Recommended

keluarga

Titik Nol 123: Tanpa Cahaya Mentari

Chapursan tersembunyi dan terlupakan. Tak ada yang bisa diharapkan karena yang ada hanya tiga hal: amukan angin, hujan batu, dan kegelapan. Dingin menembus tulang, tetapi kehangatan rumah-rumahnya selalu terpahat di ingatan saya. Mulanya saya hanya tahu nama Chapursan. Ternyata ada puluhan desa di lembah ini. Buta arah, saya mengikut saja ke mana Majid membawa. Angin menderu tanpa ampun, menebarkan dingin yang menggigilkan seluruh tubuh. Rumah-rumah tampak seragam, kotak-kotak dari tanah liat. Warnanya sama persis dengan warna bumi, rumput kering, pohon gundul, gunung yang kehilangan karpet hijaunya. Dunia di lembah ini hanya diliputi satu warna: kemeranaan hidup tanpa sinar matahari. Tapi tawa Majid yang meledak-ledak menghalau segala perasaan merana yang menerpa saya. “Inilah tempat di mana sinar matahari tak muncul selama dua bulan lebih di musim dingin,” kata Majid bangga menunjukkan sebuah desa yang nampak tak berpenghuni. Rumput-rumput liar dan kering menutupi jalan setapak. Rumah-rumah berpencaran. Kelabu. Gersang. Sinar di tengah kegelapan (AGUSTINUS WIBOWO) Desa ini hanya satu kilometer jauhnya dari desa Khel, tempat Majid tinggal. Letaknya di dasar lembah. Di sebelah kiri, tebing gunung menjulang bak dinding yang menggapai angkasa. Di sebelah kanan, gunung lain yang sama angkuhnya mendongak. Matahari musim dingin yang berputar rendah di selatan tak mampu menembus [...]

February 11, 2015 // 1 Comment

Titik Nol 122: Senandung Dalam Gelap

Orang Pakistan tidak pernah bermain-main ketika menyebut kata ‘mehman’. Arti harafiahnya tamu. Kata itu menyiratkan penghormatan yang luar biasa kepada musafir, kemurahan hati sebagai bagian dari ibadah, dan ketulusan untuk menolong sesama. Pemuda ini bernama Majid. Umurnya baru 22 tahun, tetapi bahasa Inggrisnya sudah cukup bagus. Tubuhnya besar, dan kegemarannya adalah tertawa di akhir setiap kalimat yang diucapkannya, dengan tubuh sampai berguncang-guncang saking hebatnya. Dengan penuh sabar ia menjelaskan setiap detail rumah itu. “Ini adalah rumah Tajik,” katanya bak seorang guide, “ di ruangan ini ada lima pilar, masing-masing melambangkan Muhammad, Ali, Hassan, Hussain, dan Fatima. Di pintu masuk itu ada dua pilar yang berdekatan, melambangkan Hassan dan Hussain – kedua putra Ali. “Kamu tahu, di ruangan ini kami menari kalau ada acara pernikahan,” terang Majid. Tubuhnya terguncang-guncang, tertawa terpingkal-pingkal, seringkali untuk hal yang saya juga tidak mengerti di mana lucunya. Ruangan itu berbentuk segi empat. Gelap pekat. Cahaya hanya muncul dari api yang membara di tengah ruangan. Di ketiga sisi ruangan ada panggung dari tanah liat untuk tempat duduk para tamu, atau tempat tidur keluarga di malam hari. Di sisi keempat ada panggung tanah liat juga. Tempatnya lebih tinggi, tengahnya berongga. Inilah tempat kayu kering. Api dinyalakan. Poci teh [...]

February 10, 2015 // 3 Comments

Tais 28 Agustus 2014: Rumah di Sini dan Rumah di Sana (2)

Didimus dan Mama Ruki (AGUSTINUS WIBOWO) Dari Sabang sampai Merauke, berjajar pulau-pulau; sambung-menyambung menjadi satu, itulah Indonesia… Lirik lagu kredo nasionalisme Indonesia itu masih terpatri kuat pada memori Didimus Gepse, lelaki suku Marind asal Merauke yang menetap di Tais, Papua Nugini. Lelaki tua berotot gempal dengan jenggot putih serupa duri menyelimuti dagu ini selalu menyimpan sekilas senyum manis ketika mengenang kampung halaman yang sudah 22 tahun dia tinggalkan. Saya bertanya, apakah dia mengerti lagu yang dia nyanyikan, apakah dia tahu Sabang ada di mana. Didimus terkekeh. Dengan bahasa Indonesia yang berlogat Papua dia berkata, “Itu artinya Suharto datang dari Sabang, lewat pulau-pulau sampai ke Merauke.” Didimus lahir tahun 1962, ketika Papua Indonesia masih berstatus jajahan Belanda. Dia hanya dengar dari ayahnya, tentara dari Jakarta terlibat baku tembak dengan tentara Belanda, para tentara payung berjatuhan ke kampung-kampung, dan sejak itu Papua jadi milik Indonesia. Sejarah yang lebih kompleks dari itu, dia tak tahu. “Politik hanya untuk orang-orang di atas yang pintar,” katanya. Hubungan Didimus dengan Sisi Wainetti, perempuan Papua Nugini tuan rumah saya di Tais, adalah paman dengan keponakan. Nenek Sisi berasal dari Kondo, Merauke, dan berpindah ke sisi Papua Nugini karena terpikat oleh lelaki sini yang pernah bertandang ke desanya. [...]

January 28, 2015 // 10 Comments

Tais 26 Agustus 2014: Sebuah Surga Bernama Rumah

Perjuangan menuju Tais (AGUSTINUS WIBOWO) Meninggalkan Pulau Strachan yang ditandai dengan aliran sungai besar Wasi Kussa, perjalanan ke Tais, kampung halaman Sisi, yang cuma sepuluhan kilometer jauhnya, ternyata tidaklah semudah yang saya bayangkan. Tais semula adalah desa pesisir, tetapi kini telah berpindah ke pedalaman karena sering dilanda banjir dari pasang laut dan kasus pembunuhan oleh kaum pemburu kepala di Pulau Strachan. Untuk mencapai Tais, perahu kami melintasi selat sempit antara pesisir Pulau Papua di utara dengan tiga pulau kecil Kawa yang berderet di selatan. Melintasi selat ini adalah perjalanan yang sangat menyenangkan. Laut terasa bagaikan sungai; tak lagi angkuh, tak lagi berombak, perahu tak lagi menghentak-hentak. Angin semilir membelai kepala, membuat saya bersyukur betapa beruntungnya saya bisa berada di tempat seterpencil ini, yang seminggu lalu bahkan tak pernah saya bayangkan ini. Setelah itu, kami memasuki daerah yang merupakan mulut sungai kecil Kotanya. Di sinilah masalah. Daerah pesisir selatan Pulau Papua adalah kawasan laut yang sangat dangkal. Biasanya di pantai sekitar sini air surut antara pukul 10 pagi hingga empat sore, dan kami datang terlambat. Sekarang laut hanya sedalam mata kaki, sama sekali tidak mungkin dilewati perahu motor kami. Sedangkan mulut sungai Kotanya masih dua kilometer lagi. Kami semua penumpang turun. [...]

January 26, 2015 // 14 Comments

Titik Nol 111: Negeri Berjuta Warna

Negeri berjuta warna (AGUSTINUS WIBOWO) Hindustan, negeri Bharat yang jaya, meninggalkan berbagai kenangan. Berjuta warna satu per satu diputar kembali dalam memori saya, ketika matahari mulai perlahan-lahan terbenam menerbakan semarak senja di kota Amritsar. Ini adalah senja terakhir yang saya lihat di negeri ini. Saya datang ke India dengan secarik mimpi. Mimpi yang saya dapatkan dari beberapa film Bollywood yang pernah saya tonton. Gadis cantik berpakaian bak putri raja tinggal di rumah seperti istana, mengejar cintanya pada pangeran tampan, yang kemudian menari bersama diiringi ratusan orang yang entah muncul dari mana. Mimpi Hindustan yang saya bawa adalah mimpi tentang kehidupan gemerlap, semua orang kaya, punya mobil mewah, punya lusinan pembantu, sopir berseragam, kepala rumah tangga yang cerdas, dan helikopter di atap rumah. Tetapi, secuil Hindustan tempat saya menginjakkan kaki pertama kali adalah stasiun kota Gorakhpur, di mana pengemis bocah merintih tanpa henti, sapi berkeliaran di dalam peron, dan orang yang tidur di lantai tanpa alas. Selanjutnya adalah New Delhi yang penuh dekan tukang tipu di pasar, teriakan “Hallo! Hallo!”, bau pesing, jalan bolong-bolong, losmen tempat pasangan manusia mengumbar nafsu birahi, penderita kusta dan tumor terbaring tak berdaya di pinggir jalan yang hiruk pikuk oleh pejalan lalu-lalang namun tak satu pun [...]

January 26, 2015 // 2 Comments

Ber 25 Agustus 2014: Rindu Terpisah Garis Batas

Australia, dengan rumah-rumahnya yang berkilau, terlihat di seberang sana (AGUSTINUS WIBOWO) Jarak sebuah takdir bisa jadi hanya delapan kilometer. Itu jarak yang memisahkan Ber dari Boigu, memisahkan Papua Nugini dari Australia, memisahkan salah satu negeri termiskin di dunia dari salah satu negeri terkaya di dunia. Boigu adalah daerah yang sama sekali tak tersentuh bagi saya. Hanya penduduk dari desa-desa pesisir Papua Nugini ini yang berhak menyeberang ke sana, dengan surat izin khusus dari kepala desa. Mengenai Boigu, saya cuma bisa menyusun mozaik imajinasi dari serpihan deskripsi warga Ber. Boigu adalah sebuah desa modern, ada toko dan bandara. Rumah-rumah di sana juga sama seperti di sini, rumah panggung, tetapi dari bahan permanen dan lebih mengkilap. Di Boigu, orang asli yang hitam bercampur dengan pendatang yang putih. Dulu orang asli Boigu sama juga dengan orang Papua Nugini, sama hitam sama keriting, dan masih berkerabat dengan orang-orang di sini. Tetapi sudah berpuluh-puluh tahun di bawah Australia, penampilan mereka sekarang sangat berbeda. Mereka memakai baju panjang kombor gaya pantai, kaos berwarna cerah mencolok. Mereka terlihat gembira, tetapi mereka juga mudah terlihat marah dan garang. Itu karena ukuran badan mereka terlalu besar. Ya, makanan mereka terlalu baik dan terlalu melimpah. Mereka tidak bekerja, mereka dapat [...]

January 22, 2015 // 19 Comments

Ber 24 Agustus 2014: Lambatkan Langkahmu

Hanya ada rumah gubuk bertebaran jarang-jarang di Ber (AGUSTINUS WIBOWO) Saya membuka mata. Sinar matahari menyeruak lewat tembok dari bilah-bilah bambu dan anyaman dedaunan. Saya menyibak kelambu, keluar dari ranjang, menemukan lensa kamera saya hanya bisa mengambil foto-foto kabur seperti tertutup embun tebal. Pasti karena kedinginan dan air laut kemarin. Pandangan mata saya kini sama kaburnya dengan lensa itu. Saya tidak tahu ini rumah gubuk ini milik siapa. Saya menuruni tangga di luar pintu, berjalan mencari Sisi dan Marcella, yang ternyata tidur di balai-balai rumah lain seratus meter jauhnya di seberang hamparan rumput tinggi. “Sisi, jam berapa kita berangkat ke Buzi?” kata saya. “Tidak bisa. Kami harus pergi menyeberang dulu ke Boigu untuk belanja,” katanya santai. Boigu adalah pulau milik Australia yang terletak tepat di seberang laut dari Ber, sekitar 5 kilometer jauhnya. “Kenapa kalian tidak cepat berangkat?” “Kau lupa ya? Ini hari Minggu. Hari untuk Tuhan. Tidak ada orang bepergian di hari ini.” Sisi mengucapkan itu ketika saya sibuk mencuci lensa kamera saya dengan air sabun sembari menggumamkan keluhan apakah kamera saya akan bisa berfungsi normal. Melihat kegelisahan saya, Sisi berkata, “Jangan buru-buru, lambatkan langkahmu. Percayakan semua masalahmu pada Tuhan. Olgetta bai orait.” Semua akan baik-baik saja. Sisi adalah [...]

January 21, 2015 // 13 Comments

Titik Nol 107: Dipertemukan oleh Takdir

Mahasiswi kedokteran menempuh ujian praktek (AGUSTINUS WIBOWO)           “Bagaimana keadaanmu?” tanya dokter Gurpreet ramah. Kulitnya hitam manis, rambutnya tergerai. Wajahnya cantik sekaligus nampak sangat terpelajar. “Kamu suka tinggal di rumah sakit ini?” Saya mengangguk. Suka dan duka bercampur di sini. Selain pasien-pasien India yang ramah dan murah hati, dokter-dokter muda di sini juga sangat perhatian. Dokter Gurpreet sedang sibuk belajar untuk ujian minggu depan, tetapi masih menyempatkan waktu mendengarkan kisah-kisah perjalanan saya. Saya pun senang dengan perhatiannya. “Hari ini,” kata dokter Gurpreet, “kami mau minta tolong lagi. Kamu masih mau kan jadi bahan ujian?” Nampaknya saya juga tak punya banyak pilihan. Kemarin tiga sesi pemeriksaan oleh mahasiswi pesera ujian sangat melelahkan. Hari ini saya harus diperiksa lima orang. Masing-masing satu jam. Sebagai pasien, ‘jam kerja’ saya ternyata lumayan banyak juga. Kalau kemarin pemeriksaannya menyenangkan karena sebentar-sebentar, sekarang saya dijadikan contoh kasus long case.. Mahasiswi tidak hanya mendiagnosa temperatur dan tekanan darah saja, tetapi menanyakan masa lalu saya. “Sudah pernah melakukan hubungan seksual?”, “Berapa kali? Memakai alat kontrasepsi kah?”, “Pernah menghisap madat?”, “Bagaimana lingkungan pergaulanmu?”, dan berbagai pertanyaan privasi lainnya. Ada mahasiswi yang juga mengukur tinggi dan berat badan segala, padahal saya cuma penderita [...]

January 20, 2015 // 10 Comments

Titik Nol 103: Mimpi di Air Keruh (2)

Tukang setrika berpose dengan bajunya yang terbaik (AGUSTINUS WIBOWO) “Tunggu dulu,” kata Muhammad, lelaki dari Bihar. Kulitnya hitam, matanya kuning tak bercahaya. Senyum bahagia tersungging di wajahnya. Ia memilih pakaiannya yang paling bagus, jubah panjang berwarna coklat bermotif bunga-bunga emas. “Sekarang kamu boleh potret saya,” katanya. Dengan bangga ia berpose di ruang kerjanya yang sempit, pengap, dan kumuh. Muhammad adalah tukang setrika. Tumpukan ratusan baju dari dhobi ghat Mahalaksmi mengalir ke ruang sempit ini. Setrika andalannya entah berasal dari zaman mana sebelum saya lahir. Bentuknya sederhana. Tebal lempeng besinya hanya sekitar tiga sentimeter. Pegangannya sudah dibalut banyak tembelan. Kabel listrik yang sudah melintir tertancap pada salah satu sudut setrika itu. Seperti Vinoj si tukang cuci, dulu Muhammad juga datang ke Mumbai dengan sebongkah mimpi. Mimpi yang sama pula. Nasibnya pun tak jauh berbeda, berakhir di ruangan kecil bertembok merah muda, dengan dinding yang sudah terkelupas di mana-mana. Tempat tinggal Muhammad tak jauh dari dhobi ghat. Ini adalah kampung para penjemur dan tukang setrika. Saya melihat lautan kain putih tergantung di tambang yang berseliweran di lapangan ini. Tanahnya tertutup beberapa lapis sampah, mulai dari kulit pisang, plastik, kertas.. Bau busuk menyebar ke mana-mana. Di sinilah mereka tinggal. Rumah-rumah kecil dan sederhana [...]

January 14, 2015 // 2 Comments

Titik Nol 98: Pernikahan Ganda

Sepasang pengantin (AGUSTINUS WIBOWO) ‘Cantik’, adalah kata yang terlalu sederhana untuk melukiskan kedua gadis ini. Emas bertabur di sekujur tubuh mereka, dari dahi hingga ke ujung kaki. Keduanya tertunduk di sudut ruangan, dengan kepala terbungkus kerudung merah. Keduanya, bersama-sama, akan menapaki bahtera kehidupan bersama pria yang tak mereka kenal. Arak-arakan barat pengiring Muhammad Salim, sang pengantin pria, datang ke rumah Aman, disambut gegap gempita bunyi terompet dan tetabuhan. Akad nikah akan dilangsungkan di rumah ini, rumah dulhan – mempelai wanita. Pernikahan Muslim India sebenarnya mengikuti aturan upacara adat yang mirip dengan pernikahan Hindu, hanya berbeda aturan-aturan keagamaannya. Misalnya mehndi – pembubuhan warna-warni di tangan dan kaki, jehez – mas kawin dari pihak perempuan, barat – arak-arakan untuk menjemput pengantin perempuan, perhitungan hari baik dan tanggal baik berdasar astrologi, semuanya ada dalam kultur umat Hindu. Tetapi pernikahan Muslim lebih menonjolkan unsur kesederhanaan. Kesan gegap gempita penuh warna-warni tak terlalu nampak di sini. Selain itu, pemisahan laki-laki dan perempuan sangat ketat. Tamu perempuan yang datang langsung digiring ke dalam rumah, untuk berkumpul dengan pengantin perempuan. Tamu laki-laki di lapangan terbuka, di bawah terpal, bersama pengantin pria. Pengantin tak bersanding, para tamu pun dipisahkan berdasar jenis kelamin. Sang dulha, pengantin pria, berkalung bunga-bunga. [...]

January 7, 2015 // 5 Comments

Titik Nol 90: Pernikahan Tengah Malam (1)

Siap berangkat menjemput istri (AGUSTINUS WIBOWO) Di malam bertabur bintang, ketika saya sedang menikmati langit malam yang tenang di atap rumah, merenungi hamparan kota kuno Jodhpur yang bak mozaik masa lalu, mensyukuri betapa beruntungnya takdir yang menuntun sampai ke tempat ini, seringkali saya dikejutkan oleh bunyi genderang, musik band yang fals lagi keras, dan ledakan petasan. Itulah hiruk pikuknya pernikahan India yang memecah keheningan malam gelap. Matahari siang terik bersinar. Gang kota Jodhpur meliuk-liuk bak labirin, mudah sekali tersesat di sini. Tetapi justru terperangkap dalam ruwetnya jalan kecil ini yang mengantar kami berdua pada pengalaman pernikahan kasta Brahmana dari Rajasthan. Bunyi genderang dan tetabuhan bertalu-talu. Sepuluh orang berseragam merah dengan untaian sulam-sulaman cantik dari benang emas dengan penuh semangat memainkan berbagai alat musik. Mereka adalah anggota Vishal Band, band acara kawinan yang lumayan ternama di Jodhpur. Ada lima orang peniup trompet yang sampai merah mukanya kehabisan nafas. Ada para penabuh genderang dari ukuran besar sampai kecil yang memukul dengan penuh semangat. Ada yang mengusung bendera band. Ada anak-anak tetangga yang ikut menari riang. Musiknya cepat, naik turun, menggugah semangat. Tetangga melongokkan kepala dari jendela lantai atas rumah mereka. Kalau dalam film Bollywood keributan orkestra jalanan macam ini pasti langsung diiringi [...]

September 27, 2014 // 0 Comments

Titik Nol 77: Idul Fitri di Kota Merah Jambu

Suguhan Idul Fitri.(AGUSTINUS WIBOWO) Saya masih belum menemukan kembali semangat traveling yang hilang. Bersama Lam Li, kami berdua menyusuri jalan-jalan kota merah jambu Jaipur. Di Rajasthan, kota-kota kuno berasosiasi dengan warna – kota merah jambu Jaipur, kota biru Jodhpur, dan kota emas Jaisalmer. Kota Jaipur disebut kota merah jambu, karena di balik benteng kota kuno, banyak bangunan berwarna merah jambu. Sebenarnya sejarah merah jambu ini tak terlalu lama. Pada tahun 1876, ketika Pangeran Edward VII berkunjung, kota ini bersolek habis-habisan, menjadi kota cantik berwarna romantis – merah jambu. Bangunan yang menjadi landmark kota Jaipur adalah Hawa Mahal, seperti istana yang tinggi dan megah, dilengkapi dengan 953 lubang jendela. Hawa artinya angin. Dari lubang jendela ini, angin berhembus, memberi kesejukan bagi yang ada di balik bangunan ini. Walaupun nampak seperti istana raksasa dari luar, sebenarnya Hawa Mahal hanyalah sebidang dinding saja, bagian dari istana raja Jaipur, dibangun oleh Maharaja Pratap Singh tahun 1799. Saya jadi ingat setting film kolosal, yang bisa menghadirkan bentuk bangunan megah luar biasa di depan kamera, tetapi sesungguhnya di balik kemegahan hanyalah dinding kosong buruk rupa. Kami berjalan-jalan di kota kuno Jaipur. Saya mengagumi jalannya yang lurus dan teratur, berpetak-petak. Lam Li, dengan observasinya yang lebih tajam, [...]

September 9, 2014 // 0 Comments

Titik Nol 76: Buka Pintu

Pintu yang terkunci. (AGUSTINUS WIBOWO) “Haruskah aku membuka pintu hatiku?” tanya Lam Li. Si gadis Malaysia baru datang ke Jaipur sore ini. Ia sangat senang akhirnya sampai juga di Rajasthan. Apalagi sekarang kami tinggal di losmen yang sama, dan pemilik losmen memberi kamar yang nyaman untuk Lam Li dengan harga 100 Rupee saja. Saya yang masih tersiksa dengan guncangan gempa sepanjang malam gara-gara truk yang lewat, akhirnya minta pindah kamar juga. “Tahu tidak, tadi aku diundang tukang rickshaw,” ceritanya. Waktu datang mencari losmen ini, ia menumpang rickshaw – kendaraan bajaj yang menjadi angkutan umum di negara ini. Tukang rickshaw mengundangnya untuk ikut acara puja menyambut Diwali di rumahnya. Tetapi raut wajah Lam Li tidak seratus persen senang. Sambil mengunyah jajanan gorengan murah meriah – puri, ia mengisahkan bagaimana susahnya ia mempercayai orang India. Mungkin karena sudah terlalu banyak mendengar kisah buruk tentang kelakuan orang India yang suka tipu-tipu, Lam Li memasang tingkat kewaspadaan penuh menghadapi segala macam undangan. Ia tak pernah mempercayai orang sepenuhnya. Dinding curiga selalu menjadi batas pemisah antara dirinya dengan orang setempat. “Aku selalu menutup pintuku,” katanya, “aku selalu menghindari interaksi dengannya. Atau mungkin sekarang waktunya aku memberi kesempatan, membuka sedikit celah pintu hatiku untuk orang India?” [...]

September 8, 2014 // 0 Comments

Titik Nol 40: Bhaktapur

Kota tua Bhaktapur (AGUSTINUS WIBOWO) Kota kuno ini begitu indah. Saya sampai lupa mengedipkan mata menyaksikan pagoda Nyatapola yang menjulang megah. Barisan kuil dan istana kuno, gang sempit yang meliuk-liuk, melemparkan saya kembali ke masa silam. Di antara ketiga kota kuno di Lembah Kathmandu, bagi saya Bhaktapur adalah yang paling indah. Di sini kita terbebas dari ingar bingar kendaraan bermotor dan pengaruh buruk turisme yang merambah Kathmandu. Kota ini juga lebih teratur dan terawat daripada Patan. Keutuhan gedung-gedung masa lalu masih berbaur dengan kehidupan masyarakat yang teramat tradisional. Kota kuno Bhaktapur atau Bhadgaon dikelilingi tembok. Untuk masuk, orang Nepal tak perlu bayar, tetapi orang asing kena karcis sepuluh dolar. Warga negara Asia Selatan dan Republik Rakyat China cukup membayar 50 Rupee saja. Bagi saya yang berkantung cekak, pilihannya hanya dua – menyamar jadi orang China atau menyelinap pagi-pagi buta ketika penjaga pintu gerbang masih belum bertugas. Saya memilih yang terakhir, berangkat dari Kathmandu subuh-subuh, berbekal tiket pinjaman dari turis lain (selembar tiket berlaku satu minggu), dan berhasil menyelinap ke dalam kota kuno tanpa membayar sepeser pun. Penginapan di kota ini jauh lebih terbatas daripada Kathmandu. Sejak menjadi bagian dari warisan budaya dunia yang ditetapkan UNESCO, keaslian dan kekunoan Bhaktapur dilestarikan. [...]

June 26, 2014 // 1 Comment

Titik Nol 28: Air Mata

Anak-anak keluarga Donchuk. (AGUSTINUS WIBOWO) Saya tak pernah menyesal seperti ini. Gara-gara kenaifan saya, air mata mengalir deras di pipi Donchuk. Saya menginap di rumah Donchuk di desa Shegar, di tepi Jalan Raya Persahabatan yang menghubungkan Tibet dengan Nepal. Rumah ini dipinggir jalan raya, terletak di lantai dua, bahannya dari kayu. Di dalam rumah, ada panggung di sekeliling tungku. Semua dari kayu, warnanya gelap. Ibu Donchuk sudah tua, tetapi tangannya masih kuat menumbuk teh mentega. Adik Donchuk sekolah di Tianjin, bisa berbahasa Mandarin dengan lancar. Pendidikan di Tibet memang terbelakang bila dibandingkan dengan provinsi-provinsi di belahan timur China, tetapi ada dispensasi khusus kepada putra-putri suku minoritas sehingga mereka berkesempatan mengenyam pendidikan tinggi di kota yang lebih modern. Kami berbincang banyak hal. Adik Donchuk ini suka sekali daratan China, lagu-lagu Mandarin, dan orang-orangnya. Anak Donchuk masih kecil-kecil. Satu laki-laki, satu perempuan. Orang Tibet tidak diwajibkan mengikuti ‘aturan satu anak’ seperti mayoritas etnik Han. Kedua anak Donchuk lincah, berlari ke sana ke mari, bergaya di depan kamera sambil melompat-lompat. Ada seorang perempuan pula di rumah itu. Masih muda, dari tadi kerjaannya hanya memintal benang atau membantu ibu Donchuk menyiapkan makan malam. Nampaknya ia masih berhubungan saudara dengan keluarga ini, walaupun katanya statusnya [...]

June 9, 2014 // 7 Comments

Titik Nol 27: Berbalut Khata

Puncak Everest dibalut awan.(AGUSTINUS WIBOWO) Cuaca di pegunungan berubah cepat. Yang tadinya langit biru dan gumpalan mungil, kini sudah menjadi mendung tebal menggelayut. Saya tak melihat apa-apa, hanya putih kelabu yang dingin. “Shushu,” kata Donchuk, tukang sepeda motor yang mengantar saya sampai ke Everest Base Camp ini, “Masuk dulu. Qomolangma memang tergantung nasib. Banyak orang yang sampai sini juga tak lihat apa-apa. Moga-moga besok cuaca bagus.” Saya kembali ke tenda. Yang tinggal di sini adalah kawan Donchuk dan istrinya. Keduanya berkulit hitam, kasar, terbakar matahari. Si suami mengenakan jaket hijau ala jiefangjun – Tentara Pembebasan, model pakaian China yang cukup populer di Tibet. Istrinya berwajah datar, dengan rambut panjang dikepang dan dililitkan melingkari kepala. Mereka tak bisa bahasa Mandarin dan saya tak bisa bahasa Tibet. Perbincangan kami lebih banyak tak sambungnya. Walaupun demikian, saya merasakan kehangatan sebuah keluarga sederhana Tibet. Si istri menyiapkan teh mentega – minuman utama orang Tibet. Cara membuatnya khusus. Air teh yang sudah bersih dari daun ditumbuk bersama dengan mentega, garam, dan susu. Tumbukannya juga tak biasa, kurus dan panjang, terbuat dari kayu. Teh susu mentega ini bisa pula jadi makanan, disiramkan ke bubuk jewawut tsampa, yang hasilnya kemudian menjadi bubur mirip makanan bayi. Tsampa asalah [...]

June 6, 2014 // 3 Comments

Selimut Debu 72: Nilai Ke-Afghanistan-an

Aku berusaha keras menghindari Bakhtali. Tapi untunglah, kami berjalan dengan kecepatan yang jauh berbeda. Aku merayap lambat menyisir bebatuan, sementara dia melesat kilat seperti anak panah. Dalam kesendirian, aku menikmati pemandangan perbatasan yang begitu menakjubkan ini. Di sebelah kananku Tajikistan, di sebelah kiriku Pakistan, aku ada di tengah Koridor Wakhan yang sempit dan termasyhur itu. Tetapi kesepian ini sungguh menakutkan. Sepi yang sesepi-sepinya, selain suara angin dan debur arus sungai. Tak ada lagi orang lain yang bisa kumintai pertolongan, apalagi karena kedua kakiku semakin sakit karena berjalan terlalu jauh. Aku mulai berjalan pukul 1 sore, dan setelah dua jam berjalan kedua kakiku hampir lumpuh. Aku hanya bisa berjalan, dan terus berjalan, karena tidak ada pilihan lain. Tidak ada desa sama sekali di antara Aorgarch dengan Qala Panjah. Yang kulihat hanya ada tiga orang gembala, dan tidak ada manusia lainnya barang satu pun. Ah, andaikan saja ada jembatan yang menghubungkan jalanan ini dengan jalanan beraspal di seberang sungai sana. Tentu dengan mudah aku menumpang kendaraan bermotor, tanpa harus bersusah-payah seperti ini. Tapi… itu cuma mimpi. Yang di seberang sana, walaupun terlihat dekat, adalah tanah tak tergapai. Negara lain. Dunia lain. Ada garis batas tak tertembus. Setelah empat jam berjalan, langit sore [...]

February 4, 2014 // 3 Comments

Selimut Debu 70: Saudara Sebangsa

Para pria Pakistan ini memang katanya datang ke sini untuk membawa perubahan. Lihat celana modern dan jaket-jaket bulu yang mereka pakai. Coba dengarkan gemeresik radio yang mereka putar. Belum lagi mulut-mulut yang bercakap bahasa Inggris dengan fasih. Faizal-ur-Rahman, Juma Khan, dan yang lain-lainnya, datang dari Chapursan di Pakistan di balik gunung sana. Mereka menganut Islam Ismaili yang sama, bicara bahasa yang sama, tetapi betapa modernnya orang-orang ini di mata penduduk desa. Kelima belas orang ini umumnya adalah tukang batu dan tukang bangunan. Tugas mereka adalah membangun gedung sekolah di desa, proyek dari Central Asia Institute, sebuah NGO yang katanya cukup bermasalah. Ada yang menatah batu, ada yang mengangkut dengan traktor. Ada yang mengaduk semen, ada yang memasang tembok dan jendela. Penduduk desa kadang ikut membantu menyiapkan teh dan makanan kecil. Semua tidak sabar ingin melihat gedung sekolah mungil ini cepat selesai. Sekarang, anak-anak masih harus berjalan kaki empat kilometer untuk sampai di sekolah tenda berlogo UNICEF. Bukan berarti orang Wakhan miskin-miskin. Ada cukup banyak pula orang kaya di sini. Akimboy salah satunya. Juga Bulbul, yang rumahnya di bawah bayang-bayang puncak salju Baba Tangi. Nama Bulbul memang berarti burung bulbul. Ternaknya ada ratusan. Dua adik Bulbul sekarang tidak tinggal di desa. [...]

January 31, 2014 // 5 Comments

Selimut Debu 69: Terkunci Waktu

Waktu berjalan sekehendaknya, kadang cepat, kadang lambat. Musim panas, musim dingin datang silih berganti. Dan tak ada yang peduli. Coba tanyakan kepada orang-orang dari Dusun Kret ini, berapa musim panas yang telah berlalu dalam hidup mereka. Tak banyak yang tahu jawabnya. Si bocah pemungut kotoran kambing dengan bangga berkata umurnya sudah tiga setengah tahun. Anaknya tangkas, sudah bisa memanjat pohon dan meloncati batu di tepi jurang. Di mataku setidaknya ia pasti sudah berumur sepuluh tahun. Rajabmat mengaku 95 tahun. Kepalanya sudah ditumbuhi rambut-rambut putih. Bahkan daun telinganya pun berbulu putih. Dengan angka 95 itu, ia sudah menjadi orang yang paling tua yang pernah kutemui di desa ini. Tetapi angka itu meluncur begitu saja dari mulutnya. Siapa yang percaya? Orang bilang, Tila Khan adalah kakek paling tua di seluruh desa. Tetapi Tila Khan bilang “baru” berumur 80 tahun. Bagaimana membuktikannya? Akte kelahiran? Ah, itu barang dari dunia lain. Lembah ini hidup dalam dimensi waktunya sendiri. Sehari. Seminggu. Sebulan. Setahun. Sepuluh tahun. Tak ada bedanya. Masih musim panas yang itu-itu juga. Masih musim dingin yang sama menggigitnya. Waktu seakan tak pernah menggeser kehidupan di sini. Terperangkap. Terlupakan. Krek… krek… krek…. Derik bergema dalam kamar batu gelap. Zaman yang mana lagi ini, pikirku. [...]

January 30, 2014 // 1 Comment

Selimut Debu 68: Agama Kita Adalah Kemanusiaan

Terkadang aku lupa, ini adalah Afghanistan. Di sini tidak ada burqa, dan kaum perempuan begitu bebas bercengkerama di jalanan. Burqa tidak dikenal dalam kamus Bakhtali. Ia masih sering keseleo lidah menyebut kata itu, ”Bur-qa atau buq-ra? Apa sih namanya?” Bakhtali hanya tahu kata chadri, padanan kata burqa yang lebih banyak digunakan di sini. Bagi perempuan Ismaili di Wakhan, chadri sungguh adalah barang yang asing, namun terkadang mereka tak bisa menghindarinya. Bibi Sarfenaz, misalnya, pekerja sosial di Wakhan, selalu membawa chadri ke mana-mana. Ia adalah wanita tangguh, mengunjungi rumah-rumah penduduk di Desa Kret untuk survei. Ia bekerja untuk organisasi sosial milik Aga Khan. Dengan pengalaman kerjanya yang bertahun-tahun di wilayah umat Ismaili di Pakistan, kini ia kembali bekerja di kampung halamannya di Wakhan. “Orang Ismaili adalah pecinta kebebasan. Dan sudah seharusnya ada kebebasan terhadap perempuan, karena perempuan itu sejajar dengan laki-laki.” Bibi Sarfenaz berapi-api. Di Afghanistan, perempuan Sunni tidak pergi ke masjid. Tetapi kaum perempuan Ismaili bersama-sama dengan kaum prianya juga pergi beribadah di jemaatkhana, rumah ibadah orang Ismaili, tiga kali sehari. “Tetapi, kami juga terkadang harus memakai burqa,” lanjut Bibi Sarfenaz, ”yaitu ketika kami pergi ke kota. Di kota banyak orang-orang Sunni. Kalau tidak pakai burqa, mereka bilang darah kami [...]

January 29, 2014 // 13 Comments

1 2 3