Recommended

kehilangan

Titik Nol 111: Negeri Berjuta Warna

Negeri berjuta warna (AGUSTINUS WIBOWO) Hindustan, negeri Bharat yang jaya, meninggalkan berbagai kenangan. Berjuta warna satu per satu diputar kembali dalam memori saya, ketika matahari mulai perlahan-lahan terbenam menerbakan semarak senja di kota Amritsar. Ini adalah senja terakhir yang saya lihat di negeri ini. Saya datang ke India dengan secarik mimpi. Mimpi yang saya dapatkan dari beberapa film Bollywood yang pernah saya tonton. Gadis cantik berpakaian bak putri raja tinggal di rumah seperti istana, mengejar cintanya pada pangeran tampan, yang kemudian menari bersama diiringi ratusan orang yang entah muncul dari mana. Mimpi Hindustan yang saya bawa adalah mimpi tentang kehidupan gemerlap, semua orang kaya, punya mobil mewah, punya lusinan pembantu, sopir berseragam, kepala rumah tangga yang cerdas, dan helikopter di atap rumah. Tetapi, secuil Hindustan tempat saya menginjakkan kaki pertama kali adalah stasiun kota Gorakhpur, di mana pengemis bocah merintih tanpa henti, sapi berkeliaran di dalam peron, dan orang yang tidur di lantai tanpa alas. Selanjutnya adalah New Delhi yang penuh dekan tukang tipu di pasar, teriakan “Hallo! Hallo!”, bau pesing, jalan bolong-bolong, losmen tempat pasangan manusia mengumbar nafsu birahi, penderita kusta dan tumor terbaring tak berdaya di pinggir jalan yang hiruk pikuk oleh pejalan lalu-lalang namun tak satu pun [...]

January 26, 2015 // 2 Comments

Titik Nol 46: Laporan Kehilangan

Ruang kerja kantor polisi Hanuman Dhoka. (AGUSTINUS WIBOWO) “Sudahlah,” Lam Li menghibur saya yang masih bersedih gara-gara dompet yang tercopet, “Yang lalu biarlah berlalu. Percayalah, sekali kejadian buruk, serentetan keberuntungan akan menantimu. Bukan begitu?” Lam Li menoleh ke arah dua pandita Rusia. Yang satu sibuk dengan butir-butir rudraksha dan satunya lagi baru saja memasak bubur warna-warni untuk sesaji. “Tidak, bukan begitu,” kata pria bule berjubah itu, “Dalam ajaran Budha, kalau kamu mengalami kejadian buruk, itu tandanya karma burukmu berkurang. Kejadian buruk masih bisa terjadi lagi, imbalan karma dari apa yang sudah kamu perbuat. Percayalah, semuanya itu ada yang mengatur, karma adalah timbangan yang paling adil.” Setelah semalam suntuk saya tak bisa tidur gara-gara kecopetan, hari ini pun saya masih belum tenang. Dengan berbekal fotokopi paspor dan foto diri yang memalukan – mata mengantuk dan sembab, rambut acak-acakan, karena baru dipotret dua jam lalu ketika saya masih syok dengan kejadian kemarin, saya menggeret Lam Li dan Qingqing ke kantor polisi di sebelah lapangan Hanuman Dhoka. Kantor polisi ini tak pernah sepi. Selain polisi yang bersliweran ke sana ke mari, banyak pula pengunjung. Selain saya, ada pula turis yang melapor dompet hilang, paspor hilang, kamera hilang, dan sebagainya. Musim festival begini memang [...]

July 4, 2014 // 1 Comment

Titik Nol 44: Maling di Tengah Perayaan

Di tengah keramaian seperti ini apa pun bisa terjadi. (AGUSTINUS WIBOWO) Di tengah kemeriahan perayaan Indra Jatra ini saya menangis. Ketika orang lain bersuka cita menyaksikan tarian dan permainan di bawah sinar rembulan di lapangan Hanuman Dhoka, hati saya kacau balau. Patung seram kepala Seto Bhairab, atau Bhairab Putih, yang biasanya tersembunyi di balik kisi-kisi kayu di pinggir kuil Taleju di tengah lapangan Durbar, di hari yang istimewa ini tiba-tiba muncul. Dalam setahun, hanya pada perayaan Indra Jatra dan Dasain saja patung misterius Seto Bhairab dipertunjukkan untuk umum. Konon, ketika Raja Rana Bahadur Shah membangun patung ini untuk membersihkan daerah istana yang pernah menjadi tempat pembakaran mayat, patung Bhairab ini terlalu seram sehingga penduduk ketakutan. Akhirnya, patung ini disembunyikan di balik kisi-kisi kayu sepanjang tahun. Ada pula yang mengatakan, patung Bhairab disembunyikan karena patung ini bersimbah perhiasan dari batu berharga. Patung kepala ini berwarna emas dengan mulut menyeringai seram dan memamerkan gigi taringnya yang tajam. Matanya ada tiga. Mahkotanya terbuat dari tengkorak manusia. Seperti Kala Bhairab – si Bhairab Hitam yang juga seram – Seto Bhairab adalah salah satu pusat pemujaan penting umat Hindu di Kathmandu. Umat datang membawa prasad (sesaji) berupa bunga dan dupa ke hadapan patung kepala seram [...]

July 2, 2014 // 1 Comment

Titik Nol 41: Ceroboh

Keamanan di Nepal terbilang sangat baik. (AGUSTINUS WIBOWO) Tak ada satu kata lagi yang lebih tepat untuk mendeskripsikan diri saya – ceroboh. Pelajaran hari ini membuat saya kembali bertanya pada diri sendiri, mampukah saya mewujudkan mimpi saya melihat dunia? Daerah Thamel memang surganya para backpacker. Apa lagi yang kurang di sini? Losmen murah bertaburan. Restoran yang menjual segala jenis makanan mulai dari dal bat Nepal, thali India,  bakmi China, spageti Italia, sampai humus Israel dan tortilla Meksiko, dari teh susu sampai tequila. Mau cuci baju? Laundry yang siap menerima baju kotor kiloan pun berjajar. Toko buku murah punya koleksi selengkap perpustakaan, menawarkan bau-bau misteri surga Shangri-la di lekukan Himalaya. Yang kangen Indonesia bahkan bisa beli shampo lidah buaya diimpor langsung dari Nusantara. Mau Internet? Ini apa lagi, murah meriah. Sepuluh Rupee per jam dengan kecepatan yang lumayan banter. Sejak dari Tibet yang penuh perjuangan berat, ditambah lagi suntuk karena tidak bisa memotret dengan kamera yang separuh rusak, saya akhirnya menghabiskan lebih banyak waktu di warung Internet murah di sebuah sudut Thamel. Tempat ini bagaikan surga bagi orang malas seperti saya. Warnet, warung, hotel adalah habitat saya selama berhari-hari. Dari sore sampai malam saya berselancar di dunia maya, sebuah kemewahan yang [...]

June 27, 2014 // 3 Comments

Titik Nol 28: Air Mata

Anak-anak keluarga Donchuk. (AGUSTINUS WIBOWO) Saya tak pernah menyesal seperti ini. Gara-gara kenaifan saya, air mata mengalir deras di pipi Donchuk. Saya menginap di rumah Donchuk di desa Shegar, di tepi Jalan Raya Persahabatan yang menghubungkan Tibet dengan Nepal. Rumah ini dipinggir jalan raya, terletak di lantai dua, bahannya dari kayu. Di dalam rumah, ada panggung di sekeliling tungku. Semua dari kayu, warnanya gelap. Ibu Donchuk sudah tua, tetapi tangannya masih kuat menumbuk teh mentega. Adik Donchuk sekolah di Tianjin, bisa berbahasa Mandarin dengan lancar. Pendidikan di Tibet memang terbelakang bila dibandingkan dengan provinsi-provinsi di belahan timur China, tetapi ada dispensasi khusus kepada putra-putri suku minoritas sehingga mereka berkesempatan mengenyam pendidikan tinggi di kota yang lebih modern. Kami berbincang banyak hal. Adik Donchuk ini suka sekali daratan China, lagu-lagu Mandarin, dan orang-orangnya. Anak Donchuk masih kecil-kecil. Satu laki-laki, satu perempuan. Orang Tibet tidak diwajibkan mengikuti ‘aturan satu anak’ seperti mayoritas etnik Han. Kedua anak Donchuk lincah, berlari ke sana ke mari, bergaya di depan kamera sambil melompat-lompat. Ada seorang perempuan pula di rumah itu. Masih muda, dari tadi kerjaannya hanya memintal benang atau membantu ibu Donchuk menyiapkan makan malam. Nampaknya ia masih berhubungan saudara dengan keluarga ini, walaupun katanya statusnya [...]

June 9, 2014 // 7 Comments

Garis Batas 95: Tangan Tuhan

Belajar menembak (AGUSTINUS WIBOWO) Saya ingat, tak sampai dua bulan yang lalu, saya datang ke KBRI Tashkent dengan bercucuran air mata. Empat ratus dolar saya tiba-tiba raib dari dompet, yang saya sendiri pun tak tahu bagaimana ceritanya. Ceroboh, ceroboh, ceroboh, saya memaki-maki sendiri. Satu per satu diplomat dan staf KBRI duduk di hadapan saya, memberikan penguatan. “Gus, mungkin Tuhan memang punya kehendak,” kata Pak Pur, seorang diplomat, “mungkin dengan kejadian ini Tuhan mengingatkan kamu supaya lebih rajin bekerja, lebih rajin memotret, lebih rajin menulis. Semua itu ada hikmahnya.” Pak Pur kemudian bercerita tentang puluhan ribu dolar yang dicuri orang waktu naik kereta di Rusia. Lebih sakit rasanya. Tetapi akhirnya beliau juga bisa mengikhlaskan. Bicara tentang Tuhan, mengapa Tuhan tak mengizinkan saya melanjutkan perjalanan lagi, saya ingin sekali melihat negeri-negeri Kaukasus yang dilupakan orang, eksotisnya padang pasir Timur Tengah, serta Afrika yang liar. Apa daya, Tuhan tak mengizinkan, uang saya tak banyak lagi tersisa. Empat ratus dolar, begitu besar artinya bagi saya. Mungkin Pak Pur benar, Tuhan berkehendak lain. Setelah meratap berhari-hari, saya akhirnya berusaha bangkit dari keterpurukan. Saya mencari lowongan kerja di sana-sini, mengontak kawan ini dan itu, hingga pada akhirnya, hari ini, saya tersenyum kecil melihat sebuah visa Afghanistan [...]

October 24, 2013 // 2 Comments

Islamabad – Theft

April 11, 2006 Sebuah keluarga terpandang dan religius Saya tinggal di sebuah keluarga di Islamabad. Keluarga ini cukup terpandang dan mempunyai bisnis keluarga yang cukup besar. Secara religius pun sangat dihormati, karena mempunyai nama keluarga Syed, yang berarti keturunan langsung dari Nabi Muhammad. Keluarga Syed Ijaz tinggal di sebuah real estate besar di kawasan orang kaya Islamabad. Islamabad memang dipenuhi oleh orang-orang kaya dengan rumah-rumah raksasa macam istana, macam kompleks Galaxy atau Dharmo di Surabaya. Walaupun modern dan kaya, keluarga Ijaz amatlah sangat religius. Dalam keluarganya, ruang tamu dipisahkan sehelai kelambu, sehingga tamu laki-laki tak bisa melihat penghuni rumah yang perempuan. Hingga beberapa hari tinggal di rumah ini, aku pun tak pernah tahu ada siapa saja perempuan di sana. Yang jelas banyak sekali, namun selain anak-anak dan bari amma, tak satu pun yang pernah aku lihat secara langsung. Aku merasa aman tinggal di rumah ini. Aku disediakan sebuah sofa untuk membaringkan badan. Dan tas ku, yang berisi uang dan paspor, aku biarkan saja tergeletak. Toh dalam tradisi Muslim, jika kita bertamu, kita seharusnya mempercayakan diri kita kepada sang pemilik rumah. Pernah aku ingat seorang tuan rumah Uzbekistan yang marah-marah melihat seorang teman yang diundangnya mengunci pintu kamarnya. Bagi tuan rumah [...]

April 11, 2006 // 0 Comments