Recommended

kemanusiaan

Kiunga 14 Oktober 2014: Penyakit OPM Hanya Satu

Sudah dua minggu ini saya berada di Kiunga menggali kisah kehidupan para pengungsi dari West Papua, atau Papua Indonesia yang kini bermukim di Papua Nugini. Tetapi aktivitas saya telah memancing kecurigaan. Saya mendengar dari seorang pastor di Gereja Katolik, sudah ada rumor beredar di kalangan pengungsi bahwa saya adalah mata-mata yang dikirim Indonesia. Harus saya akui, identitas saya sebagai warga Indonesia menyebabkan saya tidak bebas bergerak di sini. Walaupun Kiunga adalah kota yang sangat aman menurut standar Papua Nugini—hampir tidak ada raskol, dan orang asing bebas berjalan sendiri tanpa khawatir dirampok—saya selalu merasakan ada tatapan tidak bersahabat dari orang-orang tertentu, khususnya di daerah sekitar pesisir sungai yang dihuni para pengungsi. Pernah saya dihampiri seorang pemabuk, yang meneriaki saya dalam bahasa Melayu, bahwa saya mata-mata Indonesia. Pastor kawan saya yang berasal dari Flores itu mengatakan, jangankan saya yang baru datang, dirinya yang sudah bekerja bagi mereka bertahun-tahun pun terkadang masih merasakan kecurigaan itu. Pernah ada seorang pastor yang mengunjungi kamp pengungsi West Papua di Iowara untuk melakukan penelitian tentang kehidupan pengungsi, justru kamera dan komputernya dirampas oleh sekelompok oknum pengungsi yang mencurigainya, sehingga semua hasil kerjanya sia-sia. Tetapi bagaimana pun juga, mereka adalah orang-orang yang bekerja demi ketuhanan dan kemanusiaan, sehingga [...]

June 13, 2016 // 22 Comments

Dome 9 Oktober 2014: OPM Juga Manusia(2)

Sudah tiga puluh tahun para pengungsi dari Papua tinggal di desa Dome, Papua Nugini. Seiring waktu, konflik antara para pendatang dengan penduduk setempat semakin meluas. Warga lokal sering menuduh para pengungsi menggunakan perempuan mereka untuk menggoda para lelaki Papua Nugini, dengan tujuan untuk mendapatkan kewarganegaraan Papua Nugini. Kasus itu terjadi pada Jenny Wuring, warga Papua Nugini yang kini sedang mengurus perceraian dengan suaminya. Dia bilang, seorang gadis pengungsi Papua berumur 16 tahun pernah menggoda suaminya yang berumur 40 tahun, sehingga Jenny membawa kasus ini ke pengadilan. Ayah dari gadis itu adalah seorang anggota Organisasi Papua Merdeka (OPM), sebuah gerakan separatis yang memperjuangkan kemerdekaan Papua dari cengkeraman Indonesia. Selain itu, Jenny juga mencurigai para pengungsi itu menguasai ilmu sihir sehingga sering membunuh dengan menyantet warga asli. Dia curiga, ayahnya yang tiba-tiba meninggal sepuluh tahun lalu itu adalah gara-gara sihir dari warga pengungsi. Orang-orang Papua Nugini di Dome memang memanggil para pengungsi dengan istilah bahasa Melayu, sobat. Tetapi itu seperti panggilan tanpa makna. Konflik di antara mereka semakin parah dan belakangan ini sering menjadi kontak fisik. Misalnya, penduduk asli Dome yang marah sering menebangi pohon-pohon pisang yang ditanam para pengungsi. Peristiwa terparah adalah pembakaran sekolah yang dibangun para pengungsi, yang terjadi pada [...]

June 10, 2016 // 5 Comments

Dome 8 Oktober 2014: OPM Juga Manusia (1)

Sekilas, Dome tidak tampak berbeda dengan kebanyakan desa di Western Province, Papua Nugini: terbelakang, nyaris tanpa sentuhan pembangunan apa pun. Tetapi di sini para pengungsi separatis Organisasi Papua Merdeka (OPM) dari Papua Indonesia hidup berdampingan dengan penduduk lokal Papua Nugini. Dan mereka sama sekali tidak bisa dikatakan akur. Dome tidak terlalu terpencil. Untuk mencapai Dome, orang bisa menumpang minibus yang melintasi jalan utama yang menghubungkan kota besar Kiunga dengan Tabubil, kota pertambangan nan makmur di pegunungan utara. Ini sebuah jalan berdebu bergerunjal dan memualkan, yang di negeri ini sudah disebut sebagai highway. Dua jam perjalanan kemudian, kita mesti meninggalkan jalan utama, berbelok ke barat, sampai ke tepi sungai Ok Tedi, di mana kita mesti menumpang perahu untuk menyeberangi sungai keruh dan beracun itu untuk mencapai Dome. Desa Dome terbelah dua. Desa asal, yang dijuluki sebagai Dome-1, dihuni penduduk warga Papua Nugini, terletak di tepi sungai. Sedangkan permukiman para pengungsi OPM, kini dijuluki sebagai Dome-2, terletak di belakangnya, jauh dari sungai. Garis batas pemisah keduanya adalah sebuah tanah lapang yang berfungsi sebagai pasar. Walaupun masih di desa yang sama, mayoritas berbicara bahasa Yomgom yang sama, memiliki hubungan kekerabatan dari nenek moyang yang sama, dan telah hidup berdampingan selama tiga puluh tahun, [...]

June 4, 2016 // 9 Comments

Titik Nol 204: Kamp Pengungsi

Bocah pengungsi Afghan di kamp pengungsian Kacha Garhi, dalam kemonotonan warna kehidupan (AGUSTINUS WIBOWO) Pulang. Mengapa harus pulang? Rumah sudah menjadi puing-puing. Tidak ada pekerjaan. Tidak ada roti. Tidak ada impian. Tidak ada yang tertinggal lagi, kecuali selimut debu, kerumunan orang-orang lapar, hancurnya kebanggaan masa lalu yang dibungkus rapat-rapat oleh pasir gurun dan gunung gersang. Bazaar Khyber di jantung kota Peshawar adalah mesin waktu yang melempar saya ke zaman Seribu Satu Malam. Hanya satu warna yang ada: coklat kelabu. Pria-pria bersurban dan berjubah lalu lalang di jalan-jalan pasar Khyber yang berkelok-kelok bak rumah sesat. Di dunia yang hanya dikuasai laki-laki ini, wajah wanita nyaris tak terlihat sama sekali. Pasang-pasang mata besar dan garang mengintip dari balik kain hitam pekat. Itu pun jumlahnya masih bisa dihitung. Keledai dan kuda menarik berbagai macam barang dagangan. Ada bagian yang khusus menjual jubah. Ada yang khusus menjual barang elektronik dari China. Ada lagi bagian baju-baju bekas yang dijual nyaris gratis. Bahkan topi beruntai manikam dari Kandahar, topi pakkol dari Gilgit, hingga peci Melayu, semua ada di bazaar besar ini. Melayu memang pernah singgah di sini. Bukan hanya saya saja yang selalu berpeci untuk membawa identitas ke-Indonesia-an saya, yang hampir tak lagi dikenali lagi ketika [...]

June 4, 2015 // 1 Comment

Titik Nol 197: Menanti Mimpi Menjadi Nyata

Kekra, kendaraan di gurun pasir, akhirnya datang selelah sekian lama dinanti-nantikan (AGUSTINUS WIBOWO) Subuh. Adzan mengalun merdu dari masjid mungil bertembok lempung di dusun Ramsar, di pedalaman gurun Thar. Lantunan lembut mengawali pagi yang masih gelap gulita. Tak perlu pengeras suara, tak perlu teriak-teriak. Alunan adzan ini menyejukkan kalbu. Sang imam adalah pria tinggi bertubuh kurus dan berkumis lebat, berjubah dan bersarung. Umatnya tak banyak. Orang masih sibuk memikirkan perut yang keroncongan dan kerongkongan yang kekeringan. Sebuah hari baru pun bermula lagi di Ramsar. Nenek-nenek tua memulai kegiatan setiap pagi, mengaduk-aduk ampas gandum dengan air. Bocah-bocah menggembalakan sapi dan kambing ke tengah jungle. Ibu-ibu membikin roti chapati. Jamal bersiap mandi. Ritual mandi Jamal sangat sederhana. Airnya cuma dua timba kecil. Itu sudah termasuk mewah. Jamal suka mandi tiap hari, tetapi karena sekarang air sedang langka, biasanya cuma dua hari sekali. Anak-anaknya malas mandi. Semua kumal dan kotor, karena tiap hari cuma bermandi debu dan pasir. Sehabis mandi, roda kehidupan desa ini kembali bergulir ke monotonnya padang gersang. Angin menerbangkan debu-debu, mengisi sudut-sudut kerongkongan. Masih pasang-pasang kaki yang sama, masih tak beralas, menggesek pasir-pasir lembut, menyusuri jalan panjang mencari air. Masih kambing-kambing yang sama, mengembik meratap, mencari serpihan biji-bijian yang tersisa [...]

May 26, 2015 // 0 Comments

Titik Nol 196: Perjuangan Hidup

Di balik tirai benang-benang sulaman, penuh dengan harapan (AGUSTINUS WIBOWO) Mereka memang hidup dari bulir-bulir pasir dan setetes air yang masam lagi pahit. Tetapi mereka pun punya mimpi dan cita-cita. Jamal adalah seorang guru di desa Muslim Ramsar. Muridnya ada 15 orang. Semua kerabatnya sendiri. Gajinya dari pemerintah Pakistan. Kecil sekali. Itu pun sering terlambat. Untuk menambah penghasilan, Jamal membuka toko, satu-satunya toko di desanya. Barangnya semua dari Umerkot. “Sekarang zaman sudah modern,” katanya, “saya tinggal telepon saja ke Umerkot dan barang diantar ke sini keesokan harinya dengan bus padang pasir.” Anda mungkin heran, bagaimana di gurun kering kerontang yang listrik dan air pun tak ada, malah ada telepon. Teknologi telepon nirkabel memang sebuah mukjizat yang tahu-tahu diturunkan kepada masyarakat di gurun pedalaman. Telepon made in China yang dipegang Jamal menyambungkan seluruh penduduk desa ke dunia luar. Gagang telepon ada di rumah Jamal, sedangkan mesin telepon ditinggal di Umerkot. Gagah sekali Jamal dengan gagang telepon itu, seperti punya telepon genggam saja. Gagang telepon yang satu ini, ramai-ramai dipakai penduduk desa sebagai telepon umum, dan Jamal pun dapat sumber pemasukan baru. Toko modern (AGUSTINUS WIBOWO) Di desa Ramsar Hindu juga ada toko kelontong yang persis sama, dengan persediaan barang remeh-temeh yang [...]

May 25, 2015 // 0 Comments

Titik Nol 195: Air

Berjalan mencari air (AGUSTINUS WIBOWO) Gemerincing puluhan gelang wanita-wanita Hindu memecah kesunyian padang gurun. Masing-masing kepala mereka menyangga sebuah kendi tanah liat yang menganga lebar. Kaki telanjang menyeret-nyeret di atas pasir lembut gurun Thar yang membakar. Ini adalah perjalanan maha penting –  perjalanan mencari air. Dusun Ramser milik umat Hindu tersembunyi di balik gunung pasir, terpisah dari dusun Muslim. Kumpulan chowra bundar yang sama, bertudung rumput, membercaki kegersangan gurun, tersebar dalam kelompok-kelompok rumah sederhana yang dipagari dalam pekarangan-pekarangan. Beberapa tembok rumah bergambar dekorasi primitif berwujud flora atau fauna, sapi dan kambing – dekorasi makhluk hidup yang tidak dijumpai di rumah-rumah Muslim. Sedangkan sapi-sapi sungguhan, bertubuh kurus kering hingga nampak gamblang tulang belulangnya, berjemur santai di atas lautan pasir, menghabiskan hari-hari yang membosankan. Jaglo, seorang dokter, mengundang saya ke dalam rumahnya. Isinya mirip sekali dengan otagh tempat saya menginap kemarin malam di desa Muslim. Kosong melompong. Ada beberapa kasur kecil, piring makan, cermin, foto-foto kakek moyang, dan gambar-gambar dewa Hindu. Itu saja. Gambar-gambar dewa, mulai dari Syiwa yang berwarna biru sampai kera Hanuman berbibir merah tebal, tertempel rapi di sudut kamar. Ini adalah altar untuk puja. Walaupun miskin dan masuk kasta terendah, orang sini tak pernah lalai memanjatkan puja. Dewa-dewi dan [...]

May 22, 2015 // 0 Comments

Titik Nol 194: Menanti Hujan

Otagh (AGUSTINUS WIBOWO) “Hidup di sini sangat berat,” keluh Jamal, “sudah empat tahun tak turun hujan. Tidak ada air untuk kami minum. Tidak ada rumput untuk hewan-hewan kami. Tidak ada susu untuk anak-anak kami. Sapi-sapi sudah kurus tanpa tenaga.” Jamal adalah seorang penduduk desa Ramsar, sebuah desa yang boleh dibilang cukup besar di tengah padang gurun Thar. Desa ini dihuni hampir 2000 orang, sekitar 150 keluarga. Ada penduduk Hindu, ada pula yang Muslim. Tetapi mereka tidak hidup bersama-sama. Desa Ramsar Muslim, ditinggali 50 keluarga, sangat dekat dengan jalan raya. Desa Ramsar Hindu masih satu setengah kilometer lagi jauhnya, di balik barisan bukit-bukit pasir di belakang sana. Jamal tinggal di desa Muslim. Dengan ramah Jamal bersedia menjadi tuan rumah saya, yang begitu ingin mengalami kehidupan di tengah padang gurun. Tahu saya sedang menderita hepatitis, Jamal bahkan sampai membeli es batu dari pasar Umerkot, diwadahi termos supaya tetap dingin di bawah teriknya mentari gurun. Di tempat sekering ini, air begitu berharga, apalagi es batu. Saya tinggal di sebuah chowra, rumah tradisional padang Thar. Bentuknya bundar, terbuat dari batu bata dan lumpur. Atapnya dari rumput-rumputan, diikat rapi, menjulang tinggi berujung lancip. Rumah ini sangat berangin, karena jendelanya besar-besar dan tak bisa ditutup. Ada [...]

May 21, 2015 // 4 Comments

Titik Nol 193: Tharparkar

Pulang, kembali ke tengah kepulan debu di gurun Thar (AGUSTINUS WIBOWO) “Thar dan hatiku adalah dua nama untuk gurun yang sama,” demikian tulis Mazhar-ul-Islam, pujangga Urdu ternama. Di atas atlas bumi, gurun pasir Thar tak lebih dari seonggok wilayah kerontang yang kosong, terbentang lebih dari 400.000 kilometer persegi, melintas perbatasan India dan Pakistan. Namanya membawa aroma kekeringan dan kegerahan. Namun kegarangannya juga membawa puja dan puji. Di padang gurun inilah, budaya Rajashtan, Sindhi, dan Gujarati bersatu padu, menghasilkan warna-warni membara di tengah muramnya gurun. Di gurun luas di propinsi Sindh ini, lebih dari 800 desa dengan sejuta jiwa manusia berjuang untuk mempertahankan hidup. Inilah gurun pasir yang kepadatan penduduknya tertinggi di dunia. Distrik Tharparkar adalah salah satu tempat terpencil dan terlupakan di negeri ini. Umerkot, kota Hindu yang menjadi ibu kota distrik ini, dulunya terisolasi dari dunia luar. Beberapa tahun silam, orang asing dilarang masuk ke sini tanpa izin khusus. Itu pun masih menjadi target pengawasan dinas intelijen Pakistan. Alasannya, daerah ini terbilang sangat sensitif, tempat tinggalnya minoritas Hindu dan dekat perbatasan dengan musuh bebuyutan India, ditambah lagi situasi keamanan provinsi Sindh yang terus bergejolak. Saya beruntung mengenal organisasi Sami Samaj Sujag Sangat yang memberikan bantuan kemanusiaan dan memberdayakan suku-suku [...]

May 20, 2015 // 0 Comments

Titik Nol 192: Padang Pasir

Sebuah gubuk di tengah gurun (AGUSTINUS WIBOWO) Benteng kuno Umerkot membayangi seluruh penjuru kota kecil ini. Anggun dan gagah, walaupun sudah tak banyak sisanya. Kota kelahiran Akbar-e-Azam, raja terbesar dinasti Mughal, kini menjadi kota Hindu terpencil jauh di pedalaman Sindh di selatan Pakistan. Lebih tragis lagi, tempat kelahiran Akbar, kini ditandai dengan sebuah gedung prasasti kecil tak menarik, terlupakan di pinggiran Umerkot. “Dia memang raja besar, tetapi dia melupakan akarnya, tanah kelahirannya,” keluh seorang penduduk Umerkot. Sejarah masa lalu Umerkot memang pernah sangat gemilang. Raja besar dunia pernah lahir di sini, dan para penakluk perkasa pernah melintasi kota ini untuk menaklukan negeri di seberang beringasnya padang pasir Thar. Tetapi gurun ini tidak selalu ganas dan muram. Di siang hari, wajah kota ini menjadi semarak luar biasa dengan datangnya orang-orang dari pedalaman padang gurun Thar. Wanita-wanita dari gurun terkenal dengan pakaian yang berwarna-warni liar, seperti pemberontakan terhadap kering dan monotonnya padang pasir. Ada warna merah membara bergambar bunga-bunga, ada hijau yang memberi kesegaran, ungu yang sejuk, dan biru gelap seperti warna langit. Yang Hindu kebanyakan memakai choli dan polka, kaus ketat dan rok panjang sampai ke mata kaki. Wanita Muslim biasanya masih setia dengan shalwar kamiz, celana kombor dan jubah panjang. [...]

May 19, 2015 // 1 Comment

Titik Nol 190: Kuning Lagi

Pengobatan tradisional Ayurveda (AGUSTINUS WIBOWO) Punjab diserang badai panas. Harian Dawn 14 Mei 2006 memberitakan, tiga puluhan orang tewas di Sialkot dan Lahore, karena suhu udara yang meledak hingga 50 derajad Celcius. Saya terbaring lemah. Saya juga korban badai panas yang melanda Punjab. Minggu kemarin saya masih nekad keliling Multan dan Bahawalpur dengan berjalan kaki ke mana-mana. Kini, saya cuma bisa menghabiskan hari-hari di atas ranjang rumah Om Parkash Piragani di Umerkot. ‘Kawan lama’ saya, penyakit hepatitis, hinggap lagi di tubuh saya. Hasil cek darah kemarin menunjukkan angka SGPT melonjak dari batas normal 10 menjadi angka fantastis 1355. Bola mata saya kuning pekat, hilang cahaya kehidupannya. Saya tak pernah berhenti melihat cermin, mencoba menerima kenyataan, sekaligus berharap-harap cemas warna kuning menjengkelkan ini lekas-lekas pudar. Satu hal yang patut disyukuri, penyakit liver saya meledak tepat ketika saya mencapai rumah Om Parkash. Di rumah besar yang dihuni puluhan orang ini, saya dibasuh dengan belaian kasih sayang dan perhatian. Saya tak pernah kenal Parkash sebelumnya. Tetapi dia begitu lembut merawat saya, seorang kawan baru, yang terkapar di rumahnya. “Kamu harus istirahat total,” kata Parkash, “jangan berpikir macam-macam. Tidur saja!” “Berapa lama?” “Berapa lama pun kamu mau. Rumah ini adalah rumahmu. Kamu boleh tinggal [...]

May 15, 2015 // 3 Comments

Titik Nol 189: Terkapar

Kaum perempuan keluarga Piragani (AGUSTINUS WIBOWO) Dari Punjab yang panas membakar lalu perjalanan panjang dan menyiksa dalam gerbong kereta api kelas ekonomi, akhirnya sampai juga saya ke jantung propinsi Sindh. Saya terseok-seok lemas melangkah, memulai perjalanan di tempat yang sama sekali asing ini. Tak sampai sepuluh menit saya singgah di Hyderabad. Kota ini dulunya terkenal sebagai Paris of India, karena konon jalanannya berbasuh harum wewangian. Sekarang di benak saya, yang tertinggal cuma jalan bolong-bolong, becek, kumuh, dan campur aduk. Bus mini berguncang-guncang. Saya pun ikut bergetar beraturan, berdesak-desakan dengan penumpang di bangku belakang. Tujuan saya adalah Umerkot, tersembunyi di ujung pelosok Sindh, di tepian padang pasir Thar Parkar, berhadapan dengan India di seberang. Karena cukup terpencil, kendaraan langsung sudah tak ada, saya harus ganti kendaraan dulu di kota Mirpur Khas. Pemandangan di luar sana sungguh kontras dengan hijaunya Punjab. Pasir kuning menghampar di mana-mana. Pohon padang pasir yang mirip nyiur berbaris renggang-renggang. Langit biru menudungi. Anehnya, walaupun gersang, saya tak merasa panas. Tak ada lagi sengatan mentari yang mematikan seperti di Punjab sana. Angin sejuk semilir membasuh muka saya dari kaca jendela bus. Dua jam perjalanan, saya tertidur pulas. Jalan raya berhenti di Umerkot, di ujung bumi Pakistan. Selepas ini [...]

May 14, 2015 // 0 Comments

Titik Nol 173: Tuan Rumah

Rumah mewah bertabur di Islamabad (AGUSTINUS WIBOWO) Konsep mehman begitu mengakar dalam sanubari kehidupan orang Pakistan. Sebagai tamu, saya tidak hanya merasa malu saja, kali ini saya bahkan dirundung perasaan berdosa. Sudah beberapa hari ini saya tinggal di rumah Syed Ijaz Gillani, seorang kawan dekat yang juga sukarelawan selama di Kashmir. Dari namanya, Syed, menunjukkan ia orang yang dihormati karena konon adalah keturunan langsung Nabi Muhammad. Di negara ini, biasanya orang yang mengenal sang Syed langsung menyentuhkan tangan mereka ke sepatunya, lalu menempelkan tangan ke jidat mereka. Kalau bersalaman mereka sampai mencium tangan dan untuk kasus ekstrim sampai mencium kaki. Penghormatan seperti ini adalah cara orang Hindu menghormati kasta pandita. Kultur India ini belum luntur di Republik Islam Pakistan. Selain karena namanya, Syed Ijaz juga orang terpandang. Rumahnya seperti istana kecil di Islamabad. Rumah-rumah di kota yang jarang-jarang penduduknya ini bisa dikatakan hampir semuanya tergolong mewah, sungguh kontras dengan perumahan kumuh di Rawalpindi, saudara kembar kota ini. Ijaz punya bisnis keluarga yang cukup sukses. Selain itu beberapa kerabat dekatnya adalah pemuka agama penting di seluruh Pakistan. Ayah Ijaz yang sudah tua dan sangat taat beragama (AGUSTINUS WIBOWO) Kekayaan Ijaz dan kawan-kawannya membuat saya terperangah. Pernah saya diundang ke rumah Madam [...]

April 22, 2015 // 0 Comments

Titik Nol 170: Mehndi

Calon pengantin yang berbahagia (AGUSTINUS WIBOWO) Berakhir sudah hari-hari saya di Kashmir. Hari ini seorang kawan sukarelawan, Syed Ijaz Gillani, menjanjikan akan membawa saya ke sebuah pesta pernikahan di Islamabad. “Pesta ini pasti akan menarik buat kamu,” katanya, “besok kamu siap jam 8 pagi ya, kita berangkat ke Islamabad sama-sama.” Saya menunggu di Muzaffarabad sedangkan Ijaz akan datang dari dusun Noraseri. Saya punya banyak kawan di Muzaffarabad yang ingin mengucapkan selamat jalan. Ali, pemuda Kashmir berumur 16 tahun misalnya, sudah berniat mengantar saya dengan sepeda motornya untuk menyantap sarapan pagi. Saya menolak, karena Ijaz akan datang jam 8 pagi. “Ah, pasti terlambat,” katanya, “aku orang Pakistan dan aku tahu bagaimana kebiasaan orang Pakistan. Ayolah, pergi sama-sama.” Saya tetap memilih menunggu di rumah kontrakan di Muzaffarabad. Tapi Ali memang benar, Ijaz baru datang jam 1 siang. Itu pun dengan melenggang santai tanpa beban. Jam karet sudah bagian dari darah dan daging. Kami baru tiba di Islamabad pukul 8:15, padahal kata Ijaz acara pernikahan dimulai pukul 8. Tetapi dia santai sekali, sama sekali tidak takut terlambat. Kami masih sempat kembali ke rumahnya, ganti baju, dan mengumpulkan seisi rumahnya untuk berangkat bersama. Yang perempuan diangkut di satu mobil, yang laki-laki di mobil lainnya. [...]

April 17, 2015 // 0 Comments

Titik Nol 169: Selamat Tinggal Noraseri

Para sukarelawan mengucapkan selamat tinggal kepada penduduk Noraseri, diiringi cucuran air mata (AGUSTINUS WIBOWO) Mentari pagi menyembulkan sinarnya di balik barisan pegunungan Kashmir. Puncak tinggi Nanga Parbat berdiri gagah penuh aura misteri. Lekukan kurva sambung menyambung ke seluruh penjuru. Permadani hijau membungkus bumi. Kashmir menyambut datangnya musim panas. Tetapi justru di saat inilah saya harus meninggalkan Noraseri. Tujuh minggu di kamp sukarelawan berlalu begitu cepat. Saya teringat, di bawah rintik hujan ketika saya pertama kali datang, dikenalkan dengan belasan wajah-wajah dan nama-nama baru, berkelap-kelip di bawah sinar lampu minyak. Para sukarelawan yang masing-masing punya cerita unik. Ada juru masak yang telur gorengnya luar biasa nikmat di pagi yang dingin, yang berkisah tentang hidup di Yunani dan bagaimana beriman sepenuhnya. Ada yang suka mengajukan pertanyaan tanpa henti, sepanjang hari, membawa berbagai topik diskusi berat. Ada permainan kriket di sore yang cerah. Ada yang serius mengerjakan tugas-tugas di kegelapan malam hanya dengan sinar lampu petromaks. Ada lantunan naat di kemah, dengan penduduk desa yang datang berkerumun. Saya teringat betapa susahnya jalan naik turun gunung untuk melakukan survey di bawah guyuran hujan, melintasi tebing curam dan becek, atau lereng terjal berbalut pasir dan kerikil licin yang bisa longsor setiap saat. Betapa indahnya senyum [...]

April 16, 2015 // 0 Comments

Titik Nol 168: Negeri Para Petarung (4)

Ali Zaman dan Gul Zaman (AGUSTINUS WIBOWO) Tongkat, bedil, dan pedang adalah bagian tak terpisahkan dari kehidupan orang Kandar. Seorang tetua Kandar mengajari saya tentang filosofi budaya bertarung mereka. “Tidak benar orang Kandar suka bertarung,” sangkal Behsar, pemuda dari desa Kandar Tengah. Saya masih berdebat dengannya, membenturkan data-data yang berhasil saya kumpulkan dengan sanggahan-sanggahannya. Saya bertanya tentang di mana helipad tempat pembajakan helikopter itu terjadi. Behsar menunjuk ke atas. Dia keceplosan. Jawabannya membuktikan bahwa peristiwa itu memang terjadi. Semuanya jadi berbalik arah. Dari defensif, ia kini terang-terangan membanggakan kebiasaan berkelahi. “Apa salahnya? Kami memang bukan orang yang lemah! Tetapi kami sangat bersahabat dengan orang luar!” Lalu mengapa orang-orang Noraseri punya begitu banyak kisah konyol dan seram tentang kebiasaan antik orang Kandar? Mengapa semua orang di lereng bawah gunung sana takut akan keganasan orang Kandar? “Karena orang Noraseri-mu itu tidak berpendidikan!” Dari seorang Behsar yang lemah lembut dengan bahasa Inggris yang fasih karena pendidikan yang tinggi, kini ia berubah menjadi Behsar yang benar-benar orang Kandar. Farman sebenarnya sudah mulai kesal dengan saya. Dia sudah tidak ingin untuk membawa saya ke tempat yang lebih tinggi lagi. “Saya masih belum melihat Kandar,” sanggah saya, “ayolah, bawalah saya ke atas lagi. Setidaknya sampai melihat [...]

April 15, 2015 // 0 Comments

Titik Nol 167: Negeri Para Petarung (3)

Kandar di puncak pegunungan Kashmir (AGUSTINUS WIBOWO) “Kamu percaya dengan segala kebohongan itu? Tidak benar itu. Orang Kandar bukan petarung seperti yang kamu bayangkan,” kata Behsar, pria Kandar berumur 24 tahun, “lagipula desa-desa yang kamu lihat sama sekali bukan Kandar!” Saya dalam perjalanan mencari jawaban misteri orang Kandar, dan kini terperangkap dalam kebingunan antara kenyataan, drama, dan mitos. Tubuh saya sudah banjir keringat ketika kami sampai di sebuah desa yang menurut Farman adalah desa Kandar Tengah. Di sinilah Behsar, pemuda yang bahasa Inggrisnya fasih sekali, membongkar habis semua serpihan tentang misteri orang Kandar yang saya kumpulkan sepanjang perjalanan. “Orang Kandar adalah orang yang ramah tamah, tetapi mereka sangat miskin. Kami tidak berkelahi. Mungkin memang ada orang yang suka berkelahi, jumlahnya tak lebih dari 25 orang, mungkin. Dan mungkin orang-orang inilah yang membuat reputasi Kandar hancur.” Jadi, yang dari tadi mengaku sebagai jago petarung dari Kandar, sama sekali bukan orang Kandar? Behsar menggeleng. Wajahnya tak berkumis dan berjenggot. Gerak-geriknya penuh percaya diri, yang malah membuat saya semakin ragu dengan segala pembicaraan yang sudah saya catat. Saya juga mulai terngiang-ngiang ucapan dokter Zaman, yang mengingatkan bahwa Farman sangat mungkin malas membawa saya sampai ke Kandar, dan sebagai gantinya akan membawa saya ke [...]

April 14, 2015 // 0 Comments

Titik Nol 165: Negeri Para Petarung (1)

Gunung-gunung Kashmir yang megah (AGUSTINUS WIBOWO) Dari segala kisah-kisah aneh yang saya dengar di sini, tidak ada yang lebih tidak masuk akal daripada cerita tentang orang Kandar, suku petarung di puncak gunung. Kandar adalah sebuah desa kecil terletak di puncak bukit yang terlihat di belakang Noraseri. Jaraknya cuma empat kilometer, naik turun gunung, dan butuh waktu tiga jam untuk mencapainya. Walaupun demikian, bagi sebagian besar orang normal, Kandar sama sekali bukan tempat yang bisa dikunjungi. Ada apa dengan Kandar? Namanya tersohor di seluruh pelosok perbukitan. Tak ada orang Noraseri yang tak kenal desa kecil di atas sana itu. Bahkan di kota pasar Pattika dan Muzaffarabad yang jauh di bawah sana, semua orang pernah mendengar nama desa ini. “Walaupun cuma empat kilometer jauhnya,” kata Rashid, sukarelawan dari Islamabad, “orang Kandar sudah nampak jauh berbeda dari penampilan fisiknya. Mereka selalu berjalan ke mana-mana dengan tongkat kayu. Tongkat ini selalu siap untuk memukul orang. Mereka juga menggantungkan syal di leher.” Saya jadi terbayang pejuang Pashtun di Afghanistan, apalagi nama Kandar mirip dengan Kandahar, kota lahirnya Taliban. “Kalau Afghanistan punya Kandahar, maka Kashmir punya Kandar,” Rashid melanjutkan, “orang-orangnya sama-sama suka perang.” Tanggal 12 Januari 2006, pernah kejadian orang Kandar membajak helikopter yang mengangkut bala [...]

April 10, 2015 // 1 Comment

Titik Nol 164: Terbungkus

Membaca doa setelah akad nikah (AGUSTINUS WIBOWO) Imam berkomat-kamit membaca doa. Pengantin pria menundukkan kepalanya, tegang sekali. Para pria mengelilingi sebuah lingkaran di dalam rumah darurat. Rintik-rintik hujan dan deru angin menembus melalui lobang pintu dan jendela. Di sinilah akad nikah berlangsung. Saya terbayang pernikahan Kashmir yang pernah saya baca. Ratusan orang menari-nari di jalan, dengan tetabuhan musik dan senandung lagu-lagu, menembus keheningan barisan gunung-gunung yang menggapai langit. Makanan melimpah ruah. Orang-orang berpesta pora. Tetapi di sini, enam bulan lalu gempa dahsyat telah menghancurkan semuanya. Bukan hanya rumah yang hancur, tetapi juga keluarga, manusia, hewan ternak, harta benda, mimpi dan cita-cita. Semua dirundung kesedihan karena kehilangan sanak saudara. Banyak desa yang musnah, sisanya lagi tinggal sebagian saja penduduknya. Longsor menghanyutkan rumah-rumah. Manusia bangkit dari puing-puing reruntuhan. Tetapi hidup masih harus terus berjalan bukan? Setelah sekian bulan berlalu, pelan-pelan hidup mulai bangkit dari kehancuran. Setelah melewati Ramadan, Idul Fitri, hingga empat puluh hari perkabungan Muharram, pasangan-pasangan berbahagia pun dinikahkan, menempuh hidup baru yang berawal dari bongkahan kehancuran. Lupakan pesta perkawinan Kashmir yang mewah dan berwarna-warni. Sekarang, kita kembali ke reruntuhan, barisan tenda, dan rumah darurat yang masih belum jadi. Di sinilah akad nikah dilangsungkan. Dalam keheningan dan [...]

April 9, 2015 // 0 Comments

Titik Nol 163: Barat dan Baran

Menanti datangnya barat (AGUSTINUS WIBOWO) Vicky terbilang rajin mengunjungi kamp sukarelawan kami, sudah menjadi kawan akrab kami hampir setiap hari. Kemarin, di bawah guyuran hujan gerimis, Vicky datang menyampaikan undangan pernikahan seorang kerabatnya. Sudah beberapa hari pegunungan Kashmir dilanda sapuan hujan lebat dan gemuruh tanah longsor. Tetapi hari ini matahari terik bersinar. Gunung-gunung Kashmir mulai berdandan dengan selimut hijau. Musim semi telah tiba, diawali hujan yang memunculkan kembali segarnya rumput dan pohon. Langit biru cerah. Benar-benar hari yang indah untuk melangsungkan pernikahan. Bersama beberapa kawan sukarelawan, kami menuju ke tempat perhelatan pernikahan. Vicky dan beberapa sepupunya yang masih kecil-kecil sibuk menata kursi di tanah lapang yang dipenuhi bongkah batu. Seperti layaknya daerah pasca gempa, lokasi acara pernikahan kali ini pun tak jauh dari puing-puing dan tenda. Lihat saja dapurnya. Tungku api dinyalakan di atas puing-puing batu. Entah rumah siapa yang pernah ambruk di sini. Dua tongkat kayu menyokong selapis atap seng, melindungi masakan yang baru matang. Di dapur terbuka ini semua orang sibuk. Dua juru masak membikin nasi biryani di panci berukuran raksasa. Di Kashmir, nasi adalah menu wajib untuk acara besar seperti pernikahan, perkabungan, tahlilan, dan sebagainya. Panci satunya untuk memasak daging sapi, diiris kecil-kecil dan diaduk dalam adonan [...]

April 8, 2015 // 0 Comments

1 2 3