Recommended

Kashmir

Titik Nol 146: Di Bawah Temaram Lampu Minyak

Gembira menerima sheet CGI (AGUSTINUS WIBOWO) Sekali perjalanan naik turun gunung, mengumpulkan data puluhan keluarga korban gempa dalam sehari, rasanya sudah membuat remuk tulang punggung. Tetapi saya tersentuh oleh keramahan setiap keluarga miskin yang selalu menawarkan secangkir teh panas. Dalam kesengsaraan, mereka masih ingat berbagi kebahagiaan. Hari ini kami mengunjungi lima desa. Tiga di atas, dua di bawah. Ijaz mengajari saya, kalau berpapasan dengan perempuan, kita tak boleh memandang wajah mereka atau berkontak mata, harus cepat-cepat menunduk dan mengalihkan pandangan. Umumnya penduduk desa menantikan kedatangan kami, menyampaikan keluh kesah jumlah CGI sheet yang tak cukup, atau menyampaikan keberhasilan rumah baru mereka yang mungil namun nyaman. Untuk setiap penerima bahan bantuan, kami mencatat nama kepala keluarga dan nama ayah. Hanya mereka yang sudah berkeluarga saja yang berhak menerima. Banyak orang yang punya nama sama di Pakistan. Hampir semua orang namanya berasal dari Al Qur’an. Karena itu pulalah, nama ayah juga perlu dicatat untuk menjadi pembeda. Tetapi ada pula kasus di mana dua orang bisa punya nama sendiri dan nama ayahnya yang sama persis. Untuk kasus begini, yang paling berfungsi adalah nomor KTP. Setiap korban gempa yang menerima bahan bangunan harus menunjukkan dokumen. Mengerjakan laporan di kemah menjelang tidur (AGUSTINUS WIBOWO) Senja [...]

March 16, 2015 // 4 Comments

Titik Nol 145: Belajar di Atas Puing-Puing

Sekolah tenda (AGUSTINUS WIBOWO) Kemah biru besar terletak di bukit di atas perkemahan tim sukarelawan kami. Pagi hari, ketika kabut masih menyelimuti badan gunung, saya masih terbungkus selimut tebal mengusir dingin, bocah-bocah di luar sana sudah bernyanyi lagu kebangsaan. Di tenda biru itu mereka sekolah, belajar di atas puing-puing gedung sekolah yang sudah ambruk. Tenda ini sumbangan China. Tertulis huruf Mandarin besar – Jiu Zai – Pertolongan Bencana. Saya dulu pernah melihat ratusan tenda serupa di Aceh sehabis tsunami. Sekarang, tenda China ini juga populer di daerah gempa Pegunungan Kashmir. Hari ini, semangat anak-anak sekolah yang belajar di pagi yang masih dingin menggigit, turut membakar tekad saya untuk bekerja lebih giat. Walaupun medan sangat berat, saya membulatkan tekad untuk terus berjalan bersama Ijaz Gillani dan Manzur, dua sukarelawan asal Islamabad. Mereka orang kaya, tetapi tak segan bekerja di desa seperti ini. Tugas kami hari ini adalah mendata keluarga yang menerima sumbangan bahan bangunan rumah. Beberapa hari ini, NGO kami membagikan sheet CGI untuk atap rumah, yang katanya lebih tahan gempa dan sejuk di musim panas. Sekarang, beberapa keluarga sudah menyelesaikan pembangunan rumah mereka, dan tugas kami adalah mendokumentasikan aktivitas mereka. Total ada 500 rumah permanen yang dibangun di pegunungan ini, [...]

March 13, 2015 // 10 Comments

Titik Nol 144: Kehidupan di Tenda

Mencukur jenggot pagi-pagi (AGUSTINUS WIBOWO) Sudah tiga puluh jam lebih hujan turun tanpa henti. Kalau Jakarta, pasti sudah banjir bandang. Di Kashmir, tanah melorot dari barisan gunung-gunung tinggi. Gemuruh longsor sambung menyambung tiada henti, menciutkan nyali. Pagi yang baru sudah diusung ke Pegunungan Kashmir. Langit masih gelap, dibungkus mendung. Dari barisan tenda yang sepi itu, satu demi satu tirai tersibak. Suara sandal yang diseret-seret memecah keheningan pagi. Laki-laki membawa pot berisi air panas, mengambil wudhu dan menggosok gigi. Anis Sahab duduk di dalam tenda, memegang cermin kecil, mencukur jenggotnya dan menyisakan kumis lebatnya. Aslam Sahab sudah keluar, selimut dan tikarnya sudah rapi. Di pagi yang dingin, berbungkus jaket tebal, para sukarelawan sudah rapi jali. Sedangkan saya, ah, menyentuh air pun tak berani. Hanya menggosok gigi saja, itu pun sehari sekali. Karena kemalasan yang tiada duanya ini, lima hari kemudian, wajah saya jadi hancur diselimuti jerawat gemuk. Kawan-kawan Pakistan ini tidak memakai sikat gigi dan odol untuk menggosok gigi. Cukup dengan potongan batang kayu yang disebut miswaak atau maswak. Panjangnya sekitar 15 cm, diameternya kecil. Disodokkan ke dalam mulut, digosok-gosok. Kelihatannya nyaman sekali, karena potongan kayu itu bisa nyangkut di mulut mereka sepanjang hari. Kalau iseng, digosok-gosok lagi. Pantas saja gigi [...]

March 12, 2015 // 11 Comments

Titik Nol 143: Perkabungan

Acara jenazah (AGUSTINUS WIBOWO) Hujan rintik-rintik masih mengguyur pegunungan Kashmir. Dingin menggigit. Di bawah selimut tebal yang hangat terasa sangat nyaman. Memang waktu terbaik untuk tidur. Tetapi tiba-tiba datanglah berita duka itu. Saya membuka mata dengan malas. Sesaat saya lupa sedang berada di mana. Malam pertama di Noraseri, dengan suara gemuruh tanah longsor yang sambung-menyambung, mengantarkan segala macam mimpi aneh dalam tidur saya. Orang-orang mulai ribut dalam kemah, bicara dalam bahasa yang tidak saya mengerti. Anis, pria Kashmir empat puluh tahunan berkumis tebal ini menjelaskan dalam bahasa Urdu, “Ada banda (orang) yang barusan meninggal.” Bahasa Urdu saya masih pas-pasan sekali. Saya tidak menangkap maksudnya. “Apa? Ada bandar meninggal?” Para sukarelawan terpingkal-pingkal. “Bukan. Bukan bandar. Tetapi banda.” Belakangan saya tahu bandar artinya monyet. Sungguh kesalahpahaman yang tidak pada tempatnya, karena orang yang meninggal ini sangat dihormati di desa Noraseri. Suasana kembali serius. “Kemarin Haji Sahab, Pak Haji, masih ke sini. Dia masih segar bugar. Hari ini sudah meninggal?” Pak Anis masih tercengang dengan kabar yang disampaikan penduduk desa. “Sakit jantung! Memang sangat mendadak sekali!” “Kita mesti turun, ikut berbelasungkawa.” Para sukarelawan sibuk berdiskusi di kemah kami. Rashid menoleh ke arah saya. “Kamu ikut saja. Di sana kamu bisa potret-potret. Lumayan, baru [...]

March 11, 2015 // 2 Comments

Titik Nol 142: Sebuah Desa di Lereng Gunung

Barisan gunung salju terlihat dari Noraseri (AGUSTINUS WIBOWO) Tengoklah tanah Kashmir ini. Gunung-gunung hijau tinggi menggapai langit. Manusia, bak semut, bertaburan dari kaki, pinggang, hingga ke puncak gunung. Di kala malam, gunung-gunung itu seperti mengenakan pakaian berkelap-kelip. Indah sekali. “Tetapi bayangkan ketika gunung yang menggapai langit itu, tiba-tiba, ditumpahkan ke atas kepalamu,” kata Syed Abid Gilani, pemimpin LSM Danish Muslim Aid di Islamabad, “itulah yang terjadi di Kashmir.” Ia menitikkan air mata. Siapa yang tidak menangis meratapi bencana yang menimpa tanah Kashmir, surga di muka bumi? Bahkan setelah gempa bumi ini pun, tempat ini masih teramat indah. Muzaffarabad gemerlap di waktu malam. Bukit-bukit diselimuti rumah penduduk. Setiap rumah menyalakan lampu, menjadikan bukit ini tidak hanya berselimut gelap yang muram. Saya malah teringat Hong Kong. Walaupun tidak ada gedung tinggi di sini, Muzaffarabad tak kalah cantiknya. “Listrik, air, semua gratis untuk korban gempa selama enam bulan, 24 jam sehari,” kata Rashid. Tak heran semalam suntuk semua orang menyalakan lampu. Kota ini seperti lautan bintang yang berkelap-kelip, mendaki dari permukaan bumi, menyusuri lereng gunung, hingga ke langit tinggi bergabung dengan bintang yang sesungguhnya di batas cakrawala. Tetapi banyak di antar penduduk yang kurang beruntung. Bukannya menikmati fasilitas gratis ‘pelipur lara’ dari pemerintah, [...]

March 10, 2015 // 9 Comments

Titik Nol 141: Dari Reruntuhan

Bocah-bocah pengungsi (AGUSTINUS WIBOWO) Mulai hari ini saya punya gelar baru – sukarelawan. Saya sudah berada dalam mobil milik Danish Muslim Aid, sebuah organisasi kemanusiaan, menuju ke Kashmir yang diluluhlantakkan  oleh gempa bumi 8 Oktober 2005. Sudah lama sekali saya ingin ke Kashmir. Saya teringat betapa bulatnya tekad saya untuk menjadi sukarelawan gempa ketika memohon visa Pakistan di New Delhi, lima bulan silam. Tetapi setelah mendapatkan visa, saya malah menyempatkan berkeliling Rajasthan, dan akhirnya mendapat penyakit hepatitis. Mungkin Tuhan mengingatkan saya akan komitmen yang saya buat dahulu. Ada perasaan tertekan dan bersalah, ketika harus menghabiskan hari-hari dengan beristirahat di pegunungan Hunza untuk memulihkan diri dari sakit kuning. Perasaan bersalah akan pengingkaran janji. “Mana Agustinus yang dulu bercita-cita jadi sukarelawan? Mana semangat sosialnya yang menggebu-gebu? Sekarang mengapa malah jadi turis di Hunza?” demikian bunyi e-mail Lam Li yang langsung menampar saya tanpa basa-basi. Hari ini, saya sudah resmi jadi sukarelawan, walaupun terlambat. Seorang kawan di Islamabad menjadi kepala organisasi Danish Muslim Aid (DM-Aid) yang menghimpun dana bantuan dari Denmark. Saya diminta membantu mendokumentasikan kegiatan mereka di lapangan. Saya berada di dalam mobil organisasi bersama Rashid, seorang sukarelawan juga. Rashid masih berumur 25 tahun, tetapi kumis tebalnya membuatnya tampak jauh lebih tua [...]

March 9, 2015 // 0 Comments

Titik Nol 140: Kota Modern

Kota Islamabad yang modern (AGUSTINUS WIBOWO) “Yang istimewa dari Islamabad adalah,” kata Syed Khalid Raza, pemuda Islamabad, “ibu kota ini terletak sepuluh kilometer jauhnya dari Pakistan.” Berada di Islamabad, kita seakan sudah bukan lagi berada di Pakistan. Lupakan hiruk pikuknya Rawalpindi, benteng dan masjid kuno Lahore, gang sempit yang meliuk-liuk di tengah bazaar Anarkali, atau kereta keledai yang hilir mudik di jalanan kota Pakistan. Di sini bukannya tempat jalan bolong-bolong dan genangan air hitam berbau busuk, bukan pula tempat asap hitam kendaraan bermotor mengotori udara. Selamat datang di sebuah kota masa depan Pakistan, di mana gedung tinggi menjulang sepanjang jalan raya yang mulus, lurus dan lebar, di mana mobil mewah berseliweran, dan rakyat Pakistan meletakkan kebanggaannya. Sebelum tahun 1960, Islamabad bukan apa-apa. Ibu kota Pakistan sejak negeri ini terpisah dari India pada tahun 1947 adalah Karachi. Kota Karachi, jauh di ujung  propinsi Sindh di selatan, di tepi Laut Arab, dianggap kurang strategis letaknya. Presiden Ayub Khan kemudian memindahkan ibu kota ke Rawalpindi pada tahun 1958 lalu pindah lagi ke Islamabad dua tahun kemudian. Ibu kota ini sepuluh kilometer jauhnya dari Pakistan, demikian gurauan penghuni Islamabad. Walaupun jaraknya hanya beberapa kilometer dari Rawalpindi – kota terdekat dan dinyatakan sebagai sister city [...]

March 6, 2015 // 0 Comments

Titik Nol 131: Berjalan Lagi

Mata Hassan masih sembab melepas kepergian kedua anaknya (AGUSTINUS WIBOWO) Saya melihat tetes air menggenangi mata Hassan Shah melepas kepergian anak-anaknya. Saya teringat air mata yang sama mengalir di kedua belah pipi ibunda saya. Sudah sepuluh hari Karimabad terkunci dari dunia luar. Jalan Karakoram Highway, satu-satunya jalan yang menghubungkan Islamabad ke negeri Tiongkok melintasi barisan gunung tinggi Himalaya, tak bisa ditembus. Penyebabnya, badai salju menyebabkan beberapa titik sepanjang jalan ini ditimbun longsor. Batu-batu gunung raksasa bisa begitu saja berpindah tempat dari puncak sana ke badan jalan. Di belahan bumi ini, di tengah musim seperti ini, longsor batu sama lazimnya dengan chapati di pagi hari. Lebih dari sebulan sudah saya terperangkap di Hunza. Semula saya datang dengan tubuh lemah, nafsu makan minim, dan mata kuning mengerikan. Tetapi udara pegunungan surgawi yang berdaya magis dalam sekejap menyembuhkan penyakit saya. Setelah beristirahat sekian lama, rasanya segenap semangat hidup saya sudah kembali lagi, walaupun saya belum yakin kekuatan tubuh ini sudah pulih seperti sedia kala. Lepas dari hepatitis, sekarang saya ditekan rasa berdosa. Dulu semangat saya begitu meluap-luap, ingin segera membaktikan diri ke daerah gempa di Kashmir. Tetapi kini, saya tak lebih dari seorang turis lemah yang menghabiskan hari-hari di pondokan, menonton film India [...]

February 23, 2015 // 1 Comment

Titik Nol 110: Chalo, Pakistan

Bendera Pakistan dan India turun bersamaan (AGUSTINUS WIBOWO) Pakistan di hadapan mata. Perasaan berdosa menyelimuti diri saya. Mengapa saya masih belum juga melintas gerbang perbatasan itu? Enam minggu yang lalu, saya bersorak gembira ketika visa Pakistan tertempel di paspor saya. Orang-orang Kashmir menyemangati saya, dan ikut merayakan kemenangan perjuangan visa saya. Tawa itu, air mata kebahagiaan itu, tak akan pernah saya lupakan. Tetapi, bukannya cepat-cepat berangkat ke Pakistan, saya masih menyempatkan bermain ke Rajasthan, dengan justifikasi untuk menenangkan diri setelah frustrasi berhari-hari di New Delhi. Banyak pengalaman menarik yang saya alami, membuat saya semakin betah di India, semakin melupakan Pakistan. Hingga pada akhirnya datang penyakit ini – kuning merambah mata dan tubuh, lemas melambatkan langkah, rasa mual mengeringkan perut. Mungkin peringatan dari Tuhan, mungkin pula hukuman karena saya melupakan komitmen sendiri. Saya berdiri di depan pintu perbatasan, tertunduk lesu. Sementara di sekeliling saya suasana gegap gempita menggelorakan jiwa nasionalisme India. “Bharat mata ji, jay! Bunda India, jayalah!” ribuan orang India bersorak sorai di depan perbatasan Pakistan. Genderang bertalu-talu. Gemuruh siswa sekolah serempak melantunkan    “Hindustan Zindabad! Hindustan Zindabad! Hidup India! Hidup Hindustan!” Perbatasan India dan Pakistan terletak tepat di antara kota Amritsar dengan Lahore. Dulu, sebelum India dan Pakistan dibelah, [...]

January 23, 2015 // 7 Comments

Titik Nol 72: Visa Profesional

Seorang pedagang dari Srinagar di Kashmir, salah satu pendukung saya untuk terus tetap berjuang demi visa Pakistan. (AGUSTINUS WIBOWO) Permusuhan antara India dan Pakistan menyebabkan New Delhi sebagai salah satu tempat paling susah untuk memperoleh visa Pakistan. Bagi sebagian besar orang India, pergi ke Pakistan hampir sama sekali mustahil. Demikian pula sebaliknya. Perseteruan kedua negara tetangga ini, yang dulu sama-sama di bawah pemerintahan British India, sudah diwarnai beberapa kali pertempuran dan perlombaan senjata nuklir. Walaupun demikian, kedutaan Pakistan selalu ramai dipenuhi orang-orang yang mencoba peruntungan untuk memperoleh izin masuk ke negeri itu. Banyak di antara para pemohon visa ini adalah Muslim dari Kashmir. Tanah Kashmir terbelah dua. Sebagian di bawah kontrol India, sebagian sisanya di bawah Pakistan. Para pemohon visa ini umumnya punya sanak saudara di Kashmir-nya Pakistan yang menjadi sponsor visa. Tanpa undangan dari Pakistan, sulit sekali bagi seorang warga negara India bisa mendapat izin ke Pakistan. Kalaupun mereka mendapat visa, bukan berarti mereka bisa berkeliaran bebas di Pakistan. Untuk warga India, Pakistan hanya memberikan city visa. Hanya kota-kota tertentu yang ditulis di atas visa yang boleh dikunjungi. Misalkan seorang India mendapat visa untuk Lahore, maka ia tak boleh ke Karachi. Hal yang sama juga diberlakukan oleh India kepada [...]

September 2, 2014 // 1 Comment

Titik Nol 4: Surga Burung

Danau Pangong (AGUSTINUS WIBOWO) Pegunungan Kunlun membelah dunia. Di utara, Xinjiang dibungkus debu yang beterbangan dari gurun Taklamakan. Kering dan panas. Begitu melewati puncak Satsum La, dunia berubah menjadi padang rumput hijau menghampar di kelilingi gunung salju, ditangkupi langit biru. Tibet adalah sebuah dunia lain. Di sini banyak kisah tentang kehidupan di puncak bumi, di tanah yang dipeluk langit dan mega. Ada Parit Kematian yang menghantar maut, ada gunung tak berpenghuni dengan desingan angin lembah, dan sekarang, saya tiba di sebuah danau yang terhampar laksana lukisan surgawi. Danau Pangong, atau Pangong-Tso, bukan sembarang danau. Terletak pada ketinggian 4300 meter di atas permukaan laut, panjangnya sekitar 150 kilometer, lebar rata-ratanya cuma empat sampai lima kilometer. Pada bagian tersempit lebarnya cuma lima meter saja. Dengan bentuknya yang mirip lidah panjang, danau ini terbentang dari pegunungan Tibet sampai ke Kashmir. Sekitar 100 kilometer danau ini masuk wilayah China, sisanya lagi di seberang perbatasan India. Yang membuat danau ini tak biasa adalah di sisi China airnya tawar dan segar, sedangkan di sisi India berubah menjadi air asin. Hanya saya dan Deng Hui yang turun di tepi danau ini. Kernet bus Tibetan Antelope menurunkan tas ransel kami berdua dari bagasi. Dua hari perjalanan dengan bus [...]

May 6, 2014 // 0 Comments

Globe Asia (2007): Solo Travel – Wealth of Experience

  SOLO TRAVEL: WEALTH OF EXPERIENCE Holiday season is approaching and perhaps it’s time to do something different. Try solo traveling. The trip might be more costly than joining an arranged tour but the joy of discovery is more than adequate reward, say Agustinus Weng and Nefransjah. BY MARY R. SILABAN Flying business class, staying at five-star resorts, joining a flock of fellow tourists in an air-conditioned bus and eating a sandwich while visiting an ancient temple is not how Nefransjah and Agustinus Wibowo like to travel. The two independent travelers, or what people usually call backpackers, demand the freedom to add their own flavor. While on the road, Nefransjah tries to be as close as he can to the street, and that means taking as few air flights as possible and avoiding the usual tourist sites. “1 want to absorb all the local ambience,’ says the 37 year-old. For Agustinus, 26, there’s no thought of joining a group tour. “When we travel solo, we have the closest contact with the local community. We can communicate with the locals and learn much valuable knowledge rather than merely historical facts a tour guide may provide you, says Agustinus. The young traveler [...]

June 29, 2007 // 1 Comment

Six Months in Pakistan – A Conclusion

How I missed Pakistan badly Six months in Pakistan? Six months might be a long period, but might also be an incredibly short of time to enjoy a country named Pakistan. My six months in Pakistan made me learn many things, but also made me feeling I knew almost nothing about Pakistan. It’s a country of love and hospitality, but it’s also country of grieve and anger. Trying to conclude about my six month of experience in Pakistan in this one posting, is indeed a difficult task. OK, rather than thinking about where to start, let’s start from the hospitality. Everybody, I am sure, who comes for the first time in Pakistan, would be overwhelmed by the hospitality of the people. The concept of ‘mehman’ or ‘guest’ in Pakistan is a very big deal. Pakistanis feel honoured to serve guests, to protect them, and to give them anything they need. Sometimes the mihmannavazi or hospitality reach to some extends that is difficult to believe. A Kashmir earthquake victim may sacrifice all of the chickens he has to provide the best biriyani for the dinner of the guest, despite of his own difficulty of daily food. Invitations for tea and dinner [...]

June 12, 2006 // 0 Comments

Muzaffarabad – Good Bye Noraseri

April 4, 2006 Time to say goodbye The day to leave Noraseri had come. I had spent quite a month here, and I felt it was already my second home. The people, now I prefer to say, the friends, were so deep in my heart. Farman said that Noraseri had been my second home. He might be right. I would like to return back here to meet again the friends in this village. But now I had to leave to continue the journey. The farewell was not easy. I had such a limited time, because Rashid from the NGO had called earlier in the morning, saying that I had to return to Muzaffarabad before one, so I may copy the photos of the project. He was leaving to Islamabad and brought the computer back from the office. The office was going to be emptied. And I had to rush. It was impossible to say farewell to everybody. I started in Doctor Shahab’s house. Together with Junaid and his cousin, Mubasshar, I went to Mubasshar’s house. Mubasshar father was coming a little bit late, after some work in the dispensary. Like Doctor Shahab, Mubasshar family was quite a rich family before [...]

April 4, 2006 // 0 Comments

Kandar – The Land of Fighters

April 3, 2006 Helicopter bringing aids to Harama. Imagine how those angry fighters hijacked the flying copter First, the rumors. The name of Kandar is full of myth, ask every villager of Noraseri, and his face will be filled by fear. Not only villagers from Noraseri, but the fame of Kandar had reached areas as far as Pattika and Muzaffarabad. The people of Kandar had made their popularity around the hills. Kandar, located on the top of the hill just behind, is visible from Noraseri. Seemed as close it was, the real four kilometer distance was somehow an unreachable gap for the villagers from Noraseri. It was the image of Kandar which put down the people of other villages. I have heard the rumor about Kandar for the first time from Rashid who told me how ‘nonsense’ these people were. Rashid said that no NGO was working there, as the NGOs were afraid of Kandari. Kandar, accidentally the name resembled “Kandahar”, one of the most dangerous areas in Afghanistan. It was a joke that Kandar was Kandahar of Kashmir. Once upon a time in history, somewhere in a time dimension after the disaster, there happened a helicopter was hijacked by [...]

April 3, 2006 // 0 Comments

Noraseri – The Doctor Shahab Family

April 2, 2006 Doctor Shahab with my Indonesian cap The NGO camp was emptied already today. The scars of the tents left another scars in people in neighborhood. It was Doctor Shahab, born as Khani Zaman, among those who used to come at least one time in a day to our camp area. He was an old man in his sixties, and everybody called him as Mister Doctor, or Doctor Shahab. I believed he was a doctor, until Hafizah told me that he never been a doctor. It turned out to be that he was a pharmacist, and used to be a driver of an ambulance of Edhi Foundation. His work was not that far from doctor anyway. The first time I knew Doctor Shahab was the same date when the Hajji Shahab passed away. The two occasions still made me confusing the two names many of the times. Doctor Shahab was there in the funeral day of Hajji Shahab, claiming that he was a friend of President Soekarno in school time, and asked me to send a dozen of Indonesian caps. He was humorous, he was optimistic, and he was intelligent. He lost his wife in the earthquake, but [...]

April 2, 2006 // 0 Comments

Noraseri – The End of Mourning Days

Mahfil, another party to commemmorate the 40th day after the death of Mister Hajji April 2, 2006 The time passed very fast. When I came to Noraseri for the first time, the ground was dry and the hills were yellow. But spring had touched Kashmir, that the flowers had blossomed and the hills were carpeted by green rugs. It had been at least forty days since my first coming here. And the project of Danish Muslim Aid NGO had almost finished. The neighboring families had a queue to invite the personnel of the NGO to their house to have dinner or lunch. Three days ago it was Uncle Bashir’s family, then Doctor Shahab, then we had breakfast in Afaq’s house, and yesterday it was the turn of Farman Shah. The work had almost been completed. The dispensary was just some wood sticks, but now it had been walled and roofed by CGI sheets. Two days ago I came back from Muzaffarabad to make documentation of the NGO works in Pattika and yesterday it was the day of Harama and Noraseri. Most of the people were cooperative, except one woman who refused to put the emblem in her house saying that [...]

April 2, 2006 // 0 Comments

Noraseri – Homesick

March 29, 2006 Totally devastated, but life has to go on Time passed very fast, and it had been my thirtieth day in the NGO camp in Noorasery. I was reading some printed material from Andreas Harsono blog (andreasharsono.blogspot.com) which explained about some basics of journalism. This weblog was recommended in the photographer website. It was indeed enlightening. The posts were mostly in Indonesian, and the articles about investigative journalism, how to write in English, some basic elements of journalism, the narrow Indonesian nationalism in tsunami disaster, and the literal journalism were very well-written that I thought deeply about my country. He was right, Indonesia, our country, was full of problems. It was not difficult to see injustice, suppressed people, poverty, mysteries, struggles, and so on. I felt that somehow I wanted to dedicate myself deeper to the journalism world. But I still had too much to learn, as my educational background was not exactly fit with this new life I am trying to start. There is no reason to complain. Live here is much harder. Reading the articles in Indonesia made me really homesick. I dreamt about Indonesia, and somehow wanted to be there soon. I missed the food, [...]

March 29, 2006 // 2 Comments

Muzaffarabad – Poems from Kashmir

March 27, 2006 The beautiful Kashmir is endless source of inspiration During my stay in the area, people kept teaching me various things to be more proper Pakistani or Urdu speakers. That was including those meaningless Noraseri Hindko salaams of ‘gay Barhean’ or ‘mu ko ni pata’. But here I would like to share some interesting ones. This was the national poem (komi trana) of Kashmir. National poem? Yes, Kashmir was still regarded as ‘not Pakistan’; it had its own flag and national anthem also. The national poem had simple words, nice rhyming, and easy to remember. So, let’s start. Baghon aur Baharonwalla (the gardens and the spring) Daryaon aur Kohsaronwalla (the rivers and the mountains) Jannat ki Nazaronwalla (the heavenly scenery) Jammu Kashmir HAmira (Jammu and Kashmir are ours) Vatan HAmira, Azad Kashmir, Azad Kashmir, Azad Kashmir (Our Homeland is the Free Kashmir) The part with ‘jannat’, ‘heaven’, I had problem with my memory. We were in the jeep and the guys asked me to read the poem to them. As I remembered that heaven was always to be coupled with hell, so I read ‘jannat aur jahanamwalla’, ‘the heaven and hell’. People laughed. Even the ladies hiding their [...]

March 27, 2006 // 0 Comments

Noraseri – Where is the Bride?

March 26, 2006 A night before I started to suspect the so-called ‘sexy gabshab’, sexy conversations of the boys, which included physical jokes like touching, hugging, and kissing. Yesterday a boy successfully reached my bed and found his way to hide under my blanket, and gave me massage. I thought it was just a normal massage of friends. But his hand always tried to guerilla to ‘that’ place. I prevented him to. And accidentally touched ‘his’ and I was surprised that he was erected. I jumped. I cursed, “Harami!”. End of joke. It was raining the whole day yesterday. It was a sudden, like weathers in mountain areas, changed drastically in minute basis. It was terribly hot day the day before. But the radio forecast that the rain would be for three consecutive days. For sure the main road which connected the village and the outside world was blocked by the landslides. See my cupboard! For today, after doing a short time of documentation of eighty shelter homes in Harama village (no obvious relationship with ‘Harami’), I went back to Noraseri, hearing that there would be a wedding to be held. I was invited by Vicky’s brother. Vicky was a [...]

March 26, 2006 // 0 Comments

1 2 3