No special title, no special costume, no change of social status… pilgrimage is personal. Terlahir Kembali (Tibet, 2005) Penziarah ke Kailash adalah manifestasi konsep Buddhisme mengenai perjalanan hidup. Setelah perjalanan panjang, setiap orang tidak akan sama lagi, dan seseorang yang baru telah terlahir kembali. Tetapi secara fisik, semuanya masih tetap sama. Tidak ada gelar khusus, pakaian khusus, ataupun perubahan status sosial… karena ziarah adalah personal.   [...]

November 27, 2013 // 3 Comments

#1Pic1Day: Bukan Jalan Gampang | Not an Easy Way (Tibet, 2005)

Not an Easy Way (Tibet, 2005) Some Tibetan pilgrims take meaning of pilgrimage more seriously. Not only they have walked thousands of kilometers from their villages to the sacred mountain of Kailash, they also circumambulate the mountains by crawling, for 53 kilometer journey at 5000-ish elevation. Bukan Jalan Gampang (Tibet, 2005) Beberapa peziarah Tibet memaknai penziarahan dengan jauh lebih serius. Bukan saja mereka berjalan ribuan kilometer dari desa mereka untuk sampai ke Kailash, mereka juga mengelilingi gunung suci ini dengan merangkak, sejauh 53 kilometer sekali putaran pada ketinggian 5000-an meter.   [...]

November 26, 2013 // 3 Comments

#1Pic1Day: Bendera Doa | Prayers Flag (Tibet, 2005)

Prayers Flag (Tibet, 2005) The Tibetan Buddhists believe that the higher the place, the better it is to deliver their prayers. Therefore, top of hills or mountains are always holy, and it is the place to build ritual site or to put prayers flags. In the Kailash pilgrimage, at the highest section of the trek facing directly to the sacred mountain, pilgrims and monks deliver their prayers. Bendera Doa (Tibet, 2005) Umat Buddhis Tibet percaya, semakin tinggi tempatnya maka semakin baik pula untuk menyampaikan doa. Karena itu, puncak bukit atau gunung selalu merupakan tempat suci, dan orang Tibet mendirikan tempat pemujaan dan meletakkan bendera-bendera doa di tempat itu. Dalam perjalanan ziarah Kailash, titik tertinggi dari jalur perjalanan ini berhadapan langsung dengan gunung suci, merupakan tempat para peziarah dan biksu menghaturkan doa mereka. [...]

November 25, 2013 // 0 Comments

#1Pic1Day: Wajah Utara | The North Face (Tibet, 2005)

The North Face (Tibet, 2005) The north face of the holy mountain of Kailash is among important sections of Kailash pilgrimage. Kailash is regarded the holiest mountain for four religions—so holy that nobody is allowed to touch or climb it. The pilgrimage is done by walking to circumambulate the mountain. Wajah Utara (Tibet, 2005) Menyaksikan wajah utara gunung keramat Kailash adalah salah satu bagian penting dalam perjalanan ziarah Kailash. Kailash adalah gunung paling suci bagi empat agama, saking sucinya tidak seorang pun diizinkan untuk menyentuh atau mendakinya. Perjalanan ziarah ini dilakukan dengan mengelilingi gunung suci itu. [...]

November 22, 2013 // 2 Comments

#1Pic1Day: Kematian Simbolis | Symbolic Death (Tibet, 2005)

Symbolic Death (Tibet, 2005) A part of the Kailash pilgrimage journey is a site called Shiwa Tsal, where pilgrims leave some of their possessions here, usually clothes, shoes, or hair. The ritual is a symbol of death of our old life, and being reborn with a new spiritual life. Not far from here is the sky burial site, a reminder that nothing is eternal. Kematian Simbolis (Tibet, 2005) Bagian dari perjalanan ziarah Kailash adalah sebuah tempat bernama Shiwa Tsal, di mana para peziarah meninggalkan beberapa benda yang mereka miliki, biasanya berupa pakaian, sepatu, atau rambut. Ritual ini adalah simbol dari kematian raga kita yang lama, dan dilahirkan kembali dalam kehidupan spiritual yang baru. Tidak jauh dari tempat ini adalah tempat pemakaman langit (cara pemakaman Tibet di mana mayat ditaruh begitu saja di tempat terbuka sehingga menjadi santapan burung pemangsa dan hewan), sebuah peringatan bagi kita bahwa tidak ada yang abadi dalam dunia ini. [...]

November 21, 2013 // 2 Comments

#1Pic1Day: Perhiasan | Accessories (Tibet, 2005)

Accessories (Tibet, 2005) A Tibetan woman shows her beautiful accessories. She opens a pilgrim rest house in the midway of Kailash pilgrimage path. Perhiasan (Tibet, 2005) Seorang perempuan Tibet menunjukkan perhiasannya yang cantik-cantik. Dia membuka sebuah pondok peristirahatan bagi para peziarah yang mengelilingi Kailash. [...]

November 20, 2013 // 5 Comments

1 2